Sejak bangun tidur tadi, Arka tampak rewel. Ia menangis mencari ayahnya. Akhirnya Viona dan Pak Yuda bergantian menggendong Arka karena Arka tidak mau lepas dari gendongan.Viona sangat kasihan melihat Arka. Tapi tidak mungkin ia dan Arka mau ikut Damar pulang. Kalau Arka mungkin masih bisa dimaklumi karena ia ikut ayahnya. Kalau Viona melepaskan Arka, ia tidak bisa berpisah dari Arka.Setelah magrib, rumah Viona kedatangan tamu. Satria bersama beberapa anggota keluarga datang ke rumah Viona. Dengan membawa bingkisan, sepertinya ia mau melamar Viona. Pak Baskoro segera menghubungi Rusman supaya datang ke rumah Viona. Ia dan Bu Paramita bingung menemui Satria. Viona ada di kamar, ia menggendong Arka sambil duduk. Arka tidur, tapi begitu diletakkan di kasur, ia pasti terbangun.Tak lama kemudian, Rusman dan Yunita datang, mereka kaget melihat Satria ada disitu. Setelah berbasa-basi, perwakilan keluarga Satria menyampaikan maksud dan tujuannya kesini.Karena keputusan ada di tangan Vion
Damar mengabaikan panggilan itu, ia malas untuk berbicara dengan Jihan. Sejak Damar pergi ke rumah Viona, sampai sekarang belum menghubungi Jihan. Pikirannya dipenuhi dengan wajah Viona dan Arka."Kenapa tidak kamu terima panggilan dari Jihan?" tanya Irfan dengan heran."Malas berdebat dengannya.""Kok bisa?""Tentu saja bisa, karena setiap berbicara dengannya selalu diakhiri dengan perdebatan. Apapun yang aku katakan selalu salah, tidak ada kata sepakat."Irfan hanya menggelengkan kepalanya."Dia itu calon istrimu. Mau tidak mau kamu harus menerima semua yang ada pada dirinya.""Iya, aku tahu. Tapi semakin kesini, Jihan itu semakin membuatku tidak respek lagi. Tingkahnya menjadi semakin kekanak-kanakan, gampang merajuk, posesif.""Apalagi sejak kamu bertemu dengan Viona dan Arka. Aku yakin kalau kamu selalu memikirkan mereka," sahut Irfan."Benar apa yang kamu katakan. Bahkan Mama pernah berkata pada Viona, kalau ia masih berharap aku dan Viona bisa rujuk.""Terus jawaban Viona bagai
"Ada apa, Om?" tanya Viona penasaran dengan ucapan Rusman."Tadi siang, Edi menemuiku. Ia bercerita tentang Satria.""Kenapa dengan Satria? Bukankah kemarin sudah jelas kalau Viona menolak lamarannya?" Pak Baskoro tampak heran."Iya, memang benar. Yang dibicarakan Edi itu adalah dampak dari penolakan Viona. Ia merasa direndahkan dan dipermalukan karena penolakan itu." Rusman menjelaskan."Waktu dia datang pertama kali dengan istrinya itu, aku sudah bilang kalau aku tidak menerima lamarannya. Tapi memang waktu itu kelihatan sekali kalau ia tidak terima dengan penolakan ku. Akhirnya dia bilang kalau aku disuruh memikirkan jawabannya lagi. Eh ko malah ia nekat datang lagi." Viona kesal dengan kelakuan Satria."Mungkin karena selama ini tidak ada perempuan yang berani menolaknya. Jadi ia merasa kalau kamu juga nggak akan menolak. Ia terlalu percaya diri," sahut Yunita."Betul itu! Menurut Edi, sepertinya Satria akan menggunakan cara-cara yang kotor," lanjut Rusman."Maksudnya?" Bu Paramit
"Maaf, Bu. Saya belum bisa menyanggupi keinginan Ibu." Damar berkata dengan pelan."Kalau belum sanggup menikahi Jihan, kenapa kemarin kamu melamarnya? Kamu serius nggak sih dengan Jihan?" Mega tampak berang."Saya serius dengan Jihan, kemarin saya melamar Jihan itu kan karena Ibu yang meminta acara lamaran dipercepat?" kilah Damar."Begini saja, silahkan kamu pilih. Menikah bulan depan atau tidak sama sekali!" Mega memberi pilihan pada Damar."Ibu!" Jihan dan Dedi berteriak dengan berbarengan."Ibu, jangan seperti itu! Yang namanya menikah itu kan banyak persiapannya. Tidak semudah membalikkan telapak tangan. Kalau bulan depan, tentu saja Damar nggak sanggup. Apalagi sekarang sudah tanggal lima belas, sudah pertengahan bulan. Kalau berbicara itu jangan asal bunyi, Bu." Dedi juga kesal dengan kelakuan istrinya, tapi ia tetap berusaha menenangkan Mega."Kalau Ibu mau kami menikah bulan depan, menikah di KUA saja. Nggak usah ada pesta sama sekali," kata Damar."Menikah di KUA? Apa kata
"Viona?" Laki-laki itu berkata untuk memastikan kalau yang ada di depannya itu adalah Viona."Iya, Mas. Aku Viona." Viona tersenyum pada laki-laki bernama Gibran itu. Gibran adalah suami dari Adel, kakaknya Damar. "Apa kabar Viona? Kamu kesini ngapain? Sama siapa? Mana Arka?" Gibran mencecar Viona dengan beberapa pertanyaan."Alhamdulillah, kabar baik. Arka di hotel sama Bapak dan Ibu.""Ehem!" Laki-laki di sebelah Gibran berdehem karena merasa dicuekin."Eh, maaf. Ini temanku Tedi." Gibran memperkenalkan diri.Viona dan Hana segera bersalaman tangan dengan Tedi."Oh, ini Bu Hana yang janji bertemu dengan saya, kan? Mau melihat-lihat apartemen," tanya Tedi."Iya, Pak. Saya Hana.""Untuk siapa apartemennya?" "Untuk teman saya, Mbak Viona." Gibran yang mendengarkan perbincangan Hana dan Tedi, mengernyitkan dahi. Kepalanya dipenuhi berbagai pertanyaan. Tapi ia tidak berani untuk bertanya lebih lanjut."Ayo kalau mau melihat. Ada di lantai lima," ajak Tedi. Viona dan Hana mengikuti Ted
"Kok malah melamun?" celetuk Adel.Viona kaget mendengar ucapan Adel, ia pun tersadar dari lamunannya."Aku iri melihat kehangatan Mbak Adel dan Mas Gibran." Viona menjawab dengan pelan."Yakinlah, suatu saat kamu akan menemukan teman hidup yang baik untukmu," sahut Adel."Aku belum kepikiran kesitu, Mbak. Fokusku sekarang adalah Arka.""Viona, kamu masih muda. Kamu berhak untuk hidup bahagia. Carilah kebahagiaanmu sendiri. Walaupun kamu tidak bersama Damar, kamu tetaplah adikku.""Terima kasih, Mbak." Viona sangat terharu dengan perlakuan Adel padanya."Apa yang membuatmu memutuskan pindah kesini?" Adel masih penasaran."Karena seorang laki-laki," sahut Viona."Oh, ada laki-laki yang mau melamarmu. Terus karena kamu nggak suka, akhirnya kamu pergi? Begitu?" Adel berkata seolah-olah ia tahu apa yang terjadi.Viona mengangguk."Kayak Mama tahu saja, sih." Gibran mengomentari pendapat istrinya."Kurang lebih seperti itu, Pa. Buktinya Viona mengiyakan. O ya, Viona, kenapa kamu tidak meny
"Damar, kamu kan sudah melamar Jihan! Jangan sembarangan memutuskan hubungan. Bisa malu keluarga kita," kata Adel."Tapi Mbak, kalau diteruskan nanti malah akan selalu terjadi pertengkaran.""Kenapa kamu melamarnya?" Adel mulai emosi."Itu karena ibunya Jihan yang mendesak," kilah Damar."Aku jadi pusing mikirin masalahmu.""Nggak usah dipikirin, Mbak. Aku saja santai kok, hehe." Damar malah tertawa meledek Adel."Sudah ah, aku mau ganti baju." Adel pun masuk ke dalam kamar."Mas, apa aku salah kalau aku memutuskan hubungan?" tanya Damar."Enggak salah, sih. Semua ini demi masa depanmu sendiri. Kamu pernah menikah, kamu nggak mau gagal lagi, kan?" tanya Gibran."Aku ingin pernikahanku ini yang terakhir kalinya.""Pikirkan lagi semuanya. Jangan mengambil keputusan ketika marah. Nanti akan menyesalinya.""Ayo Pa, cepat ganti baju," kata Adel yang sudah keluar dari kamarnya."Ya sudah, aku pergi duluan ya?" pamit Damar, kemudian ia beranjak dari duduknya dan melangkah pergi."Kok bisa-b
"Assalamualaikum." Jihan mengucapkan salam dengan sopan. Semua yang ada di meja itu menoleh ke arah Jihan, mereka kaget melihat sosok yang mengucapkan salam."Waalaikumsalam." Pak Yuda menjawab salam Jihan."Wah, rupanya sedang berkumpul disini ya? Kalau boleh tahu, ada acara apa?" tanya Jihan. Ia tersenyum melihat ke sekeliling. Adel dan Danish membalas senyuman Jihan, sedangkan Mama Laras dan Damar tak menghiraukan sapaan dan senyuman Jihan. Jihan tampak kecewa melihat Damar mengabaikan dirinya."Enggak ada acara apa-apa, cuma makan bersama saja," kata Damar dengan nada suara yang ketus."Kamu sama siapa disini?" tanya Adel, ia berusaha untuk ramah supaya Jihan tidak tersinggung. "Sama teman, Mbak. Tapi dia sudah pulang.""Oh, gitu." Adel tampak manggut-manggut."Ayo ikut bergabung." Pak Yuda berkata pada Jihan. Jihan menatap wajah Damar, ekspresi Damar hanya datar saja. Adel menjadi kasihan melihat Jihan diabaikan oleh Damar."Duduklah, bergabung bersama kami." Adel menawari Jihan
"Eh malah asyik pacaran disini, sampai-sampai lupa sama anaknya sendiri." Mama Laras berkata sambil tersenyum menggoda Damar dan Viona."Mama?" Viona tersipu malu."Apa sih yang kalian bicarakan? Masa depan?" tanya Adel dengan penasaran."Nggak ada apa-apa kok, Mbak. Hanya membuatkan kopi lagi untuk Mas Damar. Soalnya kopi yang aku buat tadi sudah dingin karena Mas Damar ketiduran." Viona menjelaskan. Damar hanya tersenyum."Ayo kita kesana saja, nggak enak ngobrol di dapur," ajak Viona. Mereka pun menuju ke ruang keluarga."Mumpung ada kalian berdua disini. Apakah ada kemungkinan kalian untuk rujuk? Ingat lho, ada Arka yang membutuhkan kalian berdua." Mama Laras mulai berbicara."Sepertinya memang kita yang harus bergerak, Ma. Kalau menunggu mereka berdua, kelamaan. Terus terang kami sangat menginginkan rujuknya kalian berdua. Apalagi ada pengikat di antara kalian yaitu Arka." Tanpa basa basi, Adel langsung bertanya pada Viona. Viona menjadi salah tingkah. "Ini kesempatanku untuk m
"Arka, Arka," gumam Viona. Damar bingung harus berbuat apa."Arka, Arka." Viona mengigau lagi. Damar memegang dahi Viona, ternyata Viona demam.Damar mencari-cari tas Viona. Biasanya Viona selalu membawa obat-obatan di tasnya. Tas Viona ada di bawah tempat tidur Arka. Dengan perlahan ia membuka tas tersebut. Ternyata benar, di dalam tas Viona ada beberapa obat, seperti Paracetamol juga asam mefenamat.Setelah mengambil Paracetamol dan air mineral, Damar pun mengambil mendekati Viona lagi. "Viona," panggil Damar dengan pelan. Perlahan Viona membuka matanya."Mas, jangan ambil Arka dariku. Aku janji akan merawat dia dengan baik." Tiba-tiba Viona langsung berkata seperti itu sambil menangis. Damar hanya bisa bengong mendengar ucapan Viona.*Aku mohon, Mas." Tangis Viona semakin menjadi-jadi."Vio, tidak ada yang mau mengambil Arka darimu. Aku juga tidak, aku percaya kalau kamu merawat Arka dengan baik." Damar berusaha meyakinkan Viona."Tapi tadi Mas memaksaku menyerahkan Arka." Viona m
"Arka kenapa?" Viona mengelus-elus kepala Arka. Arka masih saja menangis."Arka kenapa, Nak? Bilang sama Bunda, apa yang Arka inginkan?" Suara Viona bergetar, menahan sesak di dada. Sebenarnya ia ingin menangis, tapi tetap berusaha untuk tidak menangis. Jangan sampai menangis di depan Arka."Tangan sakit." Suara Arka sangat lemah. Viona melihat ke tangan Arka, tampak agak membengkak. Viona sangat kaget, kemudian ia melihat ke arah botol infus dan mengamatinya. Ternyata infusnya tidak menetes, Viona menjadi semakin ketakutan. Ia segera memencet bel.Tak lama kemudian masuklah seorang perawat."Ada yang bisa dibantu, Bu?" Perawat itu bertanya dengan sopan."Infusnya kok nggak menetes ya?" tanya Viona. Perawat itu segera memeriksa botol infus dan saluran infus yang menempel ke tangan Arka."Apa adik ini banyak bergerak, Bu?""Enggak, tadi habis saya gendong ke kamar mandi karena mau buang air kecil."Perawat itu tersenyum."Lihatlah tangan adik ini, mungkin tadi waktu bergerak jarumnya
"Arka sangat dekat dengan ayahnya, apa nggak sebaiknya kalian rujuk saja. Kalau misalnya Damar mengajakmu rujuk, apa kamu mau?" Deg! Jantung Viona berdebar-debar. Pipinya merona tersipu malu."Nggak tahu, Mbak. Lagipula nggak mungkin Mas Damar mengajakku rujuk. Dia kan sudah mau menikah?" sahut Viona, ia pun menyibukkan diri dengan kegiatan menggoreng nugget tadi. Malu kalau sampai ketahuan ia merona.Viona memang masih mencintai Damar, walaupun ia tahu kalau Damar tidak mencintainya. Susah untuk menghilangkan rasa itu, tapi untuk berharap kembali bersama, sepertinya jauh panggang dari api."Siapa bilang? Hubungan Damar dan Jihan sudah selesai.""Bukankah mereka sudah tunangan?" tanya Viona untuk meyakinkan berita itu."Iya, tapi nyatanya nggak bisa dilanjutkan lagi.""Kasihan Mas Damar, pasti sangat kecewa berpisah dengan orang yang dicintainya." Ada rasa perih di hati ketika mengucapkan itu."Kamu tahu, mereka putus gara-gara kamu." Ucapan Adel tak khayal membuat Viona tampak sanga
Semua menjadi panik karena tidak menemukan sosok Arka. Mereka tadi asyik membahas tentang ide rujuknya Damar dan Viona. Damar beranjak dari duduknya dan berjalan ke depan, takutnya Arka keluar. Mama Laras mencari ke dapur, siapa tahu Arkq sedang bermain bersama Lina. Tapi ternyata Lina tidak ada. Mama Laras pun menuju ke ruang keluarga, tempat mereka berkumpul dan bermain bersama Arka tadi."Ketemu nggak?" tanya Damar dengan panik. Tentu saja ia sangat panik melihat Arka menghilang dari pandangan mereka berempat.Semua menggelengkan kepalanya masing-masing. "Papa, bagaimana ini? Aku nggak tahu harus ngomong apa sama Viona." Damar sangat kebingungan. "Tenang, pasti Arka ketemu." Pak Yuda berusaha menenangkan Damar."Lina, kamu melihat Arka?" tanya Damar ketika melihat Lina berjalan menuju ke arah mereka"Arka? Ada kok." Lina menjawab dengan tenang tampak santai."Dimana?" tanya Damar, wajahnya langsung ceria."Saya bawa ke kamar Mas Damar. Arka sedang tidur.""Kok bisa?" Damar masih
"Ayah!" Terdengar teriakan bahagia dari seorang anak kecil yang bernama Arka. Tampak Viona berdiri di samping Arka. Arka langsung memeluk ayahnya, kemudian menarik tangan ayahnya untuk masuk ke dalam.Damar tampak ragu, ia pun melirik ke arah Viona. Viona mengangguk kecil, menandakan kalau ia menyetujui tindakan Arka. Damar dan Arka masuk ke dalam, disusul Viona yang selesai menutup pintu. Dari saat mengetuk pintu tadi sampai sekarang, jantung Damar masih berdetak dengan kencang, ia tampak canggung berhadapan dengan Viona. "Maafkan aku, Mas. Seharusnya aku tidak merepotkan Mas pagi-pagi seperti ini," kata Viona dengan pelan ketika mereka bertiga duduk di sofa."Nggak apa-apa. Aku akan selalu melakukan apapun permintaan Arka. Ini aku bawakan sarapan untukmu." Damar menyerahkan bungkusan yang tadi ia bawa. Ia masih berusaha untuk menetralisir suasana hatinya. Entah kenapa, melihat Viona hari ini membuat Damar merasa sangat bahagia. Mungkin karena ia diizinkan mengajak Arka jalan-jalan.
"Ayah nanti pulang kelja bobok sama Alka ya?" kata Arka dengan penuh harap. Suara cadelnya membuat yang mendengarkan menjadi gemas. Tak khayal, ucapan Arak membuat Damar dan Viona tampak sangat kaget. Mereka tidak menyangka jika Arka akan berkata seperti itu."Iya, sayang. Sekarang Arka sama Bunda dulu ya?" bujuk Damar. Arka mengangguk, kemudian memeluk ayahnya. "Ayo Nak, kita pulang," ajak Mama Laras. Arka pun jalan bersama bunda dan omanya. Dengan berat hati, Arka mengikuti Oma dan bundanya. Ia pun melambaikan tangan pada ayahnya.Dama tampak terharu dengan perlakuan Arka kepadanya. Ia tidak menyangka jika Arka sangat dekat dengannya. Padahal selama ini ia tidak mendampingi keseharian Arka. Mungkin inilah yang namanya ikatan batin antara anak dan ayah. Walau terpisah, tapi tetap merasa dekat."Bundamu hebat, Nak. Tidak mengajarimu untuk membenci Ayah," kata Damar dalam hati."Ayo ke kantor lagi! Suara Irfan membuyarkan lamunan Damar. Damar dan Irfan berjalan menuju ke tempat parkir
"Boleh saya bertemu dengan Jihan?" pinta Damar."Untuk apa?" Mega masih saja menanggapi dengan ketus. Ia belum bisa menerima kalau hubungan Jihan dan Damar selesai. Ia masih membayangkan bagaimana komentar saudara, teman dan tetangga tentang putusnya hubungan Damar dan Jihan. Mereka pasti akan mencibir dan membicarakannya, bakal jadi trending topik di komplek ini. Mega mengkea nafas panjang."Ingin berbicara sebentar, Bu.""Saya rasa nggak ada yang perlu dibicarakan lagi. Semua sudah selesai. Silahkan pulang." Mega mengusir Damar."Bu, Damar kesini sebagai tamu, tidak baik seperti itu. Apa salahnya kalau ia bertemu dengan Jihan sebentar saja." Dedi berusaha menenangkan istrinya."Tamu tapi membuat tuan rumah sakit hati. Aku nggak mau melihat Jihan bersedih lagi. Silahkan pergi sebelum saya berteriak." Mega tetap bersikeras."Sebentar saja, Bu." Damar masih memohon pada Mega."Pergi! Pergi!" Mega berteriak sambil menunjuk-nunjuk wajah Damar."Maaf, Pak. Saya permisi pulang," pamit Dama
"Viona." Mama Laras menutup mulutnya, ia seolah tidak percaya dengan apa yang dilihatnya."Iya, Ma. Ini Viona." Viona mendekati Mama Laras kemudian mencium tangan dan memeluknya.Mama Laras meneteskan air mata karena terharu melihat siapa yang datang. "Mama jangan nangis," kata Viona ketika melepaskan pelukannya."Mama bahagia melihat kamu datang." Mama Laras segera menghapus air matanya."Arka, kasih salam sama Oma." Viona berkat pada Arka."Ini Oma, Sayang. Sudah lupa, ya?" Mama Laras menggendong Arka. Arka hanya terdiam, ia masih bingung dengan situasi ini."Arka sudah besar ya, sudah berat." Mama Laras mencium Arka."Ayo ke dalam," ajak Mama Laras pada Viona."Iya, Ma."Viona mengikuti langkah kaki Mama Laras menuju ke ruang keluarga."Opa, lihat siapa yang datang," kata Maam Laras pada suaminya yang sedang asyik menonton berita di televisi. Pak Yuda menoleh ke arah istrinya."Viona? Arka." Pak Yuda tak kalah terkejutnya dengan kehadiran Viona dan Arka. Viona segera mendekati Pak