Meski langit gelap dan lampu di dalam sudah dimatikan, Madeline masih bisa melihat dengan jelas.Seorang wanita dengan rambut pendek mengenakan gaun seksi sedang memeluk dan mencium seorang pria jangkung.Wanita berambut pendek itu tentu saja Lana, dan pria itu, siapa lagi kalau bukan Jeremy?Meskipun Jeremy bilang dia sudah tidur dengan Lana, Madeline selalu meragukannya.Namun pada saat ini, dia melihat dengan mata kepalanya sendiri. Dia tak ingin mempercayainya tetapi harus.Dia pikir bisa menghadapinya dengan tenang, tapi setiap detak jantungnya hanya menyakitinya sementara napasnya menjadi tidak teratur. Pada saat ini, dia merasa tercekik.Madeline menatap pemandangan di dalam yang semakin tidak sedap dipandang. Setelah mendengar suara tawa menggoda wanita itu, dia tiba-tiba berbalik dan berjalan menuju lift. Dia asal tekan tombol lift dengan jarinya. Perutnya mulai kram, membuatnya mual.Jeremy dengan jelas melihat sosok Madeline yang marah pergi, lalu menyalakan lampu di ruangan
"Jeremy, apa yang sebenarnya kau pikirkan?"Pria itu menatapnya dengan ekspresi tenang dan acuh tak acuh."Eveline, tak peduli apa yang aku pikirkan, aku tidak akan memikirkanmu lagi," katanya dingin dan mengeluarkan kartu identitasnya lagi. “Ambillah jika kau mau. Kalau kau pikir itu kotor, maka kurasa kau tidak perlu membuat rekening bank untuk anakmu.”"Anakku? Apa dia cuma anakku?” Madeline tertawa sinis. Tetesan halus hujan semakin deras, mengaburkan pandangannya.“Apa kau masih ingat apa yang kau katakan ketika berlutut di depanku? Kau berkata, 'Linnie, aku akan membahagiakanmu selama sisa hidupmu.' Tapi ternyata kebahagiaan yang kau berikan padaku hanya berumur pendek.”Dia melihat kartu identitas yang basah karena hujan. Dia menahan emosinya yang tertahan di ambang kehancuran dan menolak untuk meneteskan air mata.“Aku akan menikah dengan Ryan lusa. Aku akan mengembalikan kartu identitasmu nanti saat kau hadir di upacara pernikahanku.”Madeline mengambil kartu identitas itu dan
Jeremy terkejut. Dia tak tahu kapan Madeline muncul dari belakangnya.Madeline juga terkejut karena wajah Jeremy sepucat selembar kertas.Keduanya saling memandang dan waktu sepertinya berhenti pada saat ini.Jeremy berjuang untuk menekan bau darah yang menyengat dan rasa gatal yang kering di kerongkongannya. Dia memalingkan wajahnya untuk menghindari tatapan Madeline, terbatuk ringan.Hati Jeremy sangat kacau saat ini. Dia takut Madeline akan mengetahui ada yang tidak beres dengannya dan wanita itu akan melihat semuanya."Maddie, kenapa kau berdiri di sana? Sudah waktunya untuk foto bersama." Panggilan Ava datang dari kejauhan.Madeline memandang pria yang menghadapnya dari samping dan menyerahkan kartu identitas."Aku mau mengembalikan ini padamu," katanya dingin sambil mengulurkan tangannya pada Jeremy.Jeremy mengepalkan tinjunya, tahu dia tak bisa menjangkau Madeline.Kedua telapak tangannya berlumuran darah.Melihat Jeremy acuh tak acuh, Madeline mengerutkan kening. "Jika melihat
Setelah Madeline dan Ryan kembali dari mengobrol dengan tamu-tamu Keluarga Jones, mereka menemukan Ava mabuk dan wajah gadis itu sudah memerah. Ava bergumam tanpa henti, "Maddie, kali ini, kau harus memiliki pernikahan yang bahagia. Kau harus..."Madeline tersentuh. Ava adalah salah satu dari sedikit orang di dunia ini yang benar-benar peduli dan sayang padanya.Pada saat ini, Madeline tidak punya pilihan selain meminta Daniel untuk mengantar Ava pulang.Namun, Daniel juga sedikit mabuk. Setelah membantu Ava masuk ke taksi, dia bersandar pada Ava dengan mengantuk.Awalnya dia ingin membawa pulang Ava, tetapi pengemudi tiba-tiba menghentikan taksi di pintu masuk sebuah hotel. Dengan tatapan penuh pengertian, dia membukakan pintu mobil untuk Daniel.Daniel malas memberi klarifikasi dan membantu Ava keluar dari mobil.Ava mabuk sampai di titik tidak bisa berdiri tegak. Seolah-olah anggota tubuhnya telah berubah menjadi jeli saat bersandar lemah pada Daniel."Ava, kau baik-baik saja?" Dani
Jeremy tahu bahwa datang ke sini cuma akan menyakitinya saja.Dia tak bisa melupakan begitu saja. Dia tak bisa melepaskan wanita yang tertanam jauh hingga ke dalam tulang-tulangnya.Di sela-sela gerimis tipis yang lebat, melalui tirai kamar Jeremy melihat Ryan mendekati Madeline. Pria itu semakin dekat dengan Madeline, dan ketika menundukkan kepalanya, jelas pria itu sedang mencium Madeline.Jeremy memegang kemudi erat-erat dan merasakan rintik hujan di luar jendela mobil menghantam jantungnya. Rasanya dingin, sedingin es.Dia tak bisa terus seperti ini lagi. Satu-satunya hal yang bisa dia lakukan hanyalah pergi dan mendatangi Whitman Manor, di mana dia bisa diam-diam mengunjungi dua anaknya yang sedang tidur.Di kamar tidur.Ryan memeluk Madeline dengan ringan sebelum melepaskannya."Aku tahu kau belum sepenuhnya melepaskan Jeremy di hatimu. Tidak masalah. Aku bisa menunggu."Kata-kata Ryan membuat Madeline merasa bersalah.Dia sudah menjadi istri sah pria itu, tapi masih belum bisa m
Lana mendengar apa yang dikatakan Jeremy tapi sepertinya masih ragu-ragu.Ini adalah pertama kalinya Jeremy melihat tatapan serius pada perempuan kriminal itu.Dia tak ingin memberi Lana terlalu banyak waktu untuk memikirkannya.Dia berdiri dan berpura-pura tidak senang. "Karena kau tidak percaya padaku, jadi lupakan saja."Lana bergegas menghentikan Jeremy ketika mendengar apa yang pria itu katakan. "Sayang, jangan marah. Mana mungkin aku tidak percaya padamu?"Lana lalu dengan genit menarik lengan baju Jeremy. Dia tampak sedikit khawatir. Ketika melihat wajah tampan Jeremy tidak menoleh ke arahnya dan pria itu juga bersikap dingin, dia berubah pikiran."Sayang, kau menawarkan pengorbanan yang begitu besar dengan membiarkan perusahaan multinasional seperti Whitman Corporation membantu geng Stygian Johnson mencuci uang. Aku bodoh kalau tidak setuju!"Lana menyerah.Jeremy terus berpura-pura tidak senang untuk semakin menghasut wanita itu. "Kau tidak harus setuju dengan begitu enggan. I
Ketika mendengar suara Daniel, dia seperti tersengat listrik dan langsung terdiam.Tok, tok. Daniel mengetuk pintu lagi. "Ava, kau di dalam?" Suara Daniel dengan lembut menembus telinganya.Hati Ava terasa kecut, dan dia merasa semakin tidak nyaman.Pria yang dicintainya berdiri di luar pintu, tapi dia…"Ava, semalam...""Dan, a―aku minum terlalu banyak tadi malam. Aku masih sedikit lelah dan ingin tidur," kata Ava berpura-pura tenang sambil menekan emosinya dan memotong perkataan Daniel.Di luar pintu, butuh waktu lama bagi Daniel untuk menjawab. Nada suaranya terdengar sedikit kesepian. "Kalau begitu, istirahatlah yang cukup.""Terima kasih, Dan," jawab Ava. Mengenakan piyamanya, dia memeluk tubuhnya erat-erat saat menatap pintu dengan kosong.Setelah berdiri sebentar, dia perlahan berjalan ke pintu. Dia ingin melihat punggung Daniel, tapi tak menyangka kalau akan melihat pria itu begitu membuka pintu.Dia tertegun dan tidak bergerak. Dia seolah-olah lumpuh saat menatap dengan takjub
Jantungnya mulai berpacu, dan dia segera menelpon Madeline. Baru pada saat itulah dia tahu kalau Madeline telah meminta Daniel untuk mengantarnya pulang tadi malam.Bukannya bangun di rumah, dia malah bangun di sebuah hotel.Dia tak bisa mengingat apa pun yang terjadi di antara jam-jam itu. Satu-satunya hal yang dia ingat adalah bangun di samping seorang pria yang berbaring di sebelahnya. Dia bahkan tak melihat seperti apa pria itu.'Mungkinkah Dan melihat apa yang terjadi?’'Apakah dia melihat pria itu dan aku...'Ava merasa kepalanya akan meledak ketika tiba-tiba bel rumahnya berbunyi lagi.Dia pikir Daniel balik lagi, tapi ketika membuka pintu, dia melihat orang yang tidak ingin dia lihat...Madeline tidak tidur sedikit pun semalam. Dia bangun pagi-pagi sekali, memberi makan bayinya, dan menyiapkan sarapan untuk Ryan.Setelah Ryan pergi, dia membawa anak-anaknya ke Whitman Manor.Lilian masih belum bisa berbicara, jadi Jackson menemani adik perempuannya.Setelah menitipkan putra bun