"Mas Rehan akan menikahi kamu sebagai pengganti mendiang Mbak Laras."
Kalimat dari Papa membuat tubuh Saras membeku. Tatapan terkejut tak bisa ia sembunyikan, dirinya sungguh terkejut mendengar ucapan dari Papa. Pasukan oksigen seolah menghilang, membuat dadanya sesak teramat sangat. "Maksud Papa apa? Menikah? Sama Mas Rehan?" Masih basah kuburan Mbak-nya, kini Papa memintanya menikah dengan Mas iparnya sendiri. Dimana pikiran sehat Papanya?! Saras benar-benar tak bisa menerima ucapan Papanya. "Nak..." Suara Mama memanggil, mendekati tubuh Saras yang mematung terkejut. Disentuhnya pundak Saras, "Semua ini demi kebaikan kita semua." Saras menoleh, "Maksud Mama? Mama setuju Saras dan Mas Rehan menikah?" Mama mengangguk mantap, "Mama yakin, Mas Rehan bisa menjaga kamu sama seperti mendiang Mbak Laras." Mendengar hal tersebut membuat Saras naik pitam, "Ma! Saras bukan Mbak Laras! Saras ya Saras! Jangan samakan kami, Ma!" "Nak, kamu salah paham." "Salah paham gimana maksud Mama?!" Saras berkata dengan nada tinggi membuat Mama terlonjak kaget. "Saras! Jaga nada bicaramu dengan orang tua!" Tegas Papa. Suasana rumah yang semula tenang berubah mencekam, hawa panas menyelimuti keluarga yang kini beradu mulut di tengah malam. Rumah yang sebelumnya selalu nyaman dan penuh canda tawa kini harus tergantikan dengan perdebatan antara anak dan orang tua. Saras, yang baru saja pulang selepas mengerjakan tugas kuliahnya mendadak terkejut mendengar titah Papa yang meminta Saras untuk menikah dengan mas iparnya sendiri. Bahkan, acara tujuh harian Mbak-nya yang sudah meninggal baru terlaksana kemarin. Sekarang dengan entengnya Papa meminta Saras menikah, apalagi dengan suami dari Mbak-nya. Alias mas iparnya sendiri?! "Papa sama Mama tau sendiri kan? Saras masih kuliah, sebentar lagi Saras akan lulus dan kejar impian Saras untuk lanjut S2. Tapi kenapa Papa minta Saras buat nikah?" Saras mencoba meredam amarahnya. "Papa sadar dengan apa yang Papa katakan? Pa, Mas Rehan itu mas ipar Saras, Pa. Suami Mbak Laras. Bagaimana bisa, Saras menikah dengan suami dari Mbak Laras, Pa?" Saras dengan lemas terduduk di lantai. Mama menghampiri putrinya, "Saras..." Menepuk pundak Saras, memeluknya perlahan. "Mbak mu sudah meninggal, Saras. Jadi, Rehan juga bukan mas ipar kamu." Papa berkata dengan nada tenang. Saras menatap Papanya dengan sorot tidak terbaca, "Papa..." Lantas, Papa kembali berkata, "Papa sudah memutuskan, jika kamu akan menikah dengan Rehan." Kemudian, Papa bangkit dari sofa. Hendak melangkah pergi, namun terhenti karena sepasang tangan lembut menyentuh kakinya. Tangannya bergetar hebat dengan keringat dingin tiada henti. Berusaha menguatkan hati, meski rasanya tercabik-cabik. "Papa..." Lirih Saras, bahkan perempuan berusia dua puluh tiga tahun itu bersimpuh di bawah kaki Papanya. "Bagaimana dengan kuliah Saras, Pa? Saras masih ingin mengejar cita-cita Saras." Kali ini, suara Saras memelas. "Saras masih mau menikmati waktu main sama temen-temen kuliah Saras. Saras belum siap untuk menikah, Pa." Dengan tangis sesenggukan, Saras berusaha memohon. "Saras masih mau wisuda, Saras masih mau lanjutin kuliah S2, Saras masih mau berkarir, Saras juga masih mau main sama temen-temen Saras, Pa." "Tolong, Pa. Jangan giniin Saras. Saras masih mau bebas tanpa terikat pernikahan." Mama ikut menangis mendengar ucapan putrinya. Semuanya berubah total semenjak kematian putri pertama mereka, waktu memang tidak bisa ditebak. Masa depan tidak ada yang tau. Saras, perempuan berusia dua puluh tiga tahun yang masih mengejar wisuda akhir tahun ini sangat terpukul mendengar kalimat Papanya. Kepergian Mbak-nya tak cukup membuat Saras syok, kini titah Papa dimana Saras harus menikah dengan suami dari mendiang Mbak Laras semakin membuatnya terpuruk. Masih membara semangat Saras mengerjakan skripsi, musibah datang saat Mbak Laras dinyatakan meninggal saat melahirkan, lalu Saras harus menikah dengan suami Mbak Laras. Sungguh, semua polemik ini membuat pikiran Saras kacau. Kenapa? Kenapa harus Saras? Saras tidak sanggup. "Saras ingin menikmati waktu muda Saras dulu Pa, banyak hal yang ingin Saras lakukan. Saras gak mau." "Pa, Saras mohon... Saras mohon sama Papa, tolong... Jangan minta Saras untuk menikah dengan Mas Rehan. Mas Rehan suami Mbak Laras, Pa. Saras enggak bisa..." Mama yang sejak tadi diam menyaksikan pertengkaran ini mulai angkat suara. Mama tidak tega mendengar putrinya memohon pada suaminya. Sakit sekali rasanya. "Bangun, Nak. Jangan begini, Mama mohon. Bangun Sayang." Mama mengajak Saras bangkit. "Pa... Apa ini tidak keterlaluan? Saras masih memiliki banyak impian, Pa." Mama mendekati suaminya. "Mama merasa ragu, tidak seharusnya Saras berada dalam keadaan seperti ini. Biarkan Saras mencapai apa yang Saras impikan." Dengan tatapan datar, Papa berkata, "Saras bukan anak kecil Ma, sampai kapan kita harus memanjakannya seperti ini?" "Tapi, Pa, Saras--..." Papa memotong pembicaraan Mama, "Rehan sudah berjanji pada Papa, bahwa dia akan menjaga Saras. Lagi pula, sejak awal Mama yang memaksa Papa untuk menyetujuinya kan? Lalu sekarang harus bagaimana, Ma?" "Papa juga tidak tega melihat cucu Papa menderita. Apa Mama tega? Bahkan cucu Papa tidak bisa bertemu Mamanya untuk pertama kali." Kali ini Mama terdiam mendengar kalimat Papa. Saras masih pilu dengan tangisannya. Tidak terima dengan keputusan Papa yang membuat Saras harus menikahi Mas Rehan. Rasanya, kebebasan Saras direnggut paksa. "Apa semua ini karena anaknya Mbak Laras?" Tebak Saras mendengar perdebatan Papa dan Mamanya. "Jika Papa bilang iya, apa kamu akan membencinya?" Saras tentu saja terkejut, "Tapi, kenapa harus Saras Pa? Apa salah Saras? Saras bukan Mbak Laras. Bahkan, Saras gak bisa ngurus bayi. Papa minta Saras buat nikah?" "Keputusan Papa sudah bulat, Papa juga sudah membicarakan ini dengan Rehan." Balas Papa. Sontak, Saras langsung bangkit. Mendekati Papa, "Lalu, Mas Rehan bilang apa? Gak mungkin Mas Rehan setuju kan, Pa? Istrinya baru meninggal, gak mungkin Mas Rehan nikah lagi dalam waktu dekat." "Rehan sudah setuju." Jawab Papa. "Apa?" Saras sungguh terkejut, tidak menyangka jika mas iparnya itu menuruti apa yang Papa katakan. "Papa dan Rehan sudah sepakat, jika kamu masih bisa kuliah dan kejar cita-cita kamu, karir kamu, semua apa yang kamu mau kejar nantinya. Rehan juga tidak akan melarang mu, Papa jamin itu." Saras menggeleng lemas, "Pa, Saras mohon. Saras memiliki kekasih, nggak mungkin Saras menikah dengan orang yang nggak Saras cintai." Saras berusaha menghentikan rencana pernikahan dari Papanya. Apalagi, Mamanya tidak bisa berbuat banyak. Saras harus memperjuangkan haknya dirumah ini sebagai anak. "Atau, Saras akan belajar merawat bayinya Mbak Laras. Saras berjanji, akan menjaga dengan sungguh-sungguh keponakan Saras... Tapi, jangan nikahkan Saras dengan Mas Rehan, Pa." "Saras mohon..." "Jika ingin mendapatkan sesuatu yang kamu inginkan, memang banyak yang harus di korbankan, Saras." Tiba-tiba, Papa berkata demikian. "Maksud Papa? Papa mengorbankan Saras?" Papa menatap Saras cukup dalam, "Kamu masih memiliki orang tua yang lengkap, kasih sayang berlimpah. Tapi cucu Papa? Bahkan tidak memiliki ibu sejak lahir." "Menikahlah dengan Rehan, dan jadilah ibu pengganti untuk keponakan mu sendiri." Setelah mengatakan hal tersebut, Papa pergi masuk kamar. Disusul Mama yang mungkin saja masih ingin membujuk Papa. Lalu bagaimana dengan Saras? Perempuan itu terduduk lemas tak berdaya, seolah impiannya hancur berkeping-keping tak bersisa. Kenapa? Kenapa harus Saras? Sejak dulu, memang Saras yang selalu mengalah. Lantas, untuk kali ini apakah Saras akan mengalah? Untuk kesekian kalinya? ***Pernikahan turun ranjang, orang menyebutnya begitu. Pernikahan yang terjadi ketika suami atau istri menikah dengan adik atau kakak iparnya sendiri karena suami atau istrinya sudah meninggal. Bagi orang awam, istilah pernikahan turun ranjang adalah hal yang jarang terjadi. Biasanya karena polemik masalah internal keluarga, pernikahan turun ranjang dapat terjadi. Banyak hal dan alasan di balik terjadinya pernikahan turun ranjang. Bahkan, alasan tersebut terdengar tidak masuk akal. Namun, inilah fakta yang terjadi. Saras mengalaminya sendiri. Hari ini, tepat satu bulan setelah perdebatan yang tiada jalan keluar untuk Saras. Perempuan itu terpaksa menikah dengan mas iparnya sendiri. Tanpa cinta, tanpa resepsi, tanpa sahabatnya, bahkan tanpa impian pernikahan yang selama ini Saras inginkan. Malam setelah acara tahlilan empat puluh hari meninggalnya mendiang Mbak Saras, besok paginya acara akad digelar. Pernikahan yang sama sekali tidak pernah Saras inginkan. Rasanya Saras sangat frusta
"Saya terima nikah dan kawinnya Saras Zafnia Gutomo dengan mas kawin berupa uang tunai sepuluh juta rupiah dibayar tunai!" "Bagaimana para saksi? Sah?""Sah!" "Alhamdulillah.""Hari ini, kalian sudah sah sebagai sepasang suami dan istri. Menjalani ibadah terlama sepanjang usia." Ucap bapak penghulu, kemudian memberikan dua buku nikah. "Ini, buku berwarna merah untuk suami. Warna hijau untuk istri. Silahkan, bisa disimpan dengan baik."Kedua buku itu disimpan oleh Mas Rehan. Saras menatap dalam diam. Acara pernikahan yang terpaksa Saras jalani, akan kah Saras sanggup? Rasanya mustahil. "Saya berharap, buku ini akan kembali ke KUA sebagai syarat menjalankan ibadah di tanah suci. Jangan sampai ke Pengadilan Agama." Mas Rehan tersenyum, "Insya Allah, kami minta doanya, Pak." Setelah akad, diadakan sesi foto bersama keluarga inti. Bahkan, Saras tidak sempat mengundang teman kampusnya, SMA nya, atau teman Saras yang lain. Acara hanya berlangsung sebentar, sebelum jam dua belas siang p
Apa yang diharapkan dengan sebuah pernikahan terpaksa? Keharmonisan?Atau justru kehancuran?Itulah yang saat ini ada di pikiran Saras. Kemana muara dari pernikahan yang ia dan suaminya jalani? Benarkan menuju sebuah kebahagiaan atau kesengsaraan?Baru beberapa jam menikah saja Saras mendapat sebuah tamparan, tak akan pernah Saras sangka jika Mas Rehan dengan begitu mudahnya main tangan. Saras jadi menduga-duga jika Mbak Laras meninggal karena tertekan hidup bersama Mas Rehan. Mengingat profesi Mas Rehan sebagai dosen, sangat disayangkan dengan sikapnya yang kasar. Apa sebelum ini Mbak Laras juga merasakan diperlakukan kasar oleh Mas Rehan?Jika benar, Saras tidak akan membiarkan keponakannya diasuh oleh bapaknya. Saras akan melindungi keponakannya dari bapaknya sendiri. Meski bingung dengan jalan pernikahannya, namun Saras akan bertahan demi keponakannya. "Semua ini demi Jasmin, aku gak mau Jasmin diasuh sama bapaknya yang kasar. Kalau bisa, aku akan cari bukti buat gugat cerai Ma
Sesuai perjanjian, hari ini Saras mengikuti Mas Rehan untuk tinggal bersama dirumah pribadi suaminya. Rumah yang dulu ditempati mendiang Mbak Laras dan Mas Rehan. Kini, Saras tempati.Rumah pribadi Mas Rehan tidak begitu besar, namun berlantai dua. Pertama kali masuk Saras disambut dengan ruang tamu yang terlihat klasik dengan kursi kayu yang di plitur. Vas bunga, lukisan alam, serta permadani menjadi pelengkap. Semakin melangkah masuk, Saras melihat dapur dengan segala perlengkapan memasak. Dapurnya sangat bersih dan rapi. Di meja makan terdapat aneka buah yang sangat lebih dari cukup untuk dua orang. Sepintas, rumah ini sangat jauh dari kata kotor. Melihat Saras yang mengamati rumahnya, Rehan berkata, "Jika kamu tidak suka dengan desain rumah ini, kamu bisa merubahnya. Merombak sesuai keinginan mu. Aku tidak masalah."Saras mengangkat alis, "Yakin? Selera Mas Rehan beda sama selera ku." "Rumah ini adalah tempat tinggal kamu sekarang, dengan merombaknya sesuai selera kamu, saya be
Sesuai perjanjian, hari ini Saras mengikuti Mas Rehan untuk tinggal bersama dirumah pribadi suaminya. Rumah yang dulu ditempati mendiang Mbak Laras dan Mas Rehan. Kini, Saras tempati.Rumah pribadi Mas Rehan tidak begitu besar, namun berlantai dua. Pertama kali masuk Saras disambut dengan ruang tamu yang terlihat klasik dengan kursi kayu yang di plitur. Vas bunga, lukisan alam, serta permadani menjadi pelengkap. Semakin melangkah masuk, Saras melihat dapur dengan segala perlengkapan memasak. Dapurnya sangat bersih dan rapi. Di meja makan terdapat aneka buah yang sangat lebih dari cukup untuk dua orang. Sepintas, rumah ini sangat jauh dari kata kotor. Melihat Saras yang mengamati rumahnya, Rehan berkata, "Jika kamu tidak suka dengan desain rumah ini, kamu bisa merubahnya. Merombak sesuai keinginan mu. Aku tidak masalah."Saras mengangkat alis, "Yakin? Selera Mas Rehan beda sama selera ku." "Rumah ini adalah tempat tinggal kamu sekarang, dengan merombaknya sesuai selera kamu, saya be
Apa yang diharapkan dengan sebuah pernikahan terpaksa? Keharmonisan?Atau justru kehancuran?Itulah yang saat ini ada di pikiran Saras. Kemana muara dari pernikahan yang ia dan suaminya jalani? Benarkan menuju sebuah kebahagiaan atau kesengsaraan?Baru beberapa jam menikah saja Saras mendapat sebuah tamparan, tak akan pernah Saras sangka jika Mas Rehan dengan begitu mudahnya main tangan. Saras jadi menduga-duga jika Mbak Laras meninggal karena tertekan hidup bersama Mas Rehan. Mengingat profesi Mas Rehan sebagai dosen, sangat disayangkan dengan sikapnya yang kasar. Apa sebelum ini Mbak Laras juga merasakan diperlakukan kasar oleh Mas Rehan?Jika benar, Saras tidak akan membiarkan keponakannya diasuh oleh bapaknya. Saras akan melindungi keponakannya dari bapaknya sendiri. Meski bingung dengan jalan pernikahannya, namun Saras akan bertahan demi keponakannya. "Semua ini demi Jasmin, aku gak mau Jasmin diasuh sama bapaknya yang kasar. Kalau bisa, aku akan cari bukti buat gugat cerai Ma
"Saya terima nikah dan kawinnya Saras Zafnia Gutomo dengan mas kawin berupa uang tunai sepuluh juta rupiah dibayar tunai!" "Bagaimana para saksi? Sah?""Sah!" "Alhamdulillah.""Hari ini, kalian sudah sah sebagai sepasang suami dan istri. Menjalani ibadah terlama sepanjang usia." Ucap bapak penghulu, kemudian memberikan dua buku nikah. "Ini, buku berwarna merah untuk suami. Warna hijau untuk istri. Silahkan, bisa disimpan dengan baik."Kedua buku itu disimpan oleh Mas Rehan. Saras menatap dalam diam. Acara pernikahan yang terpaksa Saras jalani, akan kah Saras sanggup? Rasanya mustahil. "Saya berharap, buku ini akan kembali ke KUA sebagai syarat menjalankan ibadah di tanah suci. Jangan sampai ke Pengadilan Agama." Mas Rehan tersenyum, "Insya Allah, kami minta doanya, Pak." Setelah akad, diadakan sesi foto bersama keluarga inti. Bahkan, Saras tidak sempat mengundang teman kampusnya, SMA nya, atau teman Saras yang lain. Acara hanya berlangsung sebentar, sebelum jam dua belas siang p
Pernikahan turun ranjang, orang menyebutnya begitu. Pernikahan yang terjadi ketika suami atau istri menikah dengan adik atau kakak iparnya sendiri karena suami atau istrinya sudah meninggal. Bagi orang awam, istilah pernikahan turun ranjang adalah hal yang jarang terjadi. Biasanya karena polemik masalah internal keluarga, pernikahan turun ranjang dapat terjadi. Banyak hal dan alasan di balik terjadinya pernikahan turun ranjang. Bahkan, alasan tersebut terdengar tidak masuk akal. Namun, inilah fakta yang terjadi. Saras mengalaminya sendiri. Hari ini, tepat satu bulan setelah perdebatan yang tiada jalan keluar untuk Saras. Perempuan itu terpaksa menikah dengan mas iparnya sendiri. Tanpa cinta, tanpa resepsi, tanpa sahabatnya, bahkan tanpa impian pernikahan yang selama ini Saras inginkan. Malam setelah acara tahlilan empat puluh hari meninggalnya mendiang Mbak Saras, besok paginya acara akad digelar. Pernikahan yang sama sekali tidak pernah Saras inginkan. Rasanya Saras sangat frusta
"Mas Rehan akan menikahi kamu sebagai pengganti mendiang Mbak Laras." Kalimat dari Papa membuat tubuh Saras membeku. Tatapan terkejut tak bisa ia sembunyikan, dirinya sungguh terkejut mendengar ucapan dari Papa. Pasukan oksigen seolah menghilang, membuat dadanya sesak teramat sangat. "Maksud Papa apa? Menikah? Sama Mas Rehan?" Masih basah kuburan Mbak-nya, kini Papa memintanya menikah dengan Mas iparnya sendiri. Dimana pikiran sehat Papanya?! Saras benar-benar tak bisa menerima ucapan Papanya. "Nak..." Suara Mama memanggil, mendekati tubuh Saras yang mematung terkejut. Disentuhnya pundak Saras, "Semua ini demi kebaikan kita semua." Saras menoleh, "Maksud Mama? Mama setuju Saras dan Mas Rehan menikah?" Mama mengangguk mantap, "Mama yakin, Mas Rehan bisa menjaga kamu sama seperti mendiang Mbak Laras." Mendengar hal tersebut membuat Saras naik pitam, "Ma! Saras bukan Mbak Laras! Saras ya Saras! Jangan samakan kami, Ma!" "Nak, kamu salah paham." "Salah paham gimana maksud Mama?