Menjelang magrib Safira baru tiba di kosannya menggunakan ojol. Dia baru selesai mengerjakan tugas kelompok dari rumah Riri.
Safira berjalan melewati lorong yang sepi menuju kamarnya dengan wajah dongkol. Perasaannya masih kesal mengingat kejadian di rumah Riri tadi. Dia masih ingat jelas bagaimana Andra memodusinya. Dia tidak suka sikap Andra yang seperti itu.
"Hai, Bro, lagi ngapain? Gue lagi kerja kelompok di rumah temen," cerita Andra pada teman video call-nya waktu itu. Safira yang duduk di kursi yang sama dengan Andra melirik sekilas ke arah layar ponsel Andra yang menampakkan wajah temannya. Saat itu mereka yang lebih dulu tiba di rumah Riri, menunggu kedatangan yang lainnya untuk mengerjakan tugas. Bosan, Andra pun memutuskan video call-an dengan Tristan. Sementara Riri membuatkannya minum di dapur. Lalu terdengar teman Andra berbicara entah apa, Safira tak mendengarnya dengan jelas.
"Gue punya cewek baru, nih," ucap Andra lagi. Safira menoleh sebentar, lalu menatap ke depan, memandangi guci antik yang ada di ruang tamu Riri. Jari-jarinya meremasi roknya. "Mau gue kenalin nggak?" Andra tiba-tiba menggeser duduknya mendekat ke Safira. Lalu dengan PD nya dia melingkarkan lengannya ke bahu Safira, merangkul gadis itu. Pergerakan itu begitu cepat hingga Safira tak dapat menghindar. "Nih, cewek baru gue," katanya seenak jidatnya.
Safira melotot dan melepaskan rangkulan Andra. "Lo apa-apaan, sih?"
Andra menatap Safira, "gue kan cuman mau kenalin lo ke temen gue,"
"Gue bukan pacar lo!" bentak Safira bersamaan dengan tangan Andra yang mulai merangkul lagi. Tapi kali ini Safira menghindar dan refleks tangannya menampar pipi Andra. Tidak keras, tapi cukup membuat Andra terkejut dengan tindakannya yang tak biasa itu. "Jangan macam-macam, ya?!"
Andra menatap Safira heran, dia baru akan bicara lagi ketika Safira justru berdiri, masuk ke dalam mendatangi Riri.
"Bercanda doang, aelah gitu, aja, marah. Dasar cewek!" teriak Andra yang tentu masih bisa Safira dengar, tapi Safira tak menggubrisnya.
Ketika Riri bertanya mengapa Safira tiba-tiba masuk. Safira hanya menjawab kalau dia hanya ingin membantu Riri membuat minuman. Dia tidak menceritakan yang sebenarnya pada Riri.
Safira mengehela napas mengingat kejadian itu. Dia segera menepiskan pikirannya, tidak mau terlalu lama memikirkan lelaki itu. Gadis itu segera mengganti bajunya. Bersiap-siap untuk salat magrib.
***Waktu menunjukkan pukul dua belas malam dan Jakarta masih belum sunyi-senyap. Jadi, jangan heran jika ada yang menjuluki Jakarta sebagai kota yang tidak pernah tidur. Salah satunya adalah club malam di Jakarta.Tristan sedang duduk di salah satu sofa di bawah suasana remang-remang, ditemani sorotan lampu yang menembak penuh warna-warni. Menyirnakan seluruh rasa kantuk dari para pengunjung. Seorang disk joki di atas dancefloor terlihat meliuk-liuk memainkan sentakan musik diikuti oleh seluruh orang yang berjoget di bawah dengan adrenalin yang semakin malam kian meninggi.
Setya memesan minuman pada seorang pelayan yang segera datang memberikan beberapa gelas loki dan botol minuman besar.
Ricky mengisap rokoknya yang tinggal setengah. Lalu mengembuskan asapnya yang mengepul di udara.
Andra yang duduk di samping Tristan bersiul melihat cewek berjalan di depannya, mulai dari yang pakaian tertutup hingga punggung terbuka, dari yang mengenakan jins panjang hingga rok mini.
"Cewek yang tadi beneran pacar lo?" tanya Tristan pada Andra.
Andra tak menghiraukan pertanyaan Tristan. Dia malah minta bagi rokok pada Ricky. Ricky mencampakkan kotak rokok yang isinya tinggal dua batang. Andra mengambilnya satu, mengapitkannya pada bibirnya, mencucul ujung rokok dengan api, mengisapnya dalam-dalam dan mengembuskan asapnya. "Gue ke sana dulu," ucapnya. Lalu beranjak dari duduknya, berjalan mendekati salah satu cewek berpakaian terbuka itu. Ketiga temannya hanya menggeleng melihat aksinya.
Beginilah kegiatan Andra di luar sekolah. Di sini Andra bebas merokok, minum-minum dan main perempuan .... Terkadang dia mengonsumsi shabu tatkala sedang stres dengan tugas sekolah yang memeras otaknya.
Tidak ada yang tahu dengan kelakukannya yang demikian selain teman dekatnya seperti Tristan, Ricky dan Setya yang hanya menemani. Sebagai ketua ekstrakurikuler yang disegani, tentu, Tristan menjaga reputasinya. Dia tidak akan gegabah melakukan hal seperti Andra. Dia sebisa mungkin meminimalkan risiko dari tindakan yang dia perbuat.
***Dua jam mereka menghabiskan waktu di diskotik yang semakin ramai itu. Tristan panik melihat Andra yang terlihat mabuk. Kalau sudah begini Andra biasanya tak pulang ke rumahnya. Setya dan Ricky baru saja pulang. Mereka tidak mau kalau harus ke luar sampai terlalu malam.Andra berdiri sempoyongan, "Sekarang anterin gue ke rumah dia," katanya.
"Ke rumah siapa?" Tristan merasa waswas ikut berdiri.
Andra terkekeh, telunjuknya teracung ke Tristan, tapi kepalanya tertunduk, "lo punya janji ke gue buat anterin gue ke rumah dia,"
"Maksud lo Risty?"
"Iya,"
Tristan menggeleng, dia tidak mungkin membawa Andra ke sana dalam keadaan mabuk. "Gue nggak bisa bawa lo dalam keadaan kayak gini. Lo mabuk. Lo minum berapa banyak, sih?"
Andra menggeleng, "nggak, gue masih sadar," jawabnya. "Kalau lo nggak mau anterin, biar gue yang pergi sendiri," ucapnya seraya berjalan keluar club.
Tristan yang melihat sedikit panik. Dia takut terjadi sesuatu hal pada Andra jika lelaki itu mengendarai sendiri.
"Lo jangan nekat, gue tau lo nggak tau rumahnya kan? Jadi lo nggak mungkin bisa pergi sendiri." Mereka telah tiba di halaman club.
Andra yang sudah menaiki motornya menoleh, "gue nggak mabuk. Lo nggak liat? Gue tadi cuman pura-pura aja sambil nunggu Ricky dan Setya balik."
Tristan mengernyit tak habis pikir, tapi dia percaya bahwa temannya itu memang tidak mabuk. Dia mengangguk. "Oke, deh. Gue kasi liat lo di mana rumah Risty." Lalu lelaki itu mengenakan helm dan menaiki motornya. Motor Tristan dan Andra melaju beriringan keluar dari gerbang club mengarungi kota Jakarta yang tak pernah tidur.
***Safira mendadak di serang insomnia. Sejak tadi dia berusaha untuk tidur, tapi telinga dan pikirannya masih bekerja hingga matanya membuka lagi. Alhasil, dia hanya bolak-balik badan. Padahal waktu telah menunjukkan pukul setengah dua."Sial! Gue kehabisan bensin!"
Terdengar suara mesin motor menyala, lalu mati lagi.
"Gimana, nih?!"
"Nebeng gue aja." Suara itu terdengar samar-samar.
"Motor gue gimana?!"
Safira tersentak mendengar suara orang berteriak-teriak dan sepertinya suara itu berasal dari depan gedung kosannya. Dia duduk di atas tempat tidur, melirik jam. Dahinya mengernyit. Malam-malam begini masih ada orang berkeliaran? Pikirnya.
Karena penasaran, dia berdiri untuk mendengar suara itu lebih jelas. Dan dia semakin mengenali suara itu.
"Andra?" gumamnya. Ya, suara itu adalah suara Andra, jelas sekali. Dan suara yang satunya dia tak mengenal siapa. Safira terlalu sibuk dengan pikirannya ketika suara itu terdengar lagi hingga dia tidak merespons apa yang mereka bicarakan. Dia mengintip ke jendela. Dari ketinggian lantai dua kamarnya dia melihat dua lelaki sebaya dengannya sedang naik motor, lalu motor itu melaju bersamaan dengan suara mesinnya yang terdengar semakin jauh. Safira tak bisa melihat jelas siapa dua lelaki itu.
Siapakah mereka? Apakah benar salah satunya adalah Andra? Jika iya dengan siapa dia? Kemana mereka malam-malam begini? Safira bertanya-tanya.
***Tak seperti malam biasanya. Malam ini rumah Risty tampak sepi. Tidak terdengar tawa. Tidak ada ABG yang biasa nongkrong di terasnya yang luas. Pasalnya malam ini orang tua Risty ada di rumah. Sebab itulah para ABG yang biasa main ke rumah Risty setiap malam, hari ini tidak tampak. Risty juga takut keluar malam bersama Gilang bahkan sekadar jalan-jalan.Orang tua Risty sungguh tak tahu bagaimana kelakukan putri semata wayangnya jika mereka tak berada di rumah. Setiap pulang kerja yang mereka dapatkan hanyalah Risty yang selalu menyambut kedatangan mereka dengan gembira, menceritakan prestasi yang diraihnya, menceritakan kesehariannya di sekolah, menceritakan kegiatannya bersama teman-temannya. Risty bersikap seolah semua baik-baik saja. Orang tua nya memepercayai itu tanpa curiga sedikit pun pada putri cantiknya. Mereka tak tahu kalau putri cantiknya itu sering kali merasa kesepian. Mereka juga tak tahu kalau anak kebanggaannya diam-diam senang melakukan oral seks dengan banyak lelaki, tak terkecuali dengan pacarnya sendiri. Orang tuanya bahkan tak tahu kalau anaknya memiliki pacar.
Di halaman rumahnya yang luas itu, dua lelaki remaja SMA sejak tadi memperhatikan rumah itu."Lo bilang rumahnya rame. Mana? Nggak ada siapa-siapa," kata Andra pada Tristan. Ya, mereka berdua akhirnya berhasil masuk ke halaman rumah itu dengan memanjati pagarnya yang menjulang. Motornya mereka parkir cukup jauh dari rumah besar itu.
Tristan menggeleng, "gue nggak tahu kenapa hari ini sepi. Biasanya rame. Mungkin udah terlalu malam."
Andra tersenyum menyeringai, "ini kesempatan bagus," ucapnya.
"Eh, lo mau ngapain?" tanya Tristan ketika Andra melangkahkan kakinya menuju teras rumah Risty.
Andra kemudian menoleh, "kamar Risty di mana?""Di atas," jawab Tristan spontan sambil tangannya teracung, menunjuk lantai dua rumah Risty.
Andra tersenyum menyeringai sembari berjalan menuju teras rumah besar itu.
"Lo mau ngapain?" tanya Tristan sedikit waswas.
"Lo liat aja nanti."
***Hmm kira2 mau ngapain ya mereka? Ikuti terus kelanjutannya ya..
Risty menangis sembari memeluk kedua lutut. Gadis itu terduduk di balik pintu. Tak percaya dengan yang telah dia lakukan. Memang selama ini dia sudah terbiasa melakukan oral seks pada banyak lelaki, tapi itu sebelum dia pacaran dengan Gilang. Semenjak menjalin hubungan dengan Gilang, lelaki itu memintanya untuk tidak melakukan itu lagi pada laki-laki lain selain dirinya. Risty menyanggupinya dan berjanji. Tapi hari ini Risty melanggar janjinya. Dia melakukan itu dengan lelaki yang bahkan baru dia kenal dalam keadaan sadar. Sedangkan dia masih berstatus sebagai kekasih Gilang. Apa kata Gilang jika dia tahu hal ini? Risty melirik jam yang menunjukkan pukul empat subuh. Dia meraih ponselnya di atas meja, menelepon Gilang. "Kak..." ucapnya dengan suara serak ketika teleponnya diangkat. "Iya, kenapa?" sahut Gilang. Suaranya terdengar seperti orang baru bangun tidur. Risty tak langsung menjawab. Dia malah sesegukan. Tenggorokkannya terasa tercekat. Dadanya
Di jam istirahat, seperti biasa, Andra, Tristan, Ricky, Setya dan temannya yang lain nongkrong di depan perpustakaan SMA Tunas Bangsa sambil bercengkrama menceritakan banyak hal. Hari ini Andra sering tertawa, dia terlihat lebih bahagia dari biasanya. Tak ada orang lain yang tahu selain Tristan kalau dia bahagia karena berhasil mencicipi perempuan bernama Risty itu.Hingga tiba-tiba seseorang yang tak dia kenali menarik kerah kemejanya dan meninju pipinya telak. Membuatnya dan teman-temannya seketika syok. Suasana mendadak tegang. "Lo yang namanya Andra?" Lelaki yang baru saja menghajar Andra itu melirik nametag yang terpasang di seragam Andra. Belum sempat Andra menjawab lelaki itu sudah menghajarnya lagi, bertubi-tubi. "Kurang ajar lo! Cowok ber*ngsek!" Teman-temannya spontan melerai. "Woi, woi, udah. Jangan berantem di sini." "Lo nggak tahu permasalahannya, jangan ikut campur!" Lelaki itu masih menarik kerah kemeja Andra sambil menatap taj
Berita Gilang dan Andra yang berseteru hingga masuk BK terdengar sampai ke telinga Risty. Pasalnya teman-teman sekelasnya sering menceritakan hal itu. Risty tak habis pikir dengan tindakan Gilang yang menurutnya kelewat batas. Dia tak menyangka Gilang bertindak sejauh itu. "Aku, kan, udah bilang, Kak, jangan." Risty memarahi Gilang, "ngapain sih ngasi Kak Andra bogem mentah segala? Kan begini jadinya. Kakak jadi masuk BK. Kakak jadi terkena masalah." Gilang yang mendengar celotehan pacarnya sejak tadi memasang wajah memelas. "Ya, kan, abis kakak nggak suka dia gituin kamu. Kakak marahlah. Wajar, kan?" Saat ini mereka mengasingkan diri di kantin yang tak terpakai yang ada di belakang sekolah, menjauh dari keramaian. Jarang ada siswa mau pun siswi yang lewat di sekitar sini, kecil kemungkinan orang melihat mereka. Risty terdiam. Alih-alih membuatnya senang, semakin hari sikap Gilang justru membuatnya ilfeel dan muak. Sebenarnya sejak kemarin dia mem
Gilang dan dua temannya dari anggota ekstrakurikuler Pik Remaja memasuki setiap kelas, meminta perwakilan pada setiap kelas untuk melakukan penyuluhan sebagai pendidik sebaya. "Boleh minta waktunya sebentar, Bu," kata Rino--teman satu ekskul Gilang--pada guru yang sedang mengajar di kelas XII IPS 1. Bu Nurma yang sedang menulis di papan tulis duduk ke kursi guru, mempersilakan mereka. "Berhubung ada kegiatan penyuluhan, kami dari anggota Pik Remaja meminta perwakilan dari kelas ini minimal dua orang," ucap Gilang mengutarakan maksud kedatangannya. Andra yang melihat Gilang masuk ke kelasnya sejak awal sudah membuang muka. Lelaki itu fokus menulis tanpa mau memandang ke depan sedikit pun. Sementara Gilang hanya melirik sekilas lelaki itu. Beberapa siswa di kelas itu saling pandang dengan tatapan tanya seolah bertanya, "siapa yang mau jadi perwakilan?" "Ini wajib, ya. Semua kelas berpatisipasi. Nanti langsung datang aja ke ruang samping lab kimi
Jam istirahat, Safira, Evan, dan Riri menghabiskan waktu di kantin, menikmati bakso ibu kantin sambil berbincang banyak hal. Mulai dari materi pelajaran, cerita sinetron, masalah keluarga hingga merambat perihal orang tua. "Ya, gitu antara nyokap sama bokap gue, yang lebih keras ke gue itu nyokap. Dia sering maksain kehendaknya. Belum lagi suka banding-bandingin gue sama adik laki-laki gue. Beda banget sama bokap gue yang lebih bisa ngertiin gue." Riri yang bercerita tentang hubungannya dengan orang tuanya lebih dulu. Safira jadi teringat dengan orang tuanya di kampung halaman. Ayah Safira telah meninggal sebelum dia lahir. Dia hanya punya ibu dan dua kakak. Jadi Safira tak tahu bagaimana sosok seorang ayah. Bagaimana rasanya disayang oleh seorang ayah. Beruntung dia masih punya ibu yang selalu mendukung penuh apa pun keinginannya. "Kalau lo, Van, hubungan lo sama keluarga lo gimana? Mama papa lo gimana?" Safira bertanya pada Evan. Ya, meski pun telah mengena
Waktu menunjukkan pukul sebelas malam. Dan masih ada manusia beraktivitas di gedung club malam di Jakarta yang semakin malam, semakin ramai. Andra duduk sendiri di sofa panjang, di bawah suasana remang-remang sembari mengisap rokok, menunggu kedatangan seseorang. Matanya sejak tadi mengamati pintu masuk dengan bosan. Andra menjatuhkan abu rokoknya ke asbak ketika dia melihat seseorang yang dia tunggu-tunggu akhirnya muncul. Dia adalah Tristan. Dan dia tidak sendiri. Ada Risty di sebelahnya. "Hei, Bro," sapa Tristan pada Andra."Udah lama lo nunggu?" "Banget," jawab Andra dengan malas. Raut wajah Risty berubah tatkala melihat kehadiran Andra di sini, tapi dia tak membantah atau bertanya ke Tristan. Dia merasa tidak nyaman dengan lelaki itu, apalagi mengingat tragedi malam itu. Berbeda dengan Andra yang terlihat biasa saja. Lalu, Tristan mengajak Risty untuk duduk di sofa depan Andra. Diam-diam Andra memperhatikan Risty. Gad
Sekolah masih sepi sekali ketika Safira dan Riri tiba. Mereka datang lebih awal dari biasanya. Setelah video call-an dengan ibunya sampai subuh dia tidak tidur lagi, begitu pun Riri. Mereka menghabiskan waktu dengan berbincang banyak hal, sampai menjelang azan subuh mereka salat berjamaah. Maka dari itu, mereka bisa datang sepagi ini. Sekolah memang masih sepi. Dan seharusnya pintu setiap kelas tetap terbuka, tapi Safira melihat pintu kelasnya dari kejauhan tampak tertutup. Aneh, tidak seperti biasanya. Apakah penjaga sekolah yang biasa bertugas membuka pintu kelas belum datang? Pikirnya. Tapi mengapa pintu kelas lain terbuka? Hanya pintu kelasnya saja yang tertutup. Safira mempercepat langkahnya. Diiringi Riri. Derap sepatunya menggema di koridor yang sepiTiba di depan pintu, Safira mencoba mendorong pintu itu pelan. Ternyata memang tidak dikunci. Pintu terbuka dan ... "Happy birthday to you... Happy birthday to you... Happy birthda
Safira terkesiap melihat baju putihnya berwarna kecoklatan. "Eh, sori, sori, nggak sengaja," ucap seseorang yang menabraknya itu yang ternyata adalah laki-laki. Safira mengangkat kepalanya. Wajah anak baru itu tersuguhkan di hadapannya. Gilang Angkasa telah menabrak dan mengotori bajunya. Gadis itu hanya bisa diam meski pun dia ingin marah. "Sori banget, ya. Serius gue nggak sengaja." Gilang terlihat merasa bersalah. "Iya nggak pa-pa," jawab Safira sambil tertunduk dan melanjutkan langkahnya melewati Gilang, tapi tanpa di duga, Gilang menahan pergelangan tangannya. Gilang tahu meski pun gadis yang di tabraknya itu mengatakan tidak apa-apa tapi raut wajahnya menunjukkan kalau dia tidak baik-baik saja. "Apa lagi?" Safira menatap Gilang. "Baju lo kotor gitu, gue bener-bener nggak enak," ucap Gilang sambil memperhatikan baju putih Safira beserta roknya basah dan berwarna kecoklatan juga Safira yang menggendong tas ransel, gadis itu pasti m
Satu bulan kemudian. Gadis yang duduk di atas kursi roda itu termenung menatap ke luar kaca jendela. Masih di kamarnya yang berada di lantai dua gedung kosan ini.Gadis itu mengingat kejadian demi kejadian yang di alaminya satu bulan belakangan. Dia yang tertabrak truck sampai kakinya terlindas dan masuk rumah sakit. Dia bahkan sempat koma selama dua minggu. Dia juga melewati acara perpisahan yang di laksanakan tepat saat dirinya dirawat di rumah sakit. Dia dinyatakan lumpuh. Kaki bagian tempurungnya pecah dan busuk, karenanya kakinya harus dipotong. Tiga hari yang lalu Gilang sempat datang menemuinya. "Aku nggak bisa Gilang. Dengan keadaan aku yang sekarang aku nggak pantas buat kamu," ucapnya ketika cowok itu melihat bagaimana keadaannya yang sekarang, cowok itu masih bersedia mengajaknya balikan. "Kamu nggak boleh ngomong gitu, Fir. Aku nggak peduli kondisi kamu sekarang. Karena cuman kamu perempuan baik yang bisa mengubah aku menjadi lelaki yang baik juga. Apa pun keadaannya
"Makasih, ya, udah nemenin.""Sama-sama." Safira tersenyum, sebelum akhirnya masuk ke kamar dan menutup pintu. Safira menghela napas lelah seiring dengan bokongnya mendarat di tempat tidur. Dan melepaskan tasnya di tempat tider. Perjalanan hari ini harusnya cukup menenangkan pikirannya, tapi membaca berita di koran itu membuat dia tidak bisa berpikir dengan tenang.Belum sembuh kesedihannya atas kepergian Viona secara mendadak yang dia dengar dari pihak sekolah tempo hari. Dan sempat menggegerkan warga SMA Tunas Bangsa. Dia bahkan masih ingat jelas bagaimana histerisnya orang tua Viona di depan jenazah sang anak, di hari pertama dia ikut melayat. Biar bagaimana pun Viona adik kelasnya. Dia ikut merasa sedih dan kehilangan.Hari ini dia kembali diingatkan dengan kabar duka itu ketika membaca isi koran tadi.Dan ini semua gara-gara Gilang. Kebencian Safira terhadap lelaki itu rasanya semakin dalam. Safira merogoh kembali tasnya. Mengeluarkan koran tersebut. Membaca ulang berita itu.Dr
Beberapa minggu kemudian...Siang itu keadaan pasar cukup ramai. Pedagang buah berjejer di tepi jalan, menyapa pejalan kaki yang lewat, berlomba-lomba menawarkan dagangannya, berdampingan dengan kios penjual kaset yang memutar lagu dangdut cukup keras. Membuat hiruk-pikuk suasana pasar semakin terasa.Safira akhirnya memutuskan ikut Tika ke pasar, ketika gadis itu mengajaknya untuk menemaninya ke toko buku. Hitung-hitung refreshing, berharap bisa melupakan masalah-masalahnya sejenak. Mereka berjalan kaki menyusuri tepian pasar mencari toko buku yang ada di antara kios kaset itu. Motornya mereka parkir cukup jauh dari tempat mereka sekarang.Ketika menemukan sebuah toko yang bagian depannya terdapat buku-buku, Tika melangkahkan kaki ke sana, diiringi Safira.Ketika masuk ke dalam mereka disuguhkan dengan pemandangan lemari kaca yang tersusun berbagai macam buku di dalamnya. Safira mengedar pandangan di ruangan itu. Di sana ternyata tak hanya menjual buku, tapi juga ada majalah-majalah
Safira duduk di kursi belajarnya. Kedua sikunya bertumpu ke meja, dengan kedua tangannya memegangi kepalanya. Seandainya kepalanya bisa dibelah, mungkin di dalamnya ada api yang terlihat membakar isi kepalanya hingga kepalanya terasa panas dan ingin pecah.Safira benar-benar tak mengerti dengan sikap Gilang. Dia benar-benar tak tahu harus percaya atau tidak. Sikap lelaki itu sulit untuk diterka. Kadang begini, kadang begitu. Tadinya Safira ingin mengusir lelaki itu dan tidak akan percaya dengan apa pun yang dikatakan olehnya. Namun, pandangan lelaki itu membuat keputusan Safira berubah. Saat melihat tatapan itu, hati kecilnya mengatakan kalau Gilang sedang jujur. Ingin rasanya dia percaya, tapi tak dapat dimungkiri perasaannya juga takut.Maka dari itu, ketika Gilang bertekuk lutut, dia berusaha melepaskan diri dari lelaki itu. Dengan melawankan perasaannya dia mengusir lelaki itu. Awalnya, Gilang enggan pergi sebelum Safira memaafkannya, tapi akhirnya Gilang mengalah dan sebelum dia
Pagi itu Gilang menemui Viona di rumah. Rencananya dia akan mengajak gadis itu jalan. Meskipun sebenarnya jauh di lubuk hatinya, lelaki itu tidak sepenuh hati melakukan semua ini. Karena pikirannya pun terganggu dengan kejadian semalam. Sejak tadi fokusnya terpecah. Dia ingin menyelesaikan masalahnya dengan Safira tapi dia harus menemui Viona terlebih dulu. Gilang menyeringai lebar di depan pintu, saat dilihatnya pintu rumah itu di buka dari dalam dan Viona muncul. "Udah siap?" Gilang memperhatikan penampilan Viona pagi itu yang terlihat masih mengenakan pakaian tidur. Gadis itu bahkan menatapnya datar."Kita nggak jadi jalan hari ini, Kak," "Kenapa?" Viona menatap jalanan komplek yang sepi. Sebelum akhirnya angkat bicara. "Gue tau kak sebenarnya kak Gilang itu sayangnya sama kak Safira, kan?" katanya to the point. "Jawabannya pasti iya. Karena sejak awal kak Gilang emang nggak pernah suka sama aku. Akunya yang maksain. Selama ini aku terobsesi sama kak Gilang sampai aku ngelakuin
Safira terus melangkah menyelusuri koridor sekolah itu seiring dengan perasaannya yang bergejolak. Dia telah menelusuri semua tempat di sekolah itu tapi tak tampak tanda-tanda ada orang. Apa lagi Viona dan Gilang. Safira sempat berpikir kalau Viona membohonginya. Atau mereka belum sampai?Tanpa sadar, langkahnya membawanya ke depan pintu toilet, dia berhenti. Safira menghela napas. "Bener nggak sih?" Safira bergumam sendiri sambil matanya mengedar ke penjuru koridor seberang yang agak gelap. Benar-benar tidak ada siapa-siapa.Sejurus kemudian, dia tertegun. "Jangan-jangan gue dibohongin sama tuh bocah. Ya ampun, kenapa gue percaya, sih? Di jam segini mana ada orang."Safira lantas meringis. Dia tiba-tiba ingin buang air kecil. Ketika dia menoleh ke samping kiri, dia tersadar ada toilet.Safira memutuskan buang air kecil dulu sebelum pulang.Pelan, kakinya melangkah, memasuki toilet wanita tersebut. Dan terkejutlah dia dengan apa yang dilihatnya di
Beberapa hari setelah kejadian itu, Gilang kembali dekat dengan Safira. Gilang sering menemuinya untuk menghibur gadis itu.Safira masih tak menyangka, sahabatnya yang selama ini dia percaya, sahabatnya yang selama ini begitu baik padanya mampu mengecewakan.Dia benar-benar tak percaya Evan tega menjebaknya. Dan yang membuatnya tak habis pikir Riri ikut bersekongkol menjerumuskannya.Sahabat macam apa mereka?"Gue nggak nyangka aja Gilang, mereka sahabat gue yang selama ini gue anggap udah kayak saudara sendiri." Safira menatap Gilang dengan sorot menyiratkan kesedihan.Gilang mengusap bahu gadis itu. "Berarti mereka bukan sahabat. Nggak ada sahabat kayak gitu. Kamu udah salah nganggap mereka sahabat.""Temen aku selama ini cuman mereka Gilang. Kalau nggak ada mereka, aku nggak punya siapa-siapa. Aku sendirian.""Mending sendiri daripada punya sahabat kayak mereka. Sekarang kamu tau, kan, mereka sebenarnya kayak gimana?"
"Fajar, apa yang udah lo lakuin ke temen gue?!"Evan menarik kerah baju Fajar, tatapan nyalangnya menghunus tepat ke mata Fajar. Evan mencari Fajar di gedung sekolah itu sampai akhirnya dia menemukan Fajar sedang berjalan gontai di lorong sekolah itu. Langsung saja dia menginterogasi temannya itu.Bukannya terkejut, Fajar malah terlihat santai. "Apa, sih, maksud lo?""Nggak usah berlagak bego! Gue tau lo niat buruk ke Safira dan karena itu gue liat Safira lari-lari ke depan. Apa yang udah lo lakuin, hah!"Fajar menatap Evan tak percaya. Baru kali ini Evan bersikap sekasar itu padanya dan itu semua karena Safira."Iya, gue emang bawa Safira ke sini. Tapi gue nggak niat macam-macam. Lo udah salah paham pasti, nih, lagian lo tau dari mana tentang niat gue? Lo negatif thingking sama gue.""Dari awal gue merhatiin kedekatan lo sama Safira. Gue sama Riri curiga sama lo. Diam-diam gue masang penyadap di handphone Safira buat mastiin kalau Safira ba
"Gilang?" Safira melihat Gilang yang duduk di atas motornya dalam keadaan mesin motor masih menyala dengan tatapan tak percaya. "Kamu kenapa lari-lari di jalan, kenceng banget lagi," ucap Gilang. "Kok kamu bisa di sini?" Safira tak kuasa menahan rasa penasarannya. Sontak Safira berjalan mendekat ke Gilang. "Kamu kenapa, Fir?" Gilang heran melihat gelagat Safira seperti orang ketakutan. Safira menggenggam lengan Gilang yang memegang setang motor. "Aku takut banget. Tolong bawa aku dari sini, nanti aku ceritain, cepetan!" Gilang mengangguk cepat. "Iya, iya. Ayo naik."Safira pun naik ke boncengan Gilang sebelum akhirnya motor itu melaju kencang. Riri melihat itu semua dengan keheranan. Kehadiran Gilang yang tiba-tiba dan Safira yang pergi bersama Gilang entah ke mana. "Kurang ajar si Gilang," umpat Riri geram. *** Di sepanjang perjalanan Safira hanya diam sembari tangannya tak lepas dari m