Terima kasih, happy reading
"Mas, tunggu!?""Ada apa?!" tanya Satria ketus. Dirinya masih emosi, pengaruh alkohol yang begitu kuat.Yudha memberi kode pada Shafira untuk menghentikan niatnya dan membiarkan Satria pergi.Safira yang mengerti kemudian berkata, "tidak jadi Mas".Akhirnya Satria pergi meninggalkan Safira dan Aini."Bu, sekarang ibu istirahat ya," ucap Shafira memapah mertuanya masuk ke kamar. Dilihat jam di ruang tamu menunjukkan pukul 01.00 dini hari. Pintu yang tadi di rusak Satria, kini ditopang dengan kursi agar bisa tertutup. Tatapan Shafira beralih pada pecahan gelas yang berserakan di ruang tamu. Dengan pelan diambil dan dibuang ke sampah."Tess!"Air mata Shafira kembali jatuh tak tertahan."Kamu kenapa mas?""Apa rasa cintamu pada Thika yang membuatmu seperti ini?"Hati Shafira benar benar hancur saat ini. Dirinya tak tahu harus berbuat apa untuk menyadarkan Satria. Perubahan ini jelas terjadi setelah sang suami bertemu dengan Thika. Karena Thika, kehidupan rumah tangga Shafira jadi hancur
"Apakah saya akan melahirkan?" tanya Shafira pada Bidan yang telah memeriksa kandungannya."Maaf bu Shafira, belum ada pembukaan. Jika dilihat dari buku KIA ini, sudah lewat HPL jadi seharusnya dia sudah waktunya lahir.""Lalu Bu?""Aku tadi telah memeriksa kandungan Anda, menurutku bayi anda sehat, tempo gerakannya aktif jadi kita tunggu saja satu atau dua minggu ini. Jika lebih dua minggu, Anda harus segera ke Rumah Sakit untuk mendapatkan pemeriksaan lebih lanjut."Shafira mengangguk paham, ada rasa takut dan kecewa di dalam hati. Dia pikir hari yang ditunggu tunggu datang juga, ternyata dia terlalu berharap."Kamu tenang saja, anak kita akan lahir dengan selamat dan sehat, kita tunggu saja," ucap Satria tegas saat membonceng sang istri. Seolah dia tahu apa yang menjadi beban pikiran istrinya saat ini."Iya mas, aku mengerti."Lama saling diam, Satria kembali berkata, "hidup itu tak boleh mengeluh. Kita harus menjalani apa yang sudah Allah gariskan untuk kita," ucap Satria menceram
"Minggir!"Shafira menggeleng."Minggir atau aku tabrak kamu!?""Brum brum!""Aakh!"Shafira hampir saja tertabrak Satria jika tak menghindar di detik terakhir."Keterlaluan kamu mas?"Satria bahkan tak peduli dengan keadaan istrinya, terus melaju tanpa henti.Shafira segera masuk rumah dengan perasaan campur aduk."Loh ma, apa tidak jadi berangkat sama papa?" tanya Mira heran melihat Shafira kembali masuk rumah."Mira, jika nanti Tante lila datang, bilang saja mama tidak jadi pergi karena sakit," ucap Shafira berlalu ke kamarnya.Mira merasa jika sesuatu yang buruk telah terjadi namun dia tak mau mencampuri urusan orang dewasa. Dirinya sudah kapok mengingat saat dirinya menghubungi Thika, Satria sangat marah padanya.Lima menit kemudian, Lila dan Yudha datang."Mira, tumben sekali kamu sudah menyambut kami di pelataran. Apa terjadi sesuatu?" tanya Lila merasa janggal."Begini tante, papa Satria sudah pergi dari tadi dan Mama tidak jadi ikut pergi karena sakit.""Oh ya? sakit apa?""E
Shafira memastikan siapa yang datang menemuinya."Ada apa ya Bu?" tanya Safira bingung."Mbak Safira, bisa ikut kami ke balai desa untuk senam ibu hamil?" tanya bu Dina selaku kader posyandu di komplek perumahan Satria."Em, untuk apa ya Bu?""Ya, kan Bu Safira belum juga melahirkan setelah 10 hari HPL. Hal ini bisa dilakukan agar Bu Safira tidak stress. Nanti juga ada Bu bidan yang akan memeriksa kondisi janin ibu," jelas bu Dina.Shafira memandang Aini seolah meminta pendapatnya. Aini sendiri tak mengerti perihal kehamilan ataupun kelahiran yang mundur. Dia juga tak yakin jika Satria mengizinkan Shafira untuk pergi.Dina terlihat memandang jam di tangannya membuat Shafira tak nyaman."Biar Shafira minta izin suaminya terlebih dahulu," ucap Aini tegas."Bagus itu, memang seorang istri harus meminta izin kepada suaminya jika ingin keluar rumah."Safira mengangguk dan masuk ke dalam untuk berbicara dengan Satria, meminta izin untuk memenuhi undangan senam ibu hamil."Baiklah bu Aini, s
"Kenapa kamu terus membohongiku?" teriak Shafira marah namun Satria seolah tuli, tak peduli dengan ocehan Shafira.Shafira menghembuskan nafas berat, berusaha meredam emosinya sendiri. Sangat sakit melihat lelaki yang begitu kita cintai lebih mementingkan wanita lain.'Ya Allah mas, begitu pentingnya Thika bagimu. Setelah membaca pesannya, kamu segera menemuinya dan tak peduli dengan perasaanku,' keluh Shafira di dalam hatinya."Kemana Satria pergi Shaf?" tanya Aini mendekati menantunya. Dia mendengar Shafira berteriak tadi namun tak mengerti duduk perkara yang terjadi."Menemui Thika Bu," jawab Shafira tanpa memandang Aini."Jangan ngaco kamu?""Siapa yang ngaco, memang benar kok. Tadi Thika mengirim pesan, bilang kecewa sama mas Satria. Dia juga membahas uang 2 juta pemberian darinya. Apa itu tidak disebut selingkuh bu? Memberi uang orang asing tanpa sepengetahuan aku, istrinya.""Tidak mungkin Shaf, dia sudah berjanji untuk melupakan Thika. Kamu percaya sama ibu, nanti aku yang aka
Shafira segera mengambil ponsel dan menyerahkannya pada Satria, dimana Shafira berhasil memotret WA Thika. Karena ponsel Satria dikunci, Shafira memotretnya dengan ponselnya sendiri.Satria diam, tatapannya fokus pada ponsel Shafira."Kenapa kamu diam mas? Jawab mas? Semua itu benarkan?""Shafira, semua tidak seperti yang kamu lihat.""Lalu apa ini? Apa semua ini rekayasa?""Kamu nggak bisa jawab kan mas?" cerca Shafira.Shafira merebut ponselnya dan mencari cari isi chatnya dengan Yudha."Ini, lihatlah!"Satria kembali membaca pesan WA dari Yudha yang mengakui jika sepeda beat dibawakan kepada Thika lagi."Kenapa kamu lakukan semua ini mas? Tega sekali kamu? Kamu jahat?" teriak Shafira membuat Aini dan kedua putrinya berlari mendekat."Ada apa ini?" tanya Aini."Tanyakan saja pada anakmu bu.""Ma, mama kenapa menangis?" tanya Mila dengan polosnya."Ada apa Satria, katakan pada ibu apa yang sebenarnya terjadi?""Intinya, aku tidak melakukan apapun. Aku tidak berselingkuh!"Shafira seg
[Halo mas, kamu dimana?]Panggilan telepon dari Thika.[Halo, aku ada di rumah sakit, istriku mau melahirkan. Ada apa?][Ah, anu mas, ada yang ingin aku bicarakan kepadamu, hal ini sangat penting sehingga kita harus bertemu.]Satria mengernyitkan kening penasaran, [hal penting apa itu?][Pokoknya sangat penting Mas, kamu cepat kesini dan aku akan menceritakan semuanya.][Tapi ….]Satria bingung, namun dia harus tegas untuk menolak tidak datang karena istrinya sedang membutuhkannya.[Maaf Thik–][Mas aku mohon kemarilah, ini menyangkut hidup dan matiku. Apa kamu tidak kasihan padaku?]Tika berhasil membuat Satria dilema antara menunggu istri yang membutuhkannya, atau datang menemui Tikha karena kasihan padanya.10 menit kemudian.Satria duduk diatas sepeda miliknya di pinggir jalan, mimik gusar terpancar dari wajahnya. Dirinya kini menunggu Thika. Thika yang menghubungi Satria terlebih dahulu dan berkata jika ada hal penting yang ingin dikatakan."Maaf mas, aku telat. Kamu menunggu la
"Plak!""Aakh!""Bu, apa yang kamu lakukan?" tanya Satria tak paham, tiba tiba saja ibu kandung itu menampar pipinya."Apa yang aku lakukan? Yang aku lakukan adalah kewajiban sebagai seorang ibu saat mengetahui kelakuan buruk anaknya. Dasar, anak kurang ajar. Dimana tanggung jawab kamu Satria? Di mana kamu saat istrimu membutuhkanmu? Dia mempertaruhkan nyawanya untuk melahirkan seorang bayi dan kamu tak ada disampingnya," ujar Aini panjang lebar.Satria tertunduk dan berkata, "maafkan Aku. Aku pergi menemui–""Jangan jelaskan padaku, jelaskan alasanmu itu kepada istrimu. Dia yang butuh penjelasan darimu dan aku harap dia mau mengerti."Aini pergi meninggalkan Satria yang kini berdiri terpaku di depan ruang bersalin. Rasanya Satria sungguh tak berani untuk menemui istrinya.Dengan pelan Satria berjalan memasuki ruangan dimana istrinya berada.Terlihat Shafira tergolek lemah dengan malaikat kecil berada di atas d*d* Shafira. Bayi itu begitu aktif bergerak gerak mencari sesuatu di sekita
"Kenapa buru buru? Tidak mau mampir dulu?" sapa Satria yang kini sudah berada di belakang Shafira."Mas Satria?"Shafira kaget bukan main mendengar suara bariton sang suami, segera mendekat dan menjelaskan situasi saat ini. "Mas, aku bisa jelaskan bagaima–""Tidak perlu kamu jelaskan, aku sudah mengerti. Sekarang kamu masuk dan tidurkan Maya," potong Satria sambil menatap Maya yang terlelap di gendongan ibunya."Baik."Shafira melipir ke dalam rumah tanpa berpamitan pada Zico. Dia sungguh takut terjadi hal yang tidak diinginkan karena salah paham. Tak langsung masuk kamar, melainkan mondar mandir di belakang pintu sambil sesekali mengintip Zico dan suaminya. "Sedang apa kamu?"Shahira terjengkang, reflek menoleh ke belakang. "I–ibu."Aini mendekat dan mengelus pelan tangan Maya, "aduh kasihan cucu nenek. Seharian diajak keluar, panas panas gini. Cepat tidurin Maya, badannya pasti sakit semua karena kamu gendong terus."Shafira mengangguk, merasa lega karena ibu mertuanya itu hanya fok
"Biar Mila, aku yang gendong," ucap seseorang."Kamu …. Zico?"Ya lelaki itu adalah Zico, sahabat Shafira Zico mendekati Shafira dengan langkah ragu. Dia memperhatikan wanita itu yang tengah menggendong bayi di satu tangan dan anak yang lebih tua berpegangan di tangan lainnya. Matanya yang sayu tidak bisa berpaling dari sosok yang dulu pernah dia impikan sebagai pendamping hidupnya."Shafira, kamu terlihat baik," kata Zico, mencoba menyembunyikan rasa sakit yang menggurita di dadanya.Shafira menoleh, terkejut namun segera menyusun raut wajahnya menjadi senyum sopan. "Oh, iya Zico. Terima kasih sudah peduli. Kamu, apa kabar?" tanya Shafira, suaranya terdengar lelah namun tetap hangat."Aku baik.""Em, mengapa kamu ada di Jakarta? Bukannya kamu ….""Aku sedang berlibur.""Owh," ucap Shafira sambil mengangguk mengerti dan tersenyum manis.Di balik senyumnya, Zico merasakan pahit. Dia tahu, sebagian dari dirinya iri melihat Shafira yang tampak begitu kuat dan tegar, meski kehidupannya p
Aini berdiri tegak dengan tatapan tajam, memancarkan emosi tak terkendali. Ia menatap Shafira dengan pandangan yang menyiratkan kesal dan kecewa. "Shafira, bagaimana kau bisa begitu percaya pada Iva? Kau tahu betul dia hanya akan datang jika membutuhkan sesuatu dari keluarga kita. Sekarang lihatlah kondisi Maya, panas badannya sangat tinggi, dan kau masih saja tidak berangkat ke rumah sakit! Apa kau tidak sayang pada cucuku?"Shafira terdiam, tampak menahan tangis. Ia mencoba menjelaskan, "Tapi Bu... Iva bilang dia akan membantu..."Aini memotong perkataan Shafira dengan suara keras, "Cukup! Jangan sebut-sebut nama Iva lagi! Aku tidak ingin mendengarnya! Sekarang, kau segera bawa Maya ke rumah sakit. Aku tidak peduli bagaimana caranya, tapi pastikan dia segera mendapatkan perawatan yang layak."Shafira ingin sekali marah dan berontak. Bagaimana tidak, hanya itu selalu menyalahkan dirinya, tidak mau menyalakan anaknya, Satria. Mestinya seorang ibu akan menyuruh anaknya mengantar sang m
Iva menjawab panggilan dengan pelan, "Halo Mbak Safira, ada apa apa?""Va, kamu baik-baik saja kan?""Iya, aku baik."Ahmad mengambil alih ponsel Iva dan menekan tombol speaker."Syukurlah jika kamu baik-baik saja, Va. Aku takut jika Ahmad menghajarmu lagi."Ahmad melotot tajam pada Iva."Tidak kok, mbak. Dia sudah tidur."“Ya sudah kalau begitu. Oh ya Va, mengenai Mas Satria yang tak mau menemui kamu, aku benar-benar minta maaf ya, Va."Ahmad semakin geram, tangannya mengepal erat. Semua pertanyaan yang ditujukan pada Iva, terjawab sudah. Segera disahut ponsel, dimatikan panggilan dan dibanting keras ke kasur. Untung saja tidak ke lantai.Iva hanya bisa melihat semuanya dengan mata sembab, air mata sudah kembali menetes dari sudut matanya.Srekh.Bugh.Bugh.Ahmad kembali melakukan KDRT pada Iva dan parahnya Iva menerima dengan lapang.Baginya, sudah cukup dia berusaha keluar dari masalah dengan meminta bantuan pada orang lain. Pada kenyataannya dia akan kembali ke rumah kontrakan in
Iva terdiam mendengar ucapan Shafira, menimang nimang kembali keputusannya. "Aku yakin Mbak, Ahmad gak akan berani memukulku. Mbak Shafira tenang saja. Jika dia memukulku, aku akan melawannya."Shafira tersenyum dan berkata, "bagus itu, kamu harus berani menentang hal yang salah. Jangan biarkan Ahmad terus menindasmu." Dipeluk erat adik yang menjadi teman suka dan duka Shafira selama ini.Iva pergi dengan was was menuju rumah kontrakan. Disana Ahmad sudah menunggu. "Dari mana kamu?"Shafira terdiam sesaat, langkahnya dipercepat masuk kamar. Jika biasanya Iva akan bersalaman dan mencium punggung tangan Ahmad, kali ini tidak dilakukan. Ada rasa nyeri menyelubungi hatinya "Va, jawab pertanyaanku? Apa susahnya menjawabnya? Jangan membuat aku marah," ucap Ahmad sambil berlari mengejar Iva. Hampir saja pintu ditutup namun Ahmad sempat menggapai pinggiran pintu."Aku mau istirahat Mas.""Jawab dulu pertanyaanku." Melihat Iva terdiam, Ahmad tahu darimana istrinya itu pergi. "Kamu dari rumah
Shafira terduduk di kursi dengan malas sambil memegang secangkir teh hangat, pandangannya kosong menatap jendela rumah yang terbuka lebar. Dalam lamunan, ia teringat akan memori indah bersama almarhumah ibunya, membuat wingko babat dengan resep ibunya. Hasil eksekusi pertama waktu digigit seperti batu, alotnya minta ampun.Setelah diteliti lagi, ternyata adonan tidak diberi air sehingga tekstur menjadi keras seperti batu. Mungkin saat itu sang ibu sudah pikun padahal usianya enam puluh sembilan tahun. Mereka tertawa bersama mengingat Adonan yang kekurangan air seperti mereka yang kekurangan cairan, butuh Aqua.Shafira tersenyum kecil, mengenang saat-saat bahagia ketika sang ibu masih ada di sisinya.Namun, lamunan Shafira harus terhenti saat Mira, putri sulungnya, memanggil namanya, "Ma, mama" dan menggoyangkan tubuhnya pelan. "Ada apa, sayang?" tanya Shafira dengan suara lembut, berusaha menyembunyikan kesedihan yang tengah menghampirinya."Mama melamun, ya?" tanya Mira dengan polos
Shafira menatap Aini, mertuanya, dengan kecewa mendalam ketika mendengar ucapan wanita itu. "Kamu harus menjual apa saja yang kamu miliki!"Shafira merasa bingung dan tidak mengerti apa maksud di balik kata- kata itu.Sampai malam larut, Shafira terjaga di kamarnya, berpikir keras tentang apa yang bisa dijual untuk memenuhi permintaan Aini. Pilihan jatuh pada gelang emas seberat lima gram yang pernah diberikan Satria, sebagai hadiah saat mereka merayakan ulang tahun pernikahan pertama. Meskipun berat hati, Shafira memutuskan untuk membawa gelang tersebut ke pegadaian demi menjaga keharmonisan keluarga.Keesokan harinya.Di pegadaian, Shafira menghadapi perdebatan sengit dengan pemilik pegadaian yang awalnya menawarkan harga jauh dibawah nilai gelang tersebut. "Maaf Bu, saya hanya bisa memberi dua juta.""Ya Allah pak, saya belinya pas dollar naik pak, kenapa cuma dapat segitu," keluh Shafira."Tapi memang dapatnya segitu, Bu."Shafira menahan air matanya sambil berusaha menjelaskan
Satria baru saja pulang dari perusahaan barunya dengan raut wajah murung dan tatapan hampa. Dia merasa kecewa karena kembali dipecat dan harus menghadapi kenyataan bahwa dia kembali menjadi pengangguran. Langkah kakinya terasa berat seiring pikirannya yang melayang tentang bagaimana kehidupan rumah tangganya ke depan.Shafira, istrinya, yang sedari tadi menunggu di ruang tamu, langsung menyambut Satria dengan wajah cemas. Begitu melihat ekspresi Satria, ia langsung bisa merasakan bahwa sesuatu yang buruk baru saja terjadi."Mas Satria, ada apa? Kamu kenapa?" tanya Shafira dengan nada khawatir.Lelaki tampan itu hanya bisa menghela nafas panjang, lalu ia menggenggam tangan Shafira erat. "Aku dipecat lagi, Shaf. Aku benar- benar tidak tahu harus bagaimana lagi," ungkap Satria dengan suara parau. Mendengar hal tersebut, Shafira merasa seakan jantungnya teriris. Namun, rasa cemas dan kecewa itu mulai bercampur menjadi amarah. Kekhawatiran akan keuangan yang menipis dan masa depan mereka
Satria baru saja kembali ke rumahnya setelah mengalami hari yang sangat berat di kantor. Dia baru saja dipecat dari pekerjaannya karena perusahaan mengetahui berita tentangnya.Dengan berat hati, Satria harus memberitahu istrinya."Shafira, aku mau bicara sebentar.""Bicaralah, Mas."Shafira menghentikan aktivitas memotong sayur, sore ini Shafira berniat membuat tumis kangkung."Em, maaf ya. Mas dipecat dari perusahaan.""Apa Mas?!"Mendengar kabar tersebut, Shafira merasa sangat kaget, kecewa dan kesal. Selama ini, dia selalu mendukung Satria untuk bekerja keras demi mencapai karir yang lebih baik. Namun, sekarang, semua usaha tersebut seakan sia-sia. Shafira merasa cemas tentang masa depan mereka, terutama anak anak karena mereka baru saja mempunyai bayi dan belum memiliki tabungan yang cukup untuk menghadapi situasi seperti ini."Maaf Shafira, Maafkan aku," ucap Satria merasa sangat bersalah atas apa yang terjadi."Aku janji, aku akan mencari pekerjaan baru dengan segera," imbuh S