Dua bulan kemudian.
"Jadi dia siswa baru itu?"
Safira bertanya sambil matanya tak lepas dari menatap objek yang tengah makan, duduk di kursi seberang.
"Iya, namanya Gilang. Gilang Angkasa," jawab Riri sambil mengaduk teh es nya yang kemanisan.
Riri, yang belakangan ini sering mendengar gosip-gosip dari para siswi sedikit-banyak mengetahui perihal siswa baru itu. Beberapa hari belakangan Safira juga sering mendengar gosip yang menceritakan perihal siswa baru. Safira yang semakin penasaran tak pernah tahu yang mana siswa baru itu. Hingga akhirnya Riri memberitahunya ketika mereka tak sengaja bertemu di kantin.
"Oh." Safira mengangguk-angguk, sebelum kembali menyuap baksonya.
"Sejak pertama kali kedatangannya di sekolah kita cewek-cewek udah pada banyak yang naksir, apalagi adik kelas," ucap Riri lagi. "Katanya sih ganteng, tapi menurut gue biasa aja tuh, mereka terlalu norak, kayak nggak pernah liat cowok ganteng aja," jelas Riri yang tampaknya agak tak suka dengan siswa baru itu. "Terus katanya orang tuanya kaya banget, tapi nggak tau, deh, pekerjaannya apa?"
"Ganteng atau cantik itu relatif," gumam Safira. Dan soal pekerjaan orang tuanya, Safira tak menggubris.
Sebenarnya ini bukan pertama kali Safira melihat Gilang.
Kali pertama mereka bertemu sewaktu melaksanakan upacara bendera minggu lalu.
Waktu itu siswi kelas XII IPS 1 berbaris di sebelah siswa kelas XII IPS 2. Dan tanpa sengaja Safira melirik ke barisan cowok di sebelahnya. Cowok itu adalah Gilang. Memang waktu pertama melihatnya wajahnya, Safira merasa asing. Dia tidak pernah melihat wajah cowok itu sebelumnya. Dan setelah pertemuan itu pun mereka sering bertemu dan saling pandang tanpa sengaja. Dan semakin dilihat, cowok itu semakin menarik. Safira akui dia memiliki wajah yang sedap dipandang, juga tubuhnya yang tinggi dan proporsional. Tak heran jika kaum hawa tertarik padanya. Dan hari ini Safira baru mengetahui ternyata siswa baru yang diperbincangkan selama ini adalah dia.
Safira tersenyum tipis, "dia emang ganteng, kok," sambungnya.
Riri menoleh curiga, "jangan bilang lo juga naksir dia?"
Safira menoleh heran. "Gue cuman bilang ganteng doang, kan? Bukan berarti suka. Kalau gue bilang dia jelek berarti gue bohong."
"Tapi, kalau lo suka sama dia terus kalian pacaran pasti cocok. Lo, kan, cantik." Riri terkekeh.
"Ngaco."
Persis saat Safira mengucapkan kalimat itu, Evan menghampiri mereka. Lelaki itu duduk di hadapan mereka. Sontak Safira membuang muka, merasa jengkel tatkala melihat wajah lelaki itu tersuguhkan di hadapannya. Sementara Riri melanjutkan makannya.
"Lagi ngomongin apa lo berdua? Ngomongin gue, ya?" Evan menaikkan kedua alisnya, memandangi Safira dan Riri bergantian.
"PD banget lo," sahut Riri sebelum menyuap sesendok baksonya.
Evan tak menghiraukan ucapan Riri. Dia berpaling ke Safira, lalu mengambil teh es Safira yang tinggal seperempat dan meneguknya hingga habis.
"Ih kok dihabisin, sih?" Safira memberengut, "gue kan mau minum juga. Ganti nggak?"
"Iya, gue ganti kok tenang aja," jawab Evan yang hendak beranjak dari duduknya bermaksud memesan teh es lagi, mengganti teh es yang sudah dia minum.
"Ganti yang utuh,"
"Iya,"
"Ganti yang utuh terus lo yang bayarin semua pesanan gue, ya?"
"Iya bawel!" teriak Evan yang sudah melangkah menuju ibu kantin. "Bu, teh es nya satu, ya?"
Safira tersenyum senang, "Evan baik, deh,"
Tak lama kemudian Evan kembali mendatangi Safira dan Riri, "pesanan lo udah gue bayar, bereskan? Habisin makannya," katanya sambil mengacak rambut Safira.
"Makasih," ucap Safira sambil tersenyum lalu meneguk teh es nya.
"Gue dibayarin juga nggak?" tanya Riri berharap.
"Lo bayar sendiri," jawab Evan."Pilih kasih banget, sih, Safira dibayarin, gue nggak,"
"Bangkrut gue bayarin lo pada,"
Riri mendelik ke arah Safira yang sibuk makan. Lalu memandang Evan lagi.
Evan menatap heran, "kenapa lo?"
"Bener, ya, kata anak-anak, kalian kalau pacaran cocok banget tau nggak? Kenapa sih nggak pacaran aja?"
Mendengar kalimat itu, sontak Evan dan Safira melotot ke arahnya.
"Gue? Pacaran sama dia? Halu lo! Haha!" Evan tertawa sumbang, mengibaskan tangannya ke depan wajah Riri. "Kayak nggak ada yang lain aja. "Evan menggeleng-geleng sambil sesekali melirik Safira yang telah tertunduk menatap mangkoknya. Meski Riri bingung dengan bantahan Evan, tapi dia enggan bertanya lebih lanjut dan memilih melanjutkan makannya.
Suasana berganti menjadi hening dan canggung. Menyisakan suara tawa siswa lain yang ada di kantin itu. Masing-masing sibuk dengan dirinya sendiri.
"Gue cabut duluan, ya?" kata Evan tiba-tiba, beranjak dari duduknya, berjalan keluar kantin.
Safira menatap kepergian Evan, dia tahu Evan tersinggung dan tak nyaman dengan ucapan Riri.
"Lo tadi kenapa ngomong gitu, sih?" Safira menatap Riri tak suka.
"Emang kenapa?" Riri bertanya balik."Gue heran sama lo, nggak PD apa gimana? Gue juga nggak pernah liat lo deket-deket cowok selain dengan Evan. Eh sebenarnya lo sama Evan itu ada hubungan apa, sih? Kalian pacaran?"
Riri satu-satunya perempuan yang dekat dengan Safira, namun, tak semua hal dia bisa ketahui tentang sahabatnya itu.
"Gue sama Evan pacaran? Mustahil!"
Riri mengernyit, "kenapa mustahil? Lo cewek sedangkan Evan cowok. Ya, mungkin, aja, kan?"
"Gue sama Evan emang deket banget sampai kalian ngira kita pacaran, kan? Tapi asal lo tahu kalau itu nggak akan pernah terjadi---"
"---karena lo udah telanjur nganggap dia sahabat?" potong Riri cepat, "tapi asal lo tahu, Fir, sejatinya cowok dan cewek itu nggak bisa sahabatan karena mereka pasti akan melibatkan perasaan, percaya sama gue. Banyak tuh kejadian sahabat jadi pacar yang awalnya sih temenan tapi ujug-ujungnya? Udah basi banget. Sekarang gue tanya, apa lo nggak ada perasaan sedikit pun buat Evan?"
"Perkiraan lo salah, Ri. Alasan gue nggak pacaran sama Evan bukan karena udah telanjur nganggap dia sahabat. Dan gue juga nggak akan ada perasaan sama dia karena ...." Safira menggantung kalimatnya. Dia tidak mungkin membocorkan alasan yang sebenarnya, sekali pun itu pada Riri.
"Karena apa?"
Safira tersenyum kecut, "nanti lo juga tahu dengan sendirinya."
Dan kalimat itu semakin membuat gadis bernama Riri itu bingung dan penasaran.
Sebenarnya ada apa antara Evan dan Safira?
Safira memang tidak pernah berhubungan dengan lelaki selain sebatas teman atau sahabat. Apa lagi berniat untuk melakukan lebih seperti yang orang-orang lakukan yang biasa disebut dengan istilah pacaran. Bukan takut dosa. Bukan pula karena tidak menemukan yang pas. Hanya saja, Safira takut disakiti seperti kebanyakan mereka yang melakukannya, juga takut sesuatu ....Cowok yang mereka bicarakan tadi mulai beranjak dari duduknya. Dan pada saat yang bersamaan cowok itu memandang ke arah Safira yang juga memandanginya. Refleks Safira mengalihkan pandangan ke arah mangkok baksonya yang sudah kosong. Tidak heran. Ini sudah kesekian kalinya. Dan sepertinya tidak ada yang mengetahui mereka yang sering beradu pandang tanpa sengaja, selain mereka berdua dan ... Tuhan.
Cowok itu berjalan menuju rak snack, mengambil dua batang cokelat beng-beng, membayarnya pada ibu kantin lalu berjalan gontai keluar kantin.
"Dia lari, tuh," tegur Safira sambil menyikut lengan Riri.
"Udah mau bel kali makanya dia cabut,"
"Makanya cepetan makannya,"
"Iya, iya." Gadis bernama Riri itu pun melahap baksonya yang tidak banyak lagi.
***Gilang berjalan cepat menuju kelas X IPA 2. Sampai di depan pintu kelas tersebut, dia memanggil seseorang yang duduk tak jauh dari pintu."Ada apa, Bang?" sahut siswa yang dia panggil dengan isyarat lambaian tangan itu. Siswa itu pun berjalan mendatanginya.
"Buat Risty," katanya sambil menyodorkan dua buah cokelat beng-beng yang tadi dia beli di kantin. Pandangannya mengedar ke kelas itu sekilas, tapi dia tak menemukan sosok Risty.
"Oh, oke, Bang," sahut siswa itu sambil mengambil dua buah cokelat dari tangan Gilang.
"Makasih," ucap Gilang sebelum akhirnya melangkah menuju kelasnya.
Adalah Ristyana Putri siswi tercantik di kelas X IPA 2, bahkan dia yang paling cantik di antara siswi seangkatannya yang merupakan pacar Gilang Angkasa. Mereka sudah memasuki masa dua bulan pacaran. Dan selama itu mereka tak pernah menunjukkan kedekatannya di khalayak ramai. Risty yang tidak mau ada orang yang tahu kalau dia menjalin hubungan dengan senior IPS.
Teman sekelas Risty tak heran lagi jika ada cowok yang menanyainya atau memberinya sesuatu karena mereka tahu siswi cantik itu memang digemari banyak lelaki. Entah itu kakak kelas atau teman sebayanya. Meski pun begitu, teman-temannya tahu Risty senang menjomlo. Mereka tak menaruh curiga sedikit pun kalau Gilang justru adalah pacarnya.Kedekatan mereka bermula di sebuah ekstrakurikuler yang sama, yakni Pik Remaja. Awalnya, Risty yang melihat abang kelas setampan Gilang mencoba mendekati lebih dulu. Lelaki mana yang tak terpesona dengan kecantikan siswi yang satu ini? Hingga seorang Gilang Angkasa pun takluk padanya.
***Risty: Kak, Makasih, ya, cokelatnya.Gilang: Iya. Kakak malam ini ke rumah kamu, ya?
Risty: Boleh, Kak. Kebetulan di rumah lagi sepi.
Mama Papa lagi di luar kota.
Gilang: Bagus.
Gilang menyandarkan tubuhnya di sofa panjang. Dia menghela napas. Lalu mengambil jaketnya yang tersampir di lengan sofa dan berdiri dari duduknya. Bergegas ke rumah Risty.
Hal yang biasa dia lakukan tatkala merasa bosan.
***Gilang memarkirkan motornya ke parkiran yang masih lengang. Melepas helmnya dan meletakkannya di atas spion. Mencabut kunci motornya kemudian turun dari ninja hitamnya. Tubuh tinggi dan proporsional itu berlenggang memasuki sekolah yang sepi. Berjalan gontai menuju kelas, sesekali tersenyum ramah pada satu-dua siswa yang menegurnya. Gilang termasuk siswa yang teladan. Selalu datang lebih awal, bukan untuk mengerjakan pekerjaan rumah seperti siswa lain. Dia memang senang datang sebelum sekolah terlalu ramai. Selain itu katanya agar bisa menghirup udara segar sebelum terkena polusi. Hari ini hampir tiga bulan Gilang bersekolah di SMA Tunas Bangsa. Dan sejauh ini semuanya masih baik-baik saja. Gilang masuk ke kelasnya yang baru ada beberapa orang yang sedang piket. Dia baru meletakkan tas di bangkunya ketika seorang gadis, teman sekelasnya, mendekatinya. "Hei, Gilang," sapa gadis itu, mengulum senyum.Gilang memandangnya, "eh, Sa, ada apa?"
Upacara pengibaran bendera merah putih baru saja selesai beberapa menit lalu dan seharusnya para siswa sudah boleh bubar meninggalkan lapangan. Namun, instruksi dari Kepala Sekolah membuat mereka masih berdiri di sana menahan sengatan sinar matahari yang terasa semakin panas. Ada pengumuman penting yang tak boleh luput dari perhatian SMA Tunas Bangsa. SMA Tunas Bangsa berhasil memenangkan lomba yang di adakan minggu lalu. Berita itu tentu saja jadi hal yang membanggakan SMA Tunas Bangsa yang terkenal sebagai SMA swasta favorit dengan murid-muridnya yang cerdas. Setiap tahun selalu memenangkan perlombaan baik di bidang akademi mau pun non akademi. "... selamat kepada Wulan Pratiwi dari kelas XII IPA 1, Ramadhani dari kelas XII IPA 2, dan Ristyana Putri dari kelas X IPA 2 yang telah mewakili sekolah kita memenangkan lomba. Bagi nama yang disebutkan silakan maju ke depan untuk menerima penghargaan ...." Pidato Kepala Sekolah dari atas podium. SMA Tunas Bangsa bert
Menjelang magrib Safira baru tiba di kosannya menggunakan ojol. Dia baru selesai mengerjakan tugas kelompok dari rumah Riri. Safira berjalan melewati lorong yang sepi menuju kamarnya dengan wajah dongkol. Perasaannya masih kesal mengingat kejadian di rumah Riri tadi. Dia masih ingat jelas bagaimana Andra memodusinya. Dia tidak suka sikap Andra yang seperti itu. "Hai, Bro, lagi ngapain? Gue lagi kerja kelompok di rumah temen," cerita Andra pada teman video call-nya waktu itu. Safira yang duduk di kursi yang sama dengan Andra melirik sekilas ke arah layar ponsel Andra yang menampakkan wajah temannya. Saat itu mereka yang lebih dulu tiba di rumah Riri, menunggu kedatangan yang lainnya untuk mengerjakan tugas. Bosan, Andra pun memutuskan video call-an dengan Tristan. Sementara Riri membuatkannya minum di dapur. Lalu terdengar teman Andra berbicara entah apa, Safira tak mendengarnya dengan jelas. "Gue punya cewek baru, nih," ucap Andra lagi. Safira menoleh sebenta
Risty menangis sembari memeluk kedua lutut. Gadis itu terduduk di balik pintu. Tak percaya dengan yang telah dia lakukan. Memang selama ini dia sudah terbiasa melakukan oral seks pada banyak lelaki, tapi itu sebelum dia pacaran dengan Gilang. Semenjak menjalin hubungan dengan Gilang, lelaki itu memintanya untuk tidak melakukan itu lagi pada laki-laki lain selain dirinya. Risty menyanggupinya dan berjanji. Tapi hari ini Risty melanggar janjinya. Dia melakukan itu dengan lelaki yang bahkan baru dia kenal dalam keadaan sadar. Sedangkan dia masih berstatus sebagai kekasih Gilang. Apa kata Gilang jika dia tahu hal ini? Risty melirik jam yang menunjukkan pukul empat subuh. Dia meraih ponselnya di atas meja, menelepon Gilang. "Kak..." ucapnya dengan suara serak ketika teleponnya diangkat. "Iya, kenapa?" sahut Gilang. Suaranya terdengar seperti orang baru bangun tidur. Risty tak langsung menjawab. Dia malah sesegukan. Tenggorokkannya terasa tercekat. Dadanya
Di jam istirahat, seperti biasa, Andra, Tristan, Ricky, Setya dan temannya yang lain nongkrong di depan perpustakaan SMA Tunas Bangsa sambil bercengkrama menceritakan banyak hal. Hari ini Andra sering tertawa, dia terlihat lebih bahagia dari biasanya. Tak ada orang lain yang tahu selain Tristan kalau dia bahagia karena berhasil mencicipi perempuan bernama Risty itu.Hingga tiba-tiba seseorang yang tak dia kenali menarik kerah kemejanya dan meninju pipinya telak. Membuatnya dan teman-temannya seketika syok. Suasana mendadak tegang. "Lo yang namanya Andra?" Lelaki yang baru saja menghajar Andra itu melirik nametag yang terpasang di seragam Andra. Belum sempat Andra menjawab lelaki itu sudah menghajarnya lagi, bertubi-tubi. "Kurang ajar lo! Cowok ber*ngsek!" Teman-temannya spontan melerai. "Woi, woi, udah. Jangan berantem di sini." "Lo nggak tahu permasalahannya, jangan ikut campur!" Lelaki itu masih menarik kerah kemeja Andra sambil menatap taj
Berita Gilang dan Andra yang berseteru hingga masuk BK terdengar sampai ke telinga Risty. Pasalnya teman-teman sekelasnya sering menceritakan hal itu. Risty tak habis pikir dengan tindakan Gilang yang menurutnya kelewat batas. Dia tak menyangka Gilang bertindak sejauh itu. "Aku, kan, udah bilang, Kak, jangan." Risty memarahi Gilang, "ngapain sih ngasi Kak Andra bogem mentah segala? Kan begini jadinya. Kakak jadi masuk BK. Kakak jadi terkena masalah." Gilang yang mendengar celotehan pacarnya sejak tadi memasang wajah memelas. "Ya, kan, abis kakak nggak suka dia gituin kamu. Kakak marahlah. Wajar, kan?" Saat ini mereka mengasingkan diri di kantin yang tak terpakai yang ada di belakang sekolah, menjauh dari keramaian. Jarang ada siswa mau pun siswi yang lewat di sekitar sini, kecil kemungkinan orang melihat mereka. Risty terdiam. Alih-alih membuatnya senang, semakin hari sikap Gilang justru membuatnya ilfeel dan muak. Sebenarnya sejak kemarin dia mem
Gilang dan dua temannya dari anggota ekstrakurikuler Pik Remaja memasuki setiap kelas, meminta perwakilan pada setiap kelas untuk melakukan penyuluhan sebagai pendidik sebaya. "Boleh minta waktunya sebentar, Bu," kata Rino--teman satu ekskul Gilang--pada guru yang sedang mengajar di kelas XII IPS 1. Bu Nurma yang sedang menulis di papan tulis duduk ke kursi guru, mempersilakan mereka. "Berhubung ada kegiatan penyuluhan, kami dari anggota Pik Remaja meminta perwakilan dari kelas ini minimal dua orang," ucap Gilang mengutarakan maksud kedatangannya. Andra yang melihat Gilang masuk ke kelasnya sejak awal sudah membuang muka. Lelaki itu fokus menulis tanpa mau memandang ke depan sedikit pun. Sementara Gilang hanya melirik sekilas lelaki itu. Beberapa siswa di kelas itu saling pandang dengan tatapan tanya seolah bertanya, "siapa yang mau jadi perwakilan?" "Ini wajib, ya. Semua kelas berpatisipasi. Nanti langsung datang aja ke ruang samping lab kimi
Jam istirahat, Safira, Evan, dan Riri menghabiskan waktu di kantin, menikmati bakso ibu kantin sambil berbincang banyak hal. Mulai dari materi pelajaran, cerita sinetron, masalah keluarga hingga merambat perihal orang tua. "Ya, gitu antara nyokap sama bokap gue, yang lebih keras ke gue itu nyokap. Dia sering maksain kehendaknya. Belum lagi suka banding-bandingin gue sama adik laki-laki gue. Beda banget sama bokap gue yang lebih bisa ngertiin gue." Riri yang bercerita tentang hubungannya dengan orang tuanya lebih dulu. Safira jadi teringat dengan orang tuanya di kampung halaman. Ayah Safira telah meninggal sebelum dia lahir. Dia hanya punya ibu dan dua kakak. Jadi Safira tak tahu bagaimana sosok seorang ayah. Bagaimana rasanya disayang oleh seorang ayah. Beruntung dia masih punya ibu yang selalu mendukung penuh apa pun keinginannya. "Kalau lo, Van, hubungan lo sama keluarga lo gimana? Mama papa lo gimana?" Safira bertanya pada Evan. Ya, meski pun telah mengena
Satu bulan kemudian. Gadis yang duduk di atas kursi roda itu termenung menatap ke luar kaca jendela. Masih di kamarnya yang berada di lantai dua gedung kosan ini.Gadis itu mengingat kejadian demi kejadian yang di alaminya satu bulan belakangan. Dia yang tertabrak truck sampai kakinya terlindas dan masuk rumah sakit. Dia bahkan sempat koma selama dua minggu. Dia juga melewati acara perpisahan yang di laksanakan tepat saat dirinya dirawat di rumah sakit. Dia dinyatakan lumpuh. Kaki bagian tempurungnya pecah dan busuk, karenanya kakinya harus dipotong. Tiga hari yang lalu Gilang sempat datang menemuinya. "Aku nggak bisa Gilang. Dengan keadaan aku yang sekarang aku nggak pantas buat kamu," ucapnya ketika cowok itu melihat bagaimana keadaannya yang sekarang, cowok itu masih bersedia mengajaknya balikan. "Kamu nggak boleh ngomong gitu, Fir. Aku nggak peduli kondisi kamu sekarang. Karena cuman kamu perempuan baik yang bisa mengubah aku menjadi lelaki yang baik juga. Apa pun keadaannya
"Makasih, ya, udah nemenin.""Sama-sama." Safira tersenyum, sebelum akhirnya masuk ke kamar dan menutup pintu. Safira menghela napas lelah seiring dengan bokongnya mendarat di tempat tidur. Dan melepaskan tasnya di tempat tider. Perjalanan hari ini harusnya cukup menenangkan pikirannya, tapi membaca berita di koran itu membuat dia tidak bisa berpikir dengan tenang.Belum sembuh kesedihannya atas kepergian Viona secara mendadak yang dia dengar dari pihak sekolah tempo hari. Dan sempat menggegerkan warga SMA Tunas Bangsa. Dia bahkan masih ingat jelas bagaimana histerisnya orang tua Viona di depan jenazah sang anak, di hari pertama dia ikut melayat. Biar bagaimana pun Viona adik kelasnya. Dia ikut merasa sedih dan kehilangan.Hari ini dia kembali diingatkan dengan kabar duka itu ketika membaca isi koran tadi.Dan ini semua gara-gara Gilang. Kebencian Safira terhadap lelaki itu rasanya semakin dalam. Safira merogoh kembali tasnya. Mengeluarkan koran tersebut. Membaca ulang berita itu.Dr
Beberapa minggu kemudian...Siang itu keadaan pasar cukup ramai. Pedagang buah berjejer di tepi jalan, menyapa pejalan kaki yang lewat, berlomba-lomba menawarkan dagangannya, berdampingan dengan kios penjual kaset yang memutar lagu dangdut cukup keras. Membuat hiruk-pikuk suasana pasar semakin terasa.Safira akhirnya memutuskan ikut Tika ke pasar, ketika gadis itu mengajaknya untuk menemaninya ke toko buku. Hitung-hitung refreshing, berharap bisa melupakan masalah-masalahnya sejenak. Mereka berjalan kaki menyusuri tepian pasar mencari toko buku yang ada di antara kios kaset itu. Motornya mereka parkir cukup jauh dari tempat mereka sekarang.Ketika menemukan sebuah toko yang bagian depannya terdapat buku-buku, Tika melangkahkan kaki ke sana, diiringi Safira.Ketika masuk ke dalam mereka disuguhkan dengan pemandangan lemari kaca yang tersusun berbagai macam buku di dalamnya. Safira mengedar pandangan di ruangan itu. Di sana ternyata tak hanya menjual buku, tapi juga ada majalah-majalah
Safira duduk di kursi belajarnya. Kedua sikunya bertumpu ke meja, dengan kedua tangannya memegangi kepalanya. Seandainya kepalanya bisa dibelah, mungkin di dalamnya ada api yang terlihat membakar isi kepalanya hingga kepalanya terasa panas dan ingin pecah.Safira benar-benar tak mengerti dengan sikap Gilang. Dia benar-benar tak tahu harus percaya atau tidak. Sikap lelaki itu sulit untuk diterka. Kadang begini, kadang begitu. Tadinya Safira ingin mengusir lelaki itu dan tidak akan percaya dengan apa pun yang dikatakan olehnya. Namun, pandangan lelaki itu membuat keputusan Safira berubah. Saat melihat tatapan itu, hati kecilnya mengatakan kalau Gilang sedang jujur. Ingin rasanya dia percaya, tapi tak dapat dimungkiri perasaannya juga takut.Maka dari itu, ketika Gilang bertekuk lutut, dia berusaha melepaskan diri dari lelaki itu. Dengan melawankan perasaannya dia mengusir lelaki itu. Awalnya, Gilang enggan pergi sebelum Safira memaafkannya, tapi akhirnya Gilang mengalah dan sebelum dia
Pagi itu Gilang menemui Viona di rumah. Rencananya dia akan mengajak gadis itu jalan. Meskipun sebenarnya jauh di lubuk hatinya, lelaki itu tidak sepenuh hati melakukan semua ini. Karena pikirannya pun terganggu dengan kejadian semalam. Sejak tadi fokusnya terpecah. Dia ingin menyelesaikan masalahnya dengan Safira tapi dia harus menemui Viona terlebih dulu. Gilang menyeringai lebar di depan pintu, saat dilihatnya pintu rumah itu di buka dari dalam dan Viona muncul. "Udah siap?" Gilang memperhatikan penampilan Viona pagi itu yang terlihat masih mengenakan pakaian tidur. Gadis itu bahkan menatapnya datar."Kita nggak jadi jalan hari ini, Kak," "Kenapa?" Viona menatap jalanan komplek yang sepi. Sebelum akhirnya angkat bicara. "Gue tau kak sebenarnya kak Gilang itu sayangnya sama kak Safira, kan?" katanya to the point. "Jawabannya pasti iya. Karena sejak awal kak Gilang emang nggak pernah suka sama aku. Akunya yang maksain. Selama ini aku terobsesi sama kak Gilang sampai aku ngelakuin
Safira terus melangkah menyelusuri koridor sekolah itu seiring dengan perasaannya yang bergejolak. Dia telah menelusuri semua tempat di sekolah itu tapi tak tampak tanda-tanda ada orang. Apa lagi Viona dan Gilang. Safira sempat berpikir kalau Viona membohonginya. Atau mereka belum sampai?Tanpa sadar, langkahnya membawanya ke depan pintu toilet, dia berhenti. Safira menghela napas. "Bener nggak sih?" Safira bergumam sendiri sambil matanya mengedar ke penjuru koridor seberang yang agak gelap. Benar-benar tidak ada siapa-siapa.Sejurus kemudian, dia tertegun. "Jangan-jangan gue dibohongin sama tuh bocah. Ya ampun, kenapa gue percaya, sih? Di jam segini mana ada orang."Safira lantas meringis. Dia tiba-tiba ingin buang air kecil. Ketika dia menoleh ke samping kiri, dia tersadar ada toilet.Safira memutuskan buang air kecil dulu sebelum pulang.Pelan, kakinya melangkah, memasuki toilet wanita tersebut. Dan terkejutlah dia dengan apa yang dilihatnya di
Beberapa hari setelah kejadian itu, Gilang kembali dekat dengan Safira. Gilang sering menemuinya untuk menghibur gadis itu.Safira masih tak menyangka, sahabatnya yang selama ini dia percaya, sahabatnya yang selama ini begitu baik padanya mampu mengecewakan.Dia benar-benar tak percaya Evan tega menjebaknya. Dan yang membuatnya tak habis pikir Riri ikut bersekongkol menjerumuskannya.Sahabat macam apa mereka?"Gue nggak nyangka aja Gilang, mereka sahabat gue yang selama ini gue anggap udah kayak saudara sendiri." Safira menatap Gilang dengan sorot menyiratkan kesedihan.Gilang mengusap bahu gadis itu. "Berarti mereka bukan sahabat. Nggak ada sahabat kayak gitu. Kamu udah salah nganggap mereka sahabat.""Temen aku selama ini cuman mereka Gilang. Kalau nggak ada mereka, aku nggak punya siapa-siapa. Aku sendirian.""Mending sendiri daripada punya sahabat kayak mereka. Sekarang kamu tau, kan, mereka sebenarnya kayak gimana?"
"Fajar, apa yang udah lo lakuin ke temen gue?!"Evan menarik kerah baju Fajar, tatapan nyalangnya menghunus tepat ke mata Fajar. Evan mencari Fajar di gedung sekolah itu sampai akhirnya dia menemukan Fajar sedang berjalan gontai di lorong sekolah itu. Langsung saja dia menginterogasi temannya itu.Bukannya terkejut, Fajar malah terlihat santai. "Apa, sih, maksud lo?""Nggak usah berlagak bego! Gue tau lo niat buruk ke Safira dan karena itu gue liat Safira lari-lari ke depan. Apa yang udah lo lakuin, hah!"Fajar menatap Evan tak percaya. Baru kali ini Evan bersikap sekasar itu padanya dan itu semua karena Safira."Iya, gue emang bawa Safira ke sini. Tapi gue nggak niat macam-macam. Lo udah salah paham pasti, nih, lagian lo tau dari mana tentang niat gue? Lo negatif thingking sama gue.""Dari awal gue merhatiin kedekatan lo sama Safira. Gue sama Riri curiga sama lo. Diam-diam gue masang penyadap di handphone Safira buat mastiin kalau Safira ba
"Gilang?" Safira melihat Gilang yang duduk di atas motornya dalam keadaan mesin motor masih menyala dengan tatapan tak percaya. "Kamu kenapa lari-lari di jalan, kenceng banget lagi," ucap Gilang. "Kok kamu bisa di sini?" Safira tak kuasa menahan rasa penasarannya. Sontak Safira berjalan mendekat ke Gilang. "Kamu kenapa, Fir?" Gilang heran melihat gelagat Safira seperti orang ketakutan. Safira menggenggam lengan Gilang yang memegang setang motor. "Aku takut banget. Tolong bawa aku dari sini, nanti aku ceritain, cepetan!" Gilang mengangguk cepat. "Iya, iya. Ayo naik."Safira pun naik ke boncengan Gilang sebelum akhirnya motor itu melaju kencang. Riri melihat itu semua dengan keheranan. Kehadiran Gilang yang tiba-tiba dan Safira yang pergi bersama Gilang entah ke mana. "Kurang ajar si Gilang," umpat Riri geram. *** Di sepanjang perjalanan Safira hanya diam sembari tangannya tak lepas dari m