Viona ingin menyapa Damar, tapi ia urungkan, malu kalau nanti Damar tidak meresponnya. Akhirnya Viona tetap pura-pura sibuk dengan ponselnya. Cukup lama Viona menunggu panggilan, biasalah, jamnya ngaret alias molor. Ia merasa bosan, ia menjadi gelisah memikirkan Arka yang ia tinggal tadi."Mama pasti sudah sangat ahli menangani bayi, kalau aku gelisah takutnya Arka ikut gelisah," kata Viona dalam hati, ia berusaha menenangkan diri sendiri.Terdengar suara panggilan untuk Damar dan Viona. Viona beranjak dari duduknya, melewati Damar. Ia menoleh ke arah Damar."Mas Damar, sudah dipanggil tuh," kata Viona menyapa Damar. Damar dari tadi tidak menyadari keberadaan Viona, begitu melihat Viona ia tampak kaget. Viona sudah banyak berubah."I-iya," sahut damar dengan gugup, ia pun beranjak dari duduknya dan mengikuti langkah kaki Viona menuju ke ruang mediasi."Apa kabar, Mas?" tanya Viona ketika Damar duduk di sebelahnya."Kabar baik." Damar menjawab singkat sapaan Viona."Syukurlah, semoga M
Sidang perceraian pertama ini tampak agak alot, karena Damar mengajukan hak asuh anak. Ia didampingi oleh kuasa hukumnya, sedangkan Viona hanya sendirian."Pak Hakim, ada upaya Bu Viona ingin memutuskan hubungan darah antara Pak Damar dengan anaknya. Karena sampai sekarang, Pak Damar belum pernah dipertemukan dengan anaknya. Jadi kami mohon nanti hak asuh anak jatuh ke tangan Pak Damar," kata kuasa hukum Damar.Viona sangat terkejut mendengar kata-kata pengacara itu. Hakim kemudian mempersilahkan Viona untuk mengungkapkan pendapatnya. "Selama ini saya sendirian mengurus anak saya. Ayahnya sendiri tidak pernah mau tahu mencari keberadaan saya." Viona membela diri."Kamu menghilang tanpa kabar, bagaimana aku bisa mencarimu?" protes Damar."Kamu memang sengaja tidak mau berusaha. Buktinya Papa dan Danish bisa tahu kondisiku."Mereka berdua tampak berdebat, tidak mencapai titik temu. Akhirnya hakim menutup sidang dan akan melanjutkan lagi Minggu depan. Viona sangat kesal, ia keluar dulu
"Itu akun Viona, Ma." Viona menjawab dengan pelan."Hah? Yang benar? Kenapa kok sudah lama nggak upload video masak? Kemarin ada upload video quote gitu!" Mama Laras langsung mencecarnya dengan banyak pertanyaan."Lagi nggak punya ide, Ma.""Followers kamu sudah banyak, juga sering dapat endorse. Sudah menghasilkan uang ya?""Alhamdulillah sudah, Ma. Lumayan untuk beli Pampers Arka.""Lakukan apa yang menurutmu baik, bisa menghasilkan uang dan tentu saja waktunya fleksibel." Mama Laras menyemangati Viona."Iya, Ma. Terima kasih untuk supportnya.""Kok kamu tahu, Danish? Terus kamu nggak ngasih tahu Mama sih?" tanya Mama Laras dengan kesal."Mbak Viona pernah cerita kok. Mama kan nggak pernah nanya, biar Mama tahu sendiri, jadi heboh, kan?" Danish tertawa."Adel harus tahu ini," kata Mama Laras sambil membuka ponselnya untuk menghubungi Adel."Tuh lihat, Oma heboh sendiri ya?" celetuk Pak Yuda sambil menciumi Arka.***"Kamu nggak usah datang di sidang hari ini. Semua sudah diwakilkan
"Jadi ini yang kamu kerjakan? Mengasuh anak? Siapa anak yang kamu gendong ini? Terus perempuan tadi siapa?" cecar Sarah."Apa perlu aku jawab?" tanya Danish sambil bermain dengan Arka."Kok anak ini mirip denganmu? Apakah…." Sarah tidak meneruskan ucapannya."Memangnya kenapa?" "E-enggak apa-apa." Sarah berkata seolah-olah tidak apa-apa, padahal hatinya merasa sangat kecewa dengan sambutan Danish yang tidak ramah."Ada apa kamu kesini?""Mau mengajak kamu pergi, teman-teman sudah berkumpul di rumah Nora." Sarah menjawab dengan pelan."Acara apa?""Makan-makan ulang tahun Nora. Kamu mau pergi kan?" pinta Sarah."Maaf, aku sudah bilang kalau aku nggak bisa.""Apa karena bayi ini dan perempuan tadi?""Iya." Danish menjawab dengan pelan.Sarah tampak kecewa. Tak lama kemudian Lina datang membawa minuman dan makanan ringan."Terima kasih, Lin," ucap Danish."Iya, Mas." Lina pun beranjak pergi dari ruang tamu itu."Kok kamu tahu rumahku?" tanya Danish."Mudah bagiku mencari rumahmu. Aku ak
"Damar," gumam Mama Laras. Damar sangat shock melihat orangtuanya sedang asyik bermain dengan bayi yang mirip dengannya."Siapa itu Ma?" tanya Damar, yang kemudian duduk mendekati orang tuanya."Anakmu, lihatlah wajahnya mirip denganmu. Namanya Arka." Pak Yuda menjawab dengan singkat."Sayang ganti baju dulu, ya?" kata Viona yang baru keluar dari kamar. Langkahnya langsung terhenti melihat Damar duduk bersama dengan orang tua dan anaknya. "Eh, Mas Damar, apa kabar?" tanya Viona untuk mengurangi rasa gugup dan kecanggungannya."Ba-baik." Damar menjawab dengan gugup.Viona kemudian mendekati Arka dan memakaikan baju. Semua mata tertuju pada Viona dan Arka. Danish dari tadi hanya sebagai pengamat saja. Ia mengamati ekspresi semua orang di ruangan ini."Sejak kapan Viona ada disini?" tanya Damar dengan pelan."Sejak ada panggilan dari pengadilan agama," sahut Mama Laras."Kenapa Mama nggak bilang kalau Viona ada disini?""Apa pentingnya bagimu? Toh kamu tidak mempedulikannya." Mama Lara
"Lihatlah Damar, apa kamu nggak merasa bersalah melihat anakmu yang tidak pernah kamu pedulikan?" tanya Pak Yuda.Arka melihat ke arah Damar sambil tertawa-tawa. Hati Damar merasa nyeri melihat anak tidak berdosa yang ia abaikan selama ini. Ingin rasanya ia memeluk Arka, tapi egonya masih tinggi."Sudahlah, Pa. Mas Damar memang tidak peduli dengan Arka. Aku sudah mengikhlaskan kalau Mas Damar tidak memberi nafkah pada Arka. Aku masih sanggup menafkahinya," kata Viona dengan tegas."Mbak, jangan peralat anak untuk meminta uang pada Mas Damar. Salah sendiri Mbak kabur dari rumah, meninggalkan suami tanpa kabar." Jihan berkata dengan nada mengejek.Mama Laras mulai tidak menyukai Jihan yang menurutnya terlalu mendominasi. Takutnya nanti Damar akan bertekuk lutut di hadapan Jihan."Kamu nggak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Tanya sama dia, apa aku nggak pamit waktu mau pulang ke rumah orang tuaku? Dan yang mengantarku pulang itu adalah Papa dan Danish. Jadi aku tidak kabur. Camkan itu!"
Perjalanan menuju tempat tinggal Viona cukup lama, beberapa kali berhenti supaya Arka tidak merasa bosan di dalam mobil. Terlihat hamparan perkebunan teh yang tampak menghijau, menyejukkan pandangan mata. Menandakan kalau rumah Viona sudah tidak jauh lagi. "Sejuk sekali disini ya?" kata Mama Laras sambil membuka kaca mobil untuk merasakan sejuknya udara perkebunan teh."Iya, Ma. Makanya aku betah tinggal disini," sahut Viona."Kok bisa memilih tinggal disini? Dapat referensi dari mana? Apakah punya keluarga disini?""Aku ingin pergi jauh yang kira-kira tidak terdeteksi. Kebetulan disini ada Om Rusman, adik angkat Bapak.""Sengaja menjauh dari kami ya?" sindir Mama Laras. Viona hanya tersipu malu.Akhirnya sekitar jam sebelas siang, sampai juga di tempat tujuan. Danish memasukkan mobil ke halaman rumah. Halaman rumah tampak bersih, meskipun ditinggal Viona dua bulan lebih. Ada Yunita, istri Rusman yang merawat rumah ini. "Assalamualaikum." Viona mengucapkan salam. Pintu pun dibuka d
"Sepertinya malam Minggu ini kita belum bisa lamaran," kata Damar pada Jihan. Damar sengaja mengajak Jihan makan malam diluar, karena ada yang ingin dibicarakan."Hah? Kok gitu?" protes Jihan hingga membuatnya tersedak."Makan pelan-pelan saja," celetuk Damar.Jihan tampak merengut, karena kecewa. Kemudian mengambil air minum yang ada di depannya."Papa dan Mama sedang pergi keluar kota." Damar menjelaskan dengan pelan."Kemana?""Mengantar Viona dan Arka.""Enak sekali jadi Viona, sepertinya ia dimanja oleh keluarga Mas. Jangan-jangan Viona itu sengaja minta diantar pulang, terus nanti ia akan menghasut orang tua Mas supaya tidak merestui hubungan kita." Jihan berkata dengan sinis. Ia merasa kesal karena sepertinya keluarga Damar lebih memilih Viona daripada dirinya Damar hanya menghela nafas panjang, ia tahu kalau Jihan sedang memprovokasi dirinya. "Sabar Damar, jangan terpancing emosi," kata Damar dalam hati untuk menenangkan dirinya sendiri. "Viona bukan orang yang seperti itu,