"Saya terima nikah dan kawinnya Saras Zafnia Gutomo dengan mas kawin berupa uang tunai sepuluh juta rupiah dibayar tunai!"
"Bagaimana para saksi? Sah?" "Sah!" "Alhamdulillah." "Hari ini, kalian sudah sah sebagai sepasang suami dan istri. Menjalani ibadah terlama sepanjang usia." Ucap bapak penghulu, kemudian memberikan dua buku nikah. "Ini, buku berwarna merah untuk suami. Warna hijau untuk istri. Silahkan, bisa disimpan dengan baik." Kedua buku itu disimpan oleh Mas Rehan. Saras menatap dalam diam. Acara pernikahan yang terpaksa Saras jalani, akan kah Saras sanggup? Rasanya mustahil. "Saya berharap, buku ini akan kembali ke KUA sebagai syarat menjalankan ibadah di tanah suci. Jangan sampai ke Pengadilan Agama." Mas Rehan tersenyum, "Insya Allah, kami minta doanya, Pak." Setelah akad, diadakan sesi foto bersama keluarga inti. Bahkan, Saras tidak sempat mengundang teman kampusnya, SMA nya, atau teman Saras yang lain. Acara hanya berlangsung sebentar, sebelum jam dua belas siang para tamu sudah berpamitan pulang. Ruang tamu sudah di bereskan dari sisa acara. Saras yang merebahkan tubuhnya diatas kasur merasa nyaman, "Akhirnya bisa tiduran, punggung ku terasa pegal." Menatap plafon kamarnya, polos. Helaan napas panjang terdengar di sunyinya kamar. Saras teringat kejadian tadi pagi, disaat Mbak Ema akan membantu Saras untuk kabur dari acara akad. Saat akan keluar dari kamar lewat jendela, pikiran Saras berubah. Entah apa yang terjadi pada tubuhnya, seolah kakinya sulit melangkah keluar. Saras gamang dengan keputusannya, padahal kemarin-kemarin Saras kekeh akan memberontak. Namun pada akhirnya, Saras mengalah dan membiarkan pernikahan ini terjadi. "Kamu mandi dulu atau saya?" Saras terkesiap mendengar suara bariton yang masuk ke kamar. Sontak, Saras langsung terduduk di tengah kasur. Menatap selidik pada sosok mas ipar yang kini sudah menjadi suaminya. "Mas Rehan? Ngapain kesini?" "Saya sudah sah menjadi suami kamu, tidak ada larangan suami tidak boleh masuk ke dalam kamar istrinya." "Ya, kalo itu kan suami istri saling cinta. Lagian, aku masih gak bisa terima Mas Rehan jadi suami aku." Saras berkata dengan nada judes. "Saya capek, saya mandi duluan." Menghiraukan perkataan Saras, Rehan melangkah masuk ke kamar mandi. Tentu saja, tingkah Rehan membuat Saras geram. Saras masih belum terima jika ia menikah dengan mas iparnya sendiri. Perasaan kesal masih menyelimuti. Kesal hanyalah kesal, karena kini faktanya Saras sudah menjadi istri Rehan. Tak berselang lama, pintu kamar mandi terbuka. Menampilkan Rehan yang kini sudah segar setelah membersihkan tubuhnya. Memakai kaos polos warna biru navy lengkap dengan celana training panjang. Dengan handuk kecil, Rehan mengusap rambutnya yang masih basah. "Mas Rehan kenapa mau nikah sama aku?" Pertanyaan tersebut keluar dari bibir Saras. Rehan menoleh sekilas, tak berniat menjawab. Hal tersebut membuat Saras bertambah kesal. "Mas Rehan, aku tanya sama kamu loh." Dirasa air sudah tak menetes dari rambut, Rehan berkata, "Pertanyaan kamu tidak ada gunanya sekarang. Untuk apa saya jawab." "Ish, ya ada lah. Lagian karena Mas Rehan aku nikah muda." "Saya tidak memaksa." "Gak maksa aku buat nikah sama Mas Rehan sih, iya. Tapi maksa Papa." Kekeh Saras membuat suasana kamar tak enak. "Saras, cukup." Saras cukup terperanjat mendengar nada bicara Rehan. Sebelum ini, Saras terbiasa dengan nada lembut dan kalem pria itu sebelum semua ini terjadi. Atau lebih tepatnya sebelum kematian Mbak Laras. "Cukup bertanya pertanyaan yang tidak penting seperti itu." "Tidak penting?" Saras tidak menyangka, Mas Rehan ini sekalinya bicara nadanya tidak enak di dengar. Kalimatnya nyelekit sekali, seperti tidak pernah sekolah. Tidak bisa menghargai lawan bicaranya. "Menurut Mas Rehan tidak penting, tapi menurut ku penting, Mas." Saras bangkit dari kasur, tak ia pedulikan kebaya putih bersihnya kotor. Masih dengan wajah penuh riasan, Saras menghampiri Rehan. Tatapan mata yang tidak bersahabat ia layangkan pada suaminya. "Mas Rehan gak tau, seberapa hancur aku ketika Papa paksa aku buat nikah sama kamu! Papa bilang, kalo aku nikah sama Mas Rehan itu buat gantiin Mbak Laras!" Kali ini, Saras benar-benar terpancing emosi. "Aku bukan Mbak Laras! Saras ya Saras! Udah cukup aku selalu mengalah sama Mbak Laras sejak kecil. Bahkan, untuk sekedar barang pun aku harus berbagi dengan Mbak Laras." "Aku punya cita-cita, aku juga punya keinginan yang pengen aku capai! Sampai kapan hidup aku harus di bawah bayang-bayang Mbak Laras meski Mbak Laras sudah meninggal?" "Dunia ini rasanya gak adil buat aku!" Saras tak dapat membendung air mata. Seketika semuanya tumpah ruah di hadapan Rehan. Tak peduli dengan make up nya yang berantakan, atau dirinya yang tampak menyedihkan. Suasana kamar pengantin yang seharusnya romantis, malah di isi isak tangis. Rehan yang tak ingin tangisan Saras terdengar sampai diluar kamar mencoba menenangkan. Di dekatinya Saras, namun perempuan itu malah semakin memaki. Mengatakan segala hal yang membuat Rehan semakin panas dada. "Seolah aku gak dapet kebebasan. Aku selalu diajari mengalah, selalu berbagi, padahal aku juga punya privasi. Apa aku salah?!" "Aku benci diriku yang harus hidup dengan bekas orang lain." Rehan segera menghentikan sebelum racauan Saras terdengar sampai luar kamar. "Cukup Saras. Apa yang kamu ucapkan sudah keterlaluan." Saras semakin emosional, "Bahkan, untuk suami aja, aku di paksa menerima bekasnya." Plak Suara tamparan terdengar nyaring di dalam kamar. Kepalanya tertoleh. Seketika itu pula tangisan Saras terhenti. Suaranya tercekat di kerongkongan. Matanya berair menahan kesedihan yang selalu saja tumpah. Tatapannya perlahan naik ke atas, sebelah tangannya menyentuh pipi sebelah kanan. Terasa kebas disana. Saras terdiam menatap suaminya, sungguh dirinya tidak menyangka. Di hari pertama pernikahan, Saras mendapat hadiah tak mengenakkan. Kejadian ini tentu tak bisa Saras lupakan sampai kapan pun. Sebuah tamparan dari Rehan. Rehan tersadar dengan apa yang baru saja ia lakukan. Ekspresi terkejut tampak dari wajahnya. Rehan sendiri tidak menyangka, jika dirinya berani melepas tangan pada seorang perempuan. Sungguh, Rehan hilang kendali. "Saras..." Saras mundur satu langkah. "Saras, saya minta maaf. Saya tidak sengaja." Rehan mendekati Saras, memerika keadaan istrinya. Akan tetapi Saras berteriak, "Stop! Jangan mendekat!" Seketika itu pula, Rehan berhenti. Di tatapnya Saras dengan perasaan bersalah. Kemudian beralih menatap tangan yang baru saja menampar istrinya. "Kali ini aku curiga, apa Mas Rehan juga memperlakukan Mbak Laras dengan kekerasan seperti ini?" Rehan terkejut mendengar pertanyaan Saras. "Saras, apa yang kamu ucapkan itu tidak benar. Kamu salah paham. Saya minta maaf. Saya hilang kendali." Rehan menjelaskan perlahan. "Belum ada satu hari aku jadi istrimu, sudah mendapat kekerasan. Bagaimana jika satu tahun?" Saras menatap Rehan dengan tatapan kosong, "Mungkin aku akan masuk rumah sakit setiap Minggu." Selepas berkata demikian, Saras berpaling pergi. Saras butuh waktu sendiri. Dirinya tidak menyangka, Rehan, yang seharusnya melindungi malah menyakiti. ***Apa yang diharapkan dengan sebuah pernikahan terpaksa? Keharmonisan?Atau justru kehancuran?Itulah yang saat ini ada di pikiran Saras. Kemana muara dari pernikahan yang ia dan suaminya jalani? Benarkan menuju sebuah kebahagiaan atau kesengsaraan?Baru beberapa jam menikah saja Saras mendapat sebuah tamparan, tak akan pernah Saras sangka jika Mas Rehan dengan begitu mudahnya main tangan. Saras jadi menduga-duga jika Mbak Laras meninggal karena tertekan hidup bersama Mas Rehan. Mengingat profesi Mas Rehan sebagai dosen, sangat disayangkan dengan sikapnya yang kasar. Apa sebelum ini Mbak Laras juga merasakan diperlakukan kasar oleh Mas Rehan?Jika benar, Saras tidak akan membiarkan keponakannya diasuh oleh bapaknya. Saras akan melindungi keponakannya dari bapaknya sendiri. Meski bingung dengan jalan pernikahannya, namun Saras akan bertahan demi keponakannya. "Semua ini demi Jasmin, aku gak mau Jasmin diasuh sama bapaknya yang kasar. Kalau bisa, aku akan cari bukti buat gugat cerai Ma
Sesuai perjanjian, hari ini Saras mengikuti Mas Rehan untuk tinggal bersama dirumah pribadi suaminya. Rumah yang dulu ditempati mendiang Mbak Laras dan Mas Rehan. Kini, Saras tempati.Rumah pribadi Mas Rehan tidak begitu besar, namun berlantai dua. Pertama kali masuk Saras disambut dengan ruang tamu yang terlihat klasik dengan kursi kayu yang di plitur. Vas bunga, lukisan alam, serta permadani menjadi pelengkap. Semakin melangkah masuk, Saras melihat dapur dengan segala perlengkapan memasak. Dapurnya sangat bersih dan rapi. Di meja makan terdapat aneka buah yang sangat lebih dari cukup untuk dua orang. Sepintas, rumah ini sangat jauh dari kata kotor. Melihat Saras yang mengamati rumahnya, Rehan berkata, "Jika kamu tidak suka dengan desain rumah ini, kamu bisa merubahnya. Merombak sesuai keinginan mu. Aku tidak masalah."Saras mengangkat alis, "Yakin? Selera Mas Rehan beda sama selera ku." "Rumah ini adalah tempat tinggal kamu sekarang, dengan merombaknya sesuai selera kamu, saya be
"Mas Rehan akan menikahi kamu sebagai pengganti mendiang Mbak Laras." Kalimat dari Papa membuat tubuh Saras membeku. Tatapan terkejut tak bisa ia sembunyikan, dirinya sungguh terkejut mendengar ucapan dari Papa. Pasukan oksigen seolah menghilang, membuat dadanya sesak teramat sangat. "Maksud Papa apa? Menikah? Sama Mas Rehan?" Masih basah kuburan Mbak-nya, kini Papa memintanya menikah dengan Mas iparnya sendiri. Dimana pikiran sehat Papanya?! Saras benar-benar tak bisa menerima ucapan Papanya. "Nak..." Suara Mama memanggil, mendekati tubuh Saras yang mematung terkejut. Disentuhnya pundak Saras, "Semua ini demi kebaikan kita semua." Saras menoleh, "Maksud Mama? Mama setuju Saras dan Mas Rehan menikah?" Mama mengangguk mantap, "Mama yakin, Mas Rehan bisa menjaga kamu sama seperti mendiang Mbak Laras." Mendengar hal tersebut membuat Saras naik pitam, "Ma! Saras bukan Mbak Laras! Saras ya Saras! Jangan samakan kami, Ma!" "Nak, kamu salah paham." "Salah paham gimana maksud Mama?
Pernikahan turun ranjang, orang menyebutnya begitu. Pernikahan yang terjadi ketika suami atau istri menikah dengan adik atau kakak iparnya sendiri karena suami atau istrinya sudah meninggal. Bagi orang awam, istilah pernikahan turun ranjang adalah hal yang jarang terjadi. Biasanya karena polemik masalah internal keluarga, pernikahan turun ranjang dapat terjadi. Banyak hal dan alasan di balik terjadinya pernikahan turun ranjang. Bahkan, alasan tersebut terdengar tidak masuk akal. Namun, inilah fakta yang terjadi. Saras mengalaminya sendiri. Hari ini, tepat satu bulan setelah perdebatan yang tiada jalan keluar untuk Saras. Perempuan itu terpaksa menikah dengan mas iparnya sendiri. Tanpa cinta, tanpa resepsi, tanpa sahabatnya, bahkan tanpa impian pernikahan yang selama ini Saras inginkan. Malam setelah acara tahlilan empat puluh hari meninggalnya mendiang Mbak Saras, besok paginya acara akad digelar. Pernikahan yang sama sekali tidak pernah Saras inginkan. Rasanya Saras sangat frusta
Sesuai perjanjian, hari ini Saras mengikuti Mas Rehan untuk tinggal bersama dirumah pribadi suaminya. Rumah yang dulu ditempati mendiang Mbak Laras dan Mas Rehan. Kini, Saras tempati.Rumah pribadi Mas Rehan tidak begitu besar, namun berlantai dua. Pertama kali masuk Saras disambut dengan ruang tamu yang terlihat klasik dengan kursi kayu yang di plitur. Vas bunga, lukisan alam, serta permadani menjadi pelengkap. Semakin melangkah masuk, Saras melihat dapur dengan segala perlengkapan memasak. Dapurnya sangat bersih dan rapi. Di meja makan terdapat aneka buah yang sangat lebih dari cukup untuk dua orang. Sepintas, rumah ini sangat jauh dari kata kotor. Melihat Saras yang mengamati rumahnya, Rehan berkata, "Jika kamu tidak suka dengan desain rumah ini, kamu bisa merubahnya. Merombak sesuai keinginan mu. Aku tidak masalah."Saras mengangkat alis, "Yakin? Selera Mas Rehan beda sama selera ku." "Rumah ini adalah tempat tinggal kamu sekarang, dengan merombaknya sesuai selera kamu, saya be
Apa yang diharapkan dengan sebuah pernikahan terpaksa? Keharmonisan?Atau justru kehancuran?Itulah yang saat ini ada di pikiran Saras. Kemana muara dari pernikahan yang ia dan suaminya jalani? Benarkan menuju sebuah kebahagiaan atau kesengsaraan?Baru beberapa jam menikah saja Saras mendapat sebuah tamparan, tak akan pernah Saras sangka jika Mas Rehan dengan begitu mudahnya main tangan. Saras jadi menduga-duga jika Mbak Laras meninggal karena tertekan hidup bersama Mas Rehan. Mengingat profesi Mas Rehan sebagai dosen, sangat disayangkan dengan sikapnya yang kasar. Apa sebelum ini Mbak Laras juga merasakan diperlakukan kasar oleh Mas Rehan?Jika benar, Saras tidak akan membiarkan keponakannya diasuh oleh bapaknya. Saras akan melindungi keponakannya dari bapaknya sendiri. Meski bingung dengan jalan pernikahannya, namun Saras akan bertahan demi keponakannya. "Semua ini demi Jasmin, aku gak mau Jasmin diasuh sama bapaknya yang kasar. Kalau bisa, aku akan cari bukti buat gugat cerai Ma
"Saya terima nikah dan kawinnya Saras Zafnia Gutomo dengan mas kawin berupa uang tunai sepuluh juta rupiah dibayar tunai!" "Bagaimana para saksi? Sah?""Sah!" "Alhamdulillah.""Hari ini, kalian sudah sah sebagai sepasang suami dan istri. Menjalani ibadah terlama sepanjang usia." Ucap bapak penghulu, kemudian memberikan dua buku nikah. "Ini, buku berwarna merah untuk suami. Warna hijau untuk istri. Silahkan, bisa disimpan dengan baik."Kedua buku itu disimpan oleh Mas Rehan. Saras menatap dalam diam. Acara pernikahan yang terpaksa Saras jalani, akan kah Saras sanggup? Rasanya mustahil. "Saya berharap, buku ini akan kembali ke KUA sebagai syarat menjalankan ibadah di tanah suci. Jangan sampai ke Pengadilan Agama." Mas Rehan tersenyum, "Insya Allah, kami minta doanya, Pak." Setelah akad, diadakan sesi foto bersama keluarga inti. Bahkan, Saras tidak sempat mengundang teman kampusnya, SMA nya, atau teman Saras yang lain. Acara hanya berlangsung sebentar, sebelum jam dua belas siang p
Pernikahan turun ranjang, orang menyebutnya begitu. Pernikahan yang terjadi ketika suami atau istri menikah dengan adik atau kakak iparnya sendiri karena suami atau istrinya sudah meninggal. Bagi orang awam, istilah pernikahan turun ranjang adalah hal yang jarang terjadi. Biasanya karena polemik masalah internal keluarga, pernikahan turun ranjang dapat terjadi. Banyak hal dan alasan di balik terjadinya pernikahan turun ranjang. Bahkan, alasan tersebut terdengar tidak masuk akal. Namun, inilah fakta yang terjadi. Saras mengalaminya sendiri. Hari ini, tepat satu bulan setelah perdebatan yang tiada jalan keluar untuk Saras. Perempuan itu terpaksa menikah dengan mas iparnya sendiri. Tanpa cinta, tanpa resepsi, tanpa sahabatnya, bahkan tanpa impian pernikahan yang selama ini Saras inginkan. Malam setelah acara tahlilan empat puluh hari meninggalnya mendiang Mbak Saras, besok paginya acara akad digelar. Pernikahan yang sama sekali tidak pernah Saras inginkan. Rasanya Saras sangat frusta
"Mas Rehan akan menikahi kamu sebagai pengganti mendiang Mbak Laras." Kalimat dari Papa membuat tubuh Saras membeku. Tatapan terkejut tak bisa ia sembunyikan, dirinya sungguh terkejut mendengar ucapan dari Papa. Pasukan oksigen seolah menghilang, membuat dadanya sesak teramat sangat. "Maksud Papa apa? Menikah? Sama Mas Rehan?" Masih basah kuburan Mbak-nya, kini Papa memintanya menikah dengan Mas iparnya sendiri. Dimana pikiran sehat Papanya?! Saras benar-benar tak bisa menerima ucapan Papanya. "Nak..." Suara Mama memanggil, mendekati tubuh Saras yang mematung terkejut. Disentuhnya pundak Saras, "Semua ini demi kebaikan kita semua." Saras menoleh, "Maksud Mama? Mama setuju Saras dan Mas Rehan menikah?" Mama mengangguk mantap, "Mama yakin, Mas Rehan bisa menjaga kamu sama seperti mendiang Mbak Laras." Mendengar hal tersebut membuat Saras naik pitam, "Ma! Saras bukan Mbak Laras! Saras ya Saras! Jangan samakan kami, Ma!" "Nak, kamu salah paham." "Salah paham gimana maksud Mama?