Risty menangis sembari memeluk kedua lutut. Gadis itu terduduk di balik pintu. Tak percaya dengan yang telah dia lakukan. Memang selama ini dia sudah terbiasa melakukan oral seks pada banyak lelaki, tapi itu sebelum dia pacaran dengan Gilang. Semenjak menjalin hubungan dengan Gilang, lelaki itu memintanya untuk tidak melakukan itu lagi pada laki-laki lain selain dirinya. Risty menyanggupinya dan berjanji.
Tapi hari ini Risty melanggar janjinya. Dia melakukan itu dengan lelaki yang bahkan baru dia kenal dalam keadaan sadar. Sedangkan dia masih berstatus sebagai kekasih Gilang. Apa kata Gilang jika dia tahu hal ini?
Risty melirik jam yang menunjukkan pukul empat subuh. Dia meraih ponselnya di atas meja, menelepon Gilang.
"Kak..." ucapnya dengan suara serak ketika teleponnya diangkat.
"Iya, kenapa?" sahut Gilang. Suaranya terdengar seperti orang baru bangun tidur. Risty tak langsung menjawab. Dia malah sesegukan. Tenggorokkannya terasa tercekat. Dadanya sesak seperti ada yang menghimpit. "Kamu kenapa nangis?" Kali ini suara Gilang terdengar khawatir.
"Kak Andra ...," ucapnya terbata di sela isaknya. "Kak Andra sama Kak Tristan maksain aku untuk ngelakuin itu sama mereka," adunya pada kekasihnya.
"Terus kamu mau?"
"Iya, aku ...."
"Kenapa kamu mau, sih? Kamu kan bisa tolak mereka!" Seperti dugaan Risty, Gilang marah mengetahuinya.
"Mereka udah masuk ke kamar aku, Kak. Aku terpaksa. Mereka juga ngancam." Ya, Andra mengancam akan memberitahu orang tua Risty tentang kelakuan Risty yang sebenarnya jika Risty tak mau menuruti kemauannya. Risty tak mengerti dari mana Andra tahu tentang dirinya yang senang melakukan oral seks. Risty juga tak mengerti bagaimana mereka bisa masuk sampai ke kamarnya padahal seingatnya pintu rumahnya sudah dikunci.
"Ya, tapi, kan, kalau kamu nggak mau mereka nggak bisa maksain diri,"
Risty malah menangis semakin jadi, "kakak marah, ya?" tanyanya di sela tangisnya. "Maafin aku." Risty menungkupkan wajahnya di kedua lututnya.
"Kakak bakal kasi mereka pelajaran,"
Risty kembali mengangkat kepalanya, "jangan, Kak,"
"Kenapa?"
"Nanti mereka jadi tahu tentang hubungan kita,"
"Kamu tenang aja. Kakak nggak bakal bocorin hal itu,"
Risty terdiam. Dia ingin mencegah Gilang lagi, tapi rasanya percuma. Gilang pasti akan nekat. "Iya," jawabnya akhirnya.
"Ya, udah, lain kali kamu jangan gitu lagi, ya?"
"Iya,"
"Kakak tutup teleponnya--,"
"Kak," potong Risty cepat ketika mengetahui Gilang segera memutuskan sambungan.
"Apa lagi?"
"Kayaknya hari ini aku nggak sekolah dulu, deh,"
"Kenapa?"
"Aku takut, aku nggak siap buat ketemu mereka, aku mau nenangin diri. Kakak nanti ke sini, ya, ambil surat dari aku."
Terdengar Gilang menghela napas, "oke, nanti pas berangkat sekolah kakak ke rumah kamu dulu,"
Risty tersenyum, "makasih, Kak,"
"Sama-sama. Kakak tutup dulu teleponnya, ya?"
"Iya,"
Sambungan terputus.
Risty menghela napas sambil menatap layar ponsel. Lalu mengembalikan ponselnya di atas meja yang ada di dekatnya.
"Setelah ini apa Kak Gilang bakal mutusin aku?" tanyanya pada diri sendiri. Ingatannya kembali pada waktu beberapa jam lalu. Kejadian ketika dia melakukan itu pada dua lelaki sekaligus.
Risty tak mengenal Andra lebih dari sekadar nama dan wajahnya saja--berbeda dengan Tristan yang merupakan senior-nya di Pramuka. Selain itu, yang dia tahu Andra adalah senior IPS yang seangkatan dengan Gilang, kelas XII IPS 1. Mereka tak dekat. Andra bahkan tak pernah main ke rumahnya seperti teman lelakinya yang lain. Tapi bisa-bisanya Andra berani mengajaknya melakukan itu dan bodohnya dia mau seperti tak memiliki daya untuk menolak. Selama ini Risty memang sering melakukan itu dengan banyak lelaki dan lelaki yang baru dia kenal adalah pengecualian. Andra adalah pengecualian. Seharusnya dia tak melakukan itu dengan Andra.
Risty menggeram, menyesali diri.
***Sekolah sudah ramai. Sebentar lagi bel tanda masuk berdentang. Namun, batang hidung Andra belum juga terlihat. Tak biasanya dia datang sesiang ini.Safira duduk merenung dibangkunya, terpikirkan dengan lelaki itu. Terlebih mengingat suara yang dia dengar semalam. Rasanya dia yakin itu suara Andra dengan seorang temannya entah siapa. Tapi jika iya ke mana mereka malam-malam begitu? Safira baru tahu ternyata Andra sering mengembun sampai jauh malam di luar rumah.
Suara bel yang berdentang membuyarkan lamunan Safira yang seketika tersadar. Para siswa berbondong-bondong masuk ke kelas. Safira mengedarkan pandangan ke penjuru kelas, tapi Andra juga tak tampak. Apa lelaki itu datang terlambat atau malah tidak masuk?
Safira memandang Riri yang baru duduk di bangkunya. "Andra nggak masuk, ya?" tanyanya pada Riri. "Tapi kayaknya nggak ada surat,"
Riri mengangkat bahu, "terlambat mungkin,"
Safira menghela napas. Tak habis pikir kenapa Andra bisa datang terlambat. Apa mungkin ada kaitannya dengan kejadian yang dilihatnya semalam.Safira memandang Riri, "eh lo tahu nggak--"
"Selamat pagi anak-anak. Siapkan sekarang. "Safira baru akan bercerita tentang Andra ketika Bu Rani masuk dan menginterupsi pembicaraannya. Ketua kelas menyiapkan dan seluruh siswa berdiri, memberi hormat, sejenak, lalu kembali duduk.
Bu Rani langsung membuka absen dan mengabsen satu-persatu muridnya.
"Andra Saputra." Hening. Tak ada yang menyahut ketika nama Andra di sebut. Bu Rani mengedarkan pandangan melihat apakah Andra hadir hari ini. Namun, dia tak menemukannya, "kemana Andra?"
"Nggak tahu, Bu. Nggak ada kabar," sahut siswa yang duduk di belakang.
"Maksudnya alpa?"
Hening kembali. Pasalnya memang tak ada seorang pun yang tahu kabar Andra.
Bu Rani menunduk, jarinya baru ingin menuliskan sesuatu ketika terdengar pintu diketuk disusul ucapan salam dari seseorang. Seisi kelas menoleh ke sumber suara tak terkecuali Bu Rani.
Andra. Berdiri di ambang pintu. Safira membelalak melihatnya. Ternyata lelaki itu datang terlambat. Kemudian lelaki itu berjalan mendekat dan menyalami Bu Rani yang memandangnya terheran. "Maaf, Bu, terlambat," ucapnya."Lapor guru piket," perintah Bu Rani sembari menunjuk ke luar kelas. Safira memperhatikan penampilan Andra dari bangkunya yang tak jauh dari bangku guru. Penampilan Andra berantakan. Seragamnya kusut. Rambutnya seperti tak di sisir. Matanya merah seperti kurang tidur. Lelaki itu mengangguk lalu ke luar kelas. Safira terus memandanginya hingga lelaki itu menghilang.
Safira yakin ini pasti ada hubungannya dengan apa yang dia lihat semalam.
***Kira-kira Risty bakal mutusin Gilang nggak ya? Ikuti terus ceritanya ya readers, terima kasih. Bab selanjutnya bakal lebih seru dan menegangkan!
Di jam istirahat, seperti biasa, Andra, Tristan, Ricky, Setya dan temannya yang lain nongkrong di depan perpustakaan SMA Tunas Bangsa sambil bercengkrama menceritakan banyak hal. Hari ini Andra sering tertawa, dia terlihat lebih bahagia dari biasanya. Tak ada orang lain yang tahu selain Tristan kalau dia bahagia karena berhasil mencicipi perempuan bernama Risty itu.Hingga tiba-tiba seseorang yang tak dia kenali menarik kerah kemejanya dan meninju pipinya telak. Membuatnya dan teman-temannya seketika syok. Suasana mendadak tegang. "Lo yang namanya Andra?" Lelaki yang baru saja menghajar Andra itu melirik nametag yang terpasang di seragam Andra. Belum sempat Andra menjawab lelaki itu sudah menghajarnya lagi, bertubi-tubi. "Kurang ajar lo! Cowok ber*ngsek!" Teman-temannya spontan melerai. "Woi, woi, udah. Jangan berantem di sini." "Lo nggak tahu permasalahannya, jangan ikut campur!" Lelaki itu masih menarik kerah kemeja Andra sambil menatap taj
Berita Gilang dan Andra yang berseteru hingga masuk BK terdengar sampai ke telinga Risty. Pasalnya teman-teman sekelasnya sering menceritakan hal itu. Risty tak habis pikir dengan tindakan Gilang yang menurutnya kelewat batas. Dia tak menyangka Gilang bertindak sejauh itu. "Aku, kan, udah bilang, Kak, jangan." Risty memarahi Gilang, "ngapain sih ngasi Kak Andra bogem mentah segala? Kan begini jadinya. Kakak jadi masuk BK. Kakak jadi terkena masalah." Gilang yang mendengar celotehan pacarnya sejak tadi memasang wajah memelas. "Ya, kan, abis kakak nggak suka dia gituin kamu. Kakak marahlah. Wajar, kan?" Saat ini mereka mengasingkan diri di kantin yang tak terpakai yang ada di belakang sekolah, menjauh dari keramaian. Jarang ada siswa mau pun siswi yang lewat di sekitar sini, kecil kemungkinan orang melihat mereka. Risty terdiam. Alih-alih membuatnya senang, semakin hari sikap Gilang justru membuatnya ilfeel dan muak. Sebenarnya sejak kemarin dia mem
Gilang dan dua temannya dari anggota ekstrakurikuler Pik Remaja memasuki setiap kelas, meminta perwakilan pada setiap kelas untuk melakukan penyuluhan sebagai pendidik sebaya. "Boleh minta waktunya sebentar, Bu," kata Rino--teman satu ekskul Gilang--pada guru yang sedang mengajar di kelas XII IPS 1. Bu Nurma yang sedang menulis di papan tulis duduk ke kursi guru, mempersilakan mereka. "Berhubung ada kegiatan penyuluhan, kami dari anggota Pik Remaja meminta perwakilan dari kelas ini minimal dua orang," ucap Gilang mengutarakan maksud kedatangannya. Andra yang melihat Gilang masuk ke kelasnya sejak awal sudah membuang muka. Lelaki itu fokus menulis tanpa mau memandang ke depan sedikit pun. Sementara Gilang hanya melirik sekilas lelaki itu. Beberapa siswa di kelas itu saling pandang dengan tatapan tanya seolah bertanya, "siapa yang mau jadi perwakilan?" "Ini wajib, ya. Semua kelas berpatisipasi. Nanti langsung datang aja ke ruang samping lab kimi
Jam istirahat, Safira, Evan, dan Riri menghabiskan waktu di kantin, menikmati bakso ibu kantin sambil berbincang banyak hal. Mulai dari materi pelajaran, cerita sinetron, masalah keluarga hingga merambat perihal orang tua. "Ya, gitu antara nyokap sama bokap gue, yang lebih keras ke gue itu nyokap. Dia sering maksain kehendaknya. Belum lagi suka banding-bandingin gue sama adik laki-laki gue. Beda banget sama bokap gue yang lebih bisa ngertiin gue." Riri yang bercerita tentang hubungannya dengan orang tuanya lebih dulu. Safira jadi teringat dengan orang tuanya di kampung halaman. Ayah Safira telah meninggal sebelum dia lahir. Dia hanya punya ibu dan dua kakak. Jadi Safira tak tahu bagaimana sosok seorang ayah. Bagaimana rasanya disayang oleh seorang ayah. Beruntung dia masih punya ibu yang selalu mendukung penuh apa pun keinginannya. "Kalau lo, Van, hubungan lo sama keluarga lo gimana? Mama papa lo gimana?" Safira bertanya pada Evan. Ya, meski pun telah mengena
Waktu menunjukkan pukul sebelas malam. Dan masih ada manusia beraktivitas di gedung club malam di Jakarta yang semakin malam, semakin ramai. Andra duduk sendiri di sofa panjang, di bawah suasana remang-remang sembari mengisap rokok, menunggu kedatangan seseorang. Matanya sejak tadi mengamati pintu masuk dengan bosan. Andra menjatuhkan abu rokoknya ke asbak ketika dia melihat seseorang yang dia tunggu-tunggu akhirnya muncul. Dia adalah Tristan. Dan dia tidak sendiri. Ada Risty di sebelahnya. "Hei, Bro," sapa Tristan pada Andra."Udah lama lo nunggu?" "Banget," jawab Andra dengan malas. Raut wajah Risty berubah tatkala melihat kehadiran Andra di sini, tapi dia tak membantah atau bertanya ke Tristan. Dia merasa tidak nyaman dengan lelaki itu, apalagi mengingat tragedi malam itu. Berbeda dengan Andra yang terlihat biasa saja. Lalu, Tristan mengajak Risty untuk duduk di sofa depan Andra. Diam-diam Andra memperhatikan Risty. Gad
Sekolah masih sepi sekali ketika Safira dan Riri tiba. Mereka datang lebih awal dari biasanya. Setelah video call-an dengan ibunya sampai subuh dia tidak tidur lagi, begitu pun Riri. Mereka menghabiskan waktu dengan berbincang banyak hal, sampai menjelang azan subuh mereka salat berjamaah. Maka dari itu, mereka bisa datang sepagi ini. Sekolah memang masih sepi. Dan seharusnya pintu setiap kelas tetap terbuka, tapi Safira melihat pintu kelasnya dari kejauhan tampak tertutup. Aneh, tidak seperti biasanya. Apakah penjaga sekolah yang biasa bertugas membuka pintu kelas belum datang? Pikirnya. Tapi mengapa pintu kelas lain terbuka? Hanya pintu kelasnya saja yang tertutup. Safira mempercepat langkahnya. Diiringi Riri. Derap sepatunya menggema di koridor yang sepiTiba di depan pintu, Safira mencoba mendorong pintu itu pelan. Ternyata memang tidak dikunci. Pintu terbuka dan ... "Happy birthday to you... Happy birthday to you... Happy birthda
Safira terkesiap melihat baju putihnya berwarna kecoklatan. "Eh, sori, sori, nggak sengaja," ucap seseorang yang menabraknya itu yang ternyata adalah laki-laki. Safira mengangkat kepalanya. Wajah anak baru itu tersuguhkan di hadapannya. Gilang Angkasa telah menabrak dan mengotori bajunya. Gadis itu hanya bisa diam meski pun dia ingin marah. "Sori banget, ya. Serius gue nggak sengaja." Gilang terlihat merasa bersalah. "Iya nggak pa-pa," jawab Safira sambil tertunduk dan melanjutkan langkahnya melewati Gilang, tapi tanpa di duga, Gilang menahan pergelangan tangannya. Gilang tahu meski pun gadis yang di tabraknya itu mengatakan tidak apa-apa tapi raut wajahnya menunjukkan kalau dia tidak baik-baik saja. "Apa lagi?" Safira menatap Gilang. "Baju lo kotor gitu, gue bener-bener nggak enak," ucap Gilang sambil memperhatikan baju putih Safira beserta roknya basah dan berwarna kecoklatan juga Safira yang menggendong tas ransel, gadis itu pasti m
Menjelang istirahat, Safira ke luar kelas, hendak menuju kantin. Namun, seorang siswi memanggilnya. "Safira," Safira menoleh. Safira tak kenal siswi itu tapi dia sempat melihat nametag gadis itu bertuliskan Risa Indira. Safira tak sengaja terpandang ke tangan Risa yang memegang sebuah kotak kecil. "Safira, kan?" "Iya, ada apa?" "Ini dari Gilang buat lo." Risa menyodorkan kotak kecil di tangannya ke Safira. Safira melirik kotak itu, kotak kecil bersampul kertas kado berwarna merah muda motif kotak-kotak. "Terima aja. Dia nitip ini ke gue buat lo, katanya sebagai hadiah," jelas Risa saat melihat Safira seperti enggan menerimanya. Safira menerima kotak itu. "Makasih." Risa tersenyum, "sama-sama. Gue duluan, ya." Risa berlalu mendahului Safira, entah hendak ke mana. Safira menilik kotak itu dengan heran. "Apa, sih, nih?" Dia berjalan menuju bangku panjang depan koridor membuka kotak itu di sana. Ternyata isi
Satu bulan kemudian. Gadis yang duduk di atas kursi roda itu termenung menatap ke luar kaca jendela. Masih di kamarnya yang berada di lantai dua gedung kosan ini.Gadis itu mengingat kejadian demi kejadian yang di alaminya satu bulan belakangan. Dia yang tertabrak truck sampai kakinya terlindas dan masuk rumah sakit. Dia bahkan sempat koma selama dua minggu. Dia juga melewati acara perpisahan yang di laksanakan tepat saat dirinya dirawat di rumah sakit. Dia dinyatakan lumpuh. Kaki bagian tempurungnya pecah dan busuk, karenanya kakinya harus dipotong. Tiga hari yang lalu Gilang sempat datang menemuinya. "Aku nggak bisa Gilang. Dengan keadaan aku yang sekarang aku nggak pantas buat kamu," ucapnya ketika cowok itu melihat bagaimana keadaannya yang sekarang, cowok itu masih bersedia mengajaknya balikan. "Kamu nggak boleh ngomong gitu, Fir. Aku nggak peduli kondisi kamu sekarang. Karena cuman kamu perempuan baik yang bisa mengubah aku menjadi lelaki yang baik juga. Apa pun keadaannya
"Makasih, ya, udah nemenin.""Sama-sama." Safira tersenyum, sebelum akhirnya masuk ke kamar dan menutup pintu. Safira menghela napas lelah seiring dengan bokongnya mendarat di tempat tidur. Dan melepaskan tasnya di tempat tider. Perjalanan hari ini harusnya cukup menenangkan pikirannya, tapi membaca berita di koran itu membuat dia tidak bisa berpikir dengan tenang.Belum sembuh kesedihannya atas kepergian Viona secara mendadak yang dia dengar dari pihak sekolah tempo hari. Dan sempat menggegerkan warga SMA Tunas Bangsa. Dia bahkan masih ingat jelas bagaimana histerisnya orang tua Viona di depan jenazah sang anak, di hari pertama dia ikut melayat. Biar bagaimana pun Viona adik kelasnya. Dia ikut merasa sedih dan kehilangan.Hari ini dia kembali diingatkan dengan kabar duka itu ketika membaca isi koran tadi.Dan ini semua gara-gara Gilang. Kebencian Safira terhadap lelaki itu rasanya semakin dalam. Safira merogoh kembali tasnya. Mengeluarkan koran tersebut. Membaca ulang berita itu.Dr
Beberapa minggu kemudian...Siang itu keadaan pasar cukup ramai. Pedagang buah berjejer di tepi jalan, menyapa pejalan kaki yang lewat, berlomba-lomba menawarkan dagangannya, berdampingan dengan kios penjual kaset yang memutar lagu dangdut cukup keras. Membuat hiruk-pikuk suasana pasar semakin terasa.Safira akhirnya memutuskan ikut Tika ke pasar, ketika gadis itu mengajaknya untuk menemaninya ke toko buku. Hitung-hitung refreshing, berharap bisa melupakan masalah-masalahnya sejenak. Mereka berjalan kaki menyusuri tepian pasar mencari toko buku yang ada di antara kios kaset itu. Motornya mereka parkir cukup jauh dari tempat mereka sekarang.Ketika menemukan sebuah toko yang bagian depannya terdapat buku-buku, Tika melangkahkan kaki ke sana, diiringi Safira.Ketika masuk ke dalam mereka disuguhkan dengan pemandangan lemari kaca yang tersusun berbagai macam buku di dalamnya. Safira mengedar pandangan di ruangan itu. Di sana ternyata tak hanya menjual buku, tapi juga ada majalah-majalah
Safira duduk di kursi belajarnya. Kedua sikunya bertumpu ke meja, dengan kedua tangannya memegangi kepalanya. Seandainya kepalanya bisa dibelah, mungkin di dalamnya ada api yang terlihat membakar isi kepalanya hingga kepalanya terasa panas dan ingin pecah.Safira benar-benar tak mengerti dengan sikap Gilang. Dia benar-benar tak tahu harus percaya atau tidak. Sikap lelaki itu sulit untuk diterka. Kadang begini, kadang begitu. Tadinya Safira ingin mengusir lelaki itu dan tidak akan percaya dengan apa pun yang dikatakan olehnya. Namun, pandangan lelaki itu membuat keputusan Safira berubah. Saat melihat tatapan itu, hati kecilnya mengatakan kalau Gilang sedang jujur. Ingin rasanya dia percaya, tapi tak dapat dimungkiri perasaannya juga takut.Maka dari itu, ketika Gilang bertekuk lutut, dia berusaha melepaskan diri dari lelaki itu. Dengan melawankan perasaannya dia mengusir lelaki itu. Awalnya, Gilang enggan pergi sebelum Safira memaafkannya, tapi akhirnya Gilang mengalah dan sebelum dia
Pagi itu Gilang menemui Viona di rumah. Rencananya dia akan mengajak gadis itu jalan. Meskipun sebenarnya jauh di lubuk hatinya, lelaki itu tidak sepenuh hati melakukan semua ini. Karena pikirannya pun terganggu dengan kejadian semalam. Sejak tadi fokusnya terpecah. Dia ingin menyelesaikan masalahnya dengan Safira tapi dia harus menemui Viona terlebih dulu. Gilang menyeringai lebar di depan pintu, saat dilihatnya pintu rumah itu di buka dari dalam dan Viona muncul. "Udah siap?" Gilang memperhatikan penampilan Viona pagi itu yang terlihat masih mengenakan pakaian tidur. Gadis itu bahkan menatapnya datar."Kita nggak jadi jalan hari ini, Kak," "Kenapa?" Viona menatap jalanan komplek yang sepi. Sebelum akhirnya angkat bicara. "Gue tau kak sebenarnya kak Gilang itu sayangnya sama kak Safira, kan?" katanya to the point. "Jawabannya pasti iya. Karena sejak awal kak Gilang emang nggak pernah suka sama aku. Akunya yang maksain. Selama ini aku terobsesi sama kak Gilang sampai aku ngelakuin
Safira terus melangkah menyelusuri koridor sekolah itu seiring dengan perasaannya yang bergejolak. Dia telah menelusuri semua tempat di sekolah itu tapi tak tampak tanda-tanda ada orang. Apa lagi Viona dan Gilang. Safira sempat berpikir kalau Viona membohonginya. Atau mereka belum sampai?Tanpa sadar, langkahnya membawanya ke depan pintu toilet, dia berhenti. Safira menghela napas. "Bener nggak sih?" Safira bergumam sendiri sambil matanya mengedar ke penjuru koridor seberang yang agak gelap. Benar-benar tidak ada siapa-siapa.Sejurus kemudian, dia tertegun. "Jangan-jangan gue dibohongin sama tuh bocah. Ya ampun, kenapa gue percaya, sih? Di jam segini mana ada orang."Safira lantas meringis. Dia tiba-tiba ingin buang air kecil. Ketika dia menoleh ke samping kiri, dia tersadar ada toilet.Safira memutuskan buang air kecil dulu sebelum pulang.Pelan, kakinya melangkah, memasuki toilet wanita tersebut. Dan terkejutlah dia dengan apa yang dilihatnya di
Beberapa hari setelah kejadian itu, Gilang kembali dekat dengan Safira. Gilang sering menemuinya untuk menghibur gadis itu.Safira masih tak menyangka, sahabatnya yang selama ini dia percaya, sahabatnya yang selama ini begitu baik padanya mampu mengecewakan.Dia benar-benar tak percaya Evan tega menjebaknya. Dan yang membuatnya tak habis pikir Riri ikut bersekongkol menjerumuskannya.Sahabat macam apa mereka?"Gue nggak nyangka aja Gilang, mereka sahabat gue yang selama ini gue anggap udah kayak saudara sendiri." Safira menatap Gilang dengan sorot menyiratkan kesedihan.Gilang mengusap bahu gadis itu. "Berarti mereka bukan sahabat. Nggak ada sahabat kayak gitu. Kamu udah salah nganggap mereka sahabat.""Temen aku selama ini cuman mereka Gilang. Kalau nggak ada mereka, aku nggak punya siapa-siapa. Aku sendirian.""Mending sendiri daripada punya sahabat kayak mereka. Sekarang kamu tau, kan, mereka sebenarnya kayak gimana?"
"Fajar, apa yang udah lo lakuin ke temen gue?!"Evan menarik kerah baju Fajar, tatapan nyalangnya menghunus tepat ke mata Fajar. Evan mencari Fajar di gedung sekolah itu sampai akhirnya dia menemukan Fajar sedang berjalan gontai di lorong sekolah itu. Langsung saja dia menginterogasi temannya itu.Bukannya terkejut, Fajar malah terlihat santai. "Apa, sih, maksud lo?""Nggak usah berlagak bego! Gue tau lo niat buruk ke Safira dan karena itu gue liat Safira lari-lari ke depan. Apa yang udah lo lakuin, hah!"Fajar menatap Evan tak percaya. Baru kali ini Evan bersikap sekasar itu padanya dan itu semua karena Safira."Iya, gue emang bawa Safira ke sini. Tapi gue nggak niat macam-macam. Lo udah salah paham pasti, nih, lagian lo tau dari mana tentang niat gue? Lo negatif thingking sama gue.""Dari awal gue merhatiin kedekatan lo sama Safira. Gue sama Riri curiga sama lo. Diam-diam gue masang penyadap di handphone Safira buat mastiin kalau Safira ba
"Gilang?" Safira melihat Gilang yang duduk di atas motornya dalam keadaan mesin motor masih menyala dengan tatapan tak percaya. "Kamu kenapa lari-lari di jalan, kenceng banget lagi," ucap Gilang. "Kok kamu bisa di sini?" Safira tak kuasa menahan rasa penasarannya. Sontak Safira berjalan mendekat ke Gilang. "Kamu kenapa, Fir?" Gilang heran melihat gelagat Safira seperti orang ketakutan. Safira menggenggam lengan Gilang yang memegang setang motor. "Aku takut banget. Tolong bawa aku dari sini, nanti aku ceritain, cepetan!" Gilang mengangguk cepat. "Iya, iya. Ayo naik."Safira pun naik ke boncengan Gilang sebelum akhirnya motor itu melaju kencang. Riri melihat itu semua dengan keheranan. Kehadiran Gilang yang tiba-tiba dan Safira yang pergi bersama Gilang entah ke mana. "Kurang ajar si Gilang," umpat Riri geram. *** Di sepanjang perjalanan Safira hanya diam sembari tangannya tak lepas dari m