Meski Madeline tidak mengambil mawar itu, dia cukup senang dengan penerimaan diam Madeline. Namun, Madeline langsung melemparkan surat cerai ke kursi pengemudi begitu dia masuk ke dalam mobil. “Aku sudah menandatangani bagianku. Berikan kembali padaku setelah kau selesai menandatangani milikmu.” Jeremy merasa hatinya tenggelam saat dirinya mengarahkan pandangannya pada kata-kata di atas dokumen. Memaksa dirinya untuk tidak terlalu memikirkannya, dia menyimpan kertas-kertas itu dan menginjak pedal gas. “Jack belum pernah tahu seperti apa keluarga yang lengkap dan bahagia selama enam tahun terakhir, Eveline. Kau yakin—” “Jangan mencoba menggunakan Jack sebagai alasan untuk tidak menandatangani surat-surat itu, Jeremy. Aku tak tahu apa yang ingin kau capai, tapi ada baiknya kau berhenti percaya bahwa aku akan percaya pada kebohonganmu soal mencintai aku.” Nada bicara Madeline dingin dan tidak menyisakan ruang untuk bernegosiasi. Karena itu, Jeremy tetap diam dan menahan sakit hati
Sepasang mata Madeline menyala saat dia mengepalkan tinjunya kuat-kuat, intonasinya terdengar mantap. “Lilly sama sekali tak ada hubungannya denganmu, Jeremy! Hentikan khayalanmu!” Kontrol atas emosinya mengendur saat dia berjuang untuk menyangkal. “Karena kau telah menyakitiku dengan begitu kejam, bajingan, sehingga aku menyerahkan diriku pada Felipe. Dia adalah satu-satunya cahaya dalam kegelapan yang kau ciptakan untukku!” Madeline bertemu dengan tatapan Jeremy yang semakin muram. “Lilian adalah anakku dan Felipe. Anak itu tak akan pernah punya orang sepertimu sebagai ayahnya, jadi berhentilah menyamakan Lilly dengan orang sepertimu!” Dengan itu, Madeline mengangkat tangannya dan mendorong pria di depannya. Tanpa menyadari betapa tidak bertulangnya kakinya, Jeremy merasakan dirinya terhuyung-huyung mundur saat didorong. Madeline mengambil tasnya dan meninggalkan vila tanpa menoleh lagi. Duduk di taksi yang dia panggil untuk pulang, pikiran Madeline mulai mengembara menyusuri
Bagaikan semut di atas wajan panas, Karen memanggil Jeremy pulang. Tak berapa lama setelah Jeremy sampai, datanglah Felipe. Mengenakan setelan jas hitam, aura Felipe yang biasanya elegan dan santun diwarnai dengan satu sentuhan mendominasi. Menyadari bahwa Old Master Whitman, Jeremy, dan semua anggota keluarga Whitman hadir, Felipe menyuruh asistennya menyerahkan dokumen sebelum langsung ke pokok permasalahan. “Rumah ini sekarang menjadi milikku. Mempertimbangkan hubungan kita, aku akan memberi kalian waktu satu hari untuk mengemas semuanya dan pindah.” Karen melompat dan menunjuk Felipe dengan marah. “Bajingan kau, Felipe! Bagaimana bisa kau membuat muslihat untuk merebut semua aset di bawah nama Whitman? Kau sudah mengambil Whitman Corporation, dan kau sekarang juga mengambil rumah pensiunan Old Master? Kau tidak punya hati nurani!” Felipe tersenyum tidak peduli. "Hati nurani?” Sepasang matanya yang gelap bersinar dengan sebuah kilatan ironis. “Kita tidak akan berada di titik
Jeremy merasakan sebuah sentakan di sanubarinya. Dia langsung mencoba menelepon Madeline setelah panggilan Felipe dengan gadis itu berakhir, namun tidak diragukan lagi bahwa Madeline telah memasukkan nomornya ke daftar hitam. Felipe terkekeh pelan. “Jangan buang energimu. Madeline mencintaiku sekarang. Yang dia rasakan untukmu hanyalah kebencian.” Ekspresi Jeremy menggelap. “Apa yang terjadi dengan Madeline, Felipe? Apa yang dia katakan padamu?!” “Bukan urusanmu," jawab Felipe dingin, "Kau tak lagi punya hak untuk bertanya-tanya soal Madeline.” “Siapa yang peduli apa yang terjadi pada perempuan itu?!” Karen dengan percaya diri memburu Felipe dari belakang sebelum Jeremy bisa berbicara dan menahan putranya.“Madeline itu membantu Felipe. Salah merekalah keluarga kita seperti ini sekarang, Jeremy. Kenapa kau masih memikirkan perempuan itu? Apa yang salah denganmu? Apa kau lupa seberapa bencinya kau padanya dulu?” Jeremy menarik lengannya ke belakang dengan kesal. "Jangan campuri u
Ada ribuan alasan untuk membuat Madeline tetap di sisinya, namun dia pasrah melihat Madeline pergi bersama Felipe. Waktu berlalu begitu pelan saat dia menunggu datangnya sore. Dia segera menjemput Madeline dari Jalan First Crystal hanya untuk diberi tahu bahwa Madeline telah pergi. Jeremy segera pergi ke taman kanak-kanak, tapi guru kelas mengatakan bahwa Madeline sudah menjemput Jackson. Jeremy merasakan hatinya kacau mendengar berita itu. Firasatnya mengatakan kalau Madeline akan meninggalkannya. Panik, dia menginjak pedal gas dan berhasil mencapai apartemen Madeline dalam waktu singkat. Dia terus menekan bel, tapi tak ada yang menjawab. Jeremy merasa kedinginan. Kegelapan kembali menyelimuti seluruh dunianya saat kegelisahan yang membuatnya kewalahan membuatnya sulit bernafas dan mengganggu detak jantungnya. ‘Linnie…’ ‘Apakah kau begitu membenciku sehingga dirimu bahkan tak bisa memaksa diri untuk melihatku lagi…’ Jeremy bersandar ke dinding dengan sedih dan dengan kedua m
Dengan hati hancur berkeping-keping, Jeremy merasakan pecahan-pecahannya memotong jauh ke dalam dirinya, meninggalkan jejak luka berdarah di belakangnya. Dia mengambil bolpoin dan menatap ke arah fitur-fitur memikat Madeline dengan nafas tersengal-sengal.“Kau benar-benar membenciku, ya?" Dia bertanya dengan lemah, secercah harapan berkelip di dalam hatinya. Namun, tanggapan Madeline sangat tegas. “Ya, aku membencimu. Teramat sangat.” Bibir Jeremy melengkung tipis saat dia menarik nafas dalam-dalam. Dia mengambil kertas-kertas itu dan membacanya. Madeline tak menuntut harta gono-gini, tak satupun aset atau uangnya—hanya hak asuh atas Jack. Jeremy meletakkan bolpoin. “Baiklah. Aku setuju kita bercerai, tapi aku tak akan melepaskan Jack.” Ekspresi kalem Madeline retak. “Hak apa yang kau punya buat memperebutkan hak asuh atas Jack, Jeremy? Apa kau punya hak untuk menjadi ayah Jack?” Jeremy hanya tersenyum. Dia tak memprotes ataupun melawan. Dia tahu bahwa ini adalah satu-satunya
“Keluar! Pergi kau! Aku tak mau melihatmu lagi!” Madeline mendorong pria itu keluar sambil masih merasa linglung dan menutup pintu. Bersandar di pintu, dia menarik nafas dalam-dalam dan menunduk, baru menyadari kalau kemejanya sudah tidak terkancing. Siapa yang tahu apa yang akan terjadi di antara mereka jika dia tidak menampar pria itu. Rasionalitasnya tampaknya telah dilahap oleh ciuman bertubi-tubi dan permintaan maaf lirih Jeremy. Madeline mencengkeram kerahnya yang terbuka dengan lega karena dia tak menyerahkan dirinya pada pria itu lagi. … Madeline membawa Jack ke pinggiran kota untuk bermain selama akhir pekan dan mendapati dirinya tenang dengan kenyataan bahwa Jeremy tidak muncul di hadapannya lagi. Hawa hari itu mungkin dingin, namun hatinya hangat. Senyuman polos Jackson memberinya kenyamanan dan pada saat yang sama juga membuat hatinya terkepal. Dalam semua ingatannya, hampir tidak ada yang membuatnya bahagia. Satu-satunya kenangan yang dia miliki adalah hari d
Dengan teriakan Meredith dan Diana, sebagian besar pengunjung sidang berpaling untuk melihat Madeline dengan penuh minat. Marah, Eloise dan Sean melompat dan siap membela Madeline. “Biarkan mereka mengatakan apa yang mereka mau.” Madeline menghentikan Eloise dan Sean. “Ada bukti yang meyakinkan, jadi Meredith tidak bisa lari dari ini. Adapun Diana, yah, dia akan segera tahu betapa bodohnya dia bertindak sekarang.” Meskipun diri mereka dipenuhi dengan amarah, Eloise dan Sean mengepalkan tinju mereka dan kembali duduk. Frustrasi dan dipenuhi dengan ketidaksukaan, mereka merasa tidak layak bagi Madeline. Bagaimanapun juga, Keluarga Montgomery bisa dikatakan telah memainkan sebuah peran yang menghasilkan cara Meredith dan Diana bertindak hari ini. Tak satupun dari dua perempuan itu memiliki hati nurani. Salah satu dari mereka menukar putri mereka dengan putrinya sendiri, sementara yang lain mencuri identitas putri mereka. Dua perempuan itu telah mengambil semua yang seharusnya menj