Upacara pengibaran bendera merah putih baru saja selesai beberapa menit lalu dan seharusnya para siswa sudah boleh bubar meninggalkan lapangan. Namun, instruksi dari Kepala Sekolah membuat mereka masih berdiri di sana menahan sengatan sinar matahari yang terasa semakin panas.
Ada pengumuman penting yang tak boleh luput dari perhatian SMA Tunas Bangsa. SMA Tunas Bangsa berhasil memenangkan lomba yang di adakan minggu lalu. Berita itu tentu saja jadi hal yang membanggakan SMA Tunas Bangsa yang terkenal sebagai SMA swasta favorit dengan murid-muridnya yang cerdas. Setiap tahun selalu memenangkan perlombaan baik di bidang akademi mau pun non akademi.
"... selamat kepada Wulan Pratiwi dari kelas XII IPA 1, Ramadhani dari kelas XII IPA 2, dan Ristyana Putri dari kelas X IPA 2 yang telah mewakili sekolah kita memenangkan lomba. Bagi nama yang disebutkan silakan maju ke depan untuk menerima penghargaan ...." Pidato Kepala Sekolah dari atas podium. SMA Tunas Bangsa bertepuk tangan tatkala siswa dan siswi berprestasi maju ke depan. Ucapan selamat dan syukur tak henti-hentinya Bapak Kepala Sekolah utarakan melalui pidatonya yang menggema di penjuru lapangan. Beliau turun dari podium memberikan penghargaan berupa piala dan medali kepada siswa dan siswi kebanggaan SMA Tunas Bangsa.
Wulan Pratiwi, selalu memenangkan lomba sejak kelas X semester ganjil. Beberapa minggu lalu memenangkan lomba Matematika yang diadakan oleh sebuah Universitas.
Ramadhani, selalu memenangkan lomba sejak kelas XI semester ganjil. Beberapa minggu lalu memenangkan lomba Kimia yang diadakan oleh fakultas yang sama.
Pengalaman pertama bagi seorang Ristyana Putri, memenangkan lomba Fisika di SMA Tunas Bangsa. Dia pribadi sungguh tak menyangka.
Siswa yang bertugas untuk dokumentasi sekolah mengarahkan mereka untuk berdiri di tepi lapangan. Mereka bertiga memandang ke kamera dengan tersenyum bangga.
Setelah acara pemberian penghargaan dan foto-foto bersama guru. Para siswa diperbolehkan bubar.
***Menjelang istirahat, Safira dan Riri memilih ke kantin. Karena sejak tadi perutnya keroncongan. Mereka berdua duduk menunggu bakso pesanan mereka datang sambil membicarakan topik di lapangan tadi.Safira mendengar beberapa siswa yang ada di kantin itu juga membicarakan adik kelas bernama Risty yang berhasil memenangkan lomba itu.
"Gue nggak nyangka, ya, dia sepintar itu," ucap Safira.
"Yang menangin lomba itu?" tanya Riri. "Mereka kan emang udah langganan menangin lomba," lanjutnya mengingat dua siswi seangkatannya.
"Maksud gue bukan Wulan dan Dhani."
"Terus siapa?"
"Adik kelas yang kelas X IPA 2 itu. Gue nggak nyangka dia sepintar itu,"
"Menurut gue biasa, aja, sih," sahut Riri.
Berbeda dengan Safira yang entah kenapa merasa simpati dengan Risty---bahkan sejak awal mereka bertemu, Riri justru biasa saja. Mungkin karena Riri tidak mengenal Risty. Dan kelihatannya juga tak begitu tertarik membahas adik kelas bernama Risty itu. Mungkinkah dirinya yang terlalu berlebihan?
Pada saat yang sama, sosok yang dibicarakan pun masuk ke kantin bersama beberapa temannya. Mereka duduk di kursi panjang yang masih kosong yang ada di depan tak jauh dari meja Safira dan Riri. Safira tak sengaja memandang ke arahnya dan detik itu dia tak mengalihkan pandangannya. Dia Memperhatikan siswi bernama Risty itu cukup lama. Hal itu memancing perhatian Riri yang duduk di sebelahnya.
"Lo ngapain, sih, liatin dia gitu amat." Riri menyikut lengan Safira.
"Ya, gue kagum, aja. Baru kelas sepuluh udah sepintar itu apa lagi nanti udah jadi senior? Selain cerdas, dia juga cantik banget, dan sepertinya dia juga baik. She is perfect woman ...."
Persis Safira selesai mengucapkan kalimat itu, bakso dan teh es pesanan mereka datang.
"Lo iri?" Riri menuangkan kecap dan saos ke dalam mangkoknya lalu mengaduk-aduk baksonya.
"Ya, nggaklah. Justru gue salut, kagum banget," jawab Safira sambil mengaduk baksonya juga.
Riri tak berkomentar apa-apa lagi dan memilih melahap baksonya.Safira akui dirinya tak sepintar adik kelasnya atau teman-temannya yang mampu memenangkan lomba. Bisa bersekolah di sekolah swasta yang elit seperti SMA Tunas Bangsa ini pun dia sudah bersyukur. Dia tak berharap banyak selain diterima di Universitas favorit kota Jakarta seperti mimpinya selama ini.
"Hei, kalian ke kantin nggak ngajak-ngajak." Evan tiba-tiba muncul dan duduk di hadapan mereka.
"Lo tadi yang nggak ada, kemana?" tanya Safira yang baru selesai mengunyah.
Evan terdiam sejenak. "Eh, gue punya rencana bagus," ucapnya kemudian, mengalihkan pembicaraan sambil melirik Riri yang sejak tadi sibuk makan.
"Rencana apa?" respons Safira.
"Gimana nanti pas liburan semester kita jalan-jalan ke Bandung?" Evan memandang kedua sahabatnya antusias, berharap dua gadis itu setuju dengan rencananya.
"Masih lama," sahut Riri.
Evan menatap Riri, "iya, tapi, kan, nggak ada salahnya direncanain dari sekarang. Sesekali lah kita jalan bertiga ke luar kota. Pasti seru. Kalian mau, kan?"
"Boleh, aja, sih." Riri mengangguk. "Tapi, kok, lo bisa kepikiran rencana kayak gitu ya? Tiba-tiba ngajak jalan. Kalian berdua mau honeymonth?"
Safira yang tengah makan melotot ke Riri."Woi, kalau gue mau honeymonth nggak perlu ngajak lo juga kali," bantah Evan. Riri terkekeh. Dia tak mengerti mengapa Evan selalu membantah jika dijodohkan dengan Safira padahal mereka begitu dekat.
"Gimana? Mau nggak?" tanya Evan lagi.
"Iya, iya," sahut Safira. "Mending lo pesen makanan sana, emang nggak laper?"
Evan dan Safira asli orang Samarinda. Karena mereka memilih sekolah di sini, mereka belajar beradaptasi, menyesuaikan gaya bicara mereka agar sama dengan orang Jakarta.
Evan baru teringat dia belum makan sejak pagi. Pasalnya perutnya pun tak terasa lapar. Evan mengangguk dan beranjak untuk memesan makanan.
Safira dan Evan mengenal Riri sejak pertama kali mereka menginjakkan kaki di SMA Tunas Bangsa. Safira yang merasa cocok dengan Riri jadi semakin dekat setiap harinya. Evan yang memang selalu dekat dengan Safira pun jadi akrab dengan Riri.
Di sini, Safira menjaga pergaulannya. Dia tak begitu dekat dengan siswi lain selain Riri. Dia tak percaya pada siswi lain selain Riri. Baginya, Riri yang paling baik dan yang penting paling mengerti dirinya.
"Bu, baksonya satu sama air tahu satu. Di tunggu." Evan memesan pada ibu kantin lalu dia kembali ke tempat duduknya. Dalam diamnya dia mengingat rencananya yang telah dia diskusikan dengan Fajar dan Tino kemarin.
"Lo punya temen cewek atau kenalan cewek nggak?" tanya Fajar waktu itu.
"Ada, sih. Emangnya kenapa?"
"Bagus. Ajak mereka aja sekalian biar rame. Nggak seru kalau nggak ada cewek,"
"Lo nggak tau temen gue itu kayak apa? Dia orangnya lugu, pemalu, terutama sama cowok. Mana mau dia diajak jalan sama cowok kayak kalian," jelas Evan setengah tak setuju dengan ide Fajar.
"Sama lo dia nggak malu?" tanya Tino.
"Gue beda," sahut Evan.
"Aelah, lo, kan, bisalah bujuk dia biar mau, temen lo ada berapa?" tanya Fajar.
"Dua. Yang akrab, sih, cuman dua." Evan mengingat Safira dan Riri.
"Nah, lumayan buat ramein. Pokoknya lo harus bujuk mereka buat jalan nanti. Pandai-pandai lo, deh, gimana caranya."
Evan mengernyit, curiga sesuatu. "Tapi nggak lo apa-apain, kan?"
Fajar tertawa. "Mikir apa, sih, lo? Apa-apain gimana? Orang kita cuma jalan-jalan. Lo kan kenal gue udah lama masak lo nggak tau gue, sih? Apa lagi sama Tino. Tino nggak mungkin ngajak cewek jalan. Iya, nggak, No." Fajar menoleh ke Tino yang hanya diam.
"Ya, kirain. Gue udah nethink duluan. Iya deh nanti gue pikirin caranya buat ngajak mereka," sahut Evan akhirnya.
Evan sungguh tak tahu kalau temannya itu punya rencana lain yang tak dia ketahui.
***
Sosok Risty yang memenangkan lomba ternyata juga menarik perhatian kaum lelaki. Termasuk Andra dan teman-temannya.
Di kantin lain yang tak jauh dari kantin tempat Risty dan kawan-kawannya makan sekarang, ada seorang lelaki yang sejak tadi memperhatikannya. Dia adalah Tristan Bimantara, teman tongkrongan Andra.
Tristan menepuk bahu Andra, membuat Andra yang tengah melahap nasi kuning menoleh, mengangkat kedua alisnya sambil terus mengunyah.
Tatapan Tristan lalu mengarah ke tempat di mana Risty duduk, tangannya teracung ke arah sana, "lo liat cewek yang duduk di sana?" tanyanya pada Andra.
Tatapan Andra pun mengarah ke tempat yang ditunjuk Tristan. "Kenapa?"
"Cantik, kan?" tanya Tristan balik. Andra memperhatikan Risty yang tengah bercakap-cakap dengan temannya sambil makan, sejenak, lalu mengangguk.
"Dia nggak cuma cantik doang. Tapi juga cerdas. Lo tau kan dia baru menangin lomba Fisika?"
Andra mengangguk lagi sambil menghabiskan sisa nasi kuningnya.
"Dan yang paling penting dia bisa kita ajak buat seneng-seneng."
Andra menatap Tristan tak mengerti. Mulutnya berhenti mengunyah. "Maksud lo?"
Tristan tersenyum miring, "masak lo nggak ngerti maksud gue,"
"Serius lo?"
"Dua rius malah,"
"Lo tau dari mana?"
"Ya, taulah. Dia kan anak pramuka juga. Gue juga tau di mana rumahnya. Lo tau tiap malam rumahnya rame jadi tempat tongkrongan anak-anak sekolah kita. Lo mau nggak gue ajak main-main ke rumahnya ntar malam?"
"Emangnya rumahnya di mana?"
"Nggak jauh dari sekolah kita. Nanti gue tunjukin,"
Andra malah terdiam sambil menatap Risty. Tidak mengiyakan, namun, tidak juga menolak.***
Seperti biasa, sepulang sekolah, Safira di antar Evan, sedangkan Riri menunggu jemputan ayahnya.Sambil menunggu Evan mengeluarkan motornya dari parkiran, Safira menunggu di dekat gerbang sekolah sesekali mengedarkan pandangan, melihat siswa yang ramai memenuhi halaman parkir. Dan pada saat itu matanya tak sengaja terpandang ke sosok Risty yang tengah berjalan di antara keramaian itu, siswi itu tampak menunduk sibuk memainkan ponselnya. Semakin diperhatikan, adik kelas yang dikaguminya itu semakin cantik. Safira terus memperhatikan Risty yang berjalan ke arah gerbang, sampai di depan gerbang, Risty menuju sebuah jalan kecil yang tak jauh dari sekolah. Safira melangkah, ingin melihat lagi kemana gadis itu pergi, tapi suara Evan yang menegurnya menginterupsi geraknya.
"Woi, mau kemana? Jadi pulang nggak?"
Safira menoleh, lalu berbalik mendatangi Evan. "Eh, pulang, dong," jawab Safira sambil nyengir. Lalu dia pun naik ke atas motor Evan sebelum akhirnya motor itu melaju meninggalkan halaman sekolah yang semakin ramai.
***Risty tiba-tiba mendapat chat dari Gilang yang mengabarkan kalau hari ini mereka pulang bersama, tapi Gilang menunggunya ke jalan tikus yang tak jauh dari sekolahnya. Lelaki itu sudah keluar lebih dulu. Dia tidak mau menjemput Risty secara terang-terangan seperti kesepakatan mereka sejak awal pacaran. Karena itu begitu keluar dari sekolah, Risty langsung menuju jalan tikus yang dimaksud Gilang."Kak," panggil Risty ketika melihat Gilang tengah duduk di atas ninja hitamnya sambil merapikan rambutnya ke kaca spion.
Gilang memandang ke arah Risty yang berjalan mendekat. Gilang tersenyum melihat pacarnya yang masih terlihat cantik sore ini. "Naik," kata Gilang.
Risty pun menurut naik ke atas motornya. Tangan kanannya berpaut pada bahu kanan lelaki itu. Aroma parfum khas lelaki yang masih melekat di tubuh Gilang menusuk hidungnya.
Setelah Risty naik, Gilang tak langsung menjalankan motornya. Dia menoleh, "kamu tahu, kan, kalau kakak jemput kamu artinya apa?"
"Tapi, kan, kita nggak mungkin ke hotel dengan seragam begini," sahut Risty.
"Jadi gimana?"
"Ke rumah aku, aja."
Gilang mengangguk. Lalu melajukan ninja hitamnya menuju jalan belakang yang sepi.
***Menjelang magrib Safira baru tiba di kosannya menggunakan ojol. Dia baru selesai mengerjakan tugas kelompok dari rumah Riri. Safira berjalan melewati lorong yang sepi menuju kamarnya dengan wajah dongkol. Perasaannya masih kesal mengingat kejadian di rumah Riri tadi. Dia masih ingat jelas bagaimana Andra memodusinya. Dia tidak suka sikap Andra yang seperti itu. "Hai, Bro, lagi ngapain? Gue lagi kerja kelompok di rumah temen," cerita Andra pada teman video call-nya waktu itu. Safira yang duduk di kursi yang sama dengan Andra melirik sekilas ke arah layar ponsel Andra yang menampakkan wajah temannya. Saat itu mereka yang lebih dulu tiba di rumah Riri, menunggu kedatangan yang lainnya untuk mengerjakan tugas. Bosan, Andra pun memutuskan video call-an dengan Tristan. Sementara Riri membuatkannya minum di dapur. Lalu terdengar teman Andra berbicara entah apa, Safira tak mendengarnya dengan jelas. "Gue punya cewek baru, nih," ucap Andra lagi. Safira menoleh sebenta
Risty menangis sembari memeluk kedua lutut. Gadis itu terduduk di balik pintu. Tak percaya dengan yang telah dia lakukan. Memang selama ini dia sudah terbiasa melakukan oral seks pada banyak lelaki, tapi itu sebelum dia pacaran dengan Gilang. Semenjak menjalin hubungan dengan Gilang, lelaki itu memintanya untuk tidak melakukan itu lagi pada laki-laki lain selain dirinya. Risty menyanggupinya dan berjanji. Tapi hari ini Risty melanggar janjinya. Dia melakukan itu dengan lelaki yang bahkan baru dia kenal dalam keadaan sadar. Sedangkan dia masih berstatus sebagai kekasih Gilang. Apa kata Gilang jika dia tahu hal ini? Risty melirik jam yang menunjukkan pukul empat subuh. Dia meraih ponselnya di atas meja, menelepon Gilang. "Kak..." ucapnya dengan suara serak ketika teleponnya diangkat. "Iya, kenapa?" sahut Gilang. Suaranya terdengar seperti orang baru bangun tidur. Risty tak langsung menjawab. Dia malah sesegukan. Tenggorokkannya terasa tercekat. Dadanya
Di jam istirahat, seperti biasa, Andra, Tristan, Ricky, Setya dan temannya yang lain nongkrong di depan perpustakaan SMA Tunas Bangsa sambil bercengkrama menceritakan banyak hal. Hari ini Andra sering tertawa, dia terlihat lebih bahagia dari biasanya. Tak ada orang lain yang tahu selain Tristan kalau dia bahagia karena berhasil mencicipi perempuan bernama Risty itu.Hingga tiba-tiba seseorang yang tak dia kenali menarik kerah kemejanya dan meninju pipinya telak. Membuatnya dan teman-temannya seketika syok. Suasana mendadak tegang. "Lo yang namanya Andra?" Lelaki yang baru saja menghajar Andra itu melirik nametag yang terpasang di seragam Andra. Belum sempat Andra menjawab lelaki itu sudah menghajarnya lagi, bertubi-tubi. "Kurang ajar lo! Cowok ber*ngsek!" Teman-temannya spontan melerai. "Woi, woi, udah. Jangan berantem di sini." "Lo nggak tahu permasalahannya, jangan ikut campur!" Lelaki itu masih menarik kerah kemeja Andra sambil menatap taj
Berita Gilang dan Andra yang berseteru hingga masuk BK terdengar sampai ke telinga Risty. Pasalnya teman-teman sekelasnya sering menceritakan hal itu. Risty tak habis pikir dengan tindakan Gilang yang menurutnya kelewat batas. Dia tak menyangka Gilang bertindak sejauh itu. "Aku, kan, udah bilang, Kak, jangan." Risty memarahi Gilang, "ngapain sih ngasi Kak Andra bogem mentah segala? Kan begini jadinya. Kakak jadi masuk BK. Kakak jadi terkena masalah." Gilang yang mendengar celotehan pacarnya sejak tadi memasang wajah memelas. "Ya, kan, abis kakak nggak suka dia gituin kamu. Kakak marahlah. Wajar, kan?" Saat ini mereka mengasingkan diri di kantin yang tak terpakai yang ada di belakang sekolah, menjauh dari keramaian. Jarang ada siswa mau pun siswi yang lewat di sekitar sini, kecil kemungkinan orang melihat mereka. Risty terdiam. Alih-alih membuatnya senang, semakin hari sikap Gilang justru membuatnya ilfeel dan muak. Sebenarnya sejak kemarin dia mem
Gilang dan dua temannya dari anggota ekstrakurikuler Pik Remaja memasuki setiap kelas, meminta perwakilan pada setiap kelas untuk melakukan penyuluhan sebagai pendidik sebaya. "Boleh minta waktunya sebentar, Bu," kata Rino--teman satu ekskul Gilang--pada guru yang sedang mengajar di kelas XII IPS 1. Bu Nurma yang sedang menulis di papan tulis duduk ke kursi guru, mempersilakan mereka. "Berhubung ada kegiatan penyuluhan, kami dari anggota Pik Remaja meminta perwakilan dari kelas ini minimal dua orang," ucap Gilang mengutarakan maksud kedatangannya. Andra yang melihat Gilang masuk ke kelasnya sejak awal sudah membuang muka. Lelaki itu fokus menulis tanpa mau memandang ke depan sedikit pun. Sementara Gilang hanya melirik sekilas lelaki itu. Beberapa siswa di kelas itu saling pandang dengan tatapan tanya seolah bertanya, "siapa yang mau jadi perwakilan?" "Ini wajib, ya. Semua kelas berpatisipasi. Nanti langsung datang aja ke ruang samping lab kimi
Jam istirahat, Safira, Evan, dan Riri menghabiskan waktu di kantin, menikmati bakso ibu kantin sambil berbincang banyak hal. Mulai dari materi pelajaran, cerita sinetron, masalah keluarga hingga merambat perihal orang tua. "Ya, gitu antara nyokap sama bokap gue, yang lebih keras ke gue itu nyokap. Dia sering maksain kehendaknya. Belum lagi suka banding-bandingin gue sama adik laki-laki gue. Beda banget sama bokap gue yang lebih bisa ngertiin gue." Riri yang bercerita tentang hubungannya dengan orang tuanya lebih dulu. Safira jadi teringat dengan orang tuanya di kampung halaman. Ayah Safira telah meninggal sebelum dia lahir. Dia hanya punya ibu dan dua kakak. Jadi Safira tak tahu bagaimana sosok seorang ayah. Bagaimana rasanya disayang oleh seorang ayah. Beruntung dia masih punya ibu yang selalu mendukung penuh apa pun keinginannya. "Kalau lo, Van, hubungan lo sama keluarga lo gimana? Mama papa lo gimana?" Safira bertanya pada Evan. Ya, meski pun telah mengena
Waktu menunjukkan pukul sebelas malam. Dan masih ada manusia beraktivitas di gedung club malam di Jakarta yang semakin malam, semakin ramai. Andra duduk sendiri di sofa panjang, di bawah suasana remang-remang sembari mengisap rokok, menunggu kedatangan seseorang. Matanya sejak tadi mengamati pintu masuk dengan bosan. Andra menjatuhkan abu rokoknya ke asbak ketika dia melihat seseorang yang dia tunggu-tunggu akhirnya muncul. Dia adalah Tristan. Dan dia tidak sendiri. Ada Risty di sebelahnya. "Hei, Bro," sapa Tristan pada Andra."Udah lama lo nunggu?" "Banget," jawab Andra dengan malas. Raut wajah Risty berubah tatkala melihat kehadiran Andra di sini, tapi dia tak membantah atau bertanya ke Tristan. Dia merasa tidak nyaman dengan lelaki itu, apalagi mengingat tragedi malam itu. Berbeda dengan Andra yang terlihat biasa saja. Lalu, Tristan mengajak Risty untuk duduk di sofa depan Andra. Diam-diam Andra memperhatikan Risty. Gad
Sekolah masih sepi sekali ketika Safira dan Riri tiba. Mereka datang lebih awal dari biasanya. Setelah video call-an dengan ibunya sampai subuh dia tidak tidur lagi, begitu pun Riri. Mereka menghabiskan waktu dengan berbincang banyak hal, sampai menjelang azan subuh mereka salat berjamaah. Maka dari itu, mereka bisa datang sepagi ini. Sekolah memang masih sepi. Dan seharusnya pintu setiap kelas tetap terbuka, tapi Safira melihat pintu kelasnya dari kejauhan tampak tertutup. Aneh, tidak seperti biasanya. Apakah penjaga sekolah yang biasa bertugas membuka pintu kelas belum datang? Pikirnya. Tapi mengapa pintu kelas lain terbuka? Hanya pintu kelasnya saja yang tertutup. Safira mempercepat langkahnya. Diiringi Riri. Derap sepatunya menggema di koridor yang sepiTiba di depan pintu, Safira mencoba mendorong pintu itu pelan. Ternyata memang tidak dikunci. Pintu terbuka dan ... "Happy birthday to you... Happy birthday to you... Happy birthda
Satu bulan kemudian. Gadis yang duduk di atas kursi roda itu termenung menatap ke luar kaca jendela. Masih di kamarnya yang berada di lantai dua gedung kosan ini.Gadis itu mengingat kejadian demi kejadian yang di alaminya satu bulan belakangan. Dia yang tertabrak truck sampai kakinya terlindas dan masuk rumah sakit. Dia bahkan sempat koma selama dua minggu. Dia juga melewati acara perpisahan yang di laksanakan tepat saat dirinya dirawat di rumah sakit. Dia dinyatakan lumpuh. Kaki bagian tempurungnya pecah dan busuk, karenanya kakinya harus dipotong. Tiga hari yang lalu Gilang sempat datang menemuinya. "Aku nggak bisa Gilang. Dengan keadaan aku yang sekarang aku nggak pantas buat kamu," ucapnya ketika cowok itu melihat bagaimana keadaannya yang sekarang, cowok itu masih bersedia mengajaknya balikan. "Kamu nggak boleh ngomong gitu, Fir. Aku nggak peduli kondisi kamu sekarang. Karena cuman kamu perempuan baik yang bisa mengubah aku menjadi lelaki yang baik juga. Apa pun keadaannya
"Makasih, ya, udah nemenin.""Sama-sama." Safira tersenyum, sebelum akhirnya masuk ke kamar dan menutup pintu. Safira menghela napas lelah seiring dengan bokongnya mendarat di tempat tidur. Dan melepaskan tasnya di tempat tider. Perjalanan hari ini harusnya cukup menenangkan pikirannya, tapi membaca berita di koran itu membuat dia tidak bisa berpikir dengan tenang.Belum sembuh kesedihannya atas kepergian Viona secara mendadak yang dia dengar dari pihak sekolah tempo hari. Dan sempat menggegerkan warga SMA Tunas Bangsa. Dia bahkan masih ingat jelas bagaimana histerisnya orang tua Viona di depan jenazah sang anak, di hari pertama dia ikut melayat. Biar bagaimana pun Viona adik kelasnya. Dia ikut merasa sedih dan kehilangan.Hari ini dia kembali diingatkan dengan kabar duka itu ketika membaca isi koran tadi.Dan ini semua gara-gara Gilang. Kebencian Safira terhadap lelaki itu rasanya semakin dalam. Safira merogoh kembali tasnya. Mengeluarkan koran tersebut. Membaca ulang berita itu.Dr
Beberapa minggu kemudian...Siang itu keadaan pasar cukup ramai. Pedagang buah berjejer di tepi jalan, menyapa pejalan kaki yang lewat, berlomba-lomba menawarkan dagangannya, berdampingan dengan kios penjual kaset yang memutar lagu dangdut cukup keras. Membuat hiruk-pikuk suasana pasar semakin terasa.Safira akhirnya memutuskan ikut Tika ke pasar, ketika gadis itu mengajaknya untuk menemaninya ke toko buku. Hitung-hitung refreshing, berharap bisa melupakan masalah-masalahnya sejenak. Mereka berjalan kaki menyusuri tepian pasar mencari toko buku yang ada di antara kios kaset itu. Motornya mereka parkir cukup jauh dari tempat mereka sekarang.Ketika menemukan sebuah toko yang bagian depannya terdapat buku-buku, Tika melangkahkan kaki ke sana, diiringi Safira.Ketika masuk ke dalam mereka disuguhkan dengan pemandangan lemari kaca yang tersusun berbagai macam buku di dalamnya. Safira mengedar pandangan di ruangan itu. Di sana ternyata tak hanya menjual buku, tapi juga ada majalah-majalah
Safira duduk di kursi belajarnya. Kedua sikunya bertumpu ke meja, dengan kedua tangannya memegangi kepalanya. Seandainya kepalanya bisa dibelah, mungkin di dalamnya ada api yang terlihat membakar isi kepalanya hingga kepalanya terasa panas dan ingin pecah.Safira benar-benar tak mengerti dengan sikap Gilang. Dia benar-benar tak tahu harus percaya atau tidak. Sikap lelaki itu sulit untuk diterka. Kadang begini, kadang begitu. Tadinya Safira ingin mengusir lelaki itu dan tidak akan percaya dengan apa pun yang dikatakan olehnya. Namun, pandangan lelaki itu membuat keputusan Safira berubah. Saat melihat tatapan itu, hati kecilnya mengatakan kalau Gilang sedang jujur. Ingin rasanya dia percaya, tapi tak dapat dimungkiri perasaannya juga takut.Maka dari itu, ketika Gilang bertekuk lutut, dia berusaha melepaskan diri dari lelaki itu. Dengan melawankan perasaannya dia mengusir lelaki itu. Awalnya, Gilang enggan pergi sebelum Safira memaafkannya, tapi akhirnya Gilang mengalah dan sebelum dia
Pagi itu Gilang menemui Viona di rumah. Rencananya dia akan mengajak gadis itu jalan. Meskipun sebenarnya jauh di lubuk hatinya, lelaki itu tidak sepenuh hati melakukan semua ini. Karena pikirannya pun terganggu dengan kejadian semalam. Sejak tadi fokusnya terpecah. Dia ingin menyelesaikan masalahnya dengan Safira tapi dia harus menemui Viona terlebih dulu. Gilang menyeringai lebar di depan pintu, saat dilihatnya pintu rumah itu di buka dari dalam dan Viona muncul. "Udah siap?" Gilang memperhatikan penampilan Viona pagi itu yang terlihat masih mengenakan pakaian tidur. Gadis itu bahkan menatapnya datar."Kita nggak jadi jalan hari ini, Kak," "Kenapa?" Viona menatap jalanan komplek yang sepi. Sebelum akhirnya angkat bicara. "Gue tau kak sebenarnya kak Gilang itu sayangnya sama kak Safira, kan?" katanya to the point. "Jawabannya pasti iya. Karena sejak awal kak Gilang emang nggak pernah suka sama aku. Akunya yang maksain. Selama ini aku terobsesi sama kak Gilang sampai aku ngelakuin
Safira terus melangkah menyelusuri koridor sekolah itu seiring dengan perasaannya yang bergejolak. Dia telah menelusuri semua tempat di sekolah itu tapi tak tampak tanda-tanda ada orang. Apa lagi Viona dan Gilang. Safira sempat berpikir kalau Viona membohonginya. Atau mereka belum sampai?Tanpa sadar, langkahnya membawanya ke depan pintu toilet, dia berhenti. Safira menghela napas. "Bener nggak sih?" Safira bergumam sendiri sambil matanya mengedar ke penjuru koridor seberang yang agak gelap. Benar-benar tidak ada siapa-siapa.Sejurus kemudian, dia tertegun. "Jangan-jangan gue dibohongin sama tuh bocah. Ya ampun, kenapa gue percaya, sih? Di jam segini mana ada orang."Safira lantas meringis. Dia tiba-tiba ingin buang air kecil. Ketika dia menoleh ke samping kiri, dia tersadar ada toilet.Safira memutuskan buang air kecil dulu sebelum pulang.Pelan, kakinya melangkah, memasuki toilet wanita tersebut. Dan terkejutlah dia dengan apa yang dilihatnya di
Beberapa hari setelah kejadian itu, Gilang kembali dekat dengan Safira. Gilang sering menemuinya untuk menghibur gadis itu.Safira masih tak menyangka, sahabatnya yang selama ini dia percaya, sahabatnya yang selama ini begitu baik padanya mampu mengecewakan.Dia benar-benar tak percaya Evan tega menjebaknya. Dan yang membuatnya tak habis pikir Riri ikut bersekongkol menjerumuskannya.Sahabat macam apa mereka?"Gue nggak nyangka aja Gilang, mereka sahabat gue yang selama ini gue anggap udah kayak saudara sendiri." Safira menatap Gilang dengan sorot menyiratkan kesedihan.Gilang mengusap bahu gadis itu. "Berarti mereka bukan sahabat. Nggak ada sahabat kayak gitu. Kamu udah salah nganggap mereka sahabat.""Temen aku selama ini cuman mereka Gilang. Kalau nggak ada mereka, aku nggak punya siapa-siapa. Aku sendirian.""Mending sendiri daripada punya sahabat kayak mereka. Sekarang kamu tau, kan, mereka sebenarnya kayak gimana?"
"Fajar, apa yang udah lo lakuin ke temen gue?!"Evan menarik kerah baju Fajar, tatapan nyalangnya menghunus tepat ke mata Fajar. Evan mencari Fajar di gedung sekolah itu sampai akhirnya dia menemukan Fajar sedang berjalan gontai di lorong sekolah itu. Langsung saja dia menginterogasi temannya itu.Bukannya terkejut, Fajar malah terlihat santai. "Apa, sih, maksud lo?""Nggak usah berlagak bego! Gue tau lo niat buruk ke Safira dan karena itu gue liat Safira lari-lari ke depan. Apa yang udah lo lakuin, hah!"Fajar menatap Evan tak percaya. Baru kali ini Evan bersikap sekasar itu padanya dan itu semua karena Safira."Iya, gue emang bawa Safira ke sini. Tapi gue nggak niat macam-macam. Lo udah salah paham pasti, nih, lagian lo tau dari mana tentang niat gue? Lo negatif thingking sama gue.""Dari awal gue merhatiin kedekatan lo sama Safira. Gue sama Riri curiga sama lo. Diam-diam gue masang penyadap di handphone Safira buat mastiin kalau Safira ba
"Gilang?" Safira melihat Gilang yang duduk di atas motornya dalam keadaan mesin motor masih menyala dengan tatapan tak percaya. "Kamu kenapa lari-lari di jalan, kenceng banget lagi," ucap Gilang. "Kok kamu bisa di sini?" Safira tak kuasa menahan rasa penasarannya. Sontak Safira berjalan mendekat ke Gilang. "Kamu kenapa, Fir?" Gilang heran melihat gelagat Safira seperti orang ketakutan. Safira menggenggam lengan Gilang yang memegang setang motor. "Aku takut banget. Tolong bawa aku dari sini, nanti aku ceritain, cepetan!" Gilang mengangguk cepat. "Iya, iya. Ayo naik."Safira pun naik ke boncengan Gilang sebelum akhirnya motor itu melaju kencang. Riri melihat itu semua dengan keheranan. Kehadiran Gilang yang tiba-tiba dan Safira yang pergi bersama Gilang entah ke mana. "Kurang ajar si Gilang," umpat Riri geram. *** Di sepanjang perjalanan Safira hanya diam sembari tangannya tak lepas dari m