Seharian Satria memikirkan ucapan Shafira tentang hari ini. Dia sama sekali tak ingat tentang ulang tahun istrinya. Berbeda dengan Satria yang dulu, Satria yang selalu mengucapkan selamat ulang tahun untuk pertama kalinya. Shafira sendiri berusaha melupakan sikap pelupa Satria."Assalamualaikum," ucap Iva main ke rumah Satria."Waalaikumsalam, masuk Va," jawab Shafira, menjamu sahabatnya itu dengan minuman dan cemilan."Nggak potong kue ya mbak?" goda Iva sekenanya saat duduk di sofa.Shafira memandang Satria sekilas dan berkata, "untuk apa potong kue Va, toh gak ada yang spesial hari ini"."Uhuk, uhuk, uhuk."Satria seketika batuk mendengar ucapan Shafira yang ditangkap mengejeknya."Ada apa mas? Pelan pelan dong kalau minum kopi."Shafira menepuk nepuk punggung Satria membuat lelaki itu memandang aneh pada sang istri.Shafira segera ke dapur berniat mengambilkan air putih untuk sang suami."Hari ini hari apa sih Va?" bisik Satria saat sang istri tak ada."Ya ampun mas, kamu lupa ya?
[Besok aku mau ambil sepeda, kita bertemu di tempat biasanya.][Ambil sepeda?][Iya, aku ada urusan dan akan pergi menggunakan sepeda beat.][Iya, baiklah kalau begitu mas, sampai ketemu besok.][Ya.]Suara Thika terdengar tak rela jika sepeda diambil.Satria menutup telepon dan berkata, "aku sudah menelponnya, sekarang kamu puas kan?""Kita lihat saja besok," jawab Shafira tenang. Jauh di lubuk hati, Shafira tak sabar menunggu hari esok, apakah Satria akan memenuhi ucapannya atau tidak. "Ya sudah kalau begitu, kita bahas masalah lain saja,"ucap Tutik menengahi.Disini, Tutik sebagai orang tertua sudah sewajarnya memberikan nasehat kepada Satria dan Shafira, terlebih Shafira sudah dianggap seperti anaknya sendiri. Tutik memberi kode kepada Indra agar menceritakan masalahnya kepada Satria. Dengan ragu, Indra mulai mengeluarkan unek unek di hatinya."Mas, aku mengundangmu kesini karena ada hal penting yang perlu aku bicarakan.""Tentang apa itu mas?" tanya Satria heran."Ini tentang pe
"Kamu?""Kamu kenapa kemari?""Bukankah aku sudah menyuruhmu pergi?" cerca Thika kepada Sholeh, suaminya."Aku kan sudah bilang jika aku ingin membenahi hubungan kita.""Aku meragukanmu mas?""Kenapa ragu, semua ini demi anak kita," jawab Sholeh mantap.Seminggu yang lalu Sholeh memang mendatangi Thika dan meminta maaf. Dia juga menjelaskan alasannya datang menemui Thika jika dirinya telah bangkrut dan semuanya sudah terjual. Sholeh tak punya apa apa lagi sehingga dia menemui Thika dan meminta rujuk.Saat itu Satria melihat dengan mata kepalanya sendiri sehingga dirinya merasa bodoh, mau saja percaya pada Thika."Demi anak anak katamu mas?" tanya Thika emosi."Lalu saat kamu menceraikanku, apakah kamu memikirkan mereka mas?""Aku menyesal Thik, maafkan aku?" pinta Sholeh dengan sujud menyembah kaki Thika."Mas, jangan seperti ini. Malu dilihat orang."Thika memundurkan tubuhnya membuat Sholeh kecewa dan berdiri tegak, seketika membuat nyali Thika menciut.Dia kembali mengingat betapa
"Tega apanya, wong kamu tak ingatkan tetep saja membangkang, melakukan cara agar Thika dihina. Thika itu sedang down mentalnya. Kenapa kamu tak mengerti sama sekali sih?" keluh Satria pada Shafira istrinya."Aku melakukan apa mas? Aku tak paham apa maksud ucapanmu.""Terus saja berkilah. Kamu kan yang menyuruh tante Ipung ngelabrak Thika?"Aini datang mendekat karena mendengar perdebatan dari anak dan menantunya."Ada apa ini kok ramai ramai?""Shafira ini bu, selalu mencurigai aku sama Thika. Dia nyuruh Tante Ipung ngelabrak Thika."Shafira menghembuskan nafas berat. Dia tak mau debat dengan sang suami. Percuma saja dia membela, toh akan terus disalahkan."Kamu jangan nuduh Shafira karena aku yang melakukannya. Ya, akulah yang menyuruh Ipung mengingatkan Thika agar tak mengganggu kehidupan rumah tanggamu!" seru Aini merasa kesal."Bu, bisakah-""Diam Satria. Sudah cukup ibu melihatmu seperti ini, tak akan aku biarkan si pelakor genit itu mengusik kehidupan anakku."Satria memandang p
Shafira sangat khawatir akan keadaannya saat ini. Darah terus menetes dari jalan lahir sang bayi. Sambil menahan rasa sakit, dirinya mendatangi sang suami yang kini tengah tidur. Shafira berkali kali menghubungi sang suami namun hasilnya nihil membuatnya begitu kecewa. Disaat seperti ini, Satria malah tak pulang. "Shafira, malam semakin larut tapi kenapa suamimu belum juga pulang?" tanya Aini mencemaskan anaknya. "Entahlah bu, aku sendiri juga tak mengerti," jawab Shafira menggigit bibir bawahnya, menahan rasa sakit yang mendera. "Kamu kenapa kok meringis begitu? Kamu sakit?" "Ah, tidak bu" elak Shafira berbohong. Sebenarnya Aini merasa janggal namun dia tak mah menelisik lebih dalam, berlalu menuju dapur membuat segelas kopi untuk dirinya sendiri. Aini adalah seorang wanita yang tak bisa hidup tanpa kopi. Meski mempunyai darah tinggi, dia tetap minum kopi padahal kandungan kafein pada kopi diyakini bisa membuat tensi naik alias penyebab hipertensi. Tiap hari dia akan membuat seg
"Mas, tunggu!?""Ada apa?!" tanya Satria ketus. Dirinya masih emosi, pengaruh alkohol yang begitu kuat.Yudha memberi kode pada Shafira untuk menghentikan niatnya dan membiarkan Satria pergi.Safira yang mengerti kemudian berkata, "tidak jadi Mas".Akhirnya Satria pergi meninggalkan Safira dan Aini."Bu, sekarang ibu istirahat ya," ucap Shafira memapah mertuanya masuk ke kamar. Dilihat jam di ruang tamu menunjukkan pukul 01.00 dini hari. Pintu yang tadi di rusak Satria, kini ditopang dengan kursi agar bisa tertutup. Tatapan Shafira beralih pada pecahan gelas yang berserakan di ruang tamu. Dengan pelan diambil dan dibuang ke sampah."Tess!"Air mata Shafira kembali jatuh tak tertahan."Kamu kenapa mas?""Apa rasa cintamu pada Thika yang membuatmu seperti ini?"Hati Shafira benar benar hancur saat ini. Dirinya tak tahu harus berbuat apa untuk menyadarkan Satria. Perubahan ini jelas terjadi setelah sang suami bertemu dengan Thika. Karena Thika, kehidupan rumah tangga Shafira jadi hancur
"Apakah saya akan melahirkan?" tanya Shafira pada Bidan yang telah memeriksa kandungannya."Maaf bu Shafira, belum ada pembukaan. Jika dilihat dari buku KIA ini, sudah lewat HPL jadi seharusnya dia sudah waktunya lahir.""Lalu Bu?""Aku tadi telah memeriksa kandungan Anda, menurutku bayi anda sehat, tempo gerakannya aktif jadi kita tunggu saja satu atau dua minggu ini. Jika lebih dua minggu, Anda harus segera ke Rumah Sakit untuk mendapatkan pemeriksaan lebih lanjut."Shafira mengangguk paham, ada rasa takut dan kecewa di dalam hati. Dia pikir hari yang ditunggu tunggu datang juga, ternyata dia terlalu berharap."Kamu tenang saja, anak kita akan lahir dengan selamat dan sehat, kita tunggu saja," ucap Satria tegas saat membonceng sang istri. Seolah dia tahu apa yang menjadi beban pikiran istrinya saat ini."Iya mas, aku mengerti."Lama saling diam, Satria kembali berkata, "hidup itu tak boleh mengeluh. Kita harus menjalani apa yang sudah Allah gariskan untuk kita," ucap Satria menceram
"Minggir!"Shafira menggeleng."Minggir atau aku tabrak kamu!?""Brum brum!""Aakh!"Shafira hampir saja tertabrak Satria jika tak menghindar di detik terakhir."Keterlaluan kamu mas?"Satria bahkan tak peduli dengan keadaan istrinya, terus melaju tanpa henti.Shafira segera masuk rumah dengan perasaan campur aduk."Loh ma, apa tidak jadi berangkat sama papa?" tanya Mira heran melihat Shafira kembali masuk rumah."Mira, jika nanti Tante lila datang, bilang saja mama tidak jadi pergi karena sakit," ucap Shafira berlalu ke kamarnya.Mira merasa jika sesuatu yang buruk telah terjadi namun dia tak mau mencampuri urusan orang dewasa. Dirinya sudah kapok mengingat saat dirinya menghubungi Thika, Satria sangat marah padanya.Lima menit kemudian, Lila dan Yudha datang."Mira, tumben sekali kamu sudah menyambut kami di pelataran. Apa terjadi sesuatu?" tanya Lila merasa janggal."Begini tante, papa Satria sudah pergi dari tadi dan Mama tidak jadi ikut pergi karena sakit.""Oh ya? sakit apa?""E
"Kenapa buru buru? Tidak mau mampir dulu?" sapa Satria yang kini sudah berada di belakang Shafira."Mas Satria?"Shafira kaget bukan main mendengar suara bariton sang suami, segera mendekat dan menjelaskan situasi saat ini. "Mas, aku bisa jelaskan bagaima–""Tidak perlu kamu jelaskan, aku sudah mengerti. Sekarang kamu masuk dan tidurkan Maya," potong Satria sambil menatap Maya yang terlelap di gendongan ibunya."Baik."Shafira melipir ke dalam rumah tanpa berpamitan pada Zico. Dia sungguh takut terjadi hal yang tidak diinginkan karena salah paham. Tak langsung masuk kamar, melainkan mondar mandir di belakang pintu sambil sesekali mengintip Zico dan suaminya. "Sedang apa kamu?"Shahira terjengkang, reflek menoleh ke belakang. "I–ibu."Aini mendekat dan mengelus pelan tangan Maya, "aduh kasihan cucu nenek. Seharian diajak keluar, panas panas gini. Cepat tidurin Maya, badannya pasti sakit semua karena kamu gendong terus."Shafira mengangguk, merasa lega karena ibu mertuanya itu hanya fok
"Biar Mila, aku yang gendong," ucap seseorang."Kamu …. Zico?"Ya lelaki itu adalah Zico, sahabat Shafira Zico mendekati Shafira dengan langkah ragu. Dia memperhatikan wanita itu yang tengah menggendong bayi di satu tangan dan anak yang lebih tua berpegangan di tangan lainnya. Matanya yang sayu tidak bisa berpaling dari sosok yang dulu pernah dia impikan sebagai pendamping hidupnya."Shafira, kamu terlihat baik," kata Zico, mencoba menyembunyikan rasa sakit yang menggurita di dadanya.Shafira menoleh, terkejut namun segera menyusun raut wajahnya menjadi senyum sopan. "Oh, iya Zico. Terima kasih sudah peduli. Kamu, apa kabar?" tanya Shafira, suaranya terdengar lelah namun tetap hangat."Aku baik.""Em, mengapa kamu ada di Jakarta? Bukannya kamu ….""Aku sedang berlibur.""Owh," ucap Shafira sambil mengangguk mengerti dan tersenyum manis.Di balik senyumnya, Zico merasakan pahit. Dia tahu, sebagian dari dirinya iri melihat Shafira yang tampak begitu kuat dan tegar, meski kehidupannya p
Aini berdiri tegak dengan tatapan tajam, memancarkan emosi tak terkendali. Ia menatap Shafira dengan pandangan yang menyiratkan kesal dan kecewa. "Shafira, bagaimana kau bisa begitu percaya pada Iva? Kau tahu betul dia hanya akan datang jika membutuhkan sesuatu dari keluarga kita. Sekarang lihatlah kondisi Maya, panas badannya sangat tinggi, dan kau masih saja tidak berangkat ke rumah sakit! Apa kau tidak sayang pada cucuku?"Shafira terdiam, tampak menahan tangis. Ia mencoba menjelaskan, "Tapi Bu... Iva bilang dia akan membantu..."Aini memotong perkataan Shafira dengan suara keras, "Cukup! Jangan sebut-sebut nama Iva lagi! Aku tidak ingin mendengarnya! Sekarang, kau segera bawa Maya ke rumah sakit. Aku tidak peduli bagaimana caranya, tapi pastikan dia segera mendapatkan perawatan yang layak."Shafira ingin sekali marah dan berontak. Bagaimana tidak, hanya itu selalu menyalahkan dirinya, tidak mau menyalakan anaknya, Satria. Mestinya seorang ibu akan menyuruh anaknya mengantar sang m
Iva menjawab panggilan dengan pelan, "Halo Mbak Safira, ada apa apa?""Va, kamu baik-baik saja kan?""Iya, aku baik."Ahmad mengambil alih ponsel Iva dan menekan tombol speaker."Syukurlah jika kamu baik-baik saja, Va. Aku takut jika Ahmad menghajarmu lagi."Ahmad melotot tajam pada Iva."Tidak kok, mbak. Dia sudah tidur."“Ya sudah kalau begitu. Oh ya Va, mengenai Mas Satria yang tak mau menemui kamu, aku benar-benar minta maaf ya, Va."Ahmad semakin geram, tangannya mengepal erat. Semua pertanyaan yang ditujukan pada Iva, terjawab sudah. Segera disahut ponsel, dimatikan panggilan dan dibanting keras ke kasur. Untung saja tidak ke lantai.Iva hanya bisa melihat semuanya dengan mata sembab, air mata sudah kembali menetes dari sudut matanya.Srekh.Bugh.Bugh.Ahmad kembali melakukan KDRT pada Iva dan parahnya Iva menerima dengan lapang.Baginya, sudah cukup dia berusaha keluar dari masalah dengan meminta bantuan pada orang lain. Pada kenyataannya dia akan kembali ke rumah kontrakan in
Iva terdiam mendengar ucapan Shafira, menimang nimang kembali keputusannya. "Aku yakin Mbak, Ahmad gak akan berani memukulku. Mbak Shafira tenang saja. Jika dia memukulku, aku akan melawannya."Shafira tersenyum dan berkata, "bagus itu, kamu harus berani menentang hal yang salah. Jangan biarkan Ahmad terus menindasmu." Dipeluk erat adik yang menjadi teman suka dan duka Shafira selama ini.Iva pergi dengan was was menuju rumah kontrakan. Disana Ahmad sudah menunggu. "Dari mana kamu?"Shafira terdiam sesaat, langkahnya dipercepat masuk kamar. Jika biasanya Iva akan bersalaman dan mencium punggung tangan Ahmad, kali ini tidak dilakukan. Ada rasa nyeri menyelubungi hatinya "Va, jawab pertanyaanku? Apa susahnya menjawabnya? Jangan membuat aku marah," ucap Ahmad sambil berlari mengejar Iva. Hampir saja pintu ditutup namun Ahmad sempat menggapai pinggiran pintu."Aku mau istirahat Mas.""Jawab dulu pertanyaanku." Melihat Iva terdiam, Ahmad tahu darimana istrinya itu pergi. "Kamu dari rumah
Shafira terduduk di kursi dengan malas sambil memegang secangkir teh hangat, pandangannya kosong menatap jendela rumah yang terbuka lebar. Dalam lamunan, ia teringat akan memori indah bersama almarhumah ibunya, membuat wingko babat dengan resep ibunya. Hasil eksekusi pertama waktu digigit seperti batu, alotnya minta ampun.Setelah diteliti lagi, ternyata adonan tidak diberi air sehingga tekstur menjadi keras seperti batu. Mungkin saat itu sang ibu sudah pikun padahal usianya enam puluh sembilan tahun. Mereka tertawa bersama mengingat Adonan yang kekurangan air seperti mereka yang kekurangan cairan, butuh Aqua.Shafira tersenyum kecil, mengenang saat-saat bahagia ketika sang ibu masih ada di sisinya.Namun, lamunan Shafira harus terhenti saat Mira, putri sulungnya, memanggil namanya, "Ma, mama" dan menggoyangkan tubuhnya pelan. "Ada apa, sayang?" tanya Shafira dengan suara lembut, berusaha menyembunyikan kesedihan yang tengah menghampirinya."Mama melamun, ya?" tanya Mira dengan polos
Shafira menatap Aini, mertuanya, dengan kecewa mendalam ketika mendengar ucapan wanita itu. "Kamu harus menjual apa saja yang kamu miliki!"Shafira merasa bingung dan tidak mengerti apa maksud di balik kata- kata itu.Sampai malam larut, Shafira terjaga di kamarnya, berpikir keras tentang apa yang bisa dijual untuk memenuhi permintaan Aini. Pilihan jatuh pada gelang emas seberat lima gram yang pernah diberikan Satria, sebagai hadiah saat mereka merayakan ulang tahun pernikahan pertama. Meskipun berat hati, Shafira memutuskan untuk membawa gelang tersebut ke pegadaian demi menjaga keharmonisan keluarga.Keesokan harinya.Di pegadaian, Shafira menghadapi perdebatan sengit dengan pemilik pegadaian yang awalnya menawarkan harga jauh dibawah nilai gelang tersebut. "Maaf Bu, saya hanya bisa memberi dua juta.""Ya Allah pak, saya belinya pas dollar naik pak, kenapa cuma dapat segitu," keluh Shafira."Tapi memang dapatnya segitu, Bu."Shafira menahan air matanya sambil berusaha menjelaskan
Satria baru saja pulang dari perusahaan barunya dengan raut wajah murung dan tatapan hampa. Dia merasa kecewa karena kembali dipecat dan harus menghadapi kenyataan bahwa dia kembali menjadi pengangguran. Langkah kakinya terasa berat seiring pikirannya yang melayang tentang bagaimana kehidupan rumah tangganya ke depan.Shafira, istrinya, yang sedari tadi menunggu di ruang tamu, langsung menyambut Satria dengan wajah cemas. Begitu melihat ekspresi Satria, ia langsung bisa merasakan bahwa sesuatu yang buruk baru saja terjadi."Mas Satria, ada apa? Kamu kenapa?" tanya Shafira dengan nada khawatir.Lelaki tampan itu hanya bisa menghela nafas panjang, lalu ia menggenggam tangan Shafira erat. "Aku dipecat lagi, Shaf. Aku benar- benar tidak tahu harus bagaimana lagi," ungkap Satria dengan suara parau. Mendengar hal tersebut, Shafira merasa seakan jantungnya teriris. Namun, rasa cemas dan kecewa itu mulai bercampur menjadi amarah. Kekhawatiran akan keuangan yang menipis dan masa depan mereka
Satria baru saja kembali ke rumahnya setelah mengalami hari yang sangat berat di kantor. Dia baru saja dipecat dari pekerjaannya karena perusahaan mengetahui berita tentangnya.Dengan berat hati, Satria harus memberitahu istrinya."Shafira, aku mau bicara sebentar.""Bicaralah, Mas."Shafira menghentikan aktivitas memotong sayur, sore ini Shafira berniat membuat tumis kangkung."Em, maaf ya. Mas dipecat dari perusahaan.""Apa Mas?!"Mendengar kabar tersebut, Shafira merasa sangat kaget, kecewa dan kesal. Selama ini, dia selalu mendukung Satria untuk bekerja keras demi mencapai karir yang lebih baik. Namun, sekarang, semua usaha tersebut seakan sia-sia. Shafira merasa cemas tentang masa depan mereka, terutama anak anak karena mereka baru saja mempunyai bayi dan belum memiliki tabungan yang cukup untuk menghadapi situasi seperti ini."Maaf Shafira, Maafkan aku," ucap Satria merasa sangat bersalah atas apa yang terjadi."Aku janji, aku akan mencari pekerjaan baru dengan segera," imbuh S