Hari ini ujian nasional di SMA Tunas Bangsa dilaksanakan. Suasana sekolah menjelang ujian, tak seramai biasanya. Karena hanya ada siswa angkatan kelas dua belas sebagai peserta ujian, tak ada adik kelas.
Kembali seperti biasa, Safira pergi sekolah bersama Evan. Dan kali ini mereka datang di saat sekolah sudah lumayan ramai. Safira berjalan dengan sedikit tertunduk di belakang Evan, mereka berjalan di tengah lalu-lalang siswa lain.
Dan ketika Safira mengangkat kepalanya dia langsung bertemu pandang dengan Gilang yang berdiri di ambang pintu ruang sepuluh. Lelaki itu tadinya sibuk bercengkrama dengan teman-temannya. Ketika dia melihat kehadiran Safira, lelaki itu langsung menatap cewek itu. Melihat itu, Safira segera tundukkan pandangannya kembali. Lantas memotong jalan Evan, masuk ke ruangannya dengan terburu-buru.
Masing-masing ruang telah dipersiapkan. Jumlah satu kelas murid di bagi menjadi dua ruang. Safira mendapat ruang delapan, terpisah dengan Evan dan
"Jadi itu alasannya Gilang mutusin lo?" Riri masih menatap Safira tak percaya. Safira hanya mengangguk. Riri dan Evan saling pandang. Setelah cukup lama menangis, meluapkan perasaannya di pelukan Riri. Safira akhirnya menceritakan sebenarnya ke Evan dan Riri. Termasuk kapan dan di mana Gilang memutuskannya. Untuk alasannya, Safira sedikit berbohong dengan mengatakan kalau Gilang ingin dia fokus dengan ujiannya dan mendapatkan nilai terbaik. Intinya Gilang memutuskannya karena ingin Safira fokus dengan sekolahnya saja. Safira tak mau mengatakan kalau alasan Gilang memutuskannya karena takut merusaknya. Dia telah berkomitmen tidak akan membongkar jati diri Gilang yang sebenarnya pada siapa pun. "Tapi nggak tahu kenapa gue rasanya nggak yakin sama alasannya itu, klasik banget. Kenapa baru ngomong sekarang coba?" Riri belum sepenuhnya yakin mengenai alasan Gilang memutuskan Safira. "Gue nggak tau, tapi dia bilangnya gitu," jawab Safira. "Gue sih yakin
"Gue liat Gilang jalan sama Viona!" Riri berusaha mengeraskan volume suaranya, menyeimbangi deru kendaraan yang terdengar ribut. Evan mendengar suara Riri samar-samar. "Apa? Gilang sama Viona? Di mana?" Lelaki itu juga berusaha mengeraskan volume suaranya. "Tadi di lampu merah, mereka belok ke jalur lain, gue nggak sempat panggil mereka." Riri masih ingat jelas pemandangan itu. Gilang yang tampak berbicara dan Viona yang tersenyum-senyum. Mengingatnya membuatnya muak. "Yang bener lo," "Iya! Kurang ajar, ya, Gilang! Baru beberapa hari putus dari Safira udah gandeng cewek lain aja. Viona lagi." Anjir! Riri mengumpat dalam hati. "Kita harus kasi tau Safira, Van! Gue baru tau kalau lo seberengsek itu Gilang. Kurang ajar lo!" *** Gilang dan Viona mengunjungi pasar malam. Suasana malam itu sangat ramai. Ada banyak pedagang kaki lima yang menjajakkan jualannnya. Mamang-mamang penjual jajanan seperti cilok, cire
Evan baru masuk ke ruangannya. Tinggallah Safira berjalan sendiri menuju ke ruangannya. Dari kejauhan Safira melihat Gilang berdiri di depan pintu koridor ruangannya. Dari kejauhan dia bisa melihat kalau Gilang juga menatapnya. Dan ketika langkahnya semakin dekat, Safira tak kuasa untuk tidak tersenyum. Lelaki itu membalas senyumannya. "Kenapa senyum-senyum?" tanya Gilang ketika Safira mendekat. Safira menggeleng dan senyumnya bertambah lebar. Dia merasa sedikit konyol. Dia sebenarnya ingin langsung masuk ke ruangannya tapi entah kenapa langkahnya malah terhenti di hadapan cowok itu. "Semalam kenapa nanya kayak gitu?" tanya Gilang lagi. Melihat Safira yang menghentikan langkah membuat dia berpikir kalau Safira ingin di ajak bicara. "Yang mana?" "Ngiranya aku marah atau nggak. Apa yang membuat kamu berpikir aku marah sama kamu?" Meski tak ada lagi status di antaranya, Gilang belum bisa menghentikan kebiasaannya untuk memanggil Saf
Dua hari berlalu, ujian nasional selesai dilaksanakan. Angkatan kelas dua belas bebas dari jam pelajaran. Mereka tidak diliburkan, tapi tidak juga diwajibkan datang ke sekolah.Mereka bebas datang dan pergi kapan saja sambil menunggu hasil ujian keluar dan acara perpisahan dilaksanakan. Safira, Evan, dan Riri tiba di sekolah pukul delapan. Siswa seangkatan mereka pun ada yang baru datang bahkan sudah ada yang pulang. Mereka langsung menuju perpustakaan. Bukan untuk meminjam atau membaca buku, hanya mencari tempat yang nyaman untuk mengobrol. Evan sejak tadi malah membahas rencana liburannya seperti yang pernah direncanakan dulu. Lelaki itu agaknya tak sabaran ingin berlibur melepas penat dari aktivitas ujian yang memeras pikiran dan tenaga. "Kalian mau, kan, liburan sama-sama?" tanya Evan memastikan, dia duduk di salah satu kursi yang ada di meja panjang berkapasitas delapan orang yang ada di ruangan perpustakaan. "Jadi, kok." S
"Serius mau nginap di sini?" Pandangan Safira mengedar ke setiap penjuru ruangan di hadapannya. Ruangan itu penuh debu, sarang laba-laba bergantungan di langit-langitnya. Lantainya kotor. Bau apak menyeruak di indra penciuman waktu pertama kali membuka pintu rumah kosong yang lama tak terpakai itu. Waktu pertama kali melihat penampakkan depan rumah ini dengan halaman yang semak dipenuhi rumput tinggi dan ilalang, Safira sudah tak yakin akan menginap di sini, tapi Evan mengatakan kalau itu hanya tampak depannya saja, sedangkan keadaan dalam rumahnya juga belum tentu sekotor di luar, tapi kenyataannya sama saja. Evan juga memperhatikan setiap sudut ruangan itu yang mana ruangan itu adalah ruang tamu rumah ini. "Ya, mau gimana lagi?" Evan meletakkan ranselnya di lantai yang kotor itu. Evan bahkan kelihatannya tak jijik sama sekali. "Tapi rumah ini masih bagus, kok, cuman kotor aja karena lama nggak di tempati. Kita kan bisa bersihin bareng-bareng
"Kalau setelah kita balikan nanti apa lo masih mau ngelakuin itu sama kakak?" Viona menatap Gilang tak mengerti. "Kakak ngajak gue balikan?" "Ya, kalau lo mau itu." Gilang menggoda Viona. Viona terdiam. Dia benar-benar tak menyangka akan di tanya demikian. Gilang mengajaknya balikan secepat ini. Dia benar-benar tak menyangka. "Kenapa? Mau balikan nggak?" "Serius, Kak?" Viona masih tak percaya. "Serius. Kakak mau kita balikan asal lo mau ngelakuin itu lagi." "I-iya, Kak, gue mau..." "Jadi sekarang kita pacaran, nih, ya?" Gilang bertanya. "Menurut kakak?" Viona malu-malu. "Oke, kita pacaran." Viona tersenyum. Antara senang dengan malu. Gilang melirik jarum jam yang menunjukkan pukul lima lewat. Tak terasa sudah cukup lama dia di sini. "Udah sore, ya," "Kak Gilang mau pulang?" "Kalau kakak di sini sampai malam gimana? Boleh nggak?" "Boleh-boleh, aja, sih? Tapi n
"Kenapa, Fir?" Evan malah balik bertanya. Sontak semua pasang mata menatap Safira yang melotot ke Evan. "Gue nggak suka lo ngomong gitu ke mereka!" Evan dan tiga orang yang ada di sana terkejut melihat reaksi Safira. "Gue nggak kenal mereka. Mereka nggak tau apa-apa tentang gue. Jadi nggak seharusnya lo ceritain masalah-masalah gue ke mereka tanpa seizin gue!" "Masalah?" Evan jadi tak mengerti. "Gue nggak nyeritain masalah lo," "Yang tadi lo sebut barusan itu privasi bagi orang-orang yang nggak ngenal gue! Gue nggak suka lo cerita-ceritain!" "Fir, tenang." Riri menyentuh pundak Safira. Tapi Safira tak peduli. "Dan yang lo omongin itu nggak sesuai fakta. Gue nggak lagi sedih dan gue nggak butuh hiburan!" Wajah Safira terlihat memerah antara emosi juga malu. Fajar yang memahami kondisi tersebut segera menengahi. "Fir, maaf, nih, ya. Kita emang nggak saling kenal, tapi tadi, kan, Evan udah ngenalin kita. Kalau lo marah karena
Safira tersenyum-senyum membaca pesan itu. Dia bahkan membaca teks itu berkali-kali, lalu di ss dan di simpan di folder galerinya. Safira tersenyum geli menyadari tingkah lakunya. Tok. Tok. Tok. "Fir," Suara ketukan pintu di susul suara khas Evan terdengar samar-samar. Lelaki itu sudah pulang rupanya. Safira menatap ke arah pintu. "Fir," panggil Evan lagi. "Fir, buka pintunya gue mau ngomong, please," Safira memutar bola mata malas. Dia meletakkan ponselnya kembali di samping bantal. Lantas berdiri, berjalan menuju pintu. Safira membuka pintu dengan malas. Dan langsung berbalik badan kembali menuju tempat tidur dan duduk di sana. Safira menatap Evan yang hanya berdiam diri di depan pintu sembari menatap ke arahnya. "Boleh gue masuk?" tanyanya, terdengar sungkan.Safira menatap Evan datar. "Iya." Evan melangkah masuk mendekati Safira, sementara pintu masih dalam keadaan terbuka. Evan duduk di samping Safira. M