Sidang perceraian pertama ini tampak agak alot, karena Damar mengajukan hak asuh anak. Ia didampingi oleh kuasa hukumnya, sedangkan Viona hanya sendirian."Pak Hakim, ada upaya Bu Viona ingin memutuskan hubungan darah antara Pak Damar dengan anaknya. Karena sampai sekarang, Pak Damar belum pernah dipertemukan dengan anaknya. Jadi kami mohon nanti hak asuh anak jatuh ke tangan Pak Damar," kata kuasa hukum Damar.Viona sangat terkejut mendengar kata-kata pengacara itu. Hakim kemudian mempersilahkan Viona untuk mengungkapkan pendapatnya. "Selama ini saya sendirian mengurus anak saya. Ayahnya sendiri tidak pernah mau tahu mencari keberadaan saya." Viona membela diri."Kamu menghilang tanpa kabar, bagaimana aku bisa mencarimu?" protes Damar."Kamu memang sengaja tidak mau berusaha. Buktinya Papa dan Danish bisa tahu kondisiku."Mereka berdua tampak berdebat, tidak mencapai titik temu. Akhirnya hakim menutup sidang dan akan melanjutkan lagi Minggu depan. Viona sangat kesal, ia keluar dulu
"Itu akun Viona, Ma." Viona menjawab dengan pelan."Hah? Yang benar? Kenapa kok sudah lama nggak upload video masak? Kemarin ada upload video quote gitu!" Mama Laras langsung mencecarnya dengan banyak pertanyaan."Lagi nggak punya ide, Ma.""Followers kamu sudah banyak, juga sering dapat endorse. Sudah menghasilkan uang ya?""Alhamdulillah sudah, Ma. Lumayan untuk beli Pampers Arka.""Lakukan apa yang menurutmu baik, bisa menghasilkan uang dan tentu saja waktunya fleksibel." Mama Laras menyemangati Viona."Iya, Ma. Terima kasih untuk supportnya.""Kok kamu tahu, Danish? Terus kamu nggak ngasih tahu Mama sih?" tanya Mama Laras dengan kesal."Mbak Viona pernah cerita kok. Mama kan nggak pernah nanya, biar Mama tahu sendiri, jadi heboh, kan?" Danish tertawa."Adel harus tahu ini," kata Mama Laras sambil membuka ponselnya untuk menghubungi Adel."Tuh lihat, Oma heboh sendiri ya?" celetuk Pak Yuda sambil menciumi Arka.***"Kamu nggak usah datang di sidang hari ini. Semua sudah diwakilkan
"Jadi ini yang kamu kerjakan? Mengasuh anak? Siapa anak yang kamu gendong ini? Terus perempuan tadi siapa?" cecar Sarah."Apa perlu aku jawab?" tanya Danish sambil bermain dengan Arka."Kok anak ini mirip denganmu? Apakah…." Sarah tidak meneruskan ucapannya."Memangnya kenapa?" "E-enggak apa-apa." Sarah berkata seolah-olah tidak apa-apa, padahal hatinya merasa sangat kecewa dengan sambutan Danish yang tidak ramah."Ada apa kamu kesini?""Mau mengajak kamu pergi, teman-teman sudah berkumpul di rumah Nora." Sarah menjawab dengan pelan."Acara apa?""Makan-makan ulang tahun Nora. Kamu mau pergi kan?" pinta Sarah."Maaf, aku sudah bilang kalau aku nggak bisa.""Apa karena bayi ini dan perempuan tadi?""Iya." Danish menjawab dengan pelan.Sarah tampak kecewa. Tak lama kemudian Lina datang membawa minuman dan makanan ringan."Terima kasih, Lin," ucap Danish."Iya, Mas." Lina pun beranjak pergi dari ruang tamu itu."Kok kamu tahu rumahku?" tanya Danish."Mudah bagiku mencari rumahmu. Aku ak
"Damar," gumam Mama Laras. Damar sangat shock melihat orangtuanya sedang asyik bermain dengan bayi yang mirip dengannya."Siapa itu Ma?" tanya Damar, yang kemudian duduk mendekati orang tuanya."Anakmu, lihatlah wajahnya mirip denganmu. Namanya Arka." Pak Yuda menjawab dengan singkat."Sayang ganti baju dulu, ya?" kata Viona yang baru keluar dari kamar. Langkahnya langsung terhenti melihat Damar duduk bersama dengan orang tua dan anaknya. "Eh, Mas Damar, apa kabar?" tanya Viona untuk mengurangi rasa gugup dan kecanggungannya."Ba-baik." Damar menjawab dengan gugup.Viona kemudian mendekati Arka dan memakaikan baju. Semua mata tertuju pada Viona dan Arka. Danish dari tadi hanya sebagai pengamat saja. Ia mengamati ekspresi semua orang di ruangan ini."Sejak kapan Viona ada disini?" tanya Damar dengan pelan."Sejak ada panggilan dari pengadilan agama," sahut Mama Laras."Kenapa Mama nggak bilang kalau Viona ada disini?""Apa pentingnya bagimu? Toh kamu tidak mempedulikannya." Mama Lara
"Lihatlah Damar, apa kamu nggak merasa bersalah melihat anakmu yang tidak pernah kamu pedulikan?" tanya Pak Yuda.Arka melihat ke arah Damar sambil tertawa-tawa. Hati Damar merasa nyeri melihat anak tidak berdosa yang ia abaikan selama ini. Ingin rasanya ia memeluk Arka, tapi egonya masih tinggi."Sudahlah, Pa. Mas Damar memang tidak peduli dengan Arka. Aku sudah mengikhlaskan kalau Mas Damar tidak memberi nafkah pada Arka. Aku masih sanggup menafkahinya," kata Viona dengan tegas."Mbak, jangan peralat anak untuk meminta uang pada Mas Damar. Salah sendiri Mbak kabur dari rumah, meninggalkan suami tanpa kabar." Jihan berkata dengan nada mengejek.Mama Laras mulai tidak menyukai Jihan yang menurutnya terlalu mendominasi. Takutnya nanti Damar akan bertekuk lutut di hadapan Jihan."Kamu nggak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Tanya sama dia, apa aku nggak pamit waktu mau pulang ke rumah orang tuaku? Dan yang mengantarku pulang itu adalah Papa dan Danish. Jadi aku tidak kabur. Camkan itu!"
Perjalanan menuju tempat tinggal Viona cukup lama, beberapa kali berhenti supaya Arka tidak merasa bosan di dalam mobil. Terlihat hamparan perkebunan teh yang tampak menghijau, menyejukkan pandangan mata. Menandakan kalau rumah Viona sudah tidak jauh lagi. "Sejuk sekali disini ya?" kata Mama Laras sambil membuka kaca mobil untuk merasakan sejuknya udara perkebunan teh."Iya, Ma. Makanya aku betah tinggal disini," sahut Viona."Kok bisa memilih tinggal disini? Dapat referensi dari mana? Apakah punya keluarga disini?""Aku ingin pergi jauh yang kira-kira tidak terdeteksi. Kebetulan disini ada Om Rusman, adik angkat Bapak.""Sengaja menjauh dari kami ya?" sindir Mama Laras. Viona hanya tersipu malu.Akhirnya sekitar jam sebelas siang, sampai juga di tempat tujuan. Danish memasukkan mobil ke halaman rumah. Halaman rumah tampak bersih, meskipun ditinggal Viona dua bulan lebih. Ada Yunita, istri Rusman yang merawat rumah ini. "Assalamualaikum." Viona mengucapkan salam. Pintu pun dibuka d
"Sepertinya malam Minggu ini kita belum bisa lamaran," kata Damar pada Jihan. Damar sengaja mengajak Jihan makan malam diluar, karena ada yang ingin dibicarakan."Hah? Kok gitu?" protes Jihan hingga membuatnya tersedak."Makan pelan-pelan saja," celetuk Damar.Jihan tampak merengut, karena kecewa. Kemudian mengambil air minum yang ada di depannya."Papa dan Mama sedang pergi keluar kota." Damar menjelaskan dengan pelan."Kemana?""Mengantar Viona dan Arka.""Enak sekali jadi Viona, sepertinya ia dimanja oleh keluarga Mas. Jangan-jangan Viona itu sengaja minta diantar pulang, terus nanti ia akan menghasut orang tua Mas supaya tidak merestui hubungan kita." Jihan berkata dengan sinis. Ia merasa kesal karena sepertinya keluarga Damar lebih memilih Viona daripada dirinya Damar hanya menghela nafas panjang, ia tahu kalau Jihan sedang memprovokasi dirinya. "Sabar Damar, jangan terpancing emosi," kata Damar dalam hati untuk menenangkan dirinya sendiri. "Viona bukan orang yang seperti itu,
"Bukan membela, tapi menyampaikan pendapat Ayah. Sebenarnya Ayah juga kurang setuju dengan acara lamaran kalian yang sangat mendadak ini. Apa nggak bisa menunggu satu bulan lagi?" kilah Dedi.Damar hanya terdiam, memang mereka tergesa-gesa mengambil keputusan. Jihan yang terus mendesak Damar untuk melamarnya."Kenapa mesti satu bulan, Yah?" protes Jihan."Kenapa mesti tergesa-gesa? Kamu masih sangat muda, apa kamu sudah siap menikah?" sahut Dedi."Lamaran kan nggak mesti harus segera menikah?" kilah Jihan."Itu yang Ayah nggak setuju. Kalau sudah lamaran, jangan lama-lama menikahnya. Paling lama setengah tahun saja. Kalau terlalu lama, banyak godaannya. Menangnya setelah lamaran, apa tujuan kalian? Menikah kan?" "Apa kalian sudah memikirkan semuanya dengan matang? Bagaimana kehidupan kalian setelah menikah, apalagi Damar sudah pernah menikah, Ayah rasa sudah tahu apa yang harus dilakukan. Dan kamu Jihan, apa kamu nggak berpikir untuk kerja dulu?""Aku mau jadi ibu rumah tangga saja,
"Eh malah asyik pacaran disini, sampai-sampai lupa sama anaknya sendiri." Mama Laras berkata sambil tersenyum menggoda Damar dan Viona."Mama?" Viona tersipu malu."Apa sih yang kalian bicarakan? Masa depan?" tanya Adel dengan penasaran."Nggak ada apa-apa kok, Mbak. Hanya membuatkan kopi lagi untuk Mas Damar. Soalnya kopi yang aku buat tadi sudah dingin karena Mas Damar ketiduran." Viona menjelaskan. Damar hanya tersenyum."Ayo kita kesana saja, nggak enak ngobrol di dapur," ajak Viona. Mereka pun menuju ke ruang keluarga."Mumpung ada kalian berdua disini. Apakah ada kemungkinan kalian untuk rujuk? Ingat lho, ada Arka yang membutuhkan kalian berdua." Mama Laras mulai berbicara."Sepertinya memang kita yang harus bergerak, Ma. Kalau menunggu mereka berdua, kelamaan. Terus terang kami sangat menginginkan rujuknya kalian berdua. Apalagi ada pengikat di antara kalian yaitu Arka." Tanpa basa basi, Adel langsung bertanya pada Viona. Viona menjadi salah tingkah. "Ini kesempatanku untuk m
"Arka, Arka," gumam Viona. Damar bingung harus berbuat apa."Arka, Arka." Viona mengigau lagi. Damar memegang dahi Viona, ternyata Viona demam.Damar mencari-cari tas Viona. Biasanya Viona selalu membawa obat-obatan di tasnya. Tas Viona ada di bawah tempat tidur Arka. Dengan perlahan ia membuka tas tersebut. Ternyata benar, di dalam tas Viona ada beberapa obat, seperti Paracetamol juga asam mefenamat.Setelah mengambil Paracetamol dan air mineral, Damar pun mengambil mendekati Viona lagi. "Viona," panggil Damar dengan pelan. Perlahan Viona membuka matanya."Mas, jangan ambil Arka dariku. Aku janji akan merawat dia dengan baik." Tiba-tiba Viona langsung berkata seperti itu sambil menangis. Damar hanya bisa bengong mendengar ucapan Viona.*Aku mohon, Mas." Tangis Viona semakin menjadi-jadi."Vio, tidak ada yang mau mengambil Arka darimu. Aku juga tidak, aku percaya kalau kamu merawat Arka dengan baik." Damar berusaha meyakinkan Viona."Tapi tadi Mas memaksaku menyerahkan Arka." Viona m
"Arka kenapa?" Viona mengelus-elus kepala Arka. Arka masih saja menangis."Arka kenapa, Nak? Bilang sama Bunda, apa yang Arka inginkan?" Suara Viona bergetar, menahan sesak di dada. Sebenarnya ia ingin menangis, tapi tetap berusaha untuk tidak menangis. Jangan sampai menangis di depan Arka."Tangan sakit." Suara Arka sangat lemah. Viona melihat ke tangan Arka, tampak agak membengkak. Viona sangat kaget, kemudian ia melihat ke arah botol infus dan mengamatinya. Ternyata infusnya tidak menetes, Viona menjadi semakin ketakutan. Ia segera memencet bel.Tak lama kemudian masuklah seorang perawat."Ada yang bisa dibantu, Bu?" Perawat itu bertanya dengan sopan."Infusnya kok nggak menetes ya?" tanya Viona. Perawat itu segera memeriksa botol infus dan saluran infus yang menempel ke tangan Arka."Apa adik ini banyak bergerak, Bu?""Enggak, tadi habis saya gendong ke kamar mandi karena mau buang air kecil."Perawat itu tersenyum."Lihatlah tangan adik ini, mungkin tadi waktu bergerak jarumnya
"Arka sangat dekat dengan ayahnya, apa nggak sebaiknya kalian rujuk saja. Kalau misalnya Damar mengajakmu rujuk, apa kamu mau?" Deg! Jantung Viona berdebar-debar. Pipinya merona tersipu malu."Nggak tahu, Mbak. Lagipula nggak mungkin Mas Damar mengajakku rujuk. Dia kan sudah mau menikah?" sahut Viona, ia pun menyibukkan diri dengan kegiatan menggoreng nugget tadi. Malu kalau sampai ketahuan ia merona.Viona memang masih mencintai Damar, walaupun ia tahu kalau Damar tidak mencintainya. Susah untuk menghilangkan rasa itu, tapi untuk berharap kembali bersama, sepertinya jauh panggang dari api."Siapa bilang? Hubungan Damar dan Jihan sudah selesai.""Bukankah mereka sudah tunangan?" tanya Viona untuk meyakinkan berita itu."Iya, tapi nyatanya nggak bisa dilanjutkan lagi.""Kasihan Mas Damar, pasti sangat kecewa berpisah dengan orang yang dicintainya." Ada rasa perih di hati ketika mengucapkan itu."Kamu tahu, mereka putus gara-gara kamu." Ucapan Adel tak khayal membuat Viona tampak sanga
Semua menjadi panik karena tidak menemukan sosok Arka. Mereka tadi asyik membahas tentang ide rujuknya Damar dan Viona. Damar beranjak dari duduknya dan berjalan ke depan, takutnya Arka keluar. Mama Laras mencari ke dapur, siapa tahu Arkq sedang bermain bersama Lina. Tapi ternyata Lina tidak ada. Mama Laras pun menuju ke ruang keluarga, tempat mereka berkumpul dan bermain bersama Arka tadi."Ketemu nggak?" tanya Damar dengan panik. Tentu saja ia sangat panik melihat Arka menghilang dari pandangan mereka berempat.Semua menggelengkan kepalanya masing-masing. "Papa, bagaimana ini? Aku nggak tahu harus ngomong apa sama Viona." Damar sangat kebingungan. "Tenang, pasti Arka ketemu." Pak Yuda berusaha menenangkan Damar."Lina, kamu melihat Arka?" tanya Damar ketika melihat Lina berjalan menuju ke arah mereka"Arka? Ada kok." Lina menjawab dengan tenang tampak santai."Dimana?" tanya Damar, wajahnya langsung ceria."Saya bawa ke kamar Mas Damar. Arka sedang tidur.""Kok bisa?" Damar masih
"Ayah!" Terdengar teriakan bahagia dari seorang anak kecil yang bernama Arka. Tampak Viona berdiri di samping Arka. Arka langsung memeluk ayahnya, kemudian menarik tangan ayahnya untuk masuk ke dalam.Damar tampak ragu, ia pun melirik ke arah Viona. Viona mengangguk kecil, menandakan kalau ia menyetujui tindakan Arka. Damar dan Arka masuk ke dalam, disusul Viona yang selesai menutup pintu. Dari saat mengetuk pintu tadi sampai sekarang, jantung Damar masih berdetak dengan kencang, ia tampak canggung berhadapan dengan Viona. "Maafkan aku, Mas. Seharusnya aku tidak merepotkan Mas pagi-pagi seperti ini," kata Viona dengan pelan ketika mereka bertiga duduk di sofa."Nggak apa-apa. Aku akan selalu melakukan apapun permintaan Arka. Ini aku bawakan sarapan untukmu." Damar menyerahkan bungkusan yang tadi ia bawa. Ia masih berusaha untuk menetralisir suasana hatinya. Entah kenapa, melihat Viona hari ini membuat Damar merasa sangat bahagia. Mungkin karena ia diizinkan mengajak Arka jalan-jalan.
"Ayah nanti pulang kelja bobok sama Alka ya?" kata Arka dengan penuh harap. Suara cadelnya membuat yang mendengarkan menjadi gemas. Tak khayal, ucapan Arak membuat Damar dan Viona tampak sangat kaget. Mereka tidak menyangka jika Arka akan berkata seperti itu."Iya, sayang. Sekarang Arka sama Bunda dulu ya?" bujuk Damar. Arka mengangguk, kemudian memeluk ayahnya. "Ayo Nak, kita pulang," ajak Mama Laras. Arka pun jalan bersama bunda dan omanya. Dengan berat hati, Arka mengikuti Oma dan bundanya. Ia pun melambaikan tangan pada ayahnya.Dama tampak terharu dengan perlakuan Arka kepadanya. Ia tidak menyangka jika Arka sangat dekat dengannya. Padahal selama ini ia tidak mendampingi keseharian Arka. Mungkin inilah yang namanya ikatan batin antara anak dan ayah. Walau terpisah, tapi tetap merasa dekat."Bundamu hebat, Nak. Tidak mengajarimu untuk membenci Ayah," kata Damar dalam hati."Ayo ke kantor lagi! Suara Irfan membuyarkan lamunan Damar. Damar dan Irfan berjalan menuju ke tempat parkir
"Boleh saya bertemu dengan Jihan?" pinta Damar."Untuk apa?" Mega masih saja menanggapi dengan ketus. Ia belum bisa menerima kalau hubungan Jihan dan Damar selesai. Ia masih membayangkan bagaimana komentar saudara, teman dan tetangga tentang putusnya hubungan Damar dan Jihan. Mereka pasti akan mencibir dan membicarakannya, bakal jadi trending topik di komplek ini. Mega mengkea nafas panjang."Ingin berbicara sebentar, Bu.""Saya rasa nggak ada yang perlu dibicarakan lagi. Semua sudah selesai. Silahkan pulang." Mega mengusir Damar."Bu, Damar kesini sebagai tamu, tidak baik seperti itu. Apa salahnya kalau ia bertemu dengan Jihan sebentar saja." Dedi berusaha menenangkan istrinya."Tamu tapi membuat tuan rumah sakit hati. Aku nggak mau melihat Jihan bersedih lagi. Silahkan pergi sebelum saya berteriak." Mega tetap bersikeras."Sebentar saja, Bu." Damar masih memohon pada Mega."Pergi! Pergi!" Mega berteriak sambil menunjuk-nunjuk wajah Damar."Maaf, Pak. Saya permisi pulang," pamit Dama
"Viona." Mama Laras menutup mulutnya, ia seolah tidak percaya dengan apa yang dilihatnya."Iya, Ma. Ini Viona." Viona mendekati Mama Laras kemudian mencium tangan dan memeluknya.Mama Laras meneteskan air mata karena terharu melihat siapa yang datang. "Mama jangan nangis," kata Viona ketika melepaskan pelukannya."Mama bahagia melihat kamu datang." Mama Laras segera menghapus air matanya."Arka, kasih salam sama Oma." Viona berkat pada Arka."Ini Oma, Sayang. Sudah lupa, ya?" Mama Laras menggendong Arka. Arka hanya terdiam, ia masih bingung dengan situasi ini."Arka sudah besar ya, sudah berat." Mama Laras mencium Arka."Ayo ke dalam," ajak Mama Laras pada Viona."Iya, Ma."Viona mengikuti langkah kaki Mama Laras menuju ke ruang keluarga."Opa, lihat siapa yang datang," kata Maam Laras pada suaminya yang sedang asyik menonton berita di televisi. Pak Yuda menoleh ke arah istrinya."Viona? Arka." Pak Yuda tak kalah terkejutnya dengan kehadiran Viona dan Arka. Viona segera mendekati Pak