Jeremy menatapnya dengan penuh minat. "Apa itu?"Lana melangkah ke samping, menyalakan sebatang rokok, dan mulai merokok. Dia berpikir sejenak sebelum tiba-tiba bertanya pada Jeremy, "Jeremy, apa kau kenal orang dengan pengaruh besar yang diam-diam melindungi Eveline? Selain kedua orangtuanya, tentu saja."Mata Jeremy langsung berubah. "Kenapa kau tanya itu?""Karena..." Lana mengembuskan asap dan melanjutkan, "Karena ada pria misterius di belakang kakakku. Kakakku sepertinya agak takut dengan pria ini. Dia tidak mengizinkanku memprovokasi Eveline karena itu juga yang diinginkan pria misterius itu. Jadi aku penasaran siapa pria ini."Mengetahui situasi ini, Jeremy benar-benar terkejut.Terlepas dari siapa pria misterius ini, dia membantu Madeline.Sepertinya ini bagus.Namun, siapa pria yang mampu membuat Yorick kalang-kabut ini?Sambil merenungkan hal ini, dia tiba-tiba mendengar Lana dengan enggan berkata, "Jeremy, kau juga lihat sikap Yorick barusan. Aku telah melakukan banyak hal u
Hanya saja dia benar-benar tak menyangka seseorang sudah berhasil menyusup ke dalam geng Stygian Johnson dan bahkan mampu membuat Yorick menuruti perintahnya. Terlepas dari pengaruh orang tersebut, dia masih tidak bisa mencabut geng Stygian Johnson, yang menunjukkan betapa kokohnya pondasi geng itu.Setelah meninggalkan kafe, Jeremy pergi ke sekolah tempat Jackson dan Lilian belajar.Dia menunggu sampai jam pelajaran berakhir, tetapi masih tidak melihat dua kakak beradik itu keluar dari gedung.Merasa bingung, dia turun dari mobil dan masuk ke sekolah untuk bertanya kepada guru yang saat ini bertugas di depan.Guru itu mengenali wajah Jeremy dan berbicara dengan sedikit khawatir, "Saya benar-benar minta maaf soal ini, Mr. Whitman. Karena saya tidak menjaga Lilian dengan baik makanya dia mengalami musibah.”"Mrs. Whitman bilang Lilian tidak bisa datang ke sekolah untuk beberapa hari ini. Jackson juga telah memberikan pemberitahuan soal ketidakhadirannya."Setelah mendengar jawaban guru
Faktanya, Jeremy sudah tahu siapa yang datang ketika mendengar langkah-langkah kaki yang akrab.Saat melihat ke belakang, memang benar Madeline yang dia lihat.Inilah wanita yang dia harap bisa dia leburkan dengan darah dan nyawanya.Madeline bahkan tidak melirik Jeremy. Dia berjalan lurus ke arah dua anak itu. Dengan senyum lembut dan penuh kasih di wajahnya, dia menyentuh dua wajah kemerahan yang menggemaskan itu. "Jack, bawa adikmu masuk. Mommy akan membuat kue untuk kalian berdua sebentar lagi."Jackson mengangguk patuh. Dia menggandeng tangan kecil Lilian yang putih dan lembut dengan tangan kecilnya sendiri, melirik Jeremy sebelum berbalik.Setelah melihat kedua anak itu memasuki rumah, senyum di wajah Madeline berangsur-angsur menghilang."Berani-beraninya kau masih datang menemui Lilian?" Madeline mengejeknya dengan sinis. "Kau sudah lihat sekarang, ‘kan? Lilian tidak bisa berbicara lagi. Apa kau puas dengan rencana besar pacarmu?"Jeremy tidak menanggapi kata-kata Madeline. Dia
Dia bersandar ke kursi mobil dengan lelah, air mata membasahi kedua sudut matanya.'Lilian, maafkan Daddy.’'Kuharap sebelum aku pergi, aku masih bisa mendengar tawa manismu dan mendengarmu dengan riang memanggilku 'Daddy'.'Dia menyentuh potret keluarga yang dia simpan diam-diam dan membiarkan kesedihan mengaliri sekujur tubuhnya. Semakin jelas rasa sakitnya, semakin dalam dia bisa mengingat siapa wanita yang dia cintai...Madeline berdiri membeku di tempat untuk waktu yang lama, tak bisa memahami perilaku Jeremy.Dia masih berharap pria itu punya perjuangannya sendiri, tetapi tindakannya sangat kejam—begitu kejam hingga dia tak bisa menemukan alasan untuk membela pria itu.Dalam tiga hari ke depan, dia akan menikah dengan Ryan.Karen juga menghitung mundur hari. Dua hari sebelum pernikahan, dia pergi mencari Madeline sambil dengan sengaja membawa Pudding di pelukannya. “Eveline, apa kau benar-benar akan menikahi Ryan? Apa tidak ada lagi kesempatan untuk Jeremy?”Madeline memasukkan p
Meski langit gelap dan lampu di dalam sudah dimatikan, Madeline masih bisa melihat dengan jelas.Seorang wanita dengan rambut pendek mengenakan gaun seksi sedang memeluk dan mencium seorang pria jangkung.Wanita berambut pendek itu tentu saja Lana, dan pria itu, siapa lagi kalau bukan Jeremy?Meskipun Jeremy bilang dia sudah tidur dengan Lana, Madeline selalu meragukannya.Namun pada saat ini, dia melihat dengan mata kepalanya sendiri. Dia tak ingin mempercayainya tetapi harus.Dia pikir bisa menghadapinya dengan tenang, tapi setiap detak jantungnya hanya menyakitinya sementara napasnya menjadi tidak teratur. Pada saat ini, dia merasa tercekik.Madeline menatap pemandangan di dalam yang semakin tidak sedap dipandang. Setelah mendengar suara tawa menggoda wanita itu, dia tiba-tiba berbalik dan berjalan menuju lift. Dia asal tekan tombol lift dengan jarinya. Perutnya mulai kram, membuatnya mual.Jeremy dengan jelas melihat sosok Madeline yang marah pergi, lalu menyalakan lampu di ruangan
"Jeremy, apa yang sebenarnya kau pikirkan?"Pria itu menatapnya dengan ekspresi tenang dan acuh tak acuh."Eveline, tak peduli apa yang aku pikirkan, aku tidak akan memikirkanmu lagi," katanya dingin dan mengeluarkan kartu identitasnya lagi. “Ambillah jika kau mau. Kalau kau pikir itu kotor, maka kurasa kau tidak perlu membuat rekening bank untuk anakmu.”"Anakku? Apa dia cuma anakku?” Madeline tertawa sinis. Tetesan halus hujan semakin deras, mengaburkan pandangannya.“Apa kau masih ingat apa yang kau katakan ketika berlutut di depanku? Kau berkata, 'Linnie, aku akan membahagiakanmu selama sisa hidupmu.' Tapi ternyata kebahagiaan yang kau berikan padaku hanya berumur pendek.”Dia melihat kartu identitas yang basah karena hujan. Dia menahan emosinya yang tertahan di ambang kehancuran dan menolak untuk meneteskan air mata.“Aku akan menikah dengan Ryan lusa. Aku akan mengembalikan kartu identitasmu nanti saat kau hadir di upacara pernikahanku.”Madeline mengambil kartu identitas itu dan
Jeremy terkejut. Dia tak tahu kapan Madeline muncul dari belakangnya.Madeline juga terkejut karena wajah Jeremy sepucat selembar kertas.Keduanya saling memandang dan waktu sepertinya berhenti pada saat ini.Jeremy berjuang untuk menekan bau darah yang menyengat dan rasa gatal yang kering di kerongkongannya. Dia memalingkan wajahnya untuk menghindari tatapan Madeline, terbatuk ringan.Hati Jeremy sangat kacau saat ini. Dia takut Madeline akan mengetahui ada yang tidak beres dengannya dan wanita itu akan melihat semuanya."Maddie, kenapa kau berdiri di sana? Sudah waktunya untuk foto bersama." Panggilan Ava datang dari kejauhan.Madeline memandang pria yang menghadapnya dari samping dan menyerahkan kartu identitas."Aku mau mengembalikan ini padamu," katanya dingin sambil mengulurkan tangannya pada Jeremy.Jeremy mengepalkan tinjunya, tahu dia tak bisa menjangkau Madeline.Kedua telapak tangannya berlumuran darah.Melihat Jeremy acuh tak acuh, Madeline mengerutkan kening. "Jika melihat
Setelah Madeline dan Ryan kembali dari mengobrol dengan tamu-tamu Keluarga Jones, mereka menemukan Ava mabuk dan wajah gadis itu sudah memerah. Ava bergumam tanpa henti, "Maddie, kali ini, kau harus memiliki pernikahan yang bahagia. Kau harus..."Madeline tersentuh. Ava adalah salah satu dari sedikit orang di dunia ini yang benar-benar peduli dan sayang padanya.Pada saat ini, Madeline tidak punya pilihan selain meminta Daniel untuk mengantar Ava pulang.Namun, Daniel juga sedikit mabuk. Setelah membantu Ava masuk ke taksi, dia bersandar pada Ava dengan mengantuk.Awalnya dia ingin membawa pulang Ava, tetapi pengemudi tiba-tiba menghentikan taksi di pintu masuk sebuah hotel. Dengan tatapan penuh pengertian, dia membukakan pintu mobil untuk Daniel.Daniel malas memberi klarifikasi dan membantu Ava keluar dari mobil.Ava mabuk sampai di titik tidak bisa berdiri tegak. Seolah-olah anggota tubuhnya telah berubah menjadi jeli saat bersandar lemah pada Daniel."Ava, kau baik-baik saja?" Dani