"Serius mau nginap di sini?"
Pandangan Safira mengedar ke setiap penjuru ruangan di hadapannya. Ruangan itu penuh debu, sarang laba-laba bergantungan di langit-langitnya.
Lantainya kotor. Bau apak menyeruak di indra penciuman waktu pertama kali membuka pintu rumah kosong yang lama tak terpakai itu.
Waktu pertama kali melihat penampakkan depan rumah ini dengan halaman yang semak dipenuhi rumput tinggi dan ilalang, Safira sudah tak yakin akan menginap di sini, tapi Evan mengatakan kalau itu hanya tampak depannya saja, sedangkan keadaan dalam rumahnya juga belum tentu sekotor di luar, tapi kenyataannya sama saja.
Evan juga memperhatikan setiap sudut ruangan itu yang mana ruangan itu adalah ruang tamu rumah ini.
"Ya, mau gimana lagi?" Evan meletakkan ranselnya di lantai yang kotor itu. Evan bahkan kelihatannya tak jijik sama sekali. "Tapi rumah ini masih bagus, kok, cuman kotor aja karena lama nggak di tempati. Kita kan bisa bersihin bareng-bareng
"Kalau setelah kita balikan nanti apa lo masih mau ngelakuin itu sama kakak?" Viona menatap Gilang tak mengerti. "Kakak ngajak gue balikan?" "Ya, kalau lo mau itu." Gilang menggoda Viona. Viona terdiam. Dia benar-benar tak menyangka akan di tanya demikian. Gilang mengajaknya balikan secepat ini. Dia benar-benar tak menyangka. "Kenapa? Mau balikan nggak?" "Serius, Kak?" Viona masih tak percaya. "Serius. Kakak mau kita balikan asal lo mau ngelakuin itu lagi." "I-iya, Kak, gue mau..." "Jadi sekarang kita pacaran, nih, ya?" Gilang bertanya. "Menurut kakak?" Viona malu-malu. "Oke, kita pacaran." Viona tersenyum. Antara senang dengan malu. Gilang melirik jarum jam yang menunjukkan pukul lima lewat. Tak terasa sudah cukup lama dia di sini. "Udah sore, ya," "Kak Gilang mau pulang?" "Kalau kakak di sini sampai malam gimana? Boleh nggak?" "Boleh-boleh, aja, sih? Tapi n
"Kenapa, Fir?" Evan malah balik bertanya. Sontak semua pasang mata menatap Safira yang melotot ke Evan. "Gue nggak suka lo ngomong gitu ke mereka!" Evan dan tiga orang yang ada di sana terkejut melihat reaksi Safira. "Gue nggak kenal mereka. Mereka nggak tau apa-apa tentang gue. Jadi nggak seharusnya lo ceritain masalah-masalah gue ke mereka tanpa seizin gue!" "Masalah?" Evan jadi tak mengerti. "Gue nggak nyeritain masalah lo," "Yang tadi lo sebut barusan itu privasi bagi orang-orang yang nggak ngenal gue! Gue nggak suka lo cerita-ceritain!" "Fir, tenang." Riri menyentuh pundak Safira. Tapi Safira tak peduli. "Dan yang lo omongin itu nggak sesuai fakta. Gue nggak lagi sedih dan gue nggak butuh hiburan!" Wajah Safira terlihat memerah antara emosi juga malu. Fajar yang memahami kondisi tersebut segera menengahi. "Fir, maaf, nih, ya. Kita emang nggak saling kenal, tapi tadi, kan, Evan udah ngenalin kita. Kalau lo marah karena
Safira tersenyum-senyum membaca pesan itu. Dia bahkan membaca teks itu berkali-kali, lalu di ss dan di simpan di folder galerinya. Safira tersenyum geli menyadari tingkah lakunya. Tok. Tok. Tok. "Fir," Suara ketukan pintu di susul suara khas Evan terdengar samar-samar. Lelaki itu sudah pulang rupanya. Safira menatap ke arah pintu. "Fir," panggil Evan lagi. "Fir, buka pintunya gue mau ngomong, please," Safira memutar bola mata malas. Dia meletakkan ponselnya kembali di samping bantal. Lantas berdiri, berjalan menuju pintu. Safira membuka pintu dengan malas. Dan langsung berbalik badan kembali menuju tempat tidur dan duduk di sana. Safira menatap Evan yang hanya berdiam diri di depan pintu sembari menatap ke arahnya. "Boleh gue masuk?" tanyanya, terdengar sungkan.Safira menatap Evan datar. "Iya." Evan melangkah masuk mendekati Safira, sementara pintu masih dalam keadaan terbuka. Evan duduk di samping Safira. M
Safira seketika mengerjap-ngerjap. "Oh, nggak." Lantas tersenyum kaku. "Oh, iya." Safira teringat sesuatu. "Gue minta maaf, ya. Sikap gue ke kakak nggak mengenakkan." "Oh itu. Iya, nggak pa-pa. Santai aja. Kakak paham, kok, paham banget," jawab Fajar. "Iya, gue...gue cuman takut," "Takut kenapa?" Fajar menatapnya heran. "Eng, takut aja." Safira menggosok tengkuknya. "Makanya kakak ke sini buat ngelurusin semua. Kakak mau lo tau kalau kita, kakak sama kak Tino cuman mau temenan sama lo. Maafin kakaj juga sikap kakak udah bikin lo takut, tapi kakak nggak bermaksud. Kakak cuman berusaha nenangin lo. Maafin Evan juga kalau udah bikin lo tersinggung. Tapi sungguh kita nggak bermaksud nyakitin perasaan lo," jelas Fajar panjang lebar. Ya, niat awal Fajar memang hanya ingin berteman dengan Safira karena dia juga penasaran dengan sosok Safira yang biasa Evan ceritakan. Tapi, melihat reaksi dan sikap Safira yang tadi siang, dia jadi beruba
Hari-hari terus berlalu. Safira dan Fajar pun makin akrab. Fajar tak sungkan datang ke rumah itu hanya untuk menjemput Safira jalan. Diam-diam, Evan pun heran dengan kedekatan sahabatnya itu. Evan sempat berpikir kalau Fajar naksir Safira dan sedang berusaha mencuri hati Safira. Namun, ketika Evan tak kuasa menahan penasarannya sampai menanyai Fajar tentang itu. Fajar malah menjawab kalau dirinya hanya ingin berteman dengan Safira dan menghibur gadis itu. Membuat Evan sadar kalau dia sudah salah paham mengartikan sikap Fajar. Sampai suatu hari, Fajar mengajak Safira jalan untuk yang kesekian kalinya. Kali ini Fajar membawa Safira ke gedung SD yang sedang sepi. "Kita ngapain, sih, di sini? Sekolah orang." Safira tak bisa menahan diri untuk tidak bertanya. Sejak tadi dia hanya mengiringi ke mana Fajar pergi sambil otaknya berpikir dan berusaha menemukan jawaban kenapa Fajar membawanya ke sini. Safira sejak tadi juga sambil chatingan dengan G
"Gilang?" Safira melihat Gilang yang duduk di atas motornya dalam keadaan mesin motor masih menyala dengan tatapan tak percaya. "Kamu kenapa lari-lari di jalan, kenceng banget lagi," ucap Gilang. "Kok kamu bisa di sini?" Safira tak kuasa menahan rasa penasarannya. Sontak Safira berjalan mendekat ke Gilang. "Kamu kenapa, Fir?" Gilang heran melihat gelagat Safira seperti orang ketakutan. Safira menggenggam lengan Gilang yang memegang setang motor. "Aku takut banget. Tolong bawa aku dari sini, nanti aku ceritain, cepetan!" Gilang mengangguk cepat. "Iya, iya. Ayo naik."Safira pun naik ke boncengan Gilang sebelum akhirnya motor itu melaju kencang. Riri melihat itu semua dengan keheranan. Kehadiran Gilang yang tiba-tiba dan Safira yang pergi bersama Gilang entah ke mana. "Kurang ajar si Gilang," umpat Riri geram. *** Di sepanjang perjalanan Safira hanya diam sembari tangannya tak lepas dari m
"Fajar, apa yang udah lo lakuin ke temen gue?!"Evan menarik kerah baju Fajar, tatapan nyalangnya menghunus tepat ke mata Fajar. Evan mencari Fajar di gedung sekolah itu sampai akhirnya dia menemukan Fajar sedang berjalan gontai di lorong sekolah itu. Langsung saja dia menginterogasi temannya itu.Bukannya terkejut, Fajar malah terlihat santai. "Apa, sih, maksud lo?""Nggak usah berlagak bego! Gue tau lo niat buruk ke Safira dan karena itu gue liat Safira lari-lari ke depan. Apa yang udah lo lakuin, hah!"Fajar menatap Evan tak percaya. Baru kali ini Evan bersikap sekasar itu padanya dan itu semua karena Safira."Iya, gue emang bawa Safira ke sini. Tapi gue nggak niat macam-macam. Lo udah salah paham pasti, nih, lagian lo tau dari mana tentang niat gue? Lo negatif thingking sama gue.""Dari awal gue merhatiin kedekatan lo sama Safira. Gue sama Riri curiga sama lo. Diam-diam gue masang penyadap di handphone Safira buat mastiin kalau Safira ba
Beberapa hari setelah kejadian itu, Gilang kembali dekat dengan Safira. Gilang sering menemuinya untuk menghibur gadis itu.Safira masih tak menyangka, sahabatnya yang selama ini dia percaya, sahabatnya yang selama ini begitu baik padanya mampu mengecewakan.Dia benar-benar tak percaya Evan tega menjebaknya. Dan yang membuatnya tak habis pikir Riri ikut bersekongkol menjerumuskannya.Sahabat macam apa mereka?"Gue nggak nyangka aja Gilang, mereka sahabat gue yang selama ini gue anggap udah kayak saudara sendiri." Safira menatap Gilang dengan sorot menyiratkan kesedihan.Gilang mengusap bahu gadis itu. "Berarti mereka bukan sahabat. Nggak ada sahabat kayak gitu. Kamu udah salah nganggap mereka sahabat.""Temen aku selama ini cuman mereka Gilang. Kalau nggak ada mereka, aku nggak punya siapa-siapa. Aku sendirian.""Mending sendiri daripada punya sahabat kayak mereka. Sekarang kamu tau, kan, mereka sebenarnya kayak gimana?"
Satu bulan kemudian. Gadis yang duduk di atas kursi roda itu termenung menatap ke luar kaca jendela. Masih di kamarnya yang berada di lantai dua gedung kosan ini.Gadis itu mengingat kejadian demi kejadian yang di alaminya satu bulan belakangan. Dia yang tertabrak truck sampai kakinya terlindas dan masuk rumah sakit. Dia bahkan sempat koma selama dua minggu. Dia juga melewati acara perpisahan yang di laksanakan tepat saat dirinya dirawat di rumah sakit. Dia dinyatakan lumpuh. Kaki bagian tempurungnya pecah dan busuk, karenanya kakinya harus dipotong. Tiga hari yang lalu Gilang sempat datang menemuinya. "Aku nggak bisa Gilang. Dengan keadaan aku yang sekarang aku nggak pantas buat kamu," ucapnya ketika cowok itu melihat bagaimana keadaannya yang sekarang, cowok itu masih bersedia mengajaknya balikan. "Kamu nggak boleh ngomong gitu, Fir. Aku nggak peduli kondisi kamu sekarang. Karena cuman kamu perempuan baik yang bisa mengubah aku menjadi lelaki yang baik juga. Apa pun keadaannya
"Makasih, ya, udah nemenin.""Sama-sama." Safira tersenyum, sebelum akhirnya masuk ke kamar dan menutup pintu. Safira menghela napas lelah seiring dengan bokongnya mendarat di tempat tidur. Dan melepaskan tasnya di tempat tider. Perjalanan hari ini harusnya cukup menenangkan pikirannya, tapi membaca berita di koran itu membuat dia tidak bisa berpikir dengan tenang.Belum sembuh kesedihannya atas kepergian Viona secara mendadak yang dia dengar dari pihak sekolah tempo hari. Dan sempat menggegerkan warga SMA Tunas Bangsa. Dia bahkan masih ingat jelas bagaimana histerisnya orang tua Viona di depan jenazah sang anak, di hari pertama dia ikut melayat. Biar bagaimana pun Viona adik kelasnya. Dia ikut merasa sedih dan kehilangan.Hari ini dia kembali diingatkan dengan kabar duka itu ketika membaca isi koran tadi.Dan ini semua gara-gara Gilang. Kebencian Safira terhadap lelaki itu rasanya semakin dalam. Safira merogoh kembali tasnya. Mengeluarkan koran tersebut. Membaca ulang berita itu.Dr
Beberapa minggu kemudian...Siang itu keadaan pasar cukup ramai. Pedagang buah berjejer di tepi jalan, menyapa pejalan kaki yang lewat, berlomba-lomba menawarkan dagangannya, berdampingan dengan kios penjual kaset yang memutar lagu dangdut cukup keras. Membuat hiruk-pikuk suasana pasar semakin terasa.Safira akhirnya memutuskan ikut Tika ke pasar, ketika gadis itu mengajaknya untuk menemaninya ke toko buku. Hitung-hitung refreshing, berharap bisa melupakan masalah-masalahnya sejenak. Mereka berjalan kaki menyusuri tepian pasar mencari toko buku yang ada di antara kios kaset itu. Motornya mereka parkir cukup jauh dari tempat mereka sekarang.Ketika menemukan sebuah toko yang bagian depannya terdapat buku-buku, Tika melangkahkan kaki ke sana, diiringi Safira.Ketika masuk ke dalam mereka disuguhkan dengan pemandangan lemari kaca yang tersusun berbagai macam buku di dalamnya. Safira mengedar pandangan di ruangan itu. Di sana ternyata tak hanya menjual buku, tapi juga ada majalah-majalah
Safira duduk di kursi belajarnya. Kedua sikunya bertumpu ke meja, dengan kedua tangannya memegangi kepalanya. Seandainya kepalanya bisa dibelah, mungkin di dalamnya ada api yang terlihat membakar isi kepalanya hingga kepalanya terasa panas dan ingin pecah.Safira benar-benar tak mengerti dengan sikap Gilang. Dia benar-benar tak tahu harus percaya atau tidak. Sikap lelaki itu sulit untuk diterka. Kadang begini, kadang begitu. Tadinya Safira ingin mengusir lelaki itu dan tidak akan percaya dengan apa pun yang dikatakan olehnya. Namun, pandangan lelaki itu membuat keputusan Safira berubah. Saat melihat tatapan itu, hati kecilnya mengatakan kalau Gilang sedang jujur. Ingin rasanya dia percaya, tapi tak dapat dimungkiri perasaannya juga takut.Maka dari itu, ketika Gilang bertekuk lutut, dia berusaha melepaskan diri dari lelaki itu. Dengan melawankan perasaannya dia mengusir lelaki itu. Awalnya, Gilang enggan pergi sebelum Safira memaafkannya, tapi akhirnya Gilang mengalah dan sebelum dia
Pagi itu Gilang menemui Viona di rumah. Rencananya dia akan mengajak gadis itu jalan. Meskipun sebenarnya jauh di lubuk hatinya, lelaki itu tidak sepenuh hati melakukan semua ini. Karena pikirannya pun terganggu dengan kejadian semalam. Sejak tadi fokusnya terpecah. Dia ingin menyelesaikan masalahnya dengan Safira tapi dia harus menemui Viona terlebih dulu. Gilang menyeringai lebar di depan pintu, saat dilihatnya pintu rumah itu di buka dari dalam dan Viona muncul. "Udah siap?" Gilang memperhatikan penampilan Viona pagi itu yang terlihat masih mengenakan pakaian tidur. Gadis itu bahkan menatapnya datar."Kita nggak jadi jalan hari ini, Kak," "Kenapa?" Viona menatap jalanan komplek yang sepi. Sebelum akhirnya angkat bicara. "Gue tau kak sebenarnya kak Gilang itu sayangnya sama kak Safira, kan?" katanya to the point. "Jawabannya pasti iya. Karena sejak awal kak Gilang emang nggak pernah suka sama aku. Akunya yang maksain. Selama ini aku terobsesi sama kak Gilang sampai aku ngelakuin
Safira terus melangkah menyelusuri koridor sekolah itu seiring dengan perasaannya yang bergejolak. Dia telah menelusuri semua tempat di sekolah itu tapi tak tampak tanda-tanda ada orang. Apa lagi Viona dan Gilang. Safira sempat berpikir kalau Viona membohonginya. Atau mereka belum sampai?Tanpa sadar, langkahnya membawanya ke depan pintu toilet, dia berhenti. Safira menghela napas. "Bener nggak sih?" Safira bergumam sendiri sambil matanya mengedar ke penjuru koridor seberang yang agak gelap. Benar-benar tidak ada siapa-siapa.Sejurus kemudian, dia tertegun. "Jangan-jangan gue dibohongin sama tuh bocah. Ya ampun, kenapa gue percaya, sih? Di jam segini mana ada orang."Safira lantas meringis. Dia tiba-tiba ingin buang air kecil. Ketika dia menoleh ke samping kiri, dia tersadar ada toilet.Safira memutuskan buang air kecil dulu sebelum pulang.Pelan, kakinya melangkah, memasuki toilet wanita tersebut. Dan terkejutlah dia dengan apa yang dilihatnya di
Beberapa hari setelah kejadian itu, Gilang kembali dekat dengan Safira. Gilang sering menemuinya untuk menghibur gadis itu.Safira masih tak menyangka, sahabatnya yang selama ini dia percaya, sahabatnya yang selama ini begitu baik padanya mampu mengecewakan.Dia benar-benar tak percaya Evan tega menjebaknya. Dan yang membuatnya tak habis pikir Riri ikut bersekongkol menjerumuskannya.Sahabat macam apa mereka?"Gue nggak nyangka aja Gilang, mereka sahabat gue yang selama ini gue anggap udah kayak saudara sendiri." Safira menatap Gilang dengan sorot menyiratkan kesedihan.Gilang mengusap bahu gadis itu. "Berarti mereka bukan sahabat. Nggak ada sahabat kayak gitu. Kamu udah salah nganggap mereka sahabat.""Temen aku selama ini cuman mereka Gilang. Kalau nggak ada mereka, aku nggak punya siapa-siapa. Aku sendirian.""Mending sendiri daripada punya sahabat kayak mereka. Sekarang kamu tau, kan, mereka sebenarnya kayak gimana?"
"Fajar, apa yang udah lo lakuin ke temen gue?!"Evan menarik kerah baju Fajar, tatapan nyalangnya menghunus tepat ke mata Fajar. Evan mencari Fajar di gedung sekolah itu sampai akhirnya dia menemukan Fajar sedang berjalan gontai di lorong sekolah itu. Langsung saja dia menginterogasi temannya itu.Bukannya terkejut, Fajar malah terlihat santai. "Apa, sih, maksud lo?""Nggak usah berlagak bego! Gue tau lo niat buruk ke Safira dan karena itu gue liat Safira lari-lari ke depan. Apa yang udah lo lakuin, hah!"Fajar menatap Evan tak percaya. Baru kali ini Evan bersikap sekasar itu padanya dan itu semua karena Safira."Iya, gue emang bawa Safira ke sini. Tapi gue nggak niat macam-macam. Lo udah salah paham pasti, nih, lagian lo tau dari mana tentang niat gue? Lo negatif thingking sama gue.""Dari awal gue merhatiin kedekatan lo sama Safira. Gue sama Riri curiga sama lo. Diam-diam gue masang penyadap di handphone Safira buat mastiin kalau Safira ba
"Gilang?" Safira melihat Gilang yang duduk di atas motornya dalam keadaan mesin motor masih menyala dengan tatapan tak percaya. "Kamu kenapa lari-lari di jalan, kenceng banget lagi," ucap Gilang. "Kok kamu bisa di sini?" Safira tak kuasa menahan rasa penasarannya. Sontak Safira berjalan mendekat ke Gilang. "Kamu kenapa, Fir?" Gilang heran melihat gelagat Safira seperti orang ketakutan. Safira menggenggam lengan Gilang yang memegang setang motor. "Aku takut banget. Tolong bawa aku dari sini, nanti aku ceritain, cepetan!" Gilang mengangguk cepat. "Iya, iya. Ayo naik."Safira pun naik ke boncengan Gilang sebelum akhirnya motor itu melaju kencang. Riri melihat itu semua dengan keheranan. Kehadiran Gilang yang tiba-tiba dan Safira yang pergi bersama Gilang entah ke mana. "Kurang ajar si Gilang," umpat Riri geram. *** Di sepanjang perjalanan Safira hanya diam sembari tangannya tak lepas dari m