"Plak!""Aakh!""Bu, apa yang kamu lakukan?" tanya Satria tak paham, tiba tiba saja ibu kandung itu menampar pipinya."Apa yang aku lakukan? Yang aku lakukan adalah kewajiban sebagai seorang ibu saat mengetahui kelakuan buruk anaknya. Dasar, anak kurang ajar. Dimana tanggung jawab kamu Satria? Di mana kamu saat istrimu membutuhkanmu? Dia mempertaruhkan nyawanya untuk melahirkan seorang bayi dan kamu tak ada disampingnya," ujar Aini panjang lebar.Satria tertunduk dan berkata, "maafkan Aku. Aku pergi menemui–""Jangan jelaskan padaku, jelaskan alasanmu itu kepada istrimu. Dia yang butuh penjelasan darimu dan aku harap dia mau mengerti."Aini pergi meninggalkan Satria yang kini berdiri terpaku di depan ruang bersalin. Rasanya Satria sungguh tak berani untuk menemui istrinya.Dengan pelan Satria berjalan memasuki ruangan dimana istrinya berada.Terlihat Shafira tergolek lemah dengan malaikat kecil berada di atas d*d* Shafira. Bayi itu begitu aktif bergerak gerak mencari sesuatu di sekita
"Kamu masih mau bersamaku kan? Aku mohon Shaf," pinta Satria."Aku ….""Aku mau bersamamu lagi mas demi anak anak. Ya, demi mereka aku akan mempertahankan bahtera rumah tangga ini, bukan karena cintaku padamu. Bagaimanapun kaca yang sudah pecah masih bisa disatukan kembali, namun tak akan sama dengan keadaan semula. Seperti hatiku yang telah lama rusak oleh ketidakpastian sikapmu. Mendengar jawaban Shafira yang seperti terpaksa bersamanya membuat Satria kembali membela dirinya."Sudah aku katakan padamu, aku tak ada hubungan apa- apa dengan Thika. Sekarang kita tutup masalah ini dan mengurus bayi serta anak anak kita bersama."Shafira hanya diam namun dalam hatinya sudah lelah mendengar sanggahan dari Satria."Baiklah, aku akan keluar untuk merokok sebentar."Satria berjalan keluar dan berpapasan dengan Karsih. Bukannya menyapa Karsih, Satria malah berlalu pergi menuju warung dekat Rumah Sakit.Disana sudah ada Yudha dan Indra. Mereka menunggu Satria sejak 15 menit yang lalu.Karsih
"Oekh!""Oekh!""Oekh!"Bayi Shafira tiba tiba menangis menangis begitu kencang membuat Shafira dan Karsih terkejut seketika bangun untuk menenangkan si bayi."Cup cup."Karsih segera menggendong bayi Shafira."Shaf, bayi ini mau diberi nama siapa? Apa kamu sudah mempersiapkan nama yang bagus untuknya?" tanya Karsih.Shafira menggeleng, dia tak menyiapkan nama bayi perempuan karena dia begitu yakin akan melahirkan bayi laki laki."Sudah aku duga, kamu pasti menyiapkan nama bayi laki laki kan?" ucap Satria masuk ruangan."Mas," lirih Shafira."Aku mendengar bayi kita menangis, makanya aku kemari dan aku mendengar pembicaraan kalian," ucap Satria.Bayi ini akan kuberi nama "Maya"."Maya?" ucap Shafira dan Karsih berbarengan."Iya, Mayaza Fitriani, yang artinya perempuan yang mempunyai keistimewaan dan suci.""Owh begitu, semoga saja bayi ini sesuai dengan harapan di balik namanya.""Aamiin.""Oekh!""Oekh!"Tiba tiba Maya kembali menangis, kali ini lebih keras. Karsih sampai bingung men
[Apa?!]Shafira tak menyangka jika Yudha akan mengatakan hal yang tak masuk akal. Mana mungkin seorang suami meninggalkan istrinya yang baru saja melahirkan demi wanita lain?"Ah, itu tidak mungkin mas Yhuda, mungkin sebentar lagi mas Satria akan kesini kok, aku yakin.""Syukurlah jika kamu percaya pada Satria, karena saat ini aku meragukan kesetiaannya."Shafira hendak menjawab namun Yudha kembali berkata, "Ya sudah mbak Shafira, saya lagi sibuk ini, sampai ketemu nanti."Panggilan berakhir.Shafira sama sekali tidak mencurigai ucapan aneh dari Yudha. Ponsel diletakkan di atas nakas pelan dan terlihat cemas. Karsih melihat detail perubahan mimik Shafira, merasakan ada hal yang membuatnya sedih."Ada apa Shafira?""Eh, tidak ada apa apa?""Ayo kita turun saja, nunggu mobil Yudha menjemput kita.""Meski mas Satria nggak datang menjemput?""Tidak usah lah, mungkin dia masih tidur," ucap Karsih menenteng tas perlengkapan persalinan.Karsih dan Shafira turun ke lantai bawah di Rumah Sakit
Shafira tak mampu menjawab pertanyaan dari Satria. Entah berapa bulan lagi mereka bisa bersatu, menjalani kewajiban sebagai suami istri karena semua itu tergantung dari masa nifas Shafira."Maaf mas, tapi aku ,...""Aku tak akan memaksamu Shafira. Aku hanya bertanya."Shafira mengangguk tak nyaman sementara Satria sendiri merasa tak nyaman telah menanyakan hal yang belum tentu pasti.Satria membalikkan tubuh membelakangi Shafira dan mulai terlelap, membiarkan sang istri bergelut dengan perasaannya sendiri.Esok hari.Dari pertama pulang ke rumah, kediaman Satria tidak pernah sepi seperti sebelumnya. Banyak kerabat maupun tetangga kompleks datang berkunjung untuk melihat Maya, bayi Shafira. Dari pagi hingga malam tamu di rumah Satria terus berdatangan. Baik, tetangga, saudara maupun rekan kantor Satria serta teman Aini, ibu ibu arisan kompleks."Assalamu'alaikum," ucap laki laki dan perempuan serta suara anak anak."Waalaikum salam," jawab Shafira yang kini menjemur Maya. Kegiatan pagi
'Apakah aku mempunyai kekuatan untuk pulang?'Shafira mengganggu mengerti dengan maksud perkataan Murni.Semua saling jabat tangan sebagai tanda perpisahan.Satria memeluk Safira sambil mengantar kepergian mobil dari keluarga Surabaya itu."Hati hati di jalan, jangan lupa beri kami kabar jika sudah sampai!" teriak Satria saat mobil itu melenggang menjauh dari rumah Satria."Ayo kita masuk sayang," ucap Satria mengajak istrinya masuk rumah."Mas, mau sarapan apa? Tadi kamu tidak sarapan karena keluargaku.""Kamu istirahat saja aku tidak lapar.""Baiklah, aku ngurus Maya dulu," pamit Shafira.Satria mengangguk dan mulai masuk kamar. Kebetulan hari ini dia libur kerja jadi bisa bebas mau melakukan apapun. Biasanya Satria menghabiskan waktu dengan melihat youtube dari ponselnya.Satria mulai menyalakan ponsel, menunggu tulisan huruf besar, "SAMSUNG" itu muncul di layar ponselnya. Ponsel sudah siap digunakan dan Satria segera mencari ikon YouTube, namun tiba- tiba ....Ada satu pesan masuk
Hari Minggu.Hari ini Shafira pergi memeriksakan diri dan tindik telinga Maya. Dengan diantar Karsih, Shafira pergi ke Rumah Sakit.Beberapa hari ini, Maya menangis dan mengajak begadang membuat Shafira terlihat lemas. Dia berencana mengadukan apa yang terjadi pada Maya kepada bidan jaga di Rumah sakit."Shafira, kamu kenapa? kok kamu terlihat lemas?" tanya Karsih."Aku tidak apa- apa Mbak," bohong Carla.Mereka mulai daftar menuju ruang KIA dan menunggu antrian. Lama menunggu, Shafira berinisiatif membuka akun sosial media miliknya, men scroll scroll beberapa reela IG untuk mengusir kejenuhan. Maya sendiri tertidur pulas di gendongan Karsih."Ananda Maya, Bu Shafira," panggil perawat dari ruang KIA."Ya Bu."Shafira dan Karsih segera masuk ruang KIA untuk diperiksa. Pertama, para perawat memeriksa keadaan Maya dan memberikan tindik di telinga."Oekh!""Oekh!"Maya menangis keras, merasakan sakit di kedua telinga setelah proses penindikan terjadi."Cup sayang, cup."Shafira segera mem
"Halo Shafira." "Ka- kamu?? Shafira tahu betul siapa saat ini yang berada di depannya. Meski mereka tidak pernah bertatap muka, namun wajah itu sangat dikenal oleh Shafira. "Thika?!" panggil Aini mendekat, merasa syok atas kedatangan wanita yang mengusik kehidupan anaknya. "Assalamualaikum Budhe, bagaimana kabarnya?" "Waalaikumsalam. Aku baik," jawab Aini sambil menatap Shafira, khawatir jika sang menantu menilai buruk terhadap sikapnya. Shafira sendiri menatap nanar interaksi kedua wanita di depannya. Saat ini pikirannya sangat kalut, ada rasa tak percaya jika Thika berani datang kemari dengan percaya diri. Rasanya Shafira ingin segera pergi dari tempat ini, pergi sejauh mungkin agar tak ada yang menemukannya. Entah mengapa masalah ini kembali dihadapkan kepadanya? Safira pikir sudah berakhir, namun nyatanya? "Siapa yang mengundangmu, kemari?" tanya Aini kepada Thika. "Aku? tentu saja aku diundang oleh Mas Satria." "Apa?!" tanya Safira dan Aini bersamaan. Tangan Shafira meng
"Kenapa buru buru? Tidak mau mampir dulu?" sapa Satria yang kini sudah berada di belakang Shafira."Mas Satria?"Shafira kaget bukan main mendengar suara bariton sang suami, segera mendekat dan menjelaskan situasi saat ini. "Mas, aku bisa jelaskan bagaima–""Tidak perlu kamu jelaskan, aku sudah mengerti. Sekarang kamu masuk dan tidurkan Maya," potong Satria sambil menatap Maya yang terlelap di gendongan ibunya."Baik."Shafira melipir ke dalam rumah tanpa berpamitan pada Zico. Dia sungguh takut terjadi hal yang tidak diinginkan karena salah paham. Tak langsung masuk kamar, melainkan mondar mandir di belakang pintu sambil sesekali mengintip Zico dan suaminya. "Sedang apa kamu?"Shahira terjengkang, reflek menoleh ke belakang. "I–ibu."Aini mendekat dan mengelus pelan tangan Maya, "aduh kasihan cucu nenek. Seharian diajak keluar, panas panas gini. Cepat tidurin Maya, badannya pasti sakit semua karena kamu gendong terus."Shafira mengangguk, merasa lega karena ibu mertuanya itu hanya fok
"Biar Mila, aku yang gendong," ucap seseorang."Kamu …. Zico?"Ya lelaki itu adalah Zico, sahabat Shafira Zico mendekati Shafira dengan langkah ragu. Dia memperhatikan wanita itu yang tengah menggendong bayi di satu tangan dan anak yang lebih tua berpegangan di tangan lainnya. Matanya yang sayu tidak bisa berpaling dari sosok yang dulu pernah dia impikan sebagai pendamping hidupnya."Shafira, kamu terlihat baik," kata Zico, mencoba menyembunyikan rasa sakit yang menggurita di dadanya.Shafira menoleh, terkejut namun segera menyusun raut wajahnya menjadi senyum sopan. "Oh, iya Zico. Terima kasih sudah peduli. Kamu, apa kabar?" tanya Shafira, suaranya terdengar lelah namun tetap hangat."Aku baik.""Em, mengapa kamu ada di Jakarta? Bukannya kamu ….""Aku sedang berlibur.""Owh," ucap Shafira sambil mengangguk mengerti dan tersenyum manis.Di balik senyumnya, Zico merasakan pahit. Dia tahu, sebagian dari dirinya iri melihat Shafira yang tampak begitu kuat dan tegar, meski kehidupannya p
Aini berdiri tegak dengan tatapan tajam, memancarkan emosi tak terkendali. Ia menatap Shafira dengan pandangan yang menyiratkan kesal dan kecewa. "Shafira, bagaimana kau bisa begitu percaya pada Iva? Kau tahu betul dia hanya akan datang jika membutuhkan sesuatu dari keluarga kita. Sekarang lihatlah kondisi Maya, panas badannya sangat tinggi, dan kau masih saja tidak berangkat ke rumah sakit! Apa kau tidak sayang pada cucuku?"Shafira terdiam, tampak menahan tangis. Ia mencoba menjelaskan, "Tapi Bu... Iva bilang dia akan membantu..."Aini memotong perkataan Shafira dengan suara keras, "Cukup! Jangan sebut-sebut nama Iva lagi! Aku tidak ingin mendengarnya! Sekarang, kau segera bawa Maya ke rumah sakit. Aku tidak peduli bagaimana caranya, tapi pastikan dia segera mendapatkan perawatan yang layak."Shafira ingin sekali marah dan berontak. Bagaimana tidak, hanya itu selalu menyalahkan dirinya, tidak mau menyalakan anaknya, Satria. Mestinya seorang ibu akan menyuruh anaknya mengantar sang m
Iva menjawab panggilan dengan pelan, "Halo Mbak Safira, ada apa apa?""Va, kamu baik-baik saja kan?""Iya, aku baik."Ahmad mengambil alih ponsel Iva dan menekan tombol speaker."Syukurlah jika kamu baik-baik saja, Va. Aku takut jika Ahmad menghajarmu lagi."Ahmad melotot tajam pada Iva."Tidak kok, mbak. Dia sudah tidur."“Ya sudah kalau begitu. Oh ya Va, mengenai Mas Satria yang tak mau menemui kamu, aku benar-benar minta maaf ya, Va."Ahmad semakin geram, tangannya mengepal erat. Semua pertanyaan yang ditujukan pada Iva, terjawab sudah. Segera disahut ponsel, dimatikan panggilan dan dibanting keras ke kasur. Untung saja tidak ke lantai.Iva hanya bisa melihat semuanya dengan mata sembab, air mata sudah kembali menetes dari sudut matanya.Srekh.Bugh.Bugh.Ahmad kembali melakukan KDRT pada Iva dan parahnya Iva menerima dengan lapang.Baginya, sudah cukup dia berusaha keluar dari masalah dengan meminta bantuan pada orang lain. Pada kenyataannya dia akan kembali ke rumah kontrakan in
Iva terdiam mendengar ucapan Shafira, menimang nimang kembali keputusannya. "Aku yakin Mbak, Ahmad gak akan berani memukulku. Mbak Shafira tenang saja. Jika dia memukulku, aku akan melawannya."Shafira tersenyum dan berkata, "bagus itu, kamu harus berani menentang hal yang salah. Jangan biarkan Ahmad terus menindasmu." Dipeluk erat adik yang menjadi teman suka dan duka Shafira selama ini.Iva pergi dengan was was menuju rumah kontrakan. Disana Ahmad sudah menunggu. "Dari mana kamu?"Shafira terdiam sesaat, langkahnya dipercepat masuk kamar. Jika biasanya Iva akan bersalaman dan mencium punggung tangan Ahmad, kali ini tidak dilakukan. Ada rasa nyeri menyelubungi hatinya "Va, jawab pertanyaanku? Apa susahnya menjawabnya? Jangan membuat aku marah," ucap Ahmad sambil berlari mengejar Iva. Hampir saja pintu ditutup namun Ahmad sempat menggapai pinggiran pintu."Aku mau istirahat Mas.""Jawab dulu pertanyaanku." Melihat Iva terdiam, Ahmad tahu darimana istrinya itu pergi. "Kamu dari rumah
Shafira terduduk di kursi dengan malas sambil memegang secangkir teh hangat, pandangannya kosong menatap jendela rumah yang terbuka lebar. Dalam lamunan, ia teringat akan memori indah bersama almarhumah ibunya, membuat wingko babat dengan resep ibunya. Hasil eksekusi pertama waktu digigit seperti batu, alotnya minta ampun.Setelah diteliti lagi, ternyata adonan tidak diberi air sehingga tekstur menjadi keras seperti batu. Mungkin saat itu sang ibu sudah pikun padahal usianya enam puluh sembilan tahun. Mereka tertawa bersama mengingat Adonan yang kekurangan air seperti mereka yang kekurangan cairan, butuh Aqua.Shafira tersenyum kecil, mengenang saat-saat bahagia ketika sang ibu masih ada di sisinya.Namun, lamunan Shafira harus terhenti saat Mira, putri sulungnya, memanggil namanya, "Ma, mama" dan menggoyangkan tubuhnya pelan. "Ada apa, sayang?" tanya Shafira dengan suara lembut, berusaha menyembunyikan kesedihan yang tengah menghampirinya."Mama melamun, ya?" tanya Mira dengan polos
Shafira menatap Aini, mertuanya, dengan kecewa mendalam ketika mendengar ucapan wanita itu. "Kamu harus menjual apa saja yang kamu miliki!"Shafira merasa bingung dan tidak mengerti apa maksud di balik kata- kata itu.Sampai malam larut, Shafira terjaga di kamarnya, berpikir keras tentang apa yang bisa dijual untuk memenuhi permintaan Aini. Pilihan jatuh pada gelang emas seberat lima gram yang pernah diberikan Satria, sebagai hadiah saat mereka merayakan ulang tahun pernikahan pertama. Meskipun berat hati, Shafira memutuskan untuk membawa gelang tersebut ke pegadaian demi menjaga keharmonisan keluarga.Keesokan harinya.Di pegadaian, Shafira menghadapi perdebatan sengit dengan pemilik pegadaian yang awalnya menawarkan harga jauh dibawah nilai gelang tersebut. "Maaf Bu, saya hanya bisa memberi dua juta.""Ya Allah pak, saya belinya pas dollar naik pak, kenapa cuma dapat segitu," keluh Shafira."Tapi memang dapatnya segitu, Bu."Shafira menahan air matanya sambil berusaha menjelaskan
Satria baru saja pulang dari perusahaan barunya dengan raut wajah murung dan tatapan hampa. Dia merasa kecewa karena kembali dipecat dan harus menghadapi kenyataan bahwa dia kembali menjadi pengangguran. Langkah kakinya terasa berat seiring pikirannya yang melayang tentang bagaimana kehidupan rumah tangganya ke depan.Shafira, istrinya, yang sedari tadi menunggu di ruang tamu, langsung menyambut Satria dengan wajah cemas. Begitu melihat ekspresi Satria, ia langsung bisa merasakan bahwa sesuatu yang buruk baru saja terjadi."Mas Satria, ada apa? Kamu kenapa?" tanya Shafira dengan nada khawatir.Lelaki tampan itu hanya bisa menghela nafas panjang, lalu ia menggenggam tangan Shafira erat. "Aku dipecat lagi, Shaf. Aku benar- benar tidak tahu harus bagaimana lagi," ungkap Satria dengan suara parau. Mendengar hal tersebut, Shafira merasa seakan jantungnya teriris. Namun, rasa cemas dan kecewa itu mulai bercampur menjadi amarah. Kekhawatiran akan keuangan yang menipis dan masa depan mereka
Satria baru saja kembali ke rumahnya setelah mengalami hari yang sangat berat di kantor. Dia baru saja dipecat dari pekerjaannya karena perusahaan mengetahui berita tentangnya.Dengan berat hati, Satria harus memberitahu istrinya."Shafira, aku mau bicara sebentar.""Bicaralah, Mas."Shafira menghentikan aktivitas memotong sayur, sore ini Shafira berniat membuat tumis kangkung."Em, maaf ya. Mas dipecat dari perusahaan.""Apa Mas?!"Mendengar kabar tersebut, Shafira merasa sangat kaget, kecewa dan kesal. Selama ini, dia selalu mendukung Satria untuk bekerja keras demi mencapai karir yang lebih baik. Namun, sekarang, semua usaha tersebut seakan sia-sia. Shafira merasa cemas tentang masa depan mereka, terutama anak anak karena mereka baru saja mempunyai bayi dan belum memiliki tabungan yang cukup untuk menghadapi situasi seperti ini."Maaf Shafira, Maafkan aku," ucap Satria merasa sangat bersalah atas apa yang terjadi."Aku janji, aku akan mencari pekerjaan baru dengan segera," imbuh S