Dia merasa kecewa dan perlahan berjalan maju.Matahari pagi yang indah sangat kontras dengan birunya air laut. Juga menonjolkan fitur-fitur halus wanita di depannya.Madeline bertelanjang kaki dan duduk di tepi pantai.Dia memegang sesuatu di tangannya. Dia menunduk saat seulas senyum muncul di wajahnya.Saat mendengar langkah-langkah kaki, senyum manis di wajah Madeline lenyap begitu melihat Jeremy."Linnie."Madeline mengabaikannya, bangkit, dan berniat pergi.Jeremy merasa kesepian dan diam-diam mengikuti di belakangnya. Wanita itu secara fisik berada tepat di depannya, tapi terasa sangat jauh darinya."Dalam setengah jam, akan ada kapal yang tiba. Saat itu, kau bisa pergi."Madeline mendengar suara Jeremy dari belakang, lalu dia menjawab dengan lembut, "Aku tahu. Aku sudah pergi untuk memeriksanya."Jeremy tahu dia tak bisa membuat Madeline tinggal, jadi dia tertawa getir. "Kau akan berangkat ke Negara F dengan Felipe, ‘kan?""Itu bukan urusanmu."Madeline berhenti berjalan dan be
’Aku tidak layak untukmu. Selamat tinggal, Linnie tersayang, satu-satunya di hatiku.’Jeremy memandang Madeline untuk yang terakhir kalinya dan berbalik dalam diam.Air mata mengalir dari dalam, mengalir di kedua pipinya.Dia tahu bahwa itu semua adalah hasil dari perbuatannya sendiri. Dia tak bisa menyalahkan siapa pun kecuali dirinya sendiri.‘Hatiku sangat sakit. Rasanya aku tak bisa bernapas.’Saat kapal semakin dekat, intensitas angin laut semakin meningkat.Angin mengacak-acak rambut Madeline. Dia mencoba merapikan rambutnya dan sekilas melihat Jeremy yang hendak pergi.Hati Madeline serasa ditusuk saat melihat Jeremy.Dalam keadaan linglung, sesuatu terjatuh dari tangannya.Dia membungkuk untuk mengambilnya. Sayangnya, dia tersandung dan kehilangan keseimbangan.Aaah! Jeremy, yang belum terlalu jauh berjalan, mendengar teriakan minta tolong Madeline. Kemudian, dia mendengar suara seseorang jatuh ke air.Detak jantungnya seketika meningkat. Saat berbalik, dia tidak melihat sosok
Perasaan Jeremy benar-benar hancur berantakan.Dia menundukkan kepalanya dengan putus asa dan menempelkannya ke kening halus Madeline.Tangannya yang gemetar dengan lembut membelai pipi Madeline yang hangat dan halus saat air mata panas yang tak bisa dia tahan mengalir turun."Mengapa kau sangat ingin menyiksa kami? Kenapa aku melakukan hal-hal bodoh seperti itu ketika dirimu sangat mencintaiku? Linnie, tolong jangan tinggalkan aku. Kumohon..."Jeremy memeluk wajah pucat Madeline, hatinya hancur berkeping-keping bersamaan dengan air matanya yang menetes saat rasa sakit menusuk tulang menyerang sekujur tubuhnya."Linnie, jika kau benar-benar ingin pergi ke dunia lain, aku akan menemanimu."Ujung-ujung jarinya yang hangat meraba-raba wajah Madeline sementara kedua matanya diselimuti kegelapan."Aku akan pergi kemanapun dirimu pergi di masa yang akan datang."Dia tersenyum, bibir tipisnya jatuh ke bibir Madeline saat dia mencium wanita itu dalam-dalam.Pada saat itulah Madeline terbatuk.
Tidak lama setelah Felipe membawa Madeline ke kapal, Madeline bangun.Dia membuka matanya yang lemah dan melihat wajah tampan Felipe yang dipenuhi dengan kepedulian dan kekhawatiran."Eveline. Eveline, kau sudah bangun?" Dia bertanya lembut.Madeline belum sepenuhnya terbangun. Dia memutar matanya dan melihat ke sekeliling seolah-olah dia sedang mencari sesuatu di tengah kebingungannya"Eveline?""Felipe?" Madeline menatap pria yang memeluknya dengan penuh pertanyaan. "Kenapa … kamu?""Gadis bodoh, siapa lagi?" Felipe membelai pipinya. "Aku tahu kamu dibawa pergi oleh Jeremy, jadi aku mencarimu. Ketika aku baru saja membawa kapal ke pantai, aku melihatmu tidak sengaja jatuh ke air."Mendengarkan Felipe, Madeline perlahan mengingat apa yang terjadi sebelum dia pingsan.Dia melihat Jeremy berbalik dan pergi, dan saat pria itu berjalan semakin jauh, entah mengapa, dia menjadi linglung. Pembatas buku yang dia pegang juga terlepas dari tangannya.Dia bertekad mengambil pembatas buku itu, ta
"Dad!" Suara jernih dan manis si kecil memecahkan keheningan.Madeline mengangkat kedua matanya dan melihat ke luar pagar besi.Memang benar Jeremy.Pria itu mengenakan pakaian kasual sederhana dengan kemeja putih gading yang menambahkan sentuhan kehangatan serta keanggunan pada penampilannya yang dingin namun tampan.Jeremy terlihat sedikit terkejut saat melihat Madeline, tapi dia dengan cepat memasang senyum lembut tipis sebelum berjalan menuju pasangan ibu dan anak itu.Tanpa sadar, tatapan Madeline tertuju pada jantung Jeremy.Dia teringat kembali hari ketika Jeremy dengan paksa menikamkan pisau di tangannya ke jantung pria itu.Lukanya seharusnya belum sembuh dengan begitu cepat."Daddy." Dengan kaki-kaki pendeknya Jackson berlari ke arah Jeremy.Jeremy berjongkok dan merentangkan kedua tangannya untuk menyambut si kecil. "Jack."Dia memeluk bocah laki-laki yang hangat dan lembut itu sambil mencium pipi Jack dengan penuh kasih sayang."Besok kau akan tinggal di tempat lain bersama
Dia melihat Jeremy dan Felipe berpapasan. Keduanya sepertinya saling melihat, namun tidak saling menyapa.Felipe berjalan lurus ke arahnya, wajahnya yang anggun, lembut, dan tampan membawa senyuman bagaikan angin musim semi.Sosoknya yang tinggi mendekat dan dengan cepat memblokir punggung Jeremy."Kau menungguku?" Felipe tersenyum lembut. Dia mengulurkan tangannya dan merangkul bahu Madeline sebelum memutar wanita itu.Madeline tersenyum tipis, mengikuti Felipe dan masuk ke dalam rumah. Punggung Jeremy telah mengabur sampai akhirnya menghilang.Di kejauhan, Jeremy berhenti.Dia menoleh ke belakang dan melihat saat Felipe merangkul Madeline. Kedua figur itu terlihat di hadapannya dan seolah-olah ribuan semut telah merayapi jantungnya, menggigitinya dengan liar.Kilauan di matanya perlahan-lahan dilebur oleh tiupan angin sepoi-sepoi.Madeline yang dulu mengejarnya dan pemandangan wanita itu mengaguminya dalam ingatannya sekarang adalah patung pasir abu-abu, perlahan lenyap tertiup angin
Old Master Whitman tidak tahu apa yang ingin Felipe lakukan padanya, tapi dia punya firasat buruk. Namun, beliau yakin Felipe tak akan berani melakukan sesuatu yang ekstrim di siang hari bolong begini.Felipe hanya tersenyum acuh tak acuh sebelum mengeluarkan sebuah foto berukuran empat inci dari saku jasnya.Dia menunjukkan foto itu kepada Old Master, dan sepasang mata foniks hitamnya dipenuhi dengan senyum licik. "Apa kau masih mengenali orang-orang di foto ini? Salah satunya adalah saudara laki-lakimu dan yang lainnya adalah saudari iparmu. Mereka adalah pasangan suami istri yang penuh kasih sayang dengan putra yang berperilaku santun dan penuh pengertian. Mereka adalah sebuah keluarga bahagia dengan karier yang sukses, tapi apa hasilnya?"Felipe berkata dengan nada dingin saat dia menyorongkan foto itu kuat-kuat ke wajah lelaki tua itu. "Mereka hancur karenamu!""Hnghh..."Old Master merintih dengan susah payah, kedua matanya melebar.Felipe menaikkan bibirnya dengan riang. "Ada ap
Dia pergi ke bangsal kakeknya untuk menemani beliau dalam keheningan. Lewat jendela dia menyaksikan langit menjadi gelap saat hatinya tetap tumpul dan hampa cahaya. Bagaimana tidak ketika putranya dan wanita yang paling dia cintai besok akan pergi dengan lelaki lain? Tak ada yang bisa dia lakukan untuk menghentikan itu, karena dia sudah bersumpah pada dirinya sendiri untuk tidak akan memaksa wanita itu di luar keinginannya. Dia akan merelakan wanita itu pergi jika itu berarti wanita itu akan menemukan kebahagiaan sejati. Tetap saja, emosi campur aduk saling bertentangan dengan kuat di dalam dirinya mengetahui fakta bahwa dari semua pria, Madeline akan pergi dengan Felipe. “Mad…” Di tengah keheningan, Jeremy mendengar suara serak. Dia mendongak dan senang sekali mendapati kakeknya berbicara lagi! “Mad, Mad…” “Grandpa.” Jeremy bergegas meraih tangan sedingin es kakeknya. “Kau sudah bisa berbicara, Grandpa?” Old Master Whitman menatap Jeremy saat tangannya yang gemetar mencengk