Gilang: Fir, hari ini kita ketemuan yuk. Ada hal penting yang pengin aku omongin sama kamu. Bentar lagi aku jemput.
Safira menatap pesan itu tak percaya. Gadis itu tersenyum senang. Gilang akhirnya mengiriminya pesan setelah dua hari tak ada kabar. Di sekolah tadi Safira juga tidak melihat keberadaannya. Entah ke mana lelaki itu. Hal itu membuat Safira semakin rindu pada pacarnya itu.
Dan tanpa di sangka sore ini Gilang akhirnya mengiriminya pesan juga. Bahkan pacarnya itu mengajaknya ketemuan. Namun, sejurus kemudian ekspresinya berubah, senyum senang yang sempat tercipta itu seketika memudar kala sebuah spekulasi buruk terlintas di pikirannya.
Dua hari sejak semalam Gilang tak ada kabar sama sekali. Dan tiba-tiba saja hari ini Gilang langsung mengajaknya ketemuan. Untuk apa? Apakah Gilang mengadakan suprise untuknya? Rasanya tak mungkin.
Safira takut kalau Gilang ingin menyampaikan kabar buruk mengenai hubungan mereka. Mendadak perasaan cewek
Gilang melepas pelukannya, menatap Safira lekat-lekat. "Aku...." "Apa Gilang?" desak Safira tak sabaran. "Aku mau cerita," ucap Gilang akhirnya. Sungguh dia berat mengatakannya. "Cerita apa?" Gilang lalu berdiri, berjalan menuju balkon, melempar pandang ke lapangan basket. "Jujur semenjak sama kamu, aku banyak berubah. Bahkan berubah drastis. Aku nggak pernah lagi ngelakuin itu," "Bagus dong." Safira berjalan mendekati Gilang. "Iya, tapi tetap aja aku merasa buruk. Aku nggak pantas. Aku memiliki masa lalu yang buruk. Aku bukan lelaki yang baik." Gilang lantas menghadap Safira. "Dibanding kamu, aku benar-benar nggak pantas. Tadinya aku pikir kamu yang nggak pantas untuk aku, tapi semakin ke sini aku sadar, aku yang nggak pantas untuk kamu," Safira mengernyit, perasaannya semakin tak nyaman, "maksud kamu?" "Kamu terlalu baik buat aku, Fira. Dan aku nggak pantas buat kamu. Kamu pantas dapatkan lelaki yang leb
"Aku lupa sesuatu," "Apa?" "Kamu nggak pake jaket. Kebiasaan, deh." Gilang melepaskan jaket kulitnya, mengenakannya ke Safira. Safira terperangah melihat sikap Gilang. Lelaki itu mengenakan jaket miliknya ke tubuh Safira sedangkan dirinya hanya mengenakan kaos pendek tipis. "Kamu gimana? Kamu cuman pake kaos pendek Gilang. Jaketnya buat kamu aja--" "Aku nggak pa-pa." Gilang memegangi kedua bahu Safira yang sudah tertutup jaket. Jaket itu terlihat kebesaran di tubuh Safira. "Aku nggak masalah kalau kedinginan. Yang penting kamu nggak." Gilang tersenyum. Safira terenyuh. Kenapa di saat hubungan mereka telah berakhir, Gilang justru bersikap semakin manis padanya? Gilang baru akan melanjutkan langkah, ketika Safira justru menahan pergelangan tangannya. Gilang menoleh. "Kenapa?" "Kalau kamu nggak pake jaket sebaiknya kita nggak pulang sekarang. Hujan di luar lebat banget. Aku nggak mau kamu sakit." Safira menggeleng.
Hari ini ujian nasional di SMA Tunas Bangsa dilaksanakan. Suasana sekolah menjelang ujian, tak seramai biasanya. Karena hanya ada siswa angkatan kelas dua belas sebagai peserta ujian, tak ada adik kelas. Kembali seperti biasa, Safira pergi sekolah bersama Evan. Dan kali ini mereka datang di saat sekolah sudah lumayan ramai. Safira berjalan dengan sedikit tertunduk di belakang Evan, mereka berjalan di tengah lalu-lalang siswa lain. Dan ketika Safira mengangkat kepalanya dia langsung bertemu pandang dengan Gilang yang berdiri di ambang pintu ruang sepuluh. Lelaki itu tadinya sibuk bercengkrama dengan teman-temannya. Ketika dia melihat kehadiran Safira, lelaki itu langsung menatap cewek itu. Melihat itu, Safira segera tundukkan pandangannya kembali. Lantas memotong jalan Evan, masuk ke ruangannya dengan terburu-buru. Masing-masing ruang telah dipersiapkan. Jumlah satu kelas murid di bagi menjadi dua ruang. Safira mendapat ruang delapan, terpisah dengan Evan dan
"Jadi itu alasannya Gilang mutusin lo?" Riri masih menatap Safira tak percaya. Safira hanya mengangguk. Riri dan Evan saling pandang. Setelah cukup lama menangis, meluapkan perasaannya di pelukan Riri. Safira akhirnya menceritakan sebenarnya ke Evan dan Riri. Termasuk kapan dan di mana Gilang memutuskannya. Untuk alasannya, Safira sedikit berbohong dengan mengatakan kalau Gilang ingin dia fokus dengan ujiannya dan mendapatkan nilai terbaik. Intinya Gilang memutuskannya karena ingin Safira fokus dengan sekolahnya saja. Safira tak mau mengatakan kalau alasan Gilang memutuskannya karena takut merusaknya. Dia telah berkomitmen tidak akan membongkar jati diri Gilang yang sebenarnya pada siapa pun. "Tapi nggak tahu kenapa gue rasanya nggak yakin sama alasannya itu, klasik banget. Kenapa baru ngomong sekarang coba?" Riri belum sepenuhnya yakin mengenai alasan Gilang memutuskan Safira. "Gue nggak tau, tapi dia bilangnya gitu," jawab Safira. "Gue sih yakin
"Gue liat Gilang jalan sama Viona!" Riri berusaha mengeraskan volume suaranya, menyeimbangi deru kendaraan yang terdengar ribut. Evan mendengar suara Riri samar-samar. "Apa? Gilang sama Viona? Di mana?" Lelaki itu juga berusaha mengeraskan volume suaranya. "Tadi di lampu merah, mereka belok ke jalur lain, gue nggak sempat panggil mereka." Riri masih ingat jelas pemandangan itu. Gilang yang tampak berbicara dan Viona yang tersenyum-senyum. Mengingatnya membuatnya muak. "Yang bener lo," "Iya! Kurang ajar, ya, Gilang! Baru beberapa hari putus dari Safira udah gandeng cewek lain aja. Viona lagi." Anjir! Riri mengumpat dalam hati. "Kita harus kasi tau Safira, Van! Gue baru tau kalau lo seberengsek itu Gilang. Kurang ajar lo!" *** Gilang dan Viona mengunjungi pasar malam. Suasana malam itu sangat ramai. Ada banyak pedagang kaki lima yang menjajakkan jualannnya. Mamang-mamang penjual jajanan seperti cilok, cire
Evan baru masuk ke ruangannya. Tinggallah Safira berjalan sendiri menuju ke ruangannya. Dari kejauhan Safira melihat Gilang berdiri di depan pintu koridor ruangannya. Dari kejauhan dia bisa melihat kalau Gilang juga menatapnya. Dan ketika langkahnya semakin dekat, Safira tak kuasa untuk tidak tersenyum. Lelaki itu membalas senyumannya. "Kenapa senyum-senyum?" tanya Gilang ketika Safira mendekat. Safira menggeleng dan senyumnya bertambah lebar. Dia merasa sedikit konyol. Dia sebenarnya ingin langsung masuk ke ruangannya tapi entah kenapa langkahnya malah terhenti di hadapan cowok itu. "Semalam kenapa nanya kayak gitu?" tanya Gilang lagi. Melihat Safira yang menghentikan langkah membuat dia berpikir kalau Safira ingin di ajak bicara. "Yang mana?" "Ngiranya aku marah atau nggak. Apa yang membuat kamu berpikir aku marah sama kamu?" Meski tak ada lagi status di antaranya, Gilang belum bisa menghentikan kebiasaannya untuk memanggil Saf
Dua hari berlalu, ujian nasional selesai dilaksanakan. Angkatan kelas dua belas bebas dari jam pelajaran. Mereka tidak diliburkan, tapi tidak juga diwajibkan datang ke sekolah.Mereka bebas datang dan pergi kapan saja sambil menunggu hasil ujian keluar dan acara perpisahan dilaksanakan. Safira, Evan, dan Riri tiba di sekolah pukul delapan. Siswa seangkatan mereka pun ada yang baru datang bahkan sudah ada yang pulang. Mereka langsung menuju perpustakaan. Bukan untuk meminjam atau membaca buku, hanya mencari tempat yang nyaman untuk mengobrol. Evan sejak tadi malah membahas rencana liburannya seperti yang pernah direncanakan dulu. Lelaki itu agaknya tak sabaran ingin berlibur melepas penat dari aktivitas ujian yang memeras pikiran dan tenaga. "Kalian mau, kan, liburan sama-sama?" tanya Evan memastikan, dia duduk di salah satu kursi yang ada di meja panjang berkapasitas delapan orang yang ada di ruangan perpustakaan. "Jadi, kok." S
"Serius mau nginap di sini?" Pandangan Safira mengedar ke setiap penjuru ruangan di hadapannya. Ruangan itu penuh debu, sarang laba-laba bergantungan di langit-langitnya. Lantainya kotor. Bau apak menyeruak di indra penciuman waktu pertama kali membuka pintu rumah kosong yang lama tak terpakai itu. Waktu pertama kali melihat penampakkan depan rumah ini dengan halaman yang semak dipenuhi rumput tinggi dan ilalang, Safira sudah tak yakin akan menginap di sini, tapi Evan mengatakan kalau itu hanya tampak depannya saja, sedangkan keadaan dalam rumahnya juga belum tentu sekotor di luar, tapi kenyataannya sama saja. Evan juga memperhatikan setiap sudut ruangan itu yang mana ruangan itu adalah ruang tamu rumah ini. "Ya, mau gimana lagi?" Evan meletakkan ranselnya di lantai yang kotor itu. Evan bahkan kelihatannya tak jijik sama sekali. "Tapi rumah ini masih bagus, kok, cuman kotor aja karena lama nggak di tempati. Kita kan bisa bersihin bareng-bareng