Ketika tiba di rumah sakit, suara sirine memecah keheningan malam. Pintu belakang ambulance terbuka, dan dengan cepat paramedis segera menarik keluar brankar yang membawa Luxian. Luxian menatap lampu neon yang menyilaukan dan bergerak silih berganti di atasnya. Tubuhnya terbaring tak berdaya di atas brankar yang ditarik dengan cepat oleh petugas medis di samping kiri dan kanannya. Mereka bergegas membawanya menuju ruang UGD untuk mendapatkan pertolongan darurat. Wajah Luxian tampak pucat, menahan rasa sakit yang panas dan merobek di pinggangnya akibat peluru yang masih bersarang. Darah terus mengalir dari kulit yang terbuka, meskipun sudah dibalut darurat oleh paramedis di tempat kejadian. Luxius panik, wajahnya dipenuhi kecemasan, sepanjang perjalanan ke rumah sakit, nafasnya terasa tercekik saat dia harus memberitahu tentang apa yang terjadi pada Luxian kepada keluarganya. Luxius tidak pernah menyangka kakaknya akan mengalami kondisi seperti ini, terluka parah dan berjuang untuk
Sergio dengan cepat berdiri dan berkata, "Aku akan membawanya kemari." Dia kemudian berlari ke ruangan lain untuk menjemput bayi Celia, yang sepertinya semakin tak bisa ditenangkan. Tak lama, Sergio kembali dengan bayi kecil dalam pelukannya yang masih menangis dengan keras, air mata mengalir deras di pipinya. Celia mengambil bayi mungil itu dari pelukan Sergio dan mencoba menenangkannya. Dia mengayunkannya perlahan, mengucapkan kata-kata lembut, dan bernyanyi, tetapi tangisan itu tak juga kunjung reda. Sergio, dengan sabar, mendekati Celia. "Biar aku bantu menghiburnya," ucapnya sambil mencoba membuat anak itu tertawa dengan gerakan tangan dan ekspresi wajah yang lucu, tetapi sia-sia. Tangisannya terus berlanjut, hingga membuat suasana yang sedikit canggung di acara pertemuan antara dua keluarga Saat Celia memeluk anaknya yang terus menangis, dia merasakan sesuatu yang aneh di dalam hatinya. Perasaan itu begitu kuat, seperti ada sesuatu yang tidak bisa dijelaskan yang menarik diri
Berapa lama kita punya waktu?" tanya Luxius, suaranya hampir berbisik.Dokter melihat Luxius dengan penuh empati. "Setelah operasi pengangkatan peluru selesai dan kakakmu stabil, kita harus bergerak cepat. Kami tidak bisa menunda terlalu lama."Luxius menundukkan kepalanya, tangannya mencengkeram kuat kursi di bawahnya. Dia tahu bahwa dia harus menyampaikan kabar ini kepada keluarganya, terutama kepada orang tuanya yang belum mengetahui apa yang sedang terjadi. Tetapi di atas segalanya, dia merasa bertanggung jawab atas kondisi Luxian, kakaknya, yang selalu ada untuk melindungi dan membimbingnya. Sekarang, Luxius harus melakukan hal yang sama untuknya.Dengan langkah berat, Luxius meninggalkan ruang dokter, kembali ke ruang tunggu operasi. Di sana, dia duduk di kursi, mencoba menenangkan pikirannya yang kacau. Dia berharap agar Luxian tetap kuat, dan bisa melewati semua ini. ***Keesokan harinya, langit masih cerah ketika Keenan, yang ditunjuk sebagai pengacara Celia, tiba di kantor
Tapi dia segera mengendalikan kembali mobilnya dan melaju keluar dari gang menuju jalan besar. Sayangnya bagi Simon, begitu dia keluar ke jalan utama, mobil-mobil intel lain sudah menunggu.“Ini akhir dari permainanmu, Simon,” gumam salah satu agen di dalam mobil pengejar, sambil mempersiapkan diri untuk menghentikan mobil Simon.Namun, Simon memiliki rencana lain. Dia melihat sebuah jalan menuju luar kota, jalanan yang lebih terbuka dan tanpa banyak rintangan. Dengan keputusasaan yang memuncak, dia membanting setirnya ke arah jalan tersebut dan memacu mobilnya secepat mungkin, berharap bisa keluar dari jangkauan intel.Kejar-kejaran terus berlanjut, kini di jalan terbuka dengan kecepatan yang lebih gila. Simon terus memacu mobilnya, tetapi intel tidak memberinya ruang untuk kabur. Mereka mulai mendekat dari kedua sisi, membuat Simon semakin terpojok.Sadar bahwa dia tidak bisa terus berlari, Simon meraih Abigail yang duduk di sebelahnya dan berteriak, “Ini belum berakhir! Kita akan k
Dia hanya bisa berdiri di sana, mencoba memberi dukungan meskipun hatinya sendiri penuh dengan ketidakpastian. Setelah Luxian menandatangani surat perceraian, dia meletakkan pena itu dengan pelan, lalu menatap Luxius. "Kirimkan ini dan pastikan Celia menerimanya setelah aku menjalani operasi. Dia harus tahu bahwa aku melepaskannya bukan karena aku tidak mencintainya, tetapi karena aku ingin dia hidup bebas." Luxius menelan ludah dengan berat, berusaha menahan emosinya. "Kak, kau pasti akan sembuh. Aku yakin, kau bisa melalui ini. Jangan menyerah." Luxian hanya tersenyum kecil, meskipun senyuman itu penuh dengan kesakitan. "Aku berharap kau benar, Luxius. Tapi, jika ini memang akhir, setidaknya aku sudah melakukan hal yang benar untuknya." “Tapi kakak…” “Bahkan terpidana mati masih mendapatkan hidangan terakhir sesuai keinginannya, sebelum dia mati. Apa aku tidak punya hak yang sama?” “Omong kosong, kau tidak akan mati!” Malam itu terasa berat bagi keduanya. Luxius berbalik meni
Keesokan harinya tiba dengan suasana yang sangat berbeda di dua tempat yang terpisah. Di satu sisi, di rumah sakit, Luxian sedang mempersiapkan diri untuk menjalani operasi otak yang penuh risiko. Di sisi lain, di kediaman keluarga Montague, persiapan untuk pesta pertunangan Celia dan Sergio sudah hampir selesai. Meski tampak bahagia di luar, dua hati yang tersimpan rahasia menghadapi takdir mereka masing-masing, terikat oleh nasib yang kini berjalan di arah yang berbeda.Di rumah sakit, Luxius dan anggota keluarga Davies yang lainnya berdiri di luar ruang operasi, hati mereka dipenuhi kecemasan. Sejak pagi, Luxius sudah menemani kakaknya yang akan menghadapi salah satu operasi terberat dalam hidupnya. Dokter telah menjelaskan bahwa operasi ini memiliki risiko besar, termasuk kelumpuhan atau kehilangan fungsi otak. Meskipun Luxius mencoba memberikan semangat pada kakaknya, dia tahu bahwa hasilnya tidak bisa diprediksi. Di dalam ruang operasi, Luxian berbaring di meja operasi, tubu
“Eliza… aku ingin pulang saja… aku merasa tidak enak badan…” “Tunggu sebentar lagi… begitu pestanya selesai aku akan datang kembali untuk menjemputmu, sekarang kamu istirahat dulu, dan tunggu aku di dalam.” Eliza memapah Celia yang sudah dalam keadaan mabuk ke sebuah kamar president suit hotel Diamond di kamar 1506. Saat tiba di depan pintu, Eliza melihat pintu yang tidak terkunci, sudut bibirnya sedikit terangkat. Setelah mendorong Celia masuk ke dalam, Eliza kemudian menutup pintu, sebelum pergi dia tidak lupa memasang tanda ‘Do Not Disturb’ pada knop pintu bagian luar. Mencegah siapapun untuk masuk ke dalam. Tidak lama kemudian Bryan datang dengan nafas terengah-engah, dia berdiri terpaku di depan pintu saat melihat tanda ‘Do Not Disturb’ terpasang. Karena tanda tersebut, dia tidak berani mengetuk apalagi langsung masuk. Apa yang terjadi? Padahal tadi Bosnya sendiri yang menyuruh dia agar cepat kembali setelah mengambil baju ganti dan obat penghilang mabuk. Karena hal itu
Sambil memijat kening yang masih sedikit pusing, Luxian berjalan menuju kamar mandi. Kemudian menelpon Bryan berkata bahwa dia akan ganti baju di kantor saja. Dia tidak berharap asistennya itu masuk ke kamar dan melihat semua kekacauan yang sudah dibuatnya. Tunggu di luar! Awalnya Luxian berpikir jika gadis yang bersamanya di tempat tidur adalah wanita panggilan yang disewa oleh temannya, jadi sebelum meninggalkan kamar dia bermaksud untuk memberinya sejumlah uang. Luxian berdiri disisi tempat tidur dengan dompet dan uang di tangannya saat matanya melihat bercak darah di sprei putih yang sedikit tertutup selimut, keningnya berkerut. Kegilaan semalam teringat lagi olehnya. Ekspresi samar gadis itu, dan juga suaranya yang seperti menahan sakit sambil sedikit terisak. Sial! Apa mungkin dia masih… Luxian semakin merasa bersalah, semalam dia terlalu terbawa suasana. Apa dia sudah menyiksa anak gadis orang sepanjang malam? Dia tidak bisa menahan diri untuk melirik gadis itu lagi, dili