Jam istirahat, Safira, Evan, dan Riri menghabiskan waktu di kantin, menikmati bakso ibu kantin sambil berbincang banyak hal. Mulai dari materi pelajaran, cerita sinetron, masalah keluarga hingga merambat perihal orang tua.
"Ya, gitu antara nyokap sama bokap gue, yang lebih keras ke gue itu nyokap. Dia sering maksain kehendaknya. Belum lagi suka banding-bandingin gue sama adik laki-laki gue. Beda banget sama bokap gue yang lebih bisa ngertiin gue." Riri yang bercerita tentang hubungannya dengan orang tuanya lebih dulu.
Safira jadi teringat dengan orang tuanya di kampung halaman. Ayah Safira telah meninggal sebelum dia lahir. Dia hanya punya ibu dan dua kakak. Jadi Safira tak tahu bagaimana sosok seorang ayah. Bagaimana rasanya disayang oleh seorang ayah. Beruntung dia masih punya ibu yang selalu mendukung penuh apa pun keinginannya.
"Kalau lo, Van, hubungan lo sama keluarga lo gimana? Mama papa lo gimana?" Safira bertanya pada Evan. Ya, meski pun telah mengena
Terima kasih buat yang udah baca. Ikuti terus kelanjutannya, ya? Ikuti terus kisah Gilang dan Safira.
Waktu menunjukkan pukul sebelas malam. Dan masih ada manusia beraktivitas di gedung club malam di Jakarta yang semakin malam, semakin ramai. Andra duduk sendiri di sofa panjang, di bawah suasana remang-remang sembari mengisap rokok, menunggu kedatangan seseorang. Matanya sejak tadi mengamati pintu masuk dengan bosan. Andra menjatuhkan abu rokoknya ke asbak ketika dia melihat seseorang yang dia tunggu-tunggu akhirnya muncul. Dia adalah Tristan. Dan dia tidak sendiri. Ada Risty di sebelahnya. "Hei, Bro," sapa Tristan pada Andra."Udah lama lo nunggu?" "Banget," jawab Andra dengan malas. Raut wajah Risty berubah tatkala melihat kehadiran Andra di sini, tapi dia tak membantah atau bertanya ke Tristan. Dia merasa tidak nyaman dengan lelaki itu, apalagi mengingat tragedi malam itu. Berbeda dengan Andra yang terlihat biasa saja. Lalu, Tristan mengajak Risty untuk duduk di sofa depan Andra. Diam-diam Andra memperhatikan Risty. Gad
Sekolah masih sepi sekali ketika Safira dan Riri tiba. Mereka datang lebih awal dari biasanya. Setelah video call-an dengan ibunya sampai subuh dia tidak tidur lagi, begitu pun Riri. Mereka menghabiskan waktu dengan berbincang banyak hal, sampai menjelang azan subuh mereka salat berjamaah. Maka dari itu, mereka bisa datang sepagi ini. Sekolah memang masih sepi. Dan seharusnya pintu setiap kelas tetap terbuka, tapi Safira melihat pintu kelasnya dari kejauhan tampak tertutup. Aneh, tidak seperti biasanya. Apakah penjaga sekolah yang biasa bertugas membuka pintu kelas belum datang? Pikirnya. Tapi mengapa pintu kelas lain terbuka? Hanya pintu kelasnya saja yang tertutup. Safira mempercepat langkahnya. Diiringi Riri. Derap sepatunya menggema di koridor yang sepiTiba di depan pintu, Safira mencoba mendorong pintu itu pelan. Ternyata memang tidak dikunci. Pintu terbuka dan ... "Happy birthday to you... Happy birthday to you... Happy birthda
Safira terkesiap melihat baju putihnya berwarna kecoklatan. "Eh, sori, sori, nggak sengaja," ucap seseorang yang menabraknya itu yang ternyata adalah laki-laki. Safira mengangkat kepalanya. Wajah anak baru itu tersuguhkan di hadapannya. Gilang Angkasa telah menabrak dan mengotori bajunya. Gadis itu hanya bisa diam meski pun dia ingin marah. "Sori banget, ya. Serius gue nggak sengaja." Gilang terlihat merasa bersalah. "Iya nggak pa-pa," jawab Safira sambil tertunduk dan melanjutkan langkahnya melewati Gilang, tapi tanpa di duga, Gilang menahan pergelangan tangannya. Gilang tahu meski pun gadis yang di tabraknya itu mengatakan tidak apa-apa tapi raut wajahnya menunjukkan kalau dia tidak baik-baik saja. "Apa lagi?" Safira menatap Gilang. "Baju lo kotor gitu, gue bener-bener nggak enak," ucap Gilang sambil memperhatikan baju putih Safira beserta roknya basah dan berwarna kecoklatan juga Safira yang menggendong tas ransel, gadis itu pasti m
Menjelang istirahat, Safira ke luar kelas, hendak menuju kantin. Namun, seorang siswi memanggilnya. "Safira," Safira menoleh. Safira tak kenal siswi itu tapi dia sempat melihat nametag gadis itu bertuliskan Risa Indira. Safira tak sengaja terpandang ke tangan Risa yang memegang sebuah kotak kecil. "Safira, kan?" "Iya, ada apa?" "Ini dari Gilang buat lo." Risa menyodorkan kotak kecil di tangannya ke Safira. Safira melirik kotak itu, kotak kecil bersampul kertas kado berwarna merah muda motif kotak-kotak. "Terima aja. Dia nitip ini ke gue buat lo, katanya sebagai hadiah," jelas Risa saat melihat Safira seperti enggan menerimanya. Safira menerima kotak itu. "Makasih." Risa tersenyum, "sama-sama. Gue duluan, ya." Risa berlalu mendahului Safira, entah hendak ke mana. Safira menilik kotak itu dengan heran. "Apa, sih, nih?" Dia berjalan menuju bangku panjang depan koridor membuka kotak itu di sana. Ternyata isi
Safira duduk di meja belajarnya. Memperhatikan gelang bermata berry merah itu dengan saksama. Dia masih tak habis pikir, Gilang memberinya gelang. Jauh dalam lubuk hatinya, dia yakin, cowok itu punya maksud tertentu. Apa tujuan cowok itu mendekatinya? Jawaban dari pertanyaan itu yang sedang dia pikirkan. Apa pun itu Safira yakin bukan seperti yang Riri katakan kalau Gilang menyukainya. Itu sama sekali tidak masuk akal menurut Safira. Tidak mungkin lelaki seperti Gilang menyukai perempuan seperti dirinya. Ponsel Safira di atas meja bergetar. Ada notifikasi masuk. Lamunan Safira seketika buyar dan perhatiannya teralihkan ke ponsel di dekatnya. Safira segera meletakkan gelang yang di pegangnya ke atas meja, meraih dan mengecek ponselnya. Ada pesan di sosial medianya. Safira mengklik pesan itu. Gilang Angkasa: Gimana gelangnya? Suka? Safira membelalak. Lelaki itu bahkan sudah tahu sosial medianya dan bah
Hari-hari terus berlalu. Entah bagaimana, hubungan Safira dan Gilang semakin akrab. Mereka sering chatingan. Gilang selalu menghubungi Safira lebih dulu dan Safira tak pernah ada alasan untuk tidak membalas pesan lelaki itu meski pun dia sibuk. Jujur, jauh dari orang tua membuat Safira kekurangan perhatian, meski pun ibunya sesekali menelepon dan menanyakan keadaannya tiap kali. Tetap berbeda dengan jika dia serumah dengan orang tuanya. Dan perhatian-perhatian kecil yang Gilang berikan padanya membuatnya lebih nyaman. Dan yang paling membuatnya nyaman adalah cara Gilang menyikapinya. Lelaki itu memperlakukannya dengan sangat baik. Berbeda dengan lelaki-lelaki yang Safira kenal sebelumnya. Semakin ke sini Safira semakin menyadari kalau Gilang tak seburuk yang dia pikir.Entah kenapa Safira sering merasa senang setiap kali mendapat pesan dari lelaki itu. Meski pun awalnya dia risi dengan pesan-pesan Gilang. Mereka saling curhat, bertukar cerita satu
Viona berjalan tergesa hingga tangannya menyenggol gelas teh es entah milik siapa yang ada di tepi meja, menyebabkan isi gelas tersebut tumpah membasahi baju dan celana Gilang yang tengah sibuk makan. Tentu, tak ada yang tahu kalau Viona melakukan itu dengan sengaja. Beberapa siswi di kantin itu menoleh ke arahnya. Gilang yang tengah makan terkejut bukan main tatkala dia merasa tubuhnya dingin karena ketumpahan air dari gelas yang ada di dekatnya.Dua teman Gilang, Gio dan Farhan hanya menggeleng-geleng. "Eh, Kak, maaf, Kak. Gue nggak sengaja. Aduh maaf banget," Dan Gilang lebih terkejut lagi melihat perempuan yang tak dia kenali tiba-tiba muncul di hadapannya dan meminta maaf. Ternyata perempuan itu yang menyebabkan bajunya basah.Belum sempat Gilang menyahut, Viona dengan sigap mengusap-usap baju Gilang dengan jemarinya. "Oh, nggak papa. Serius, nggak papa," elak Gilang ketika tangan Viona terarah ke celananya lagi. Lelaki itu menj
Bel tanda pulang baru saja berbunyi beberapa menit lalu. Koridor menuju pintu ke luar tampak penuh oleh siswa yang hendak pulang. Terdengar suara bercakap-cakap, sesekali tertawa. "Ciee ...." Riri tak henti-hentinya menggoda Safira yang hanya bisa tersenyum simpul. Riri sempat melihat kedekatan Safira dan Gilang di koridor depan toilet tadi. Hal itulah yang membuatnya terus menggoda sahabatnya yang selama ini di kenal tak pernah dekat dengan cowok karena pemalu. Tapi tadi Riri bisa melihat bagaimana raut wajah Safira saat berinteraksi dengan Gilang. Dia jadi semakin yakin kalau sahabatnya itu telah jatuh cinta. "Apaan, sih, biasa, aja, deh," sahut Safira, tapi dia sendiri masih tak bisa menyembunyikan wajahnya yang malu dan tak dapat dimungkiri bahwa perasaannya memang senang setiap kali mengingat moment-moment-nya bersama Gilang. Setelah memakai sapu tangannya, Gilang tak langsung mengembalikannya. Katanya, dia ingin mencucinya sendiri sebagai be
Satu bulan kemudian. Gadis yang duduk di atas kursi roda itu termenung menatap ke luar kaca jendela. Masih di kamarnya yang berada di lantai dua gedung kosan ini.Gadis itu mengingat kejadian demi kejadian yang di alaminya satu bulan belakangan. Dia yang tertabrak truck sampai kakinya terlindas dan masuk rumah sakit. Dia bahkan sempat koma selama dua minggu. Dia juga melewati acara perpisahan yang di laksanakan tepat saat dirinya dirawat di rumah sakit. Dia dinyatakan lumpuh. Kaki bagian tempurungnya pecah dan busuk, karenanya kakinya harus dipotong. Tiga hari yang lalu Gilang sempat datang menemuinya. "Aku nggak bisa Gilang. Dengan keadaan aku yang sekarang aku nggak pantas buat kamu," ucapnya ketika cowok itu melihat bagaimana keadaannya yang sekarang, cowok itu masih bersedia mengajaknya balikan. "Kamu nggak boleh ngomong gitu, Fir. Aku nggak peduli kondisi kamu sekarang. Karena cuman kamu perempuan baik yang bisa mengubah aku menjadi lelaki yang baik juga. Apa pun keadaannya
"Makasih, ya, udah nemenin.""Sama-sama." Safira tersenyum, sebelum akhirnya masuk ke kamar dan menutup pintu. Safira menghela napas lelah seiring dengan bokongnya mendarat di tempat tidur. Dan melepaskan tasnya di tempat tider. Perjalanan hari ini harusnya cukup menenangkan pikirannya, tapi membaca berita di koran itu membuat dia tidak bisa berpikir dengan tenang.Belum sembuh kesedihannya atas kepergian Viona secara mendadak yang dia dengar dari pihak sekolah tempo hari. Dan sempat menggegerkan warga SMA Tunas Bangsa. Dia bahkan masih ingat jelas bagaimana histerisnya orang tua Viona di depan jenazah sang anak, di hari pertama dia ikut melayat. Biar bagaimana pun Viona adik kelasnya. Dia ikut merasa sedih dan kehilangan.Hari ini dia kembali diingatkan dengan kabar duka itu ketika membaca isi koran tadi.Dan ini semua gara-gara Gilang. Kebencian Safira terhadap lelaki itu rasanya semakin dalam. Safira merogoh kembali tasnya. Mengeluarkan koran tersebut. Membaca ulang berita itu.Dr
Beberapa minggu kemudian...Siang itu keadaan pasar cukup ramai. Pedagang buah berjejer di tepi jalan, menyapa pejalan kaki yang lewat, berlomba-lomba menawarkan dagangannya, berdampingan dengan kios penjual kaset yang memutar lagu dangdut cukup keras. Membuat hiruk-pikuk suasana pasar semakin terasa.Safira akhirnya memutuskan ikut Tika ke pasar, ketika gadis itu mengajaknya untuk menemaninya ke toko buku. Hitung-hitung refreshing, berharap bisa melupakan masalah-masalahnya sejenak. Mereka berjalan kaki menyusuri tepian pasar mencari toko buku yang ada di antara kios kaset itu. Motornya mereka parkir cukup jauh dari tempat mereka sekarang.Ketika menemukan sebuah toko yang bagian depannya terdapat buku-buku, Tika melangkahkan kaki ke sana, diiringi Safira.Ketika masuk ke dalam mereka disuguhkan dengan pemandangan lemari kaca yang tersusun berbagai macam buku di dalamnya. Safira mengedar pandangan di ruangan itu. Di sana ternyata tak hanya menjual buku, tapi juga ada majalah-majalah
Safira duduk di kursi belajarnya. Kedua sikunya bertumpu ke meja, dengan kedua tangannya memegangi kepalanya. Seandainya kepalanya bisa dibelah, mungkin di dalamnya ada api yang terlihat membakar isi kepalanya hingga kepalanya terasa panas dan ingin pecah.Safira benar-benar tak mengerti dengan sikap Gilang. Dia benar-benar tak tahu harus percaya atau tidak. Sikap lelaki itu sulit untuk diterka. Kadang begini, kadang begitu. Tadinya Safira ingin mengusir lelaki itu dan tidak akan percaya dengan apa pun yang dikatakan olehnya. Namun, pandangan lelaki itu membuat keputusan Safira berubah. Saat melihat tatapan itu, hati kecilnya mengatakan kalau Gilang sedang jujur. Ingin rasanya dia percaya, tapi tak dapat dimungkiri perasaannya juga takut.Maka dari itu, ketika Gilang bertekuk lutut, dia berusaha melepaskan diri dari lelaki itu. Dengan melawankan perasaannya dia mengusir lelaki itu. Awalnya, Gilang enggan pergi sebelum Safira memaafkannya, tapi akhirnya Gilang mengalah dan sebelum dia
Pagi itu Gilang menemui Viona di rumah. Rencananya dia akan mengajak gadis itu jalan. Meskipun sebenarnya jauh di lubuk hatinya, lelaki itu tidak sepenuh hati melakukan semua ini. Karena pikirannya pun terganggu dengan kejadian semalam. Sejak tadi fokusnya terpecah. Dia ingin menyelesaikan masalahnya dengan Safira tapi dia harus menemui Viona terlebih dulu. Gilang menyeringai lebar di depan pintu, saat dilihatnya pintu rumah itu di buka dari dalam dan Viona muncul. "Udah siap?" Gilang memperhatikan penampilan Viona pagi itu yang terlihat masih mengenakan pakaian tidur. Gadis itu bahkan menatapnya datar."Kita nggak jadi jalan hari ini, Kak," "Kenapa?" Viona menatap jalanan komplek yang sepi. Sebelum akhirnya angkat bicara. "Gue tau kak sebenarnya kak Gilang itu sayangnya sama kak Safira, kan?" katanya to the point. "Jawabannya pasti iya. Karena sejak awal kak Gilang emang nggak pernah suka sama aku. Akunya yang maksain. Selama ini aku terobsesi sama kak Gilang sampai aku ngelakuin
Safira terus melangkah menyelusuri koridor sekolah itu seiring dengan perasaannya yang bergejolak. Dia telah menelusuri semua tempat di sekolah itu tapi tak tampak tanda-tanda ada orang. Apa lagi Viona dan Gilang. Safira sempat berpikir kalau Viona membohonginya. Atau mereka belum sampai?Tanpa sadar, langkahnya membawanya ke depan pintu toilet, dia berhenti. Safira menghela napas. "Bener nggak sih?" Safira bergumam sendiri sambil matanya mengedar ke penjuru koridor seberang yang agak gelap. Benar-benar tidak ada siapa-siapa.Sejurus kemudian, dia tertegun. "Jangan-jangan gue dibohongin sama tuh bocah. Ya ampun, kenapa gue percaya, sih? Di jam segini mana ada orang."Safira lantas meringis. Dia tiba-tiba ingin buang air kecil. Ketika dia menoleh ke samping kiri, dia tersadar ada toilet.Safira memutuskan buang air kecil dulu sebelum pulang.Pelan, kakinya melangkah, memasuki toilet wanita tersebut. Dan terkejutlah dia dengan apa yang dilihatnya di
Beberapa hari setelah kejadian itu, Gilang kembali dekat dengan Safira. Gilang sering menemuinya untuk menghibur gadis itu.Safira masih tak menyangka, sahabatnya yang selama ini dia percaya, sahabatnya yang selama ini begitu baik padanya mampu mengecewakan.Dia benar-benar tak percaya Evan tega menjebaknya. Dan yang membuatnya tak habis pikir Riri ikut bersekongkol menjerumuskannya.Sahabat macam apa mereka?"Gue nggak nyangka aja Gilang, mereka sahabat gue yang selama ini gue anggap udah kayak saudara sendiri." Safira menatap Gilang dengan sorot menyiratkan kesedihan.Gilang mengusap bahu gadis itu. "Berarti mereka bukan sahabat. Nggak ada sahabat kayak gitu. Kamu udah salah nganggap mereka sahabat.""Temen aku selama ini cuman mereka Gilang. Kalau nggak ada mereka, aku nggak punya siapa-siapa. Aku sendirian.""Mending sendiri daripada punya sahabat kayak mereka. Sekarang kamu tau, kan, mereka sebenarnya kayak gimana?"
"Fajar, apa yang udah lo lakuin ke temen gue?!"Evan menarik kerah baju Fajar, tatapan nyalangnya menghunus tepat ke mata Fajar. Evan mencari Fajar di gedung sekolah itu sampai akhirnya dia menemukan Fajar sedang berjalan gontai di lorong sekolah itu. Langsung saja dia menginterogasi temannya itu.Bukannya terkejut, Fajar malah terlihat santai. "Apa, sih, maksud lo?""Nggak usah berlagak bego! Gue tau lo niat buruk ke Safira dan karena itu gue liat Safira lari-lari ke depan. Apa yang udah lo lakuin, hah!"Fajar menatap Evan tak percaya. Baru kali ini Evan bersikap sekasar itu padanya dan itu semua karena Safira."Iya, gue emang bawa Safira ke sini. Tapi gue nggak niat macam-macam. Lo udah salah paham pasti, nih, lagian lo tau dari mana tentang niat gue? Lo negatif thingking sama gue.""Dari awal gue merhatiin kedekatan lo sama Safira. Gue sama Riri curiga sama lo. Diam-diam gue masang penyadap di handphone Safira buat mastiin kalau Safira ba
"Gilang?" Safira melihat Gilang yang duduk di atas motornya dalam keadaan mesin motor masih menyala dengan tatapan tak percaya. "Kamu kenapa lari-lari di jalan, kenceng banget lagi," ucap Gilang. "Kok kamu bisa di sini?" Safira tak kuasa menahan rasa penasarannya. Sontak Safira berjalan mendekat ke Gilang. "Kamu kenapa, Fir?" Gilang heran melihat gelagat Safira seperti orang ketakutan. Safira menggenggam lengan Gilang yang memegang setang motor. "Aku takut banget. Tolong bawa aku dari sini, nanti aku ceritain, cepetan!" Gilang mengangguk cepat. "Iya, iya. Ayo naik."Safira pun naik ke boncengan Gilang sebelum akhirnya motor itu melaju kencang. Riri melihat itu semua dengan keheranan. Kehadiran Gilang yang tiba-tiba dan Safira yang pergi bersama Gilang entah ke mana. "Kurang ajar si Gilang," umpat Riri geram. *** Di sepanjang perjalanan Safira hanya diam sembari tangannya tak lepas dari m