Bagaikan semut di atas wajan panas, Karen memanggil Jeremy pulang. Tak berapa lama setelah Jeremy sampai, datanglah Felipe. Mengenakan setelan jas hitam, aura Felipe yang biasanya elegan dan santun diwarnai dengan satu sentuhan mendominasi. Menyadari bahwa Old Master Whitman, Jeremy, dan semua anggota keluarga Whitman hadir, Felipe menyuruh asistennya menyerahkan dokumen sebelum langsung ke pokok permasalahan. “Rumah ini sekarang menjadi milikku. Mempertimbangkan hubungan kita, aku akan memberi kalian waktu satu hari untuk mengemas semuanya dan pindah.” Karen melompat dan menunjuk Felipe dengan marah. “Bajingan kau, Felipe! Bagaimana bisa kau membuat muslihat untuk merebut semua aset di bawah nama Whitman? Kau sudah mengambil Whitman Corporation, dan kau sekarang juga mengambil rumah pensiunan Old Master? Kau tidak punya hati nurani!” Felipe tersenyum tidak peduli. "Hati nurani?” Sepasang matanya yang gelap bersinar dengan sebuah kilatan ironis. “Kita tidak akan berada di titik
Jeremy merasakan sebuah sentakan di sanubarinya. Dia langsung mencoba menelepon Madeline setelah panggilan Felipe dengan gadis itu berakhir, namun tidak diragukan lagi bahwa Madeline telah memasukkan nomornya ke daftar hitam. Felipe terkekeh pelan. “Jangan buang energimu. Madeline mencintaiku sekarang. Yang dia rasakan untukmu hanyalah kebencian.” Ekspresi Jeremy menggelap. “Apa yang terjadi dengan Madeline, Felipe? Apa yang dia katakan padamu?!” “Bukan urusanmu," jawab Felipe dingin, "Kau tak lagi punya hak untuk bertanya-tanya soal Madeline.” “Siapa yang peduli apa yang terjadi pada perempuan itu?!” Karen dengan percaya diri memburu Felipe dari belakang sebelum Jeremy bisa berbicara dan menahan putranya.“Madeline itu membantu Felipe. Salah merekalah keluarga kita seperti ini sekarang, Jeremy. Kenapa kau masih memikirkan perempuan itu? Apa yang salah denganmu? Apa kau lupa seberapa bencinya kau padanya dulu?” Jeremy menarik lengannya ke belakang dengan kesal. "Jangan campuri u
Ada ribuan alasan untuk membuat Madeline tetap di sisinya, namun dia pasrah melihat Madeline pergi bersama Felipe. Waktu berlalu begitu pelan saat dia menunggu datangnya sore. Dia segera menjemput Madeline dari Jalan First Crystal hanya untuk diberi tahu bahwa Madeline telah pergi. Jeremy segera pergi ke taman kanak-kanak, tapi guru kelas mengatakan bahwa Madeline sudah menjemput Jackson. Jeremy merasakan hatinya kacau mendengar berita itu. Firasatnya mengatakan kalau Madeline akan meninggalkannya. Panik, dia menginjak pedal gas dan berhasil mencapai apartemen Madeline dalam waktu singkat. Dia terus menekan bel, tapi tak ada yang menjawab. Jeremy merasa kedinginan. Kegelapan kembali menyelimuti seluruh dunianya saat kegelisahan yang membuatnya kewalahan membuatnya sulit bernafas dan mengganggu detak jantungnya. ‘Linnie…’ ‘Apakah kau begitu membenciku sehingga dirimu bahkan tak bisa memaksa diri untuk melihatku lagi…’ Jeremy bersandar ke dinding dengan sedih dan dengan kedua m
Dengan hati hancur berkeping-keping, Jeremy merasakan pecahan-pecahannya memotong jauh ke dalam dirinya, meninggalkan jejak luka berdarah di belakangnya. Dia mengambil bolpoin dan menatap ke arah fitur-fitur memikat Madeline dengan nafas tersengal-sengal.“Kau benar-benar membenciku, ya?" Dia bertanya dengan lemah, secercah harapan berkelip di dalam hatinya. Namun, tanggapan Madeline sangat tegas. “Ya, aku membencimu. Teramat sangat.” Bibir Jeremy melengkung tipis saat dia menarik nafas dalam-dalam. Dia mengambil kertas-kertas itu dan membacanya. Madeline tak menuntut harta gono-gini, tak satupun aset atau uangnya—hanya hak asuh atas Jack. Jeremy meletakkan bolpoin. “Baiklah. Aku setuju kita bercerai, tapi aku tak akan melepaskan Jack.” Ekspresi kalem Madeline retak. “Hak apa yang kau punya buat memperebutkan hak asuh atas Jack, Jeremy? Apa kau punya hak untuk menjadi ayah Jack?” Jeremy hanya tersenyum. Dia tak memprotes ataupun melawan. Dia tahu bahwa ini adalah satu-satunya
“Keluar! Pergi kau! Aku tak mau melihatmu lagi!” Madeline mendorong pria itu keluar sambil masih merasa linglung dan menutup pintu. Bersandar di pintu, dia menarik nafas dalam-dalam dan menunduk, baru menyadari kalau kemejanya sudah tidak terkancing. Siapa yang tahu apa yang akan terjadi di antara mereka jika dia tidak menampar pria itu. Rasionalitasnya tampaknya telah dilahap oleh ciuman bertubi-tubi dan permintaan maaf lirih Jeremy. Madeline mencengkeram kerahnya yang terbuka dengan lega karena dia tak menyerahkan dirinya pada pria itu lagi. … Madeline membawa Jack ke pinggiran kota untuk bermain selama akhir pekan dan mendapati dirinya tenang dengan kenyataan bahwa Jeremy tidak muncul di hadapannya lagi. Hawa hari itu mungkin dingin, namun hatinya hangat. Senyuman polos Jackson memberinya kenyamanan dan pada saat yang sama juga membuat hatinya terkepal. Dalam semua ingatannya, hampir tidak ada yang membuatnya bahagia. Satu-satunya kenangan yang dia miliki adalah hari d
Dengan teriakan Meredith dan Diana, sebagian besar pengunjung sidang berpaling untuk melihat Madeline dengan penuh minat. Marah, Eloise dan Sean melompat dan siap membela Madeline. “Biarkan mereka mengatakan apa yang mereka mau.” Madeline menghentikan Eloise dan Sean. “Ada bukti yang meyakinkan, jadi Meredith tidak bisa lari dari ini. Adapun Diana, yah, dia akan segera tahu betapa bodohnya dia bertindak sekarang.” Meskipun diri mereka dipenuhi dengan amarah, Eloise dan Sean mengepalkan tinju mereka dan kembali duduk. Frustrasi dan dipenuhi dengan ketidaksukaan, mereka merasa tidak layak bagi Madeline. Bagaimanapun juga, Keluarga Montgomery bisa dikatakan telah memainkan sebuah peran yang menghasilkan cara Meredith dan Diana bertindak hari ini. Tak satupun dari dua perempuan itu memiliki hati nurani. Salah satu dari mereka menukar putri mereka dengan putrinya sendiri, sementara yang lain mencuri identitas putri mereka. Dua perempuan itu telah mengambil semua yang seharusnya menj
Jeremy menatapnya saat keterkejutan menyapu dirinya. Tatapan mereka saling mengunci saat Madeline merasakan jantungnya berdebar kencang, melihat sepasang mata pria itu di penuh kelembutan, kasih sayang, dan juga gairah yang membara. Madeline mengalihkan pandangannya agar tidak terpengaruh oleh tatapan Jeremy. Dia melihat pria itu berjalan menuju mimbar saksi. Meredith menatap Jeremy dengan gelisah, sementara kedua matanya berputar-putar dengan kekaguman dan cinta pada pria itu. Jeremy tidak meluangkan waktu meliriknya sebelum pria itu menyerahkan bukti baru yang dimaksud. Ekspresi Meredith muram saat melihat bukti baru itu, menatap ponsel di tangan Jeremy dengan ketakutan. “Ini adalah ponsel korban, Brittany Montgomery." Jeremy membuka bibirnya dengan tenang. “Saya menemukannya di rumah terdakwa.” “...” Kedua mata Meredith menjadi sebesar piring dan dia terlalu syok untuk berbicara. “Di dalamnya ada rekaman video dari tiga tahun yang lalu yang diambil sendiri oleh korban. Video
Oh…Lewat raungan melengking Meredith, muncullah pengakuannya, membuat segenap ruangan pengadilan terdiam. Kedua mata Meredith memerah saat dia terengah-engah. Dia menyadari bahwa dirinya telah salah bicara! Dia baru saja mengaku membunuh Brittany Montgomery! Pengacara Meredith menatapnya dengan bingung, perlahan menampakkan sikap dingin. “Jadi itu kau, Meredith Crawford! Dasar pembunuh! Pembunuh!" Diana lepas kendali dan berteriak. Meredith mengepalkan tinjunya saat matanya berkedip-kedip. Jeremy menatap acuh tak acuh pada penampilan kusut Meredith, nada bicaranya tidak terpengaruh. “Kau benar, Meredith Crawford. Kau memang telah menghapus video tersebut, tapi aku juga punya teknisi ahli yang bisa memulihkan video itu.” “...” Meredith menatap Jeremy tanpa bisa berkata-kata, kedua matanya dipenuhi dengan kesedihan. "Mengapa? Kenapa kau lakukan ini padaku, Jeremy? Akulah wanita yang paling kau cintai! Kau berjanji akan melindungiku selamanya, tapi mengapa kau membantu pelacur it