Evan baru masuk ke ruangannya. Tinggallah Safira berjalan sendiri menuju ke ruangannya. Dari kejauhan Safira melihat Gilang berdiri di depan pintu koridor ruangannya. Dari kejauhan dia bisa melihat kalau Gilang juga menatapnya. Dan ketika langkahnya semakin dekat, Safira tak kuasa untuk tidak tersenyum. Lelaki itu membalas senyumannya.
"Kenapa senyum-senyum?" tanya Gilang ketika Safira mendekat.
Safira menggeleng dan senyumnya bertambah lebar. Dia merasa sedikit konyol. Dia sebenarnya ingin langsung masuk ke ruangannya tapi entah kenapa langkahnya malah terhenti di hadapan cowok itu.
"Semalam kenapa nanya kayak gitu?" tanya Gilang lagi. Melihat Safira yang menghentikan langkah membuat dia berpikir kalau Safira ingin di ajak bicara.
"Yang mana?"
"Ngiranya aku marah atau nggak. Apa yang membuat kamu berpikir aku marah sama kamu?"
Meski tak ada lagi status di antaranya, Gilang belum bisa menghentikan kebiasaannya untuk memanggil Saf
Dua hari berlalu, ujian nasional selesai dilaksanakan. Angkatan kelas dua belas bebas dari jam pelajaran. Mereka tidak diliburkan, tapi tidak juga diwajibkan datang ke sekolah.Mereka bebas datang dan pergi kapan saja sambil menunggu hasil ujian keluar dan acara perpisahan dilaksanakan. Safira, Evan, dan Riri tiba di sekolah pukul delapan. Siswa seangkatan mereka pun ada yang baru datang bahkan sudah ada yang pulang. Mereka langsung menuju perpustakaan. Bukan untuk meminjam atau membaca buku, hanya mencari tempat yang nyaman untuk mengobrol. Evan sejak tadi malah membahas rencana liburannya seperti yang pernah direncanakan dulu. Lelaki itu agaknya tak sabaran ingin berlibur melepas penat dari aktivitas ujian yang memeras pikiran dan tenaga. "Kalian mau, kan, liburan sama-sama?" tanya Evan memastikan, dia duduk di salah satu kursi yang ada di meja panjang berkapasitas delapan orang yang ada di ruangan perpustakaan. "Jadi, kok." S
"Serius mau nginap di sini?" Pandangan Safira mengedar ke setiap penjuru ruangan di hadapannya. Ruangan itu penuh debu, sarang laba-laba bergantungan di langit-langitnya. Lantainya kotor. Bau apak menyeruak di indra penciuman waktu pertama kali membuka pintu rumah kosong yang lama tak terpakai itu. Waktu pertama kali melihat penampakkan depan rumah ini dengan halaman yang semak dipenuhi rumput tinggi dan ilalang, Safira sudah tak yakin akan menginap di sini, tapi Evan mengatakan kalau itu hanya tampak depannya saja, sedangkan keadaan dalam rumahnya juga belum tentu sekotor di luar, tapi kenyataannya sama saja. Evan juga memperhatikan setiap sudut ruangan itu yang mana ruangan itu adalah ruang tamu rumah ini. "Ya, mau gimana lagi?" Evan meletakkan ranselnya di lantai yang kotor itu. Evan bahkan kelihatannya tak jijik sama sekali. "Tapi rumah ini masih bagus, kok, cuman kotor aja karena lama nggak di tempati. Kita kan bisa bersihin bareng-bareng
"Kalau setelah kita balikan nanti apa lo masih mau ngelakuin itu sama kakak?" Viona menatap Gilang tak mengerti. "Kakak ngajak gue balikan?" "Ya, kalau lo mau itu." Gilang menggoda Viona. Viona terdiam. Dia benar-benar tak menyangka akan di tanya demikian. Gilang mengajaknya balikan secepat ini. Dia benar-benar tak menyangka. "Kenapa? Mau balikan nggak?" "Serius, Kak?" Viona masih tak percaya. "Serius. Kakak mau kita balikan asal lo mau ngelakuin itu lagi." "I-iya, Kak, gue mau..." "Jadi sekarang kita pacaran, nih, ya?" Gilang bertanya. "Menurut kakak?" Viona malu-malu. "Oke, kita pacaran." Viona tersenyum. Antara senang dengan malu. Gilang melirik jarum jam yang menunjukkan pukul lima lewat. Tak terasa sudah cukup lama dia di sini. "Udah sore, ya," "Kak Gilang mau pulang?" "Kalau kakak di sini sampai malam gimana? Boleh nggak?" "Boleh-boleh, aja, sih? Tapi n
"Kenapa, Fir?" Evan malah balik bertanya. Sontak semua pasang mata menatap Safira yang melotot ke Evan. "Gue nggak suka lo ngomong gitu ke mereka!" Evan dan tiga orang yang ada di sana terkejut melihat reaksi Safira. "Gue nggak kenal mereka. Mereka nggak tau apa-apa tentang gue. Jadi nggak seharusnya lo ceritain masalah-masalah gue ke mereka tanpa seizin gue!" "Masalah?" Evan jadi tak mengerti. "Gue nggak nyeritain masalah lo," "Yang tadi lo sebut barusan itu privasi bagi orang-orang yang nggak ngenal gue! Gue nggak suka lo cerita-ceritain!" "Fir, tenang." Riri menyentuh pundak Safira. Tapi Safira tak peduli. "Dan yang lo omongin itu nggak sesuai fakta. Gue nggak lagi sedih dan gue nggak butuh hiburan!" Wajah Safira terlihat memerah antara emosi juga malu. Fajar yang memahami kondisi tersebut segera menengahi. "Fir, maaf, nih, ya. Kita emang nggak saling kenal, tapi tadi, kan, Evan udah ngenalin kita. Kalau lo marah karena
Safira tersenyum-senyum membaca pesan itu. Dia bahkan membaca teks itu berkali-kali, lalu di ss dan di simpan di folder galerinya. Safira tersenyum geli menyadari tingkah lakunya. Tok. Tok. Tok. "Fir," Suara ketukan pintu di susul suara khas Evan terdengar samar-samar. Lelaki itu sudah pulang rupanya. Safira menatap ke arah pintu. "Fir," panggil Evan lagi. "Fir, buka pintunya gue mau ngomong, please," Safira memutar bola mata malas. Dia meletakkan ponselnya kembali di samping bantal. Lantas berdiri, berjalan menuju pintu. Safira membuka pintu dengan malas. Dan langsung berbalik badan kembali menuju tempat tidur dan duduk di sana. Safira menatap Evan yang hanya berdiam diri di depan pintu sembari menatap ke arahnya. "Boleh gue masuk?" tanyanya, terdengar sungkan.Safira menatap Evan datar. "Iya." Evan melangkah masuk mendekati Safira, sementara pintu masih dalam keadaan terbuka. Evan duduk di samping Safira. M
Safira seketika mengerjap-ngerjap. "Oh, nggak." Lantas tersenyum kaku. "Oh, iya." Safira teringat sesuatu. "Gue minta maaf, ya. Sikap gue ke kakak nggak mengenakkan." "Oh itu. Iya, nggak pa-pa. Santai aja. Kakak paham, kok, paham banget," jawab Fajar. "Iya, gue...gue cuman takut," "Takut kenapa?" Fajar menatapnya heran. "Eng, takut aja." Safira menggosok tengkuknya. "Makanya kakak ke sini buat ngelurusin semua. Kakak mau lo tau kalau kita, kakak sama kak Tino cuman mau temenan sama lo. Maafin kakaj juga sikap kakak udah bikin lo takut, tapi kakak nggak bermaksud. Kakak cuman berusaha nenangin lo. Maafin Evan juga kalau udah bikin lo tersinggung. Tapi sungguh kita nggak bermaksud nyakitin perasaan lo," jelas Fajar panjang lebar. Ya, niat awal Fajar memang hanya ingin berteman dengan Safira karena dia juga penasaran dengan sosok Safira yang biasa Evan ceritakan. Tapi, melihat reaksi dan sikap Safira yang tadi siang, dia jadi beruba
Hari-hari terus berlalu. Safira dan Fajar pun makin akrab. Fajar tak sungkan datang ke rumah itu hanya untuk menjemput Safira jalan. Diam-diam, Evan pun heran dengan kedekatan sahabatnya itu. Evan sempat berpikir kalau Fajar naksir Safira dan sedang berusaha mencuri hati Safira. Namun, ketika Evan tak kuasa menahan penasarannya sampai menanyai Fajar tentang itu. Fajar malah menjawab kalau dirinya hanya ingin berteman dengan Safira dan menghibur gadis itu. Membuat Evan sadar kalau dia sudah salah paham mengartikan sikap Fajar. Sampai suatu hari, Fajar mengajak Safira jalan untuk yang kesekian kalinya. Kali ini Fajar membawa Safira ke gedung SD yang sedang sepi. "Kita ngapain, sih, di sini? Sekolah orang." Safira tak bisa menahan diri untuk tidak bertanya. Sejak tadi dia hanya mengiringi ke mana Fajar pergi sambil otaknya berpikir dan berusaha menemukan jawaban kenapa Fajar membawanya ke sini. Safira sejak tadi juga sambil chatingan dengan G
"Gilang?" Safira melihat Gilang yang duduk di atas motornya dalam keadaan mesin motor masih menyala dengan tatapan tak percaya. "Kamu kenapa lari-lari di jalan, kenceng banget lagi," ucap Gilang. "Kok kamu bisa di sini?" Safira tak kuasa menahan rasa penasarannya. Sontak Safira berjalan mendekat ke Gilang. "Kamu kenapa, Fir?" Gilang heran melihat gelagat Safira seperti orang ketakutan. Safira menggenggam lengan Gilang yang memegang setang motor. "Aku takut banget. Tolong bawa aku dari sini, nanti aku ceritain, cepetan!" Gilang mengangguk cepat. "Iya, iya. Ayo naik."Safira pun naik ke boncengan Gilang sebelum akhirnya motor itu melaju kencang. Riri melihat itu semua dengan keheranan. Kehadiran Gilang yang tiba-tiba dan Safira yang pergi bersama Gilang entah ke mana. "Kurang ajar si Gilang," umpat Riri geram. *** Di sepanjang perjalanan Safira hanya diam sembari tangannya tak lepas dari m