Viona berjalan tergesa hingga tangannya menyenggol gelas teh es entah milik siapa yang ada di tepi meja, menyebabkan isi gelas tersebut tumpah membasahi baju dan celana Gilang yang tengah sibuk makan. Tentu, tak ada yang tahu kalau Viona melakukan itu dengan sengaja. Beberapa siswi di kantin itu menoleh ke arahnya.
Gilang yang tengah makan terkejut bukan main tatkala dia merasa tubuhnya dingin karena ketumpahan air dari gelas yang ada di dekatnya.
Dua teman Gilang, Gio dan Farhan hanya menggeleng-geleng."Eh, Kak, maaf, Kak. Gue nggak sengaja. Aduh maaf banget,"
Dan Gilang lebih terkejut lagi melihat perempuan yang tak dia kenali tiba-tiba muncul di hadapannya dan meminta maaf. Ternyata perempuan itu yang menyebabkan bajunya basah.
Belum sempat Gilang menyahut, Viona dengan sigap mengusap-usap baju Gilang dengan jemarinya."Oh, nggak papa. Serius, nggak papa," elak Gilang ketika tangan Viona terarah ke celananya lagi. Lelaki itu menj
Hmmm kira2 apa ya yang dilihat Safira? Apa ada kiriman dari Gilang untuknya? Penasaran? Baca terus bab selanjutnya, ya. Terima Kasih....
Bel tanda pulang baru saja berbunyi beberapa menit lalu. Koridor menuju pintu ke luar tampak penuh oleh siswa yang hendak pulang. Terdengar suara bercakap-cakap, sesekali tertawa. "Ciee ...." Riri tak henti-hentinya menggoda Safira yang hanya bisa tersenyum simpul. Riri sempat melihat kedekatan Safira dan Gilang di koridor depan toilet tadi. Hal itulah yang membuatnya terus menggoda sahabatnya yang selama ini di kenal tak pernah dekat dengan cowok karena pemalu. Tapi tadi Riri bisa melihat bagaimana raut wajah Safira saat berinteraksi dengan Gilang. Dia jadi semakin yakin kalau sahabatnya itu telah jatuh cinta. "Apaan, sih, biasa, aja, deh," sahut Safira, tapi dia sendiri masih tak bisa menyembunyikan wajahnya yang malu dan tak dapat dimungkiri bahwa perasaannya memang senang setiap kali mengingat moment-moment-nya bersama Gilang. Setelah memakai sapu tangannya, Gilang tak langsung mengembalikannya. Katanya, dia ingin mencucinya sendiri sebagai be
Safira menemukan bungkusan hitam menggantung di pagar kosannya. Isinya terdapat bungkusan dan teh gelas--bungkusan itu sepertinya bungkusan nasi. Gilang membelikan semua untuknya. Safira mengamati sekitarnya. Mencari keberadaan Gilang, tapi sepertinya lelaki itu memang sudah tak ada. Cewek itu pun masuk ke dalam dengan membawa bungkusan itu. Di dalam kamar, Safira mengirimi Gilang pesan. Safira: Makasih nasi gorengnya. Tau aja gue laper. Gilang: Tau dong ... Aku kan malaikat penolongmu ...Safira terpaku membaca kalimat di pesan itu.Gilang menggunakan kata 'aku kamu'. Untuk sesaat, jantungnya berdegup kencang. Tapi dia berusaha menetralkan perasaannya dan membalas pesan itu dengan tenang. Safira: Tapi sebenarnya lo nggak perlu repot-repot ngasi makanan segala. Gue jadi nggak enak. Gilang: Nggak pa-pa. Itu sebagai ucapan terima kasih gue ke lo. Gilang kembali menggunakan 'lo gue'. Safira: Terima kasih buat a
Viona menatap kerumunan para senior yang tengah asyik bercanda ria di kantin. Di sana juga ada Gilang. Lelaki itulah yang menjadi sasarannya. Viona menarik napas lalu mengembuskannya perlahan. Kali ini dia sendiri, tidak ada Shasa yang biasa setia menemani. "Gue harus berani. Ya, kali ini harus berhasil," ucapnya meyakinkan dirinya. Dengan segenap keberanian, perempuan itu pun berjalan mendekati kerumunan itu--seiring dengan jantungnya yang bertalu-talu--lebih tepatnya mendekat ke posisi di mana Gilang berada.Bau asap rokok yang menyatu dengan aroma makanan menguar tatkala Viona tiba di depan pintu kantin. "Kak Gilang!!" Teriakan itu menarik perhatian semua yang ada di kantin. Gilang yang tengah bersantai sambil nge-teh bersama Gio dan Farhan, seketika menatap gadis yang memanggil namanya itu. Dia lagi, dia lagi. Gilang berdiri dan mendatangi gadis itu. Keningnya berkernyit. "Lo ini kenapa, sih? Ada perlu apa la
"Gimana? Deal?" Gilang menatap Viona intens. Sementara Viona menatap lelaki itu takut-takut. Gilang menaikkan alisnya ketika melihat tak ada tanda-tanda Viona akan menjawab. "A-apa nggak ada cara lain, Kak?" tanya Viona akhirnya. Dia tampak keberatan dengan syarat yang Gilang ajukan. "Nggak ada." Gilang menjawab tegas. "Kalau lo mau jadi pacar kakak syarat yang harus lo penuhi, ya, itu. Kalau nggak mau, ya, terserah. Nggak ada yang maksa. Tapi lo juga nggak bisa maksa kakak buat jadi pacar lo, kan?" Viona terdiam menatap ke lain arah. Menimbang-nimbang syarat yang Gilang ajukan. Melihat Viona yang hanya terdiam, Gilang memutuskan untuk pergi dari tempat itu. "Kak ...." Namun panggilan dan pegangan tangan Viona pada pergelangan tangannya menghentikan langkahnya. Gilang menoleh, "gimana?" "Iya, Kak, gue mau." "Mau apa? Yang jelas, dong." "Gue mau lakuin apa yang kakak minta." Gilang mengernyit, t
"Habis ini nggak kemana-mana lagi, kan?" tanya Gilang menoleh ke Viona yang duduk di atas motornya. Gilang bisa melihat Viona yang menggeleng. Mereka sedang dalam perjalanan pulang dari rumah Tiwi, teman Viona. Ketika mendekati kawasan SMA Tunas Bangsa, Gilang melambatkan laju motornya. "Mampir ke sekolah dulu, yuk," ajaknya. "Ngapain?" heran Viona. Gilang hanya tersenyum miring menatap jalanan di depannya. Tiba di depan sekolah, dia langsung membelokan motornya ke gerbang sekolah, melajukannya hingga ke parkiran. Di malam hari, gedung sekolah itu tampak benderang di sebagian koridor. Sedangkan koridor lain terlihat gelap. Tidak semua lampu dihidupkan oleh penjaga sekolah. Hanya koridor tertentu yang terdapat ruang-ruang penting yang tampak terang. Viona menatap gedung itu dalam kebingungan dan tanda tanya. Setelah turun dari motornya, Gilang langsung menarik lengannya untuk masuk ke sekolah yang gelap itu. Viona yang tak kuasa bertanya
Baru saja Safira ingin bilang ke Gilang kalau dia mau menerima ajakannya untuk jalan. Namun urung. Safira rasa waktunya tidak pas. Safira juga merasa sikap Gilang agak berbeda belakangan ini, entah karena apa? Atau mungkin hanya perasaannya saja? Safira lalu melemparkan pandangan ke luar kelas, para siswa nampak berlalu-lalang bersamaan dengan Evan yang masuk ke kelas. "Lo tadi ngapain, sih? Lama banget lagi. Muka lo kenapa kusut gitu?" Safira langsung melemparkan pertanyaan beruntun tatkala lelaki itu meletakkan tas di bangkunya. Wajah Evan memang tampak kusut seperti sedang memikirkan masalah. "Lo ada masalah?" tanya Safira lagi. Tubuhnya berbalik menghadap Evan yang duduk di belakangnya. "Iya. Gue emang lagi ada masalah," sahut Evan. "Cerita aja ke gue." Safira tersenyum menatap Evan yang justru terdiam. Evan memang ada masalah dengan Fajar dan Tino, tapi dia tidak mau menceritakannya pada Safira. Safira tak boleh tahu masalahnya yang menyang
Safira termenung menatap tembok kamarnya. Pikirannya dipenuhi berbagai praduga tentang apa yang dia lihat di parkiran tadi siang. Masih terekam jelas di ingatannya, Gilang memboncengi seorang cewek menuju ke luar gerbang sekolah. Dan cewek itu sama dengan yang memanggilnya tadi pagi. Dugaan Safira bahwa cewek itu ada hubungannya dengan perubahan sikap Gilang jadi semakin kuat. Benak Safira bertanya-tanya. Siapa cewek itu? Apakah cewek itu pacarnya? Perasaan Safira seketika mencelos membayangi pertanyaan terakhir itu. Tapi, kalau dipikir-pikir rasanya tak mungkin Gilang mempunyai pacar secepat itu. Selama ini dia juga tak pernah melihat Gilang dekat dengan perempuan mana pun. Lantas siapa cewek yang diboncenginya itu? Apakah keluarganya? Atau teman biasa? Sungguh praduga-praduga tentang Gilang memenuhi otaknya sejak dia pulang sekolah tadi. Safira tak bisa berhenti memikirkan lelaki itu. "Apa aku tanya Gilang aja kali, ya? Dari pada pen
"Jadi bener cewek itu bukan pacar lo?" Safira bertanya memastikan pengakuan Gilang di chat tempo hari. Gadis itu menatap Gilang yang berdiri di sampingnya penuh selidik. Gilang mengangguk tanpa ragu. "Masak gue bohong." Safira lalu tertunduk, "hmm baguslah," gumamnya pelan sembari tersenyum. Namun, masih terdengar oleh Gilang. Gilang mengernyit, "bilang apa barusan?" "Ha?" Safira mengangkat kepalanya, menatap Gilang. "Bilang apa?" "Barusan lo bilang bagus. Bagus apanya?" Safira tertegun. "Oh... Ya bagus. M-maksud gue..." Safira tiba-tiba menggaruk kepalanya yang tak gatal. "Maksud gue bagus kalau lo nggak punya pacar karena kan biar fokus sama sekolah aja dulu gitu. Nggak boleh pacaran." Gadis itu lalu menyeringai menampakan barisan giginya yang rapi. Dia berjalan di sisi lelaki itu yang terus melangkah, mereka berjalan berdampingan di koridor yang ramai. Gilang hanya tersenyum dalam hati sesekali melirik Safira yang ju
Satu bulan kemudian. Gadis yang duduk di atas kursi roda itu termenung menatap ke luar kaca jendela. Masih di kamarnya yang berada di lantai dua gedung kosan ini.Gadis itu mengingat kejadian demi kejadian yang di alaminya satu bulan belakangan. Dia yang tertabrak truck sampai kakinya terlindas dan masuk rumah sakit. Dia bahkan sempat koma selama dua minggu. Dia juga melewati acara perpisahan yang di laksanakan tepat saat dirinya dirawat di rumah sakit. Dia dinyatakan lumpuh. Kaki bagian tempurungnya pecah dan busuk, karenanya kakinya harus dipotong. Tiga hari yang lalu Gilang sempat datang menemuinya. "Aku nggak bisa Gilang. Dengan keadaan aku yang sekarang aku nggak pantas buat kamu," ucapnya ketika cowok itu melihat bagaimana keadaannya yang sekarang, cowok itu masih bersedia mengajaknya balikan. "Kamu nggak boleh ngomong gitu, Fir. Aku nggak peduli kondisi kamu sekarang. Karena cuman kamu perempuan baik yang bisa mengubah aku menjadi lelaki yang baik juga. Apa pun keadaannya
"Makasih, ya, udah nemenin.""Sama-sama." Safira tersenyum, sebelum akhirnya masuk ke kamar dan menutup pintu. Safira menghela napas lelah seiring dengan bokongnya mendarat di tempat tidur. Dan melepaskan tasnya di tempat tider. Perjalanan hari ini harusnya cukup menenangkan pikirannya, tapi membaca berita di koran itu membuat dia tidak bisa berpikir dengan tenang.Belum sembuh kesedihannya atas kepergian Viona secara mendadak yang dia dengar dari pihak sekolah tempo hari. Dan sempat menggegerkan warga SMA Tunas Bangsa. Dia bahkan masih ingat jelas bagaimana histerisnya orang tua Viona di depan jenazah sang anak, di hari pertama dia ikut melayat. Biar bagaimana pun Viona adik kelasnya. Dia ikut merasa sedih dan kehilangan.Hari ini dia kembali diingatkan dengan kabar duka itu ketika membaca isi koran tadi.Dan ini semua gara-gara Gilang. Kebencian Safira terhadap lelaki itu rasanya semakin dalam. Safira merogoh kembali tasnya. Mengeluarkan koran tersebut. Membaca ulang berita itu.Dr
Beberapa minggu kemudian...Siang itu keadaan pasar cukup ramai. Pedagang buah berjejer di tepi jalan, menyapa pejalan kaki yang lewat, berlomba-lomba menawarkan dagangannya, berdampingan dengan kios penjual kaset yang memutar lagu dangdut cukup keras. Membuat hiruk-pikuk suasana pasar semakin terasa.Safira akhirnya memutuskan ikut Tika ke pasar, ketika gadis itu mengajaknya untuk menemaninya ke toko buku. Hitung-hitung refreshing, berharap bisa melupakan masalah-masalahnya sejenak. Mereka berjalan kaki menyusuri tepian pasar mencari toko buku yang ada di antara kios kaset itu. Motornya mereka parkir cukup jauh dari tempat mereka sekarang.Ketika menemukan sebuah toko yang bagian depannya terdapat buku-buku, Tika melangkahkan kaki ke sana, diiringi Safira.Ketika masuk ke dalam mereka disuguhkan dengan pemandangan lemari kaca yang tersusun berbagai macam buku di dalamnya. Safira mengedar pandangan di ruangan itu. Di sana ternyata tak hanya menjual buku, tapi juga ada majalah-majalah
Safira duduk di kursi belajarnya. Kedua sikunya bertumpu ke meja, dengan kedua tangannya memegangi kepalanya. Seandainya kepalanya bisa dibelah, mungkin di dalamnya ada api yang terlihat membakar isi kepalanya hingga kepalanya terasa panas dan ingin pecah.Safira benar-benar tak mengerti dengan sikap Gilang. Dia benar-benar tak tahu harus percaya atau tidak. Sikap lelaki itu sulit untuk diterka. Kadang begini, kadang begitu. Tadinya Safira ingin mengusir lelaki itu dan tidak akan percaya dengan apa pun yang dikatakan olehnya. Namun, pandangan lelaki itu membuat keputusan Safira berubah. Saat melihat tatapan itu, hati kecilnya mengatakan kalau Gilang sedang jujur. Ingin rasanya dia percaya, tapi tak dapat dimungkiri perasaannya juga takut.Maka dari itu, ketika Gilang bertekuk lutut, dia berusaha melepaskan diri dari lelaki itu. Dengan melawankan perasaannya dia mengusir lelaki itu. Awalnya, Gilang enggan pergi sebelum Safira memaafkannya, tapi akhirnya Gilang mengalah dan sebelum dia
Pagi itu Gilang menemui Viona di rumah. Rencananya dia akan mengajak gadis itu jalan. Meskipun sebenarnya jauh di lubuk hatinya, lelaki itu tidak sepenuh hati melakukan semua ini. Karena pikirannya pun terganggu dengan kejadian semalam. Sejak tadi fokusnya terpecah. Dia ingin menyelesaikan masalahnya dengan Safira tapi dia harus menemui Viona terlebih dulu. Gilang menyeringai lebar di depan pintu, saat dilihatnya pintu rumah itu di buka dari dalam dan Viona muncul. "Udah siap?" Gilang memperhatikan penampilan Viona pagi itu yang terlihat masih mengenakan pakaian tidur. Gadis itu bahkan menatapnya datar."Kita nggak jadi jalan hari ini, Kak," "Kenapa?" Viona menatap jalanan komplek yang sepi. Sebelum akhirnya angkat bicara. "Gue tau kak sebenarnya kak Gilang itu sayangnya sama kak Safira, kan?" katanya to the point. "Jawabannya pasti iya. Karena sejak awal kak Gilang emang nggak pernah suka sama aku. Akunya yang maksain. Selama ini aku terobsesi sama kak Gilang sampai aku ngelakuin
Safira terus melangkah menyelusuri koridor sekolah itu seiring dengan perasaannya yang bergejolak. Dia telah menelusuri semua tempat di sekolah itu tapi tak tampak tanda-tanda ada orang. Apa lagi Viona dan Gilang. Safira sempat berpikir kalau Viona membohonginya. Atau mereka belum sampai?Tanpa sadar, langkahnya membawanya ke depan pintu toilet, dia berhenti. Safira menghela napas. "Bener nggak sih?" Safira bergumam sendiri sambil matanya mengedar ke penjuru koridor seberang yang agak gelap. Benar-benar tidak ada siapa-siapa.Sejurus kemudian, dia tertegun. "Jangan-jangan gue dibohongin sama tuh bocah. Ya ampun, kenapa gue percaya, sih? Di jam segini mana ada orang."Safira lantas meringis. Dia tiba-tiba ingin buang air kecil. Ketika dia menoleh ke samping kiri, dia tersadar ada toilet.Safira memutuskan buang air kecil dulu sebelum pulang.Pelan, kakinya melangkah, memasuki toilet wanita tersebut. Dan terkejutlah dia dengan apa yang dilihatnya di
Beberapa hari setelah kejadian itu, Gilang kembali dekat dengan Safira. Gilang sering menemuinya untuk menghibur gadis itu.Safira masih tak menyangka, sahabatnya yang selama ini dia percaya, sahabatnya yang selama ini begitu baik padanya mampu mengecewakan.Dia benar-benar tak percaya Evan tega menjebaknya. Dan yang membuatnya tak habis pikir Riri ikut bersekongkol menjerumuskannya.Sahabat macam apa mereka?"Gue nggak nyangka aja Gilang, mereka sahabat gue yang selama ini gue anggap udah kayak saudara sendiri." Safira menatap Gilang dengan sorot menyiratkan kesedihan.Gilang mengusap bahu gadis itu. "Berarti mereka bukan sahabat. Nggak ada sahabat kayak gitu. Kamu udah salah nganggap mereka sahabat.""Temen aku selama ini cuman mereka Gilang. Kalau nggak ada mereka, aku nggak punya siapa-siapa. Aku sendirian.""Mending sendiri daripada punya sahabat kayak mereka. Sekarang kamu tau, kan, mereka sebenarnya kayak gimana?"
"Fajar, apa yang udah lo lakuin ke temen gue?!"Evan menarik kerah baju Fajar, tatapan nyalangnya menghunus tepat ke mata Fajar. Evan mencari Fajar di gedung sekolah itu sampai akhirnya dia menemukan Fajar sedang berjalan gontai di lorong sekolah itu. Langsung saja dia menginterogasi temannya itu.Bukannya terkejut, Fajar malah terlihat santai. "Apa, sih, maksud lo?""Nggak usah berlagak bego! Gue tau lo niat buruk ke Safira dan karena itu gue liat Safira lari-lari ke depan. Apa yang udah lo lakuin, hah!"Fajar menatap Evan tak percaya. Baru kali ini Evan bersikap sekasar itu padanya dan itu semua karena Safira."Iya, gue emang bawa Safira ke sini. Tapi gue nggak niat macam-macam. Lo udah salah paham pasti, nih, lagian lo tau dari mana tentang niat gue? Lo negatif thingking sama gue.""Dari awal gue merhatiin kedekatan lo sama Safira. Gue sama Riri curiga sama lo. Diam-diam gue masang penyadap di handphone Safira buat mastiin kalau Safira ba
"Gilang?" Safira melihat Gilang yang duduk di atas motornya dalam keadaan mesin motor masih menyala dengan tatapan tak percaya. "Kamu kenapa lari-lari di jalan, kenceng banget lagi," ucap Gilang. "Kok kamu bisa di sini?" Safira tak kuasa menahan rasa penasarannya. Sontak Safira berjalan mendekat ke Gilang. "Kamu kenapa, Fir?" Gilang heran melihat gelagat Safira seperti orang ketakutan. Safira menggenggam lengan Gilang yang memegang setang motor. "Aku takut banget. Tolong bawa aku dari sini, nanti aku ceritain, cepetan!" Gilang mengangguk cepat. "Iya, iya. Ayo naik."Safira pun naik ke boncengan Gilang sebelum akhirnya motor itu melaju kencang. Riri melihat itu semua dengan keheranan. Kehadiran Gilang yang tiba-tiba dan Safira yang pergi bersama Gilang entah ke mana. "Kurang ajar si Gilang," umpat Riri geram. *** Di sepanjang perjalanan Safira hanya diam sembari tangannya tak lepas dari m