Dea masih termangu dan bermain-main dengan pikirannya ketika Alan kembali muncul. Lelaki berpembawaan tenang itu kelihatan sudah jauh lebih segar dibandingkan saat ia datang pertama tadi.“Kita berangkat sekarang?” “Iya, Lan,” jawab Dea sembari mengambil tas dan menyampirkan di bahu.Begitu akan masuk ke mobil, Dea melihat jok belakang sudah dipenuhi oleh kotak-kotak berbagai ukuran. Pertanyaan demi pertanyaan muncul di kepala Dea, namun ia merasa sungkan untuk bertanya. Hingga sampi di pos sekuriti komplek rumah Alan pertanyaan itu terjawab. Alan menurunkan semua kotak-kotak itu dan memberikannya pada security serta menyuruh untuk membagi-bagikannya pada warga sekitar.“Itu isinya kue-kue sama makanan,” jelas Alan memberitahu tanpa Dea minta.“Banyak banget ya, Lan.”“Iya, emang banyak. Kalau kamu mau, masih ada di kulkas. Nanti kamu ambil ya.”“Makasih ya, Lan, tapi yang tadi juga belum kemakan.”“Sebenarnya aku tidak butuh itu semua. Doa saja sudah cukup,” celetuk Alan tiba-tiba
Jam sembilan malam lewat sepuluh menit Dea keluar dari kelas.Dea langsung menuju mobil Alan yang terparkir di seberang jalan di depan kampus.Alan langsung membuka pintu begitu meliha Dea.“Sudah selesai?”“Sudah, Lan.”“Kita cari makan dulu gimana? Berhubung hari ini ulang tahunku, jadi aku yang traktir.”Ahhhh, Dea jadi malu mendengarnya. Selama ini tidak sedikit pun ia mengeluarkan uang. Yang ada, malah Alan yang terus membayari dan memenuhi segala kebutuhannya.“Gimana, mau?” Alan menuntut jawaban.Dea menjawab dengan anggukan.“Kita makan dimana?” tanya Alan meminta pendapat.“Terserah kamu,” jawab Dea tidak banyak cerita.“Kok terserah? Sekali-kali aku pengen tau dan dengar pendapat kamu.”Selama ini Dea memang menyerahkan pilihannya pada Alan, seolah dirinya tidak berhak menyuarakan kata hati. Dea merasa rendah diri, minder, dan perasaan merasa kurang lainnya.Alan tahu, pasti ada sesuatu hal yang membuat Dea begitu terpukul sehingga membuatnya down. Dari sekian banyak cerita
Nabil menggeleng-gelengkan kepalanya, tidak mengerti dengan sikap Dea.“Dea, dengar aku baik-baik. Kita sudah berpisah dan memilih jalan masing-masing. Tolong, berdamailah dengan keadaan dan terima kenyataan,” kata Nabil memberi pengertian.“Aku nggak bisa.”“Kamu harus bisa.”“Dea …. “ Suara lain yang memanggilnya membuat Dea menoleh. Alan.Setelah mengisi bahan bakar tadi, Alan cukup lama menunggu Dea. Namun karea Dea tidak kunjung datang, akhirnya Alan turun dan melihat sendiri apa yang terjadi. Dan Alan menyaksikan semua dengan matanya. Ada Dea, ada Nabil, dan juga ada Keyzia disana. Namun Alan tak mengerti apa yang terjadi. Ia berharap Dea akan memberinya penjelasan atas apa yang disaksikannya.Begitu melihat Alan datang, Dea cepat-cepat mengusap muka, menghapus air matanya yang terus meleleh. Dea tidak ingin Alan melihatnya menangis dan semakin mengasihaninya.Alan tersenyum sekilas pada Nabil, lalu berbicara pada Dea, “Kita pulang ya.”Dea mengangguk patuh, dan memandang Nabil
Sementara itu di tempat yang lain.Setelah kejadian di mini market SPBU, Nabil dan Keyzia bungkam, saling mengunci mulut masing-masing. Keyzia menyimpan kekesalannya di dalam hati. Sumpah, baru kalI ini ia dilabrak kaumnya sendiri. Keyzia sebenarnya ingin membalas, tapi ia tidak ingin menjadi tontonan gratis orang-orang yang berada disana.Sekian lama tak bersuara, Keyzia menjadi tidak tahan. Keyzia tahu, masalah bukanlah untuk dipendam, tapi untuk diselesaikan.“Aku kesel banget sama orang tadi,” katanya membuka suara.“Orang mana yang kamu maksud?” timpal Nabil datar.“Harus ya diperjelas?”“Maksudnya, Dea?” tanya Nabil tidak peka. Yang jelas saja membuat Keyzia semakin murka.Keyzia melepaskan nafas berat, sembari mencoba menyingkirkan keresahan yang semakin menggurita.“Mantan kamu tu kebangetan. Cemburunya nggak kira-kira. Masa nyerang aku sampai sefrontal itu,” cerocos Keyzia meluapkan kejengkelannya.Keyzia menunggu respon Nabil. Namun tidak ada reaksi darinya. “Kenapa diam?
"Ada yang ingin bertemu, Kak," lapor asistennya begitu Kayla sampai dibawah."Siapa?"Perempuan muda yang bekerja dengannya itu mengedikkan bahu.Kayla melangkah ke bagian depan butik demi menajawab rasa penasarannya. Disana, di sofa tempatnya biasa menerima tamu, duduk seorang laki-laki berpenampilan rapi. Sepertinya ia baru saja pulang kerja karena melihat tubuhnya yang masih terbungkus setelan jas berwarna abu-abu. Kayla sedikit menyipitkan mata sambil mengingat-ingat siapa laki-laki itu dan dimana pernah bertemu dengannya. Tapi tentu saja tak berhasil, karena laki-laki tersebut baru kali ini ke butik Kayla.Kayla sedikit berdehem, lalu berkata, “Selamat malam, Pak, ada yang bisa saya bantu?”Laki-laki itu mengangkat muka kemudian membalas senyum ramah yang terkembang di bibir Kayla.“Malam, apa benar ini tempat tinggal bapak Danish Ra … “ Kalimat laki-laki itu gantung. Dia terlihat berpikir mengingat-ingat sambungan nama Radit.“Danish Raditya?’” ujar Kayla menyebutkan nama len
Malam itu, setelah selesai mandi Radit langsung mengirimkan surel pada Adrian yang berisi curriculum vitae serta beberapa reference letter dan supporting document. Dalam lima belas menit semua selesai. Radit mematikan laptop dan menyimpannya kembali. Dan, malam itu, untuk pertama kalinya Radit tidur dengan kepala sedikit ringan.Keesokan harinya, Radit masih bekerja seperti biasa di kantor Alan. Namun tekadnya sudah bulat. Ia akan resign secepatnya. Masa depan yang cemerlang sudah menunggunya. Saat jam istirahat siang datang Radit menelfon Adrian guna memberi kabar bahwa ia menerima tawaran yang diajukan padanya. Hanya satu kali nada panggil Adrian menjawab telfon darinya.“Selamat siang, Pak, ini saya Danish Raditya yang kemarin,” kata Radit membuka percakapan.“Siang, Pak Radit. Saya sudah menerima dan membaca email dari Bapak, dan saya rasa Bapak sangat jauh di atas ekspektasi saya. Bagaimana, Pak, apa Bapak tertarik untuk bergabung?”“Iya, Pak, saya terima,” Radit memberika
Akhirnya orang tua Alan sampai juga. Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, sifat di antara kedua orang tuanya saling bertolak belakang. Jika papi Alan lebih cool, mami Alan sangat bawel. Sejak datang tadi tidak berhenti berkicau. Apapun dikomentarinya. Mulaui dari interior ruangan, pemilihan warna cat kamar, sampai furniture pilihan Alan.Alan yang sudah mengerti hanya diam memaklumi dan mendengarkan. Hingga sampailah pada topik yang tidak ingin didengar Alan.“Sampai kapan kamu terus-terusan sendiri? Coba lihat, teman-teman kamu di umur segini anaknya sudah dua. Kamunya dari dulu cuma gini-gini aja,” omel mami panjang lebar sambil melipat kedua tangan di dada.Berkali-kali Alan menghela nafas menghadapinya. Berkali-kali pula ia menambah stock kesabaran.“Jodohnya belum ada, Mi,” jawab Alan karena mami tidak berhenti mengoceh.“Jodoh itu dicari, bukan ditunggu,” kata mami bersikeras.“Iya, Mi, ini juga lagi nyari.”“Perasaan dari dulu kamu bilang gitu, tapi apa buktinya? Sampai s
Keyzia mencoba menyingkirkan egonya. Ia tidak ingin terus diam seperti ini. Jika Nabil tidak ingin mengalah, biar dirinya yang mengalah.Berkali-kali Keyzia menghubungi Nabil melalui ponselnya, namun Nabil tidak menanggapi. Tidak ada jawaban apapun. Keyzia jadi kesal sendiri. Kenapa semua jadi seperti ini?*Jam istirahat siang, Nabil masih terpaku di depan komputer. “Makan, yuk!” ajak Ari mencolek tangannya.“Dimana?” Nabil bertanya.“Dimana aja, yang penting bikin kenyang.”Nabil menyerahkan pilihan pada Ari dan mengiringi langkahnya. Mereka berjalan santai dan tidak terburu-buru.“Gimana, Keyzia?” tanya Ari iseng-iseng.“Apanya yang gimana?”“Habungan kalian.”“Ooo ... ““Kenapa Ooo?”“Ya ... gimana ya cara bilangnya,” ujar Nabil bingung. Tidak tahu mendeskripsikannya seperti apa.“Lagi ada masalah?” tatap Ari penuh selidik.“Bukan masalah, tapi ... ““Tapi apa?”“Udah nggak segreget dulu lagi.”“Masa sih, kalian kan masih baru.”“Iya, Ri. Aku juga nggak ngerti gimana.Tapi ketika
-Terkadang, kita harus terluka dulu untuk bahagia-***Dea berdiri di depan cermin, lalu menatap refleksi dirinya disana. Pemilik tinggi badan seratus tujuh puluh tujuh senti itu terlihat jauh lebih anggun dengan pakaian tertutup yang membungkus tubuhnya dari ujung kaki sampai puncak kepala. Rambutnya yang panjang yang dulu selalu tergerai bebas sekarang terbungkus rapi dan tersembunyi di balik hijab yang ia kenakan. Tidak ada lagi Dea yang dulu suka menggunakan dress selutut atau pun blouse berbelahan dada rendah. Ia benar-benar sudah berubah dan bertransformasi total. Penampilannya jauh lebih tertutup dan rapi, namun tidak sedikit pun mengurangi kesan anggun yang memang sudah melekat dalam dirinya.“Lan…!!! Sudah siap belum?” Terdengar suara seorang perempuan memanggil namanya diiringi dengan ketukan di pintu.Dea menatap sekali lagi pantulan dirinya di cermin, lalu meninggalkan senyum sebelum berlalu pergi.“Wulan…!!!” panggilan itu terdengar lagi.“Iya, sebentar,” Dea menyahut, ke
-Kadang, kita mencintai seseorang sebegitu rupa sampai tidak menyisakan tempat bagi yang lain. Membuat kita lupa untuk sekadar bertanya, inikah cinta sebenarnya-*Puluhan detik lamanya Nabil berdiri di depan pintu setelah menekan bel. Namun, hingga detik ini masih belum ada tanda-tanda pintu akan terbuka. Mungkin dia sedang berada dan sibuk di belakang, pikir Nabil. Nabil memutuskan untuk menekan bel sekali lagi. Tapi, baru saja tangannya terulur untuk menyentuh bel, daun pintu terbuka, diiringi dengan seraut wajah manis yang mengembangkan senyum padanya.“Maaf, Yah, tadi bunda lagi di belakang,” ujar perempuan berkerudung itu seraya menyalami tangan Nabil dan menciunm punggung tangannya.“Tidak apa-apa, Nda,” jawab Nabil penuh pengertian. “Rasya mana, Nda?” lanjutnya kemudian.“Lagi tidur di kamar, Yah.”Nabil segera masuk ke kamarnya. Disana, tepatnya di atas sebuah tempat tidur, sedang terbaring seorang anak laki-laki dengan mata terpejam. Ya, dia sedang tidur. Hal pertama yang di
“Kayraaa!!! Ayo sarapan dulu!” seru Kayla dari ruang makan.“Iya, Bun…” Kayra menyahut lalu keluar dari kamar menuju ruang makan.“Ya ampun… rambut kamu belum disisir ya,” ujar Kayla melihat rambut Kayra yang masih berantakan, sementara tubuhnya sudah terbalut seragam sekolah. Kayla mengabaikan sejenak urusan meja makan dan melangkah tergesa ke kamar Kayra untuk mengambil sisir.“Bunda…!!! Crayon aku patah…”Baru saja Kayla akan menyisir rambut Kayra, terdengar teriakan Kiran dari ruang tengah.“Iya, sayang, sebentar ya, Bunda sisirin rambut kakak dulu.”Dengan telaten Kayla membagi rambut Kayra menjadi dua bagian sama banyak, lalu mengepangnya dengan rapi.“Bunda… gimana nih, crayon aku patah…” Kiran yang sudah tidak sabar kembali berseru memanggil Kayla.Menyeret langkah panjang, Kayla bergegas ke ruang tengah. Disana, putri keduanya itu tampak sedang merengut. Di hadapannya terbuka lebar sebuah buku mewarnai dengan sekotak crayon beraneka warna.“Mana yang patah, nak?” tanya Kayla
Hari itu sudah semakin dekat. Hari dimana Kayla akan menyerahkan hidupnya pada garis takdir. Kayla sudah ikhlas jika memang seperti itu nasib yang harus diterimanya. Dan, hari ini Kayla kembali mengunjungi pusara Radit. Ia tidak sendiri, tapi bersama Kayra, sang putri tersayang.Dulu ia sangat rajin berkunjung kesini. Mengadukan luka batinnya dan kesendirian yang membuatnya semakin tersiksa. Tapi seiring waktu, frekuensi kunjungannya juga berkurang. Bukan Kayla tidak ingat Radit lagi, tapi Kayla hanya sedang berusaha menyembuhkan lukanya secara pelan-pelan.Lama Kayla termangu di pusara Radit. Kayla merasa keputusannya untuk menikah dengan Nabil adalah sebuah bentuk pengkhianatan pada Radit. Tapi ia tidak punya pilihan lain yang lebih baik.“Maafin aku, Dit, tapi aku melakukan semua ini demi anak kita,” gumamnya di sela isak.“Bunda kenapa minta maaf sama papa? Bunda salah apa?” Kayra yang keheranan melihat Kayla berurai air mata bertanya polos. Berbagai pertanyaan bertumpuk di hatiny
Kayla masih merenungi semua yang sudah dilakukan dan dikatakannya pada Nabil. Rasanya semua seperti di luar kontrol dan berasal dari alam bawah sadarnya. Menikah dengan Nabil untuk ke dua kalinya sama sekali tidak pernah ada dalam opsi hidupnya. Bagaimana mungkin ia menikah dengan orang yang tidak ia cintai? Namun, di dalam hidup terlalu banyak pilihan-pilihan sulit, dan kita harus memilih salah satu di antaranya. Kayla mengalihkan pandangan pada Kayra yang sedang tidur. Wajahnya tenang dan begitu damai. Sungguh, Kayla tidak sanggup melukai dan menyakiti hatinya. Dia masih terlalu kecil. Sudah terlalu banyak hal-hal mengiris batin yang dialaminya dalam usia sedini itu. Kayla berjanji, ia tidak akan lagi menambah luka pada anaknya itu.Mata Kayla berpindah pada kantong plastik putih dengan label rumah sakit yang dikunjunginya tadi. Perlahan, dibukanya kantong itu dan mengamati satu demi satu butiran pil berbentuk bulat yang kini memenuhi ruang matanya.Pandangan Kayla berpindah pada
Seperti permintaan Kayla, Nabil pun menjemput Kayra ke sekolahnya. Ternyata Nabil datang lebih cepat. Dengan sabar ia pun menunggu sampai Kayra pulang. Ia duduk di bangku berwarna-warni yang tersedia disana dan memandang lepas pada kerumunan anak-anak yang menampilkan beragam ekspresi.Dari jauh Nabil memperhatikan Kayra yang sedang bermain bersama teman-temannya. Nabil rasa usulnya pada Kayla agar menyekolahkan Kayra tidak sia-sia. Buktinya, sekarang Kayra jauh berubah, malahan amat sangat jauh. Wajahnya yang biasa tersaput mendung, sekarang diselimuti awan-awan ceria. Tidak pernah lagi Nabil melihat rona kesedihan di mukanya. Memandang muka Kayra, Nabil seperti sedang menatap Radit. Mereka memang mirip. Siapa pun tidak ada yang akan membantah kalau Kayra adalah anak Radit. Ingat Radit, pikiran kembali membawanya pada hari terakhir Radit bersamanya.Saat itu mereka duduk berdua di kursi teras rumah sambil memperhatikan Kayra yang sedang bermain di pekarangan. Dari yang awalnya mere
“Kay, blush on-nya kenapa tebel banget? Udah gitu belepotan sampai ke hidung,” ujar Nadin hari itu saat berkunjung ke rumah Kayla. “Masa sih? Aku enggak pake blush on padahal,” timpal Kayla seraya memegang pipinya dengan kedua tangan.Nadin mendekatkan mukanya, lalu menyipitkan mata mengamati Kayla baik-baik. Ditempelkannya telunjuk ke pipi dan hidung Kayla. Permukaan wajahnya terasa kasar. Kayla benar, dia tidak memakai blush on, tapi ini…“Alergiku kambuh lagi, Nad, tempo hari Kayra pengin makan ikan kalengan, iseng, aku juga ikut makan,” beber Kayla.Nadin menjauhkan telunjuknya dari muka Kayla setelah mendengar penuturannya.“Tapi kayaknya parah banget, Kay,” kata Nadin sedikit meringis. “Dibawa ke dokter aja ya!”“Enggak perlu pake ke dokter kali, Nad, tinggal dikasih salep juga bakal hilang kok.”“Oh gitu ya? Ya udah.” Nadin tidak lagi membahas masalah itu.Sunyi, sepi, dan hening yang tersisa saat Nadin sudah pergi. Kayra juga tidak di rumah karena sejak tadi dibawa Nabil. Be
Sudah tiga hari Kayra menghabiskan paginya di play group dekat rumah. Seperti yang ia janjikan, Nabil memang mengantarkan sang ponakan kecil, dan, Kayla yang bertugas untuk menjemputnya.Kayra terlihat jauh lebih ceria dibanding hari-hari biasa. Dia seperti menemukan dunia baru yang selama ini seolah tersembunyi di belahan bumi bagian lain. Bertemu teman-teman seusianya dan bisa bermain bersama merupakan kebahagiaan tersendiri bagi Kayra.“Kamu lihat sendiri kan, Kayra senang banget,” ujar Nabil yang berdiri di samping Kayla sambil memperhatikan Kayra yang sedang bermain ayunan. Kebetulan hari itu hari sabtu, Nabil tidak kerja, jadi selain mengantar Kayra, ia juga bisa menemani Kayla menjemput Kayra pulang.“Iya,” timpal Kayla dan ikut tersenyum memandangi Kayra. Ya, Kayla memang sudah bisa tersenyum sekarang.“Bunda… !” Kayra yang melihat Kayla dan Nabil langsung berseru riang dan berlari mendekati kemudian menghambur ke pelukan Kayla.“Sudah selesai mainnya, nak?” tanya Kayla sembar
“Bun… Bunda… bangun, Bun!” Kayra mengguncang-guncang Kayla yang masih tertidur lelap. Karena tak henti-hentinya mendapat serangan guncangan, Kayla pun terusik. Dibukanya mata. Berat, seperti ada perekat yang membuat kelopak matanya menempel. Kayla kembali akan menutup netranya, namun suara Kayra mencegahnya untuk melakukan hal itu.“Bun, bangun, sudah siang, aku lapar… “ rengek Kayra sembari memegang perutnya.Pelan-pelan, Kayla kembali membuka mata. Dilihatnya Kayra yang juga tengah menatapnya. Ah, ternyata aku masih hidup, pikir Kayla. Kenapa aku harus melihat dunia lagi?Ia kembali mengumpulkan kekuatan dan semangat untuk menjalani hari-harinya yang berat.“Bun, aku lapar, mau makan,” rengek Kayra lagi. Semalam ia hanya makan dua suap, dan sekarang perutnya sudah meronta-ronta minta diisi. Cacing-cacingnya sudah pada demo.“Iya, sebentar ya, nak.”Kayla ingat, sup daging sisa semalam masih banyak dan sudah ia masukkan ke kulkas. Ia hanya tinggal sedikit memanaskan.Kayla berniat