Salah satu dari perampok itu mengambil keputusan gegabah. Dia panik mendengar suara Niela yang bisa menggagalkan rencana mereka. Tanpa keraguan, dia menarik pisau bersamaan dengan padamnya listrik. Tapi kegelapan tidak menghentikan aksinya hingga...
JlebTetesan darah jatuh mengotori lantai. Tak ada yang dapat melihat bagaimana kondisi orang yang terkena tusukan."Dasar bodoh, kau menambah masalah." Ucap rekannya.Mereka buru-buru melangkah menebak arah keluar sembari meraba senter dalam tas bawaan. Tapi sebuah hantaman membuat mereka beku di tempat beberapa saat.Lampu kembali menyala. Detik berikutnya ke-3 perampok itu lari ketika melihat 2 lelaki berbadan kekar ada di sebelah mereka. Kindly dengan darah di tangannya bersama Jeri sang supir. Sementara Niela terdiam di tempat, tubuhnya mendadak kaku digerakkan. Tak sejalan dengan otak yang ingin sekali mencari tempat pelarian aman.Kindly yang emosi mengejar para perampok. Tak ada ampun untuk mereka yang berani mencari masalah dengannya. Baku hantam pun terjadi. Adu pisau dan stun gun (alat kejut listrik) pun tidak luput dari perkelahian itu.BugBrukKe-2 perampok jatuh setelah mendapat tendangan dari Kindly. Pisau mereka meleset jatuh entah ke mana."Beraninya kalian." Geram Kindly dengan rahang yang mengeras. Wajah garang dan suara berat nya menciutkan nyali.BugBugBugTendangan dan bogeman di layangkan demi memuaskan hasrat ingin membunuh. Kindly benci pada orang-orang yang berani mengganggu hidupnya. Sudah dia bilang tidak akan ada ampun bagi mereka."Tuan, ini salah 1 tikusnya." Kata Jeri yang baru datang.Supir itu membawa salah 1 perampok yang sudah lebih dulu lari meninggalkan ke-2 rekannya. Tidak jauh berbeda, orang itu sama babak belur dengan rekan lainnya."Cih.. dasar sampah." Remeh Kindly.Tangan yang semakin banyak mengeluarkan darah pun di abaikan. Darah dari goresan luka demi menahan pisau yang hampir mengenai Niela.Pada saat itu dia memang sedang mengerjakan sesuatu hingga mendengar suara brisik. Kindly melewati jalur darurat yang tersedia untuk situasi semacam ini. Dia bertemu Jeri kala ingin ke sumber suara bersamaan. Para pelayan pun cekatan mematikan listrik sesuai perintah Jeri.Ke-3 perampok itu diamankan sebelum di jemput polisi. Alat bukti senjata tajam serta cctv diserahkan untuk kelancaran penyelidikkan.Setelah tangan Kindly di perban pelayan, dia sadar tidak melihat Niela sejak tadi. Ke mana wanita itu? Tidak mungkin dia diculik yang lain kan? Entah apa yang mendorong Kindly untuk mencari kerberadaan sang istri.Dapur dan ruang tamu kosong. Kindly yakin Niela ada di kamarnya. Pria itu berjalan menuju lantai atas.CeklekTak ada yang menempati kasur. Apa Niela keluar? Tapi beberapa detik kemudian Kindly mendengar isakan kecil dari arah kamar mandi. Kindly perlahan mendekat lalu membuka pintu kamar mandi.Benar. Niela duduk memeluk lutut di dalam bathtub dengan tubuh gemetar. Wajahnya tunduk bersembunyi di antara 2 lutut. Tahu ada yang mendekat, Niela mengangkat wajahnya pelan bertemu tatap dengan sang suami. Matanya merah sembab, bibirnya pucat bergetar. Niela berpandangan kosong dengan mata berembun. Tampak berusaha menahan air matanya. Dia melirik perban di tangan Kindly."Apa kau akan menamparku juga?" Lirihnya dengan suara sumbang dan air mata yang semakin berjatuhan.Hati Kindly tersentil mendengar ucapan Niela. Apa dia terlihat seperti predator yang selalu ingin melukai mangsanya? bukan begitu maksud kedatangannya.Tanpa menjawab Kindly membungkuk hendak menggendong sang istri tapi Niela refleks menahan lengan Kindly."Tidak, aku tidak mau menyakiti pasanganmu." katanya kemudian berdiri, berjalan sempoyongan menuju kasur.Kindly terdiam kata. Lelaki itu tertegun di tempat. Matanya terkunci menatap setiap langkah Niela. Wanita itu rebahan di kasur membelakangi sang suami. Kindly pun memutuskan pergi meninggalkan Niela yang tampak tak mau di ganggu.Keesokan harinya, mereka berangkat bersama untuk menghadiri pesta kecil antar kolega setelah rapat. Acara yang di sebutkan Kindly kemarin. Sepanjang jalan hanya ada keheningan. Tak ada yang memulai pembicaraan.Kindly mengira Niela tidak akan ikut mengingat kondisinya beberapa jam yang lalu. Tapi saat melewati ruang keluarga, Niela sudah menunggu di sana. Wanita itu ternyata tahu caranya berpenampilan modis layaknya wanita karir.Niela menghela nafas, membuang masalah yang beradu dalam otak. Dia hanya fokus melihat keluar jendela menikmati pemandangan pinggir jalan. Matanya terpaku pada pasangan yang sedang menyebrang saat lampu merah. Pria itu merangkul penuh wanitanya yang sedang hamil besar. Kelihatan sigap melindungi dari segala kondisi. Jujur Niela iri dengan si wanita.Rapat berjalan lancar. Selanjutnya mereka ada di restoran yang sudah di sewakan penuh untuk acara orang-orang ber-uang itu. Niela hanya mengekor di belakang Kindly sesuai perintah sang suami. Dia tidak nyaman berada di antara keramaian di sana. Ranah mereka cukup jauh dari Niela.'Aku dan dia memang berbeda.'Kindly menyapa hangat setiap kolega yang mengajak bicara. Tatapan dan senyuman tulus yang tidak pernah di lihat Niela.'Dia bisa bersikap lembut juga.'Tak sengaja seorang anak yang sedang berlari menabrak Kindly dari belakang hingga si kecil terjatuh."Hei kau tidak apa?" Tanya Kindly usai membantu si anak berdiri. Suaranya begitu lembut khas orang dewasa membujuk baby.'Dia hanya kasar padaku dan bayiku.'"Oh maafkan anak saya Mr.Kindly." Ucap seorang wanita usia 30-an yang baru menghampiri mereka. Si kecil langsung menghambur ke pelukan ibunya."Tak masalah. Anak anda sangat lucu.""Ah trimakasih."'Maafkan ibu karena kau seharusnya tidak bertumbuh dalam rahim wanita serendahku.'"Apa anak saya menyakiti istri anda?" Tanya wanita itu melihat ke arah Niela.Kindly berbalik mendapati Niela yang melamun dengan mata berkaca-kaca. Namun bukan berarti dia tidak mendengar ucapan barusan."Ah tidak. Anak anda hanya mengingatkan saya pada seseorang." jawab spontan Niela tersenyum ramah. Matanya berkedip mengeringkan cairan yang nyaris keluar.Terlihat jelas mata tajam Kindly yang memperingati istrinya agar tidak lagi memasang ekspresi begitu. Hati Niela sakit tak terkira lagi. Sebenci itu Kindly padanya sampai sekedar mengekspresikan hati pun di larang.Niela melihat versi lain Kindly di hari itu. Versi yang tidak sudi Kindly terapkan pada dirinya. Ingin rasanya pergi ke suatu tempat tak berpenghuni. Meneriakkan segala kepedihan tanpa diketahui siapa pun. Lagi pula siapa yang mau berempati jika mereka tahu sekalipun.Seperti pagi tadi, mereka pulang dalam keheningan. Bagai orang asing baru bertemu."Aku mau bekerja." Suara Niela di tengah keterdiaman.Kindly yang sibuk membaca tabletnya mengalihkan atensi pada Niela. Masih diam beberapa detik lalu bicara."Posisimu sudah ada yang menggantikan.""Bukan di kantormu.""Terserah."Hanya itu. Kindly tak mau ambil pusing dengan kehidupan pribadi Niela. Mereka punya urusan masing-masing. Pernikahan mereka hanya formalitas tanpa menjalankan arti suami istri sesungguhnya.Niela menghubungi Harell usai mandi sembari membuka map berisi ijazah dan surat-surat keperluan untuk berkas lamaran kerja."Jadi kamu setuju?" Ucap Harell sekali lagi memastikan pendengarannya tidak salah. Berkas di meja seketika terabaikan. Dia tak peduli pada pena yang menggelinding jatuh ke lantai. Atensinya fokus pada si penelpon sembari bersandar ke kursi kebanggaannya yang di putar menghadap jendela kaca. Cukup indah melihat pemandangan lampu setiap rumah dan gedung dari tempatnya sekarang."Umn iya kak. Masih berlaku kan?""Tentu. Datang saja besok ke alamat yang kuberi waktu lalu" katanya mengetuk-ngetuk jari. "Atau mau ku jemput?""Ah tidak perlu kak." Tolak Niela halus. "Itu tidak jauh dari sini kok.""Hahaha... Aku hanya bercanda. Mana mungkin juga suamimu mengijinkan."Niela tersenyum getir sembari meremas ponsel. Tak mengijinkan? Lebih tepatnya tak peduli."Niel?" Panggil Harell lembut."Oh maaf kak, Niel sementara mempersiapkan berkasnya." Bohongnya. Tidak sepenuhnya bohong juga karena di depannya memang ada berkas-berkas itu, tapi bukan itu alasannya tak menyahut tadi."Tidak usah bawa berkas. Cukup bawa dirimu saja. Ingat aku yang melamarmu bekerja di sini." Kata Harell di selipkan gurauan.Niela tersenyum mendengar calon bos-nya barusan. Harell belum berubah, masih sama seperti dulu."Niel yang tidak enak kak.""Ha ha ha... Baiklah terserah kamu saja. Yang penting datang dalam keadaan sehat."Kalimat itu. Kalimat yang Niela ingin dengar dari suaminya. Perhatian yang didambakan setiap istri."Iya, pasti kak.""Beritahu aku jika perlu apa-apa.""I..iya kak. Nanti balas chat Niel kalau ada yang mau di tanya-tanya yah.""Siap junior."Lagi senyum manis melengkung di bibir Niela. Senyum bahagia yang sudah hilang semenjak malam sial kala itu. Semua masalah terlupakan sejenak. Panggilan itu pun berakhir ketika Niel mengeluh baterai ponselnya hampir habis.Setelah meletakkan ponsel, mata Harell menatap lurus layar komputer di hadapannya. Aura hangat tadi menguap entah ke mana terganti wajah datar. Dia meneliti setiap tulisan di layar."Kindly, apa yang kau lakukan pada Niel-ku?""Apa anda sudah buat janji dengan beliau?" Tanya resepsionis ramah."Iya, janjinya hari ini.""Kalau begitu bisa tunggu sebentar? Tuan Harell sedang rapat saat ini.""Oh baiklah."Niela beralih ke kursi tunggu yang tersedia. Jam yang melingkar di lengan rampingnya menujukkan pukul 10 lebih 12 menit."Sial, aku terlambat." Gumamnya merutuki diri sendiri.Niela kehilangan insomnianya tadi malam. Untuk pertama kalinya dia bisa tidur nyanyak sampai hampir pukul 8 pagi. Penyebab dirinya terlambat, di tambah kemacetan jalan kota."Ugh kok jadi gugup begini yah?"Niela jadi ingat pengalaman dulu sewaktu melamar di perusahaan Kindly yang sudah berstatus sebagai suaminya sekarang. Bedanya kali ini dia duduk sendiri tanpa ramai-ramai menunggu antrian masuk. Tapi hawa dingin waktu itu seolah mengikutinya ke tempat sekarang. Niela juga tak menyangka perusahaan milik Harell semegah ini. Sudah hampir 1 jam Niela menunggu. Kegugupan pun semakin bertambah.'Apa aku pulang saja? Gedung ini lebih mega
Kindly tak bisa menjawab. Tangannya terkepal kuat hingga urat bermunculan di balik kulitnya. Ingin sekali dia menekan Niela agar lebih patuh tapi ada sesuatu yang menahan keinginannya. Ada pertimbangan yang mengurungkan niat untuk menyakiti. Dia benci respon tubuhnya itu. Dia benci terlihat lemah di hadapan orang yang di benci.Akhirnya Kindly pergi meninggalkan Niela tanpa sepatah katapun. Pria itu berkendara ugal-ugalan membelah jalan raya kota. Melampiaskan emosi yang terus menguar. Entah kepada siapa amarah ini ditujukan.Niela meraba pipi bekas tamparan sang suami yang meninggalkan ruam merah. Dia menatap dirinya yang sedang duduk di depan cermin rias. Wanita itu merasa air matanya sudah terkuras habis hingga mengering."Menyedihkan sekali." Gumamnya pada diri sendiri.Deskripsi kata hancur adalah kata paling tepat untuk kondisinya sekarang. Tak ada masa depan yang cerah sesuai ekspektasi ketika menikah. Sebaliknya, suram dan gelap.'Kuat, kamu harus kuat Niel. Semangat!' batinny
Niela duduk berhadapan dengan Alika, kekasih sang suami. Mereka berada di ruang tamu. Niela kira Alika akan kencan dengan Kindly, tapi ternyata Alika sengaja datang untuk bertemu dengannya."Maaf, aku menganggu yah?" Ucap Alika yang kembali berbicara.Wajah cantik nan anggun itu menatap teduh Niela. Sebenarnya kalau dinilai dari luar Alika lebih terlihat santun dan ramah. Cara berpakaian selalu modis, tak bosan di pandang. Kindly memang tahu memilih pasangan yang menarik."Tidak apa. Jadi apa yang mau kau bicarakan?"Alika tampak berpikir penuh pertimbangan. Ini adalah pertama kali mereka mengobrol jadi tentu saja ada kecanggungan yang terselip."Kau tahu, aku dan Kin sudah jadi pasangan selama lebih dari 3 tahun." Ucapnya tanpa keraguan. "Dia pernah berjanji akan menikahiku."Pedih. Niela berada pada posisi yang tidak menguntungkan. Mendadak dia merasa jadi penghancur hubungan. Wajar saja Kindly selalu bersikap kasar. Tapi apakah Niela harus mengabaikan kehancuran hatinya dalam masal
Menjadi tempat pelarian itu sakit untuk orang yang tulus. Niela sadar dia hanyalah pendatang baru dalam hidup Kindly. Tidak mungkin mereka bisa langsung beradaptasi. Perlu waktu untuk saling mengenal. Namun jika dalam waktu menunggu itu selalu melukai batin maka Niela akui tak sanggup. Mentalnya perlu di jaga demi kewarasan. Wanita itu tak punya siapapun dan selalu berjuang di atas kakinya sendiri. Jadi jika mau tetap hidup, sepertinya kata cerai adalah solusi."Sudah selesai mengetik?" Perhatian Niela beralih pada Harell yang berdiri di depannya dengan bersilang tangan."Eh? Oh.. sisa sedikit tuan. Sebentar lagi." Jari-jari rampingnya kembali menari di atas keyboard komputer.Harell mengernyit mendengar panggilan baru Niela untuknya. Ada rasa tidak senang dari panggilan itu. "Tuan? Apa kamu berubah jadi orang asing sekarang?"Sontak jari Niela berhenti. "Bukan begitu. Kak Harell kan memang tuannya Niel." ucap Niela dengan wajah polosnya. Dia tidak mau dianggap tidak sopan oleh karyaw
Semua orang terkejut mendengar pernyataan Niela termasuk Kindly. Dia tidak tahu menahu soal ini. Tapi siapa yang mau dia salahkan? Sebab dia sendiri tak pernah bertanya keadaan sang istri. Beberapa kali masuk rumah sakit tak dijenguk. Bahkan sekedar bertanya 'Apa kau baik-baik saja' tidak pernah.Sena sulit berkata, dia tertegun di tempatnya berdiri. Wanita paruh baya itu sudah menanti kelahiran cucu pertamanya. Tak pernah terbesit di otaknya akan mendengar kabar duka ini. Niela sendiri tidak bercerita apapun. Jadi Sena mengira semua dalam keadaan baik."Ap... Apa mama tidak salah dengar?""Niel minta maaf."PlakSena menampar Kindly penuh emosi. Saat Sena memamerkan oleh-olehnya tadi, Kindly tidak menunjukkan rasa duka sedikitpun. Hal itu cukup menjawab bahwa dia sendiri tidak tahu kabar keguguran anaknya. Andri hanya diam. Dia juga terluka mendengar penuturan Niela."Apa kau tahu istrimu keguguran?" Suara Sena bergetar namun menyiratkan emosi. Matanya menatap nyalang Kindly yang tak
Umumnya orang dewasa malas memulai hubungan baru jika menyangkut pasangan hidup. Apa lagi kesibukkan kerja yang menyita banyak waktu. Mencari yang lain adalah hal rumit. Terlebih harus mulai dari awal untuk menyesuaikan diri dengan pasangan baru. Saling percaya merupakan salah satu bagian paling susah. Hal inilah yang dialami Kindly. Pria 30 tahun itu muak didatangi banyak wanita demi menikmati harta berlimpahnya. Dulu pernah ada yang mengaku hamil dan menuntut Kindly bertanggung jawab. Bukan orang asing tapi wanita itu temannya sendiri. Dia menjebak Kindly yang dalam keadaan mabuk. Waktu itu mereka berpesta usai wisuda. Bangun-bangun Kindly sudah berada di sebuah kamar dengan tubuh polos tanpa pakaian. Di pinggir kasur si wanita menjalankan aksi menangisnya seolah menjadi korban pelecehan. Sayang, usahanya gagal total sebab dia tidak berhasil dibuahi. Apa lagi ada wanita lain yang memberikan bukti kalau semuanya hanyalah jebakan. Nyaris terkecoh, wanita pemberi bukti itu ternyata sa
Pagi hari, Niela mengerjapkan mata saat terbangun dari mimpi. Tenggorokannya terasa kering dan sakit. Mungkin akibat dari teriakan semalam. Manik mata hitam itu menjelajah isi ruangan yang bisa dijangkau. Tidak berbeda dari kemarin. Dia masih di tempat yang sama.CeklekPandangannya berpindah pada Kindly yang baru masuk. Kali ini Niela tidak berteriak ataupun berontak. Badannya cukup lemas bahkan untuk sekedar bangun. Tapi kabar baiknya dia kembali normal dan mengingat semua kejadian yang baru di alami. Hingga rasa takut akan kehadiran Kindly cukup membuatnya tidak nyaman."Hei sudah sadar?" Sapa Kindly sambil meletakkan kantung belajaan. Lelaki itu menarik kursi dekat kepala ranjang dan duduk di sana.Niela masih diam dengan tingkah aneh sang suami. Apa Kindly sungguh bertanya padanya? Perasaan baru kemarin pria itu menunjukkan sikap tak peduli."Mama baru pulang tadi. Jadi hanya aku yang berjaga." Lanjut Kindly menangkap mata polos Niela yang terkandung banyak pertanyaan."Lapar? Ma
" TIDAK TIDAK.. Kin asli menginginkanku mati. Dia bilang tidak mau mencintaiku." Racaunya menggeleng ribut.Bayang-bayang itu lebih terasa nyata dari pada situasi sekarang. Keringat di dahi pun bermunculan."Niel? Niel hei Niela." Kindly meraih wajah Niela yang terlihat gusar. Dia tahu istrinya trauma."TIDAK. KAU BUKAN KIN ASLI." Jeritnya. Mata indah itu mengalirkan air lambang kesedihan. "Kin ingin aku mati. Kin tidak sudi menyentuhku.""NIELA!""Kin benci, Kin jijik padaku. Aku tidak berharga baginya." Gumam Niela meyakinkan dirinya bahwa Kindly versi baru tidak ada. Hanya khayalan."Niel maaf.. maaf aku mengaku salah. Oke? Aku janji akan berubah untukmu Niel." Sesal Kindly sembari menarik wanita hiteris itu ke dalam dekapan."Kin pasti membuangku--""NIELA ISTRIKU." Teriak balik Kindly yang sukses mengembalikan otak waras Niela. "Kau mau apa? Aku akan melakukannya untukmu, tapi tenanglah." Bujuk Kindly dengan nafas tak kalah memburu. Detak jantungnya bahkan terasa di setiap ketuk
Menghilangnya Kindly telah membukakan jalan lebar bagi rivalnya beraksi. Inilah alasan Kindly melarang Niela sembarang keluar rumah tanpa penjagaan. Namun dia kurang perhitungan dalam penyediaan tenaga bayaran.Orang-orang itu mentargetkan Niela dalam penculikan. Mereka membuat kedua pengawal tumbang dan meninggalkan Sena yang histeris. Sena sempat melakukan perlawanan untuk merebut Niela dan pada akhirnya pingsan setelah tengkuk kepalanya di hantam benda tumpul.Pertolongan baru datang usai mereka berhasil lari.Niela tidak tahu apa yang dia alami selanjutnya. Pandangannya menggelap ketika sebuah kain beraroma tajam menutup mulut dan hidungnya. Dia kira akan terbangun di tempat kumuh seperti gudang berdebu, tempat penyekapan yang sering muncul dalam film.Salah.Begitu kelopak matanya terbuka, yang pertama dilihatnya adalah langit-langit putih yang terlampau terang akibat biasan lampu bagian tengah. Menoleh kiri kanan, ini merupakan kamar yang nyaman ditiduri.Tunggu.Apa Andri suda
Tak ada petunjuk. Tak ada saksi. Cctv terhapus secara misterius.Kindly benar-benar menghilang tanpa jejak. Polisi turun tangan dalam pencarian. Andri mengerahkan segenap kekuasaannya.Niela menggila, uring-uringan di jalanan tanpa arah. Fokusnya mencari batang hidung Kindly di mana pun. Para pengawal hanya sanggup mengantar dan mengikuti intruksinya. Selama empat hari ini Sena dan Andri berusaha bersikap tenang, memutuskan menemani Niela juga menginap selama Kindly belum ditemukan.Sena terpaksa mengurung Niela yang memaksa keluar mencari sang suami. Wanita itu menolak makan, sering melamun, dan menangis tanpa suara. Dia juga lebih banyak menyendiri di balkon kamar, menatap langit dalam keheningan. Wajahnya pucat karena kurang nutrisi. Kantung matanya menebal, separuh lingkaran hitam membingkai bawah matanya.Dari pintu, Sena memperhatikan dengan helaan nafas lesu. Dia merasa kehilangan, tentu. Tapi sang menantu pasti punya tanggungan kesakitan yang berbeda. Antara bersyukur karena
Secepat kilat menyambar, sama cepatnya dengan aksi bunuh diri Alika. Tak ada yang bisa dilakukan lagi. Alika mengalami pendarahan hebat, kepalanya pecah, tangan kirinya bengkok terlindas bola depan mobil. Kana meraung dalam bahasa sedih. Kindly berlari, berusaha meraih tubuh Alika yang separuhnya terjebak di bawah kolong mobil. Jalanan ribut suara-suara ringisan, prihatin, dan bercampur dengan bunyi klakson dari belakang (mereka tidak tahu situasi di depan).Alika menghembuskan nafas terakhirnya. Meninggalkan luka pukulan besar sekaligus kenangan terburuk.Pemakaman di laksanakan dua hari kemudian. Tangis pilu mengelilingi petinya. Kana sudah kehabisan air mata. Dia menatap penuh dendam pada Kindly yang datang bersama Niela. Mungkin ingin memaki dan marah-marah jika tidak di depan umum. Seluruh keluarganya pun tak mau repot-repot menyapa. Itu wajar. Niela sudah menduga skenario ini sebelum tiba.Kindly berdiri bak mayat hidup. Wajahnya datar, lebih seperti melamun. Binar matanya meng
Kana tersenyum percaya diri. Memaksimalkan drama, bertingkah sebagai korban paling tersakiti. "Kin, istrimu memukul Alika."Kindly masih berdiri di ambang pintu, menatap bergantian antara Niela dan Alika. Matanya tajam seperti biasa. Aroma parfum maskulinnya berbaur dengan wangi roti panggang mentega.Niela diam menunggu penasaran apa yang akan dilakukan sang suami. Bunyi sepatu Kindly adalah satu-satunya yang terdengar. Bagaikan latar musik horor mendekati puncak kemunculan setan. Perlahan dia berjalan mendekat, dan berhenti di hadapan istrinya."Apa yang kau lakukan?" Tanyanya dengan suara rendah.Niela diam, menatap lekat mata Kindly. Membaca situasi hati lelaki itu. Terbesit keraguan dalam dirinya ketika mendapati sorot mata yang sulit ditebak."Dia memukul Alika." Ulang Kana memanasi. "Dia sangat kasar dan...""Aku bertanya padamu." Kindly menoleh pada Kana. "Ada apa kau datang mengganggu istriku lagi?"Mulut Kana menganga, bingung. Kepercayaan dirinya luntur sesaat. "Kau membela
Beberapa pelanggan yang baru datang dan pejalan kaki yang lewat menyaksikan perdebatan di depan toko roti itu. Si ibu pemilik toko berkacak pinggang, melontarkan kalimat-kalimat gerutuan. Suaranya nyaring, sanggup menenggelamkan suara Kana.Si pengawal (dua orang) memasang badan, mencegah Kana melewati batas pintu. Wajah mereka tak banyak berubah, datar, tampak seperti melawan anak ayam.Kana sudah kehilangan akal sehatnya. Dia benci diperlakukan kasar. Dia benci orang-orang memandangnya rendah. Emosi itu membakar dirinya hingga lupa sedang berada di tempat umum dan memancing atensi banyak orang. Sial, ini sangat buruk.Pintu kaca terbuka. Seseorang menariknya dari dalam. Niela keluar, menatap Kana. Perdebatan mereka terintrupsi."Apa yang kau lakukan Kana?" Tanya Niela, berpura-pura tidak mengerti kondisi."Ah maaf nona, kenyamanan anda terganggu karena orang ini." Ucap si wanita pemilik toko.Niela memborong banyak roti, pun wajahnya sudah dikenal karena terlalu sering membeli bebe
Keadaan berubah. Kini Niela yang merasa bersalah dan memaki dirinya sendiri dalam hati. "Kau salah mengerti." Ralat Niela dengan mata berkaca-kaca."Apa pun yang kau tidak suka dariku. Bisakah kita membicarakannya bersama?"Niela pun tak tahan. Dia menghadapkan tubuh pada Kindly dan meraih wajah itu ke dalam dekapannya. Ini tidak pernah terjadi sebelumnya. Biasanya Niela yang di dekap, ditenangkan, dibisiki kata-kata hangat. Berbeda dengan sekarang. Dia merasakan kerapuhan lelaki yang selalu menunjukkan wajah garang. Hampir mustahil mempecayai momen ini terjadi jika mata tak melihat langsung.Apa Kindly juga begini pada Alika? Oh sialan, pikiran negatif begitu tak membantu."Baiklah, maaf kalau aku menyudutkanmu, bukan maksudku." Ucap Niela sembari mengusap punggung sang suami."Jangan katakan hal itu lagi padaku." Suara Kindly masih serak, namun tidak lagi sumbang.Niela mengangguk. "Selama kau tidak berbuat macam-macam, aku tidak akan mengatakannya lagi. Kau sadar? Hubungan kita sep
Perjalanan pulang begitu hening. Wanita bermata kosong di samping kemudi lebih tertarik pada hamparan luar kaca mobil. Kindly tidak bodoh untuk mengetahui isi pikiran istrinya. Dia membiarkan sejenak. Tangannya ingin menyetel lagu namun lupa caranya bergerak karena tidak ingin memperburuk suasana."Dia teman semasa sekolahku. Kami dekat--""Aku tahu." Sela Niela cepat, tak ingin mendengar penjelasan lebih rinci lagi. "Mama sudah cerita saat kau asik mengobrol dengannya."Ini bukan sesuatu yang perlu dikejutkan lagi. Justru aneh kalau wanita itu merespon biasa saja. "Hmn, dia bukan sainganmu dan sudah punya calon suami. Dia bilang ingin memiliki hubungan yang baik denganmu." Kindly melirik sekilas wajah datar itu. "Katanya ingin berteman denganmu.""Kak Harell juga bukan sainganmu, tapi kau memukulnya waktu itu."Kindly tergugu. Kata-katanya gagal terucap. Perasaannya berubah was-was sekarang. Menentang dengan alasan apa pun akan terdengar konyol saat ini.Niela menoleh, masih dengan w
Mereka tidak memilih ruang privat, melainkan meja yang berjejer rapi di area luas. Masih dalam restoran yang sama. Kindly bicara berdua dengan Saira, sementara Niela kembali ke meja dimana orangtua mereka berada."Aku tidak menyangka akan bertemu denganmu di sini malam ini. Aku memang berencana menemuimu, tapi belum sempat karena baru tiba kemarin sore." Saira bercelatuk bebas di depan Kindly. Kentara sekali sudah terbiasa hingga tak mau repot-repot bertingkah anggun."Yah, aku juga hampir lupa tentangmu. Kau terlalu lama menghilang.""Karena ayahku. Kau mengenalnya kan? Dia lelaki yang ketat aturan."Kindly mengangguk tertawa pelan. "Aku ingat dia pernah memelototiku karena terlambat mengantarmu pulang.""Dan ibu mengejarmu untuk minta maaf."Tawa mereka beradu. Hubungan mereka tidak diragukan lagi. Meski lama berpisah, namun kehangatan dan kenyamanan itu tidak surut. Rasanya senang ketika mengingat momen masa remajamu bersama orang terdekat. Hal buruk pun akan terdengar lucu dan sed
Toilet resto berbintang memiliki bentuk dan kebersihan ternyaman. Tak ada bau pesing atau coret-coretan di dinding. Lampu bersinar terang, membuat kulit tampak putih bersih saat terpapar. Berlama-lama sambil menambal make up pun tak masalah. Kualitas perlengkapan alat-alatnya sebanding dengan kantong orang berkelas. Cermin pun sering jadi sasaran tempat berpose depan kamera. Berbeda jauh dengan rumah makan kecil-kecilan yang sering Niela kunjungi, bahkan justru ada yang tidak menyediakannya. Wanita itu melihat jelas bagaimana perubahan hidupnya yang naik ke atas melompati banyak tangga sekaligus. Keluarga Kindly punya kekayaan sebanyak itu.Air dinyalakan, mencuci tangan yang sebenarnya tidak kotor. Niela mendesah berat, menunduk menatap titik air di watafel yang baru selesai digunakan. Pandangannya kosong, melamun. Sebenarnya dia tidak memiliki kepentingan ke toilet, hanya ingin menjauh saja. Nafsu makannya hilang sebagian.Mengetahui Kindly keluar kantor entah ke mana, membuatnya b