Kayla menutup buku dengan helaian kertas berjumlah empat puluh lembar. Lalu menyimpannya ke dalam tas bersamaan dengan sebuah pulpen bertinta hitam yang sengaja ia selipkan di antara lipatan buku. Kayla mengangkat tangannya tingi-tinggi ke udara, seraya meregangkan otot-otot dan jemarinya yang terasa pegal setelah menulis panjang lebar.Lelah rasanya saat ia memaksa otaknya berpikir keras. Di sana, di dalam buku catatan tadi, Kayla mencatat apapun yang diingatnya, sekedar untuk berjaga-jaga jika suatu saat ia kehilangan lebih banyak lagi memori yang dimilikinya. Kayla juga menuangkan di dalam buku itu semua informasi yang diterimanya dari Radit mengenai kebiasaan-kebiasaan yang sering mereka lakukan dulu.Mengumpulkan kepingan demi kepingan ikatan yang tak lagi berbekas. Semua terasa pelik. Saking peliknya, lebih rumit daripada memecahkan soal-soal fisika ataupun hitungan matematika. Juga tidak lebih mudah dari permainan rubik. Semua tentang kenangan. Sesuatu yang sangat berharga yan
"Yang, kenapa udah pulang? Aku baru aja mau jemput kamu," kata Radit begitu membuka pintu dan langsung berhadapan dengan Kayla.Kayla menerobos masuk tanpa menjawab pertanyaan Radit.Radit mengikutinya sampai ke dalam kamar.Kayla melempar tas dengan kasar ke atas kasur lalu memasang muka sangar saat Radit berusaha mendekatinya."Yang, kamu kenapa?" Radit kembali bertanya saat Kayla menunjukkan gelagat yang tidak biasa.Plakkk ... Plakkk ...Sebuah tamparan bolak-balik mampir di pipi Radit. Rasanya jangan ditanya. Radit memegang mukanya yang terasa perih akibat tamparan yang dilayangkan Kayla. Semua bagai shock therapy dirasakannya."Yang, aku salah apa?" tanyanya masih memegang mukanya dengan sebelah tangan."Kenapa kamu tega membohongiku?" Suara Kayla tidak keras, tapi dari kilatan di matanya Radit tahu kalau Kayla sedang marah. Buktinya, tadi istrinya itu menamparnya."Bohong gimana, Yang? Bisa kan kita bicara baik-baik?" Radit menjaga nada suaranya agar terdengar wajar dan biasa.
Mendengar suara lain di antara mereka, Nabil dan Kayla serentak mengarahkan pandangan pada sumber suara."Dea!" seru Nabil, tidak menyangka istrinya itu akan muncul tiba-tiba."Dea, apa kabar?" Kayla ikut menyapa dan berbasa-basi. Tapi Perempuan itu tidak menanggapinya dan berlalu dari hadapan mereka berdua.Menyadari sikap Dea, Nabil langsung mengerti, pasti istrinya itu salah paham akan kehadiran Kayla bersamanya."Bil, aku pulang dulu ya." Kayla yang cepat tanggap langsung mengambil sikap."Iya, Kay, hati-hati ya!"Kayla mengangguk dan meninggalkan senyum sebelum angkat kaki dari rumah Nabil. Sebenarnya masih banyak pertanyaan antri di kepalanya dan berdesakan ingin keluar. Namun melihat sikap Dea yang kurang bersahabat, ia tahu diri.Nabil menyusul Dea ke kamar setelah Kayla meninggalkan rumahnya."Sebelum kamu marah-marah tolong dengarkan dulu penjelasanku."Dea tidak menggubris kata-kata Nabil dan melangkah tanpa suara melintasi Nabil.Nabil mencekal pergelangan tangan Dea yang
Hari pertama, kedua, dan ketiga hingga sepuluh hari berlalu. Tidak ada kabar dari Dea. Nabil juga tidak ingin menghubungi. Hatinya sudah terlanjur kecewa oleh sikap Dea. Bahkan jika dia ingin kembali pun Nabil sudah merasa keberatan.Nabil kembali merenungi saat-saat pertama pertemuannya dengan Dea dulu. Perempuan itu telihat baik, lembut, kuat dan luar biasa manis. Tapi sekarang Nabil jadi curiga. Jangan-jangan itu adalah satu dari sekian trik untuk merenggut hatinya. Jika memang betul, maka alangkah bodoh dirinya. Tertipu oleh perempuan itu lebih menyakitkan dari pada tertipu uang ratusan juta.Nabil meremas-remas rambut. Berusaha mengusir sedikit saja rasa sakit di kepalanya. Apakah selama ini ia sudah salah pilih? Mungkin ucapan Ari benar. Ia sudah terlanjur frustasi pada hidupnya hingga akhirnya berlabuh pada dermaga yang salah. Mengingat itu semua Nabil semakin terbunuh penyesalan.***"Buat apa dipertahankan, Bil. You deserve better!" ujar Ari saat Nabil menceritakan masalahnya
Dea memandangi telepon seluler di tangannya dengan tatapan nanar. Rasanya ia tidak percaya jika Nabil mampu mengucapkan kata-kata itu padanya. Perpisahan. Nabil menginginkan perpisahan dan tidak ingin bersama lagi dengannya. Nabil menolak keras saat ia meminta untuk pulang ke rumah. Semarah itukah Nabil padanya? Nabil yang dikenalnya tidak begitu. Nabil suaminya memiliki hati seluas samudera, dan kesabaran tak berbatas. Tapi sekarang?Dea kembali merenungi perjalanan cintanya bersama Nabil. Nabil, laki-laki baik yang dikenalnya di depan rumah, dan almarhum Kevin yang menjadi jalan untuk mendekatkan mereka.Dea tahu diri. Nabil siapa, dirinya siapa. Mereka berbeda bagaikan langit dan bumi. Mulai dari latar belakang, tingkat pendidikan, profesi, karakter, hingga kebiasaan. Mungkin hanya status dan pengalaman karena pernah sama-sama dikhianatilah satu-satunya kesamaan yang bisa menyatukan mereka.Awalnya Dea tidak percaya diri untuk mendampingi Nabil. Ia tidak yakin kalau Nabil menikahin
Nabil mengantar Radit sampai ke rumahnya. Saat Radit mengajaknya mampir, ia menolak. Nabil merasa tidak enak, apalagi sekarang Kayla sudah mengetahui fakta hubungan mereka di masa lalu.Kayla sedang menyetrika pakaian ketika Radit masuk ke dalam rumah. Sedikit pun ia tidak menoleh pada suaminya itu. Ia memilih fokus pada tumpukan pakaian bersih yang masih kusut.Sejak Kayla mengetahui fakta tentang dirinya dan Nabil, hubungannya dengan Radit merenggang. Kayla sangat kecewa pada Radit. Ia tidak bisa menerima alasan Radit yang mengatakan kalau ia melakukan hal itu semata-mata takut kehilangan dirinya.Apa rasanya tinggal serumah tapi tidak saling bertegur sapa? Apa rasanya tidur sernjng tapi saling membelakangi? Apa yang sebenarnya dicari dalam sebuah pernikahan? Pasti kebahagiaan. Bagi Radit, bersama adalah kebahagiaan. Adakah yang lebih membahagiakan selain bisa bersama dengan orang yang kita cintai?Tapi sekarang mengapa semuanya terasa asing? Radit merasa segala sesuatu menjadi rum
Nabil mengerjapkan mata saat tiba-tiba terbangun dari tidurnya. Dengan gelagapan ia meraba-raba handphone. Uggh, sial! Ternyata sudah jam sepuluh pagi. Sudah sangat terlambat untuk memulai aktivitas apapun.Begitu banyak panggilan tak terjawab dari Ari serta pesan WA yang menanyakan ketidakhadirannya melaksanakan tugas seperti biasa. Nabil membalasnya dan menyampaikan pesan pada sang atasan untuk diberikan izin hari ini.Semalaman, ia hampir tidak bisa tidur. Yang bisa dilakukannya hanya membolak-balikkan badan dengan resah dan berkali-kali ganti posisi. Alhasil sekarang kepalanya jadi berat dan berdenyut hebat. Biasanya ia tak pernah bangun terlambat seperti ini. Selalu ada Dea yang membangunkannya. Mengingat istrinya itu, pikirannya mundur pada suatu sore lebih dari sepuluh hari yang lalu. Ia bingung sendiri dengan tindakannya. Apakah sikapnya sudah benar? Atau hanya karena tersulut emosi sesaat?Diam-diam Nabil merasa ingin tahu kabar Dea sekarang. Ia men-slide menu di ponselnya d
Radit menimbang-nimbang kembali keputusannya untuk menanyakan tentang masalah sensitif itu pada papa. Rasanya malu jika harus mengumbar urusan ranjang pada orang luar walaupun itu orang tuanya sendiri. Mungkin pada Nabil ia juga bisa berbagi, tapi tahu sendiri kalau Nabil juga sedang mengalami masalah rumah tangga, otomatis pikirannya tidak akan objektif.Akhirnya Radit menyimpan sendiri di dalam hatinya. Namun ia tetap berkeyakinan kalau ia sudah melanggar poin dua tersebut. Dan sebelum semua menjadi terlanjur ia harus bertindak. Mereka harus melakukannya. Malam ini juga.Tapi masalahnya sekarang adalah apa Kayla bisa diajak bekerja sama dengan baik?"Dit, makan siang di mana?" Entah kenapa Putri selalu suka bertanya di saat-saat Radit sedang berpikir ataupun mengkhayal."Belum tahu nih, kenapa, Put?""Makan siang bareng yuk, Dit!"Tawaran yang menarik dan sayang untuk dilewatkan. Apalagi yang nemenin juga manis. Tapi bukan itu alasannya jika Radit akhirnya menerima tawaran itu."Bol
Kayla sangat kaget melihat Radit memukuli orang yang tidak dikenalnya dan ia tidak tahu siapa dan apa masalahnya.“Dit, udah, Dit …. “ Kayla mencegah Radit yang terus memukuli Chicco tanpa ampun. Mukanya kelihatan panik.Kalau bukan istrinya yang melarang, Radit tidak akan berhenti. Namun Radit tidak melepaskan mangsanya begitu saja. “Berdiri!” bentaknya lagi pada Chicco yang sudah terkapar tidak berdaya.Dengan sisa-sisa tenaganya Chicco berusaha bangkit. Sekujur tubuhnya terasa remuk akibat serangan dari Radit. Kepalanya pusing dan pandangannya berkunang-kunang.“Aku bisa bunuh kamu sekarang kalo mau,” desis Radit tajam.Kayla bergidik mendengarnya. Tidak pernah ia melihat suaminya semarah itu. Matanya yang berkilat dan memerah akibat api amarah membuat Kayla ketakutan.“Katakan siapa dalang dibalik semua ini?” Radit kembali mencekal kerah baju Chicco sambil menatapnya dengan pandangan menusuk.Chicco menatap Radit takut-takut. Ia bagaikan sedang melihat malaikat maut yang akan m
Kayla mengusap-usap perutnya yang mulai membesar sambil tersenyum sendiri. Ia sudah membayangkan kebahagiaannya jika menjadi seorang ibu nanti. Repot sudah pasti. Namun pasti sangat menyenangkan. Rasanya ia sudah tidak sabar menantikan saat-saat itu datang. Tangannya tidak bisa menunggu ingin menggendong dan mendekap bayi mungil darah dagingnya sendiri. Buah cintanya bersama Radit. Bahkan di telinganya sudah terngiang-ngiang suara tangisan seorang bayi. Kayla sudah semakin tidak sabar jadinya. Pasti ia akan menjadi wanita paling bahagia sedunia.Membayangkan dirinya akan menjadi seorang ibu, Kayla langsung terkenang pada wanita yang melahirkannya. Tiba-tiba Kayla menjadi begitu merindukannya. Kayla ingin mengunjungi pusaranya dan mendoakannya disana.Dan begitu Radit pulang kerja, Kayla langsung mengutarakan keinginannya. “Dit, apa kamu tau letak makam ibuku?”“Aku nggak tau. Kenapa, yang?” Radit menjawab sambil membuka kaos kaki.“Rasanya pengen banget ziarah ke makam ibuku, Dit
Selesai mengantar Keyzia pulang, Nabil langsung menuju rumahnya. Ia harus bersiap-siap untuk memenuhi undangan makan malam dari orang tua Keyzia. Tadi Keyzia sudah memberitahu alamat restoran tempat mereka dinner nanti.Sampai di rumah, Nabil langsung mandi dan membersihkan diri. Tidak ada waktu untuk istirahat, karena waktunya sudah mepet. Andai saja tadi ia tidak berlama-lama di kantor Putri, mungkin sekarang ia bisa sedikit meluruskan badan.Nabil memandang wajahnya di cermin. Five o’clock shadow membuatnya terkesan macho dan membuktikan kalau dirinya adalah laki-laki sungguhan. Dua perempuan yang pernah hadir dalam hidupnya sangat menyukai itu. Entah dengan Keyzia.Nabil mengambil nafas dalam-dalam. Ada sedikit rasa kurang percaya diri. Nabil takut orang tua Keyzia akan menolaknya. Dan Nabil harus siap dengan segala kemungkinan itu. Siap diterima artinya juga harus berani ditolak.Baru saja Nabil keluar dari komplek rumahnya Keyzia sudah menelepon. “Bil, jangan sampai telat ya,”
Dea membeku melihat pemilik wajah yang kini berada di hadapannya. Kakinya mendadak goyah dan merasa tidak kuat lagi menopang tubuhnya. Tak sengaja, matanya tertuju pada tangan Nabil dan Keyzia yang saling menggenggam.Menyadari hal itu, Nabil melepaskan pelan jemarinya dari Keyzia yang menggenggamnya erat. Meskipun sudah menjadi mantan, namun Nabil ingin menjaga perasaan Dea. Karena ia tahu Dea masih sangat mencintainya.Hati Keyzia mencelos begitu Nabil melepaskan tangannya. Tapi ia mencoba mengerti.Radit berdehem memecahkan ketegangan yang tercipta seketika. “Duluan ya,” pamitnya sembari menepuk pundak Nabil.Nabil mengangguk kecil. Ia masih terpaku di tempatnya.“Pulang yuk, Bil!” ajak Keyzia menggamit tangan Nabil dan menyadarkan dari ketermanguan.Nabil beranjak dan mengikuti langkah Keyzia menuju mobil. Seperti biasa, ia membukakan pintu untuk Keyzia dan menutupkannya kembali. Dea menyaksikan semua itu sambil menahan perasaannya. Hatinya teriris menjadi serpihan-serpihan kecil
Seperti janjinya tadi pagi, setelah menjemput Keyzia, Nabil mampir di kantor Putri. Sebenarnya Nabil penasaran tentang sosok Alan, namun Nabil lebih memilih untuk menunggu Keyzia di mobil.Dalam keadaan mesin menyala, Nabil menggunakan waktunya untuk tidur sambil menunggu Keyzia menyelesaikan urusannya dengan Alan. Namun ternyata kepalanya tidak bisa diajak bekerja sama. Pikirannya mengembara kemana-mana. Nabil membayangkan pertemuannya dengan orang tua Keyzia. Pasti nanti ia akan diinterogasi dengan berbagai macam pertanyaan. Dan tentu saja ia harus menyiapkan jawabannya dengan sebaik mungkin. Nabil mulai mengira-ngira pertayaan apa saja yang mungkin akan diajukan orang tua Keyzia padanya.Nabil masih sibuk dengan pikirannya ketika ia mendengar suara ketukan di kaca mobil. Nabil membuka matanya yang terpejam, kemudian menggerakkan kepala kearah kanan. Ternyata Keyzia. Nabil segera membuka pintu mobil begitu memahami isyarat dari Keyzia.“Bil, turun dulu yuk, aku kenalin sama Alan.”
Pagi ini begitu bangun tidur, Keyzia dikejutkan dengan kehadiran orang tuanya yang ternyata sudah pulang dan menunggu di meja makan.“Mama sama papa kapan pulang?” tanya Keyzia seraya menarik kursi yang berhadapan dengan kedua orang tuanya, sedangkan Putri duduk di sebelahnya.“Tengah malam tadi,” jawab mama Keyzia.“Mama sama papa bakalan lama di rumah kan?” tanya Keyzia lagi.“Cuma sehari ini aja, Key, besok papa sama mama berangkat lagi.” Kali ini papa yang menjawab. “Pekerjaan kamu lancar kan?” sambungnya.“So far lancar, Pa. Nggak bisa ya, perginya diundur, lusa misalnya.” Sungguh, Keyzia ingin menikmati kebersamaan dengan kedua orang tuanya. Jarang-jarang mereka bisa bersama karena kesibukan masing-masing.“Nggak bisa, Key, ini juga papa nyuri-nyuri waktu karena udah kangen banget sama kalian. Nanti malam gimana kalau kita dinner di luar?” kata papa memberi saran.“Usul bagus, Pa,” timpal Putri. “Sekalian aja ajak Nabil,” sambungnya lagi.Mendengar celetukan adiknya itu, Keyzia
Setelah berbincang panjang dengan Alan, Keyzia dan Putri pun pamit pulang. Dan begitu berada di mobil, Putri mulai menginterogasi Keyzia. Tadi sewaktu di ruangan Alan, Putri lebih banyak diam dan memilih menjadi pendengar yang baik.“Jadi Pak Fadlan itu temen kamu dulu ya, Key?”“Iya. Dia tetanggaku. Apartemenku dan apartemennya dulu bersebelahan,” jelas Keyzia sambil tetap memandang lurus ke depan karena sedang fokus menyetir.“Ooo …. “ Mulut Putri membulat.“Kamu sama dia aja, Put,” celetuk Keyzia. “Udah ganteng, tajir, baik, cerdas, lulusan S3, masih jomblo pula,” sambungnya lagi.“Kenapa nggak kamu aja yang sama dia?” timpal Putri membalikkan kata-kata Keyzia.“Aku kan udah punya Nabil.”Lagi-lagi Putri mencebik. “ Kemakan omongan sendiri kan sekarang?”Keyzia terdiam. Ia kembali teringat kata-katanya dulu dan anggapannya pada Nabil. Mengenang itu semua Keyzia menjadi malu pada dirinya sendiri juga pada Putri. Keyzia menyesal sudah bersikap sombong bahkan meragukan kredibilitas Na
Kayla langsung melepaskan diri dari rangkulan Dea begitu merasakan perutnya kembali bergejolak. Setengah berlari Kayla menuju wastafel dan muntah disana karena tidak keburu ke kamar mandi. Dea mengikuti Kayla ke belakang. Begitu mengetahui Kayla yang muntah-muntah ia pun ikut peduli. “Kamu kenapa, Kay?” tanyanya dengan raut khawatir.Bukannya menunjukkan wajah cemas, Kayla malah tersenyum. “Aku lagi isi,” katanya kemudian.Dea tertegun selama beberapa saat dan mencoba mencerna kata-kata Kayla. Apa itu artinya Kayla sedang berbadan dua?“Maksudnya, kamu lagi hamil?” tanya Dea untuk lebih meyakinkan.Kayla mengangguk dan menampakkan senyum lebar.Lagi-lagi Dea terdiam. Kenyataan ini seakan menghempaskannya. Ucapan kasar yang keluar dari mulutnya dulu kembali terngiang di telinga Dea. Dea menyesal sudah mengata-ngatai Kayla tidak akan bisa hamil dan tidak tahu rasanya kehilangan anak. Rasa cemburunya pada Kayla membuatnya tidak mampu mengontrol diri.“Selamat ya, Kay, kamu beruntung ba
Sudah beberapa hari Dea tinggal di paviliun Alan. Alan sangat baik padanya. Selain memberikannya tempat tinggal juga memberi dan melengkapi kebutuhannya. Alan juga membantu mengurus kuliah dan dokumen-doumennya yang hilang. Dea tidak tahu bagaimana caranya membalas kebaikan Alan. Kalau saja Alan tidak menolongnya malam itu mungkin ia sudah mati dengan menyedihkan atau terlunta-lunta di jalanan.Ada kanvas besar di sudut ruangan yang menarik perhatian Dea, lengkap dengan alat-alat untuk melukis. Mungkin itu punya Alan, pikir Dea. Selama ini Dea tidak berani menyentuhnya. Tapi hari ini Dea begitu terusik. Tangannya sudah gatal untuk menyapukan kuas di atas kanvas berukuran besar itu. Dea memang suka melukis terutama lukisan-lukisan yang termasuk ke dalam golongan aliran romantisme dan surealisme. Namun, sudah sejak lama Dea meninggalkan hobinya itu. Dea bergerak ke sudut ruangan, dan duduk di atas kursi yang ada disana. Dea menuangkan cat berbagai warna ke palet, mencelupkan kuas kes