"Hana, saya pulang" Terdengar suara pintu apartemen terbuka, Hana yang tengah bersantai di sofa dengan buku bisnis yang diambilnya dari ruang kerja Pasha, meletakkan buku ke pangkuan dan menoleh, "Loh, tumben bapak pulang awal?" Jika diperkirakan, jam segini biasanya para pekerja baru saja selesai makan siang dan seharusnya Pasha akan melanjutkan sesi temu koleganya atau paling tidak bergelut dengan dokumen-dokumen yang harus diurusnya. Tapi... "Kenapa?" Pasha menaikkan salah satu alisnya. "Kamu gak suka saya pulang awal?" Hana mengedipkan matanya dua kali. Ia tiba-tiba menyadari betapa 'baperan' suaminya itu. Meletakkan buku di atas meja, Hana mendesah pelan, "Saya suka kok" Ia berdiri dan berjalan mendatangi Pasha dengan senyum terukir di bibir. Mengikuti instingnya sebagai seorang istri, Hana bergerak mengambil tas kerja dari tangan Pasha dan membantu melepas jas berat dari pundaknya, "Bapak mau saya ambilkan minum? Barangkali jus sayur atau—" Kata-kata Hana selanjutkan terus
Malam harinya, Hana dan Pasha makan malam bersama di meja makan. Pastinya itu adalah makanan delivery karena Hana tidak diperbolehkan menyentuh dapur oleh Pasha. Aktivitas di meja makan cukup hening. Yang terdengar hanyalah dentingan sendok dan piring.Hana dapat merasakan sedikit ketegangan selama menyantap makanannya. Karena aura Pasha yang kuat, seakan menekannya untuk tidak ceroboh. Alhasil ia makan dengan sangat hati-hati."Kamu belanja apa saja tadi di mall?" Akhirnya Pasha membuka percakapan.Itu berhasil menghancurkan sepetak dinding di antara mereka. Hingga ketegangan pun sedikit dinetralisir."Tidak ada. Saya hanya menemani kak Keira berbelanja" Ucap Hana. Mengambil segelas air putih, ia meneguk nya sedikit."Saya kan sudah memberikan mu kartu, kenapa kamu tidak menggunakannya untuk berbelanja?" Tanya Pasha."Ah, itu karena tidak ada yang ingin saya beli" Jawab Hana. Sedikit senyum canggung terbit di sudut bibirnya."Oh" Setelah tanggapan singkat itu dari Pasha, aktivitas ma
Hana pun dengan polosnya memberikan sebuah paper bag kepada Pasha. Ketika Pasha membuka nya, mata elangnya tersentak kaget. Itu adalah seonggok kain merah tipis transparan yang sangat lembut tapi cukup membakar. Sesaat Pasha menatap tak berkedip pada Hana. Ia tidak akan mengira istri kecilnya itu akan seperti anak TK yang tak tahu menahu hal-hal seperti ini. Entah kenapa, sejejak senyum nakal terbit di sudut bibirnya. Itu lumayan samar sampai Hana tak melihatnya. "Kebetulan besok saya ada dinas ke luar kota. Kamu ikut dengan saya sama jangan lupa bawa baju ini" Pasha mengembalikan paper bag itu kepada Hana. "A-apa pak?" Sontak saja Hana gelagapan mendengar itu. "Saya ikut bapak?" Tanyanya dengan raut wajah panik, "Ya engga bisa pak, saya kan besok harus ke kampus" "Absen saja" Ucap Pasha dengan tak berdosa nya. Hana menghela nafas dengan mata berkedip tertekan. Suaminya itu menyuruhnya absen dari kelas seakan itu perkara hal yang lumrah di lakukan. "Tidak bisa pak" Tentang Hana
Mereka berangkat keluar kota menggunakan jet pribadi milik Pasha. Melabuhkan punggungnya di tempat mewah itu, membawa Hana teringat akan mimpi buruknya sebelum menikah dengan Pasha. Di mana ia mencoba melarikan diri tapi malah tertangkap oleh Pasha. Setelahnya ia di bawa pergi ke sebuah pulau dan membuatnya terkurung di sana."Kau sedang memikirkan apa?"Hana tersentak dari lamunan mendengar pertanyaan itu. Mengalihkan pandangannya dari gumulan awan putih di luar sana, ia tersenyum dan menggeleng, "Bukan apa-apa"Pasha hanya diam. Menarik lengan Hana dan bersandar manja di pundak kecil itu. Hana sedikit terkejut, tapi tak berkata apa-apa. Ia hanya membiarkan suaminya itu bersandar dengan nyaman padanya."Hana""Ya pak?""Kamu tidak boleh pergi dari kehidupan saya""..." Bulu mata Hana berkibar samar mendengar itu.Pasha mengambil tangan Hana dan membungkusnya dengan tangan besarnya, "Jangan berani-berani meminta cerai, kalau kamu melakukannya, saat itu juga saya akan membawa kabur kam
"Kalau begitu saya permisi pak" Ucap Eman, tepat pukul delapan malam mereka baru saja menyelesaikan makan malam yang merangkap pertemuan bisnis. Eman tidak berada di hotel yang sama dengan Pasha atas perintah bosnya itu yang menginginkan privasi khusus karena sudah membawa istrinya. Itu karena Pasha tidak ingin kehidupan pribadinya disorot rekan kerjanya. Eman baru saja melambai ke pinggir jalan menghentikan sebuah taksi, mendapati Pasha yang datang menepuk pundaknya dari belakang. "Ada yang ingin saya tanyakan" Eman tidak jadi menghentikan taksi dan menoleh kearah Pasha, "Iya, ada apa pak?" "Apa kau pernah berciuman?" Eman beberapa saat muncul dengan ekspresi polosnya menjawab, "Tentu saja pernah" Pasha mengedipkan matanya, tidak menyangka ia kalah pengalaman dari Eman yang masih belum menikah tapi sudah pernah melakukannya. "Saya punya kebiasaan mencium pipi ibu saya sebelum pergi dinas dan mencium pipi adik perempuan saya setiap kali mengunjunginya di sekolah asrama" Tutur E
Hana masih gugup mengingat ciuman tiba-tiba yang didaratkan Pasha tepat di bibirnya. Tapi ia kembali teringat dengan isi pesan yang di kirimkan Keira tadi sore. Ia merasa perlu untuk mengklarifikasi nya dengan Pasha. Sambil memeluk tubuhnya, di mana Hana merasa sangat malu dengan pakaian yang cukup terbuka itu, ia berkata, "Ada hal yang ingin saya bicarakan dengan bapak" Tangan Pasha terkepal, meredam gejolak gairah yang membara dalam dirinya. Matanya menunjukkan tatapan frustasi dan berujar, "Tidak bisa di tunda nanti saja?" Karena ia sungguh tak dapat menahan diri dari merengkuh istri kecilnya itu dan menghujaninya dengan sejuta kecupan panas. "Saya ingin membicarakannya sekarang" Tutur Hana. Ia merasa tak tenang jika terus menduga-duga yang jatuhnya berprasangka buruk pada suaminya itu. Jadi menurutnya lebih baik untuk langsung di bicarakan bersama. Pasha menarik nafas panjang dan menghelanya pelan. Berjalan duduk ke pinggir ranjang, ia menepuk sisi kosong di sampingnya dan men
*Khusus Untuk usia 18 keatas*Merasakan tangan Pasha yang hangat mulai menelusup masuk kedalam bajunya, sekujur tubuh Hana seakan seperti baru saja kesetrum listrik. Sentuhan panas itu berhasil membuat otot-otot di tubuh Hana menegang. Merasakan tatapan mata elang Pasha yang penuh hasrat dan gairah. Tak perlu berpikir dua kali pun, Hana sudah dapat menebak apa yang akan dilakukan suaminya itu."J-jangan sekarang pak" Hana langsung menahan tangan Pasha yang semakin liar menjelajahi tiap inci kulit tubuhnya yang mulus."S-saya belum siap" Bulu mata Hana berkibar tak karuan bersama dengan bola mata hitamnya yang bergetar tak menentu. Sepasang mata yang berkaca-kaca itu harusnya dapat membuat hati pria manapun luluh dan menaruh simpati.Tapi itu sama sekali tidak bekerja pada seorang Pasha yang terbiasa bersikap acuh dan apatis."Jika saya tidak melakukannya sekarang, takutnya kamu malah akan pergi dengan dokter sial*n itu" Jempol Pasha mengusap lembut pipi Hana, menyalurkan energi sensua
Tepat di waktu subuh, Hana terjaga dan merasakan seluruh tubuhnya pegal dan remuk. Nyeri yang hebat lagi mengilukan dapat ia rasakan dari bagian bawah perutnya. Hana berusaha bangun dan bersandar ke kepala ranjang. Kedua tangannya masih terikat dengan dasi. Hana mencoba melepasnya tapi terus gagal. Ia pun menggigit simpul tersebut dan berusaha keras menariknya hingga lepas.Ia tersenyum lega karena pada akhirnya berhasil melepaskan ikatan dasi tersebut dari mengikat erat kedua tangannya. Pergi menyalakan lampu tidur, di bawah cahaya kuning keemasan yang samar, ia dapat melihat tubuh telanjang suaminya yang terbaring pulas di bawah selimut.Sesaat, hati wanitanya merasa sakit mengingat hal tak berperasaan yang dilakukan Pasha semalam padanya. Alih-alih memperlakukannya seperti istri, pria itu hanya menjadikan objek pelampiasan kemarahan, keegoisan dan kepuasannya semata.Hana mengumpulkan selimut tebal untuk menutupi tubuh telanjangnya, kemudian kakinya perlahan turun dan menginjak lan