***Sementara itu, di kamar lain. Sakti yang sedang bersandar di kepala ranjang, terlihat beberapa kali membuang napas kasar. Dia sedang berpikir tentang sesuatu. Sakti memandangi map coklat yang berada di meja. Kemudian dia bangun dan menghampiri map itu. Sakti mengambil, lalu membukanya.Dari dalam map coklat tersebut, terdapat beberapa lembar berkas, dan foto. Semua itu dia baru dapat dari Daffa, teman sekaligus asisten pribadinya di kantor. Sakti meminta asistennya itu untuk membayar seseorang untuk membuntuti Helmi selama dua hari ini, dan inilah hasil dari penguntitan tersebut.Kertas dan foto itu diletakkan lagi secara kasar di atas meja. Ada kemarahan terlihat dari wajahnya. Kemudian dia kembali ke tempat tidur dan menyandarkan tubuhnya. Sakti Teringat lagi bagaimana obrolannya dengan Daffa tadi sore. Setelah Daffa menyerahkan map itu, Sakti menjadi sangat marah. "Apa yang akan kamu lakukan, Sak?" tanya Daffa yang duduk di hadapannya."Tentu saja akan memberinya pelajaran.B
***Beberapa hari kemudian, ketika harinya tiba. Sakti terlihat tidak sabar, dia terus mondar mandir di dalam kamar. Dialah yang paling bersemangat di banding mama dan papanya. Sakti bahkan secara khusus menyiapkan kamar. Mendekorasi, memilih perabotan dan barang-barang yang diperlukan. Ya, Naima akan dibawa pulang hari ini. Sekali lagi Sakti membuka kamar yang akan Naima tempati. Dia memandangi lagi hasil pekerjaannya. Dinding merah muda yang dipadukan dengan warna putih, berbentuk mozaik yang cantik. Dinding itu bahkan dia yang mengecat sendiri. Tempat tidur dengan warna yang senada dengan dinding. Berbagai hiasan dinding, dan macam-macam bentuk boneka telah tertata rapi di atas tempat tidur. Sambil tersenyum dia menutup pintu kamar itu, berharap Naima akan menyukainya."Bi … Sari …!" Tiba-tiba Sakti berteriak, dia berlari ke arah dapur.Suara Sakti yang keras membuat pembantunya itu latah. "Aaaa … ya, ya, yaaa … astaghfirullah, Si Aden!" Wanita itu mengelus dadanya. "Kenapa, Bi?"
***Naima tidak pernah menyangka. Kehidupannya yang dia pikir baik-baik saja. Pernikahannya yang dianggap sangat sempurna. Serta suami yang begitu setia dan selalu membahagiakannya. Berbanding terbalik dengan kenyataan saat ini. Ada kalanya pikiran manusia tidak sejalan dengan kemauan Tuhan. Dalam tahap pemulihan ini, Naima harus dihadapkan dengan masalah berat. Sebenarnya dia bisa sangat bersyukur dalam keadaan seperti dia tidak tinggal sendirian. Untung saja mamanya mengajak dia tinggal bersama. Jika tidak, mungkin semakin berat yang akan dia rasakan saat ini. Naima berdiri di depan pintu, mengantar Helmi yang hendak pergi ke kantor. Tak lupa dia memberikan senyuman termanis. Rinjani berada tidak jauh darinya, sedang memperhatikan. Tentu saja saat ini Naima sedang berusaha menghindari kecurigaan."Sayang, abang pergi dulu." Helmi mengecup kening istrinya.Dengan berbisik Naima berkata, "aku bersikap baik padamu hanya karena ada mama yang memperhatikan kita, jangan mengira aku mela
***Suasana di dalam kamar yang berukuran lumayan besar itu terasa sedikit suram. Bukan karena pencahayaannya atau dekorasi yang gelap. Namun, wanita yang tengah duduk di pinggir ranjang, sedang tertunduk menatap ponsel di tangannya. Raut wajahnyalah yang terlihat suram.Pada layar ponsel itu terdapat sebaris pesan dari sang suami, balasan pesan yang dia kirim sebelumnya. Kata-kata yang tertulis di sana, membuatnya terdiam. "Abang, hari ini makan siang di mana. Apa perlu aku mengirimkan makanan?""Tidak usah, Sayang. Hari ini abang ada janji makan siang dengan klien."Satu jam yang lalu, dia baru saja diberitahu bahwa suaminya telah pulang ke rumah. Dan beberapa waktu setelahnya, Naima langsung menelpon ke rumah. Salah seorang asisten rumah tangganya yang mengangkat, dan ternyata Helmi sama sekali tidak pulang.Seketika itu, hatinya kembali teriris. Dia tau, dari awal suaminya memang tidak berniat untuk meninggalkan wanita itu. Percuma saja Naima bersikeras untuk memisahkan mereka, n
***Ketika seseorang mengalami masa-masa yang sulit. Masa dimana dia berada di titik terendah dalam hidupnya. Bisa jadi kesulitan itu akan membawanya menjadi orang yang berbeda. Mungkin akan ke arah yang negatif atau ke arah yang lebih positif. Di sanalah peran orang terdekat sangat diperlukan. Memberi pengertian agar jangan tenggelam dalam pikiran sendiri. Berbagilah, supaya tidak terlalu berat.Beberapa orang sudah mengetahui tentang masalah yang Naima hadapi. Tau akan beban berat yang Naima rasakan saat ini. Namun, Naima sendiri tidak tahu siapa saja yang telah mengetahui semuanya. Disinilah peran Nara diperlukan, sebagai sahabat dan juga teman bicara. Sebagai penguat bagi Naima, karena beberapa orang yang tau tentang masalah ini, belum waktunya untuk muncul.Sewaktu tadi Nara makan malam dengan sakti, Nara kembali diingatkan untuk menjaga rahasia, hingga semua rencana telah disusun secara matang. Sebelumnya juga dia sempat berdebat dengan Maharani, yang tidak diberitahu tentang ma
***Sakti kembali berbisik. "Mau dicium?" "Hah?" Nara tiba-tiba menoleh, dan tanpa sengaja bibir mereka bersentuhan.Sakti yang tidak siap pun mematung. Mata keduanya sama-sama membola. Sedetik, dua detik, tiga detik. Hingga kedua mata itu saling berkedip, barulah mereka tersadar dan memundurkan tubuh. Momen beberapa detik itu berhasil membuat keduanya salah tingkah. Pandangan mereka lurus ke depan. Debaran jantung tak dapat dikendalikan lagi. Tubuh rasanya panas, seperti oksigen di sekitar mereka tak cukup untuk dihirup. Sakti membuka jendela di sebelahnya, Nara melakukan hal yang sama, secara bersamaan. Kemudian mereka saling pandang, karena sadar melakukan hal yang sama. Dan bibir keduanya tersenyum, canggung. "Panas?" tanya Sakti kemudian.Nara juga salah tingkah. "Hehehe, iya panas." "Sebaiknya, kita tunggu sebentar, sampai udaranya sejuk lagi."Padahal AC di dalam kabin mobil itu sudah cukup dingin. Akibat situasi yang yang tiba-tiba tadi, penyejuk udara di sana seakan tida
***Seminggu kemudian.Naima tampak marah sambil mandangi layar ponsel yang tidak menandakan ada pesan masuk. Lalu dia kembali mengetik sebuah pesan lagi. Dia sudah menunggu hingga satu jam. Namun, orang yang ditunggu tak kunjung datang. Apakah orang itu lupa akan jadwal yang Naima berikan padanya? Hari dimana jadwal dia harus check up ke dokter. Padahal Helmi sudah diingatkan sebelumnya. Sedangkan Naima sudah bersemangat sejak pagi. Pasalnya hanya hari ini dia bisa datang ke rumah sakit, sekaligus untuk melihat putranya di sana. Selama masa pemulihan, Naima memang tidak diperbolehkan untuk bergerak terlalu banyak. Sangat berisiko untuk proses penyembuhannya.Naima sudah kelihatan bosan menunggu. Bantal sandaran untuk sofa itu pun telah menjadi sasaran kekesalannya. Hingga Rinjani datang menghampiri, dan duduk di sebelahnya. "Naima.""Hah? Iya, Ma." Naima yang sedang termenung, terkejut dengan kehadiran mamanya. "Mana suami kamu? Sudah lebih satu jam loh, kenapa belum datang?" tany
***Dokter telah selesai melakukan pemeriksaan. Naima kembali merapikan pakaiannya, dan turun dari tempat tidur. Saat dia hendak keluar dari ruang periksa, notifikasi pada ponselnya berbunyi. Naima melihatnya sejenak, ternyata pesan dari sang suami.Setelah membaca pesan tersebut, Naima menyunggingkan senyum pahit. Sebuah kebohongan lagi, setelah banyak kebohongan yang dia dapat. "Terserah kamulah, Bang," guamam Naima dalam hati.Naima pun tidak terlalu mempedulikan. Dia mulai mencoba berdamai dengan keadaan, tapi sikap Helmi semakin hari semakin berubah. Naima juga sudah lelah menangisi suami yang tidak pernah mengerti dengan keadaannya.Setelah semuanya selesai, Naima melangkah keluar dari ruangan periksa. Sudah jelas dia merasa tidak senang, walaupun dokter mengatakan bahwa kondisinya sudah membaik dengan cepat. Naima membuka pintu, dan di depan ruangan ada Sakti yang duduk menunggu. Naima langsung merubah ekspresi wajahnya, dia tersenyum."Sudah selesai?" tanya Sakti berdiri samb
*** "Kamu meragukan dirimu sekarang, Fian? Apakah tekadmu hanya akan sampai di sini?" Naima bertanya melengkungkan alisnya. Tatapannya mengharapkan jawaban yang tak ingin ada keraguan. Bukankah hatinya kini bisa terbuka karena kegigihan pria dihadapannya."Tidak, bukan begitu, Ima. Apa aku tidak terlalu jahat jika nantinya memisahkan kebersamaan ayah dan anak? Aku tidak akan mundur, aku sungguh ingin hubungan kita berhasil, dan kamu akan aku jadikan wanita paling bahagia di dunia ini." Alfian tak ingin Naima salah sangka dengan perkataannya.Naima tersenyum simpul menanggapi hal ini. "Dokter Alfian, kamu meragukan keberhasilan hubungan kita karena Helmi?""Aku memikirkan anak-anak, Sayang." Dia mengungkapkan isi hatinya.Naima menghela napasnya sejenak, dia mengerti jalan pikiran kekasihnya saat ini. "Fian, nggak ada yang perlu kamu khawatirkan. Anak-anak tidak akan kekurangan kasih sayang dari ayahnya. Malahan mereka akan sangat beruntung mendapatkan kasih sayang yang melimpah dari s
***Sementara itu di rumah sakit.Bara dan Andita masih berusaha mayakinkan Helmi untuk mendapatkan pengobatan secara intensif. Setelah dokter menyampaikan hasil tes hari ini. Helmi menjadi keras kepala. Dokter mengatakan bahwa Helmi terlalu banyak mengkonsumsi alkohol, ditambah lagi dengan pola makannya yang tidak teratur dan istirahat yang sangat sedikit. Sehingga kini dia mengalamai perlemakan pada hati. Helmi masih harus melakukan beberapa tes lagi setelah ini, untuk mendeteksi apakah ada gejala lain lagi pada hatinya. Perlemakan pada hati akan semakin parah jika tidak mendapatkan penanganan yang benar. Andita juga meminta Helmi untuk tinggal lagi bersamanya. Tinggal sendirian di rumah itu hanya akan memperparah kondisi Helmi. Tidak ada yang memperhatikannya secara intens."Helmi baik-baik saja, Ma. Ayolah ... Helmi hanya mau tinggal sendiri saja." Pria itu memohon lagi. Wanita kesayangannya itu masih memaksanya untuk pindah kembali ke rumah utama."Setelah apa yang terjadi sama
***Kembali dari rumah sakit Naima langsung bersih-bersih dan merebahkan diri di kasur. Efek lelah karena begadang semalaman, Naima ingin istirahat dengan tenang. Setelah kondisi Helmi dia sampaikan kepada keluarganya, mereka pun ikut lega mendengar hal itu . Sepuluh menit setelah berbaring, ponselnya berbunyi. Benda itu lupa dia bawa kemarin. Tentu banyak panggilan yang masuk.Semalam ketika Mamanya memberitahu bahwa Helmi berada di UGD, mereka semua bergegas ke rumah sakit. Hingga Naima lupa memberitahu Alfian tentang hal ini. Dia merasa bersalah kepada kekasihnya itu.Permukaan kasur dirabanya. Benar saja, ponsel Naima berbunyi karena panggilan masuk dari Alfian."Halo." Terdengar helaan napas dari pria itu. "Akhirnya kamu jawab juga, Sayang."Naima paham kenapa Alfian berkata seperti itu, dia pun langsung menjelaskan. "Fian? Maaf semalam aku di rumah sakit, lupa bawa ponsel. Aku juga minta maaf lupa kasih tau mama untuk ngabarin kamu." "Iya, aku udah tau kok. Semalam waktu aku
***Beberapa hari kemudian.Ketika jam makan siang, Rafka--sekretaris Helmi merasa sedikit khawatir, melihat sang bos tampak tidak sehat. Meskipun tau sedang tidak baik-baik saja, Helmi tetap memaksakan dirinya untuk pergi rapat dengan klien. Sore harinya, Andita ditelepon oleh sekretaris Rafka untuk mengabarkan tentang kondisi sang putra. Helmi menolak dibawa ke rumah sakit, sehingga sang sekretaris pun terpaksa mengantar pulang ke rumah. Andita dan Bara pun bergegas ke rumah Helmi untuk memastikan keadaannya.Saat masuk ke dalam rumah, Andita di sambut oleh ART. “Helmi udah pulang kan, Bi?”“Iya, Nyonya, Tuan Helmi udah naik ke kamarnya, baru lima belas menit yang lalu,” jawab sang ART menjelaskan. “Tuan Helmi kelihatannya tidak sehat, Nyonya. Tapi saat saya tanya, katanya nggak apa-apa.”“Iya udah, saya langsung naik aja.”“Baik, Nyonya, Tuan.”Pintu kamar Helmi langsung dibuka. Sang putra terlihat tengah berbaring di tempat tidur. Andita dan Bara langsung menghampiri. Saat mereka
Hari ini hari pertama Naima dan Alfian sebagai sepasang kekasih. Berita bahagia ini tak ingin disimpan lebih lama, Alfian bermaksud untuk mengatakan secara langsung kepada kedua orang tua Naima. Alfian pun mengantar Naima pulang kerja, sekalian bertemu dengan orangtua kekasihnya itu.Sebenarnya Naima masih mau merahasiakan ini dulu. Tetapi Alfian membujuknya untuk segera mempublikasikan kepada orang terdekat. Alfian ingin segera membagi kebahagiaannya dengan semua, yang pada akhirnya Naima pun menyetujui. Ketika Naima memasuki rumah, semua orang sedang berkumpul di ruangan keluarga. Mama, Papa, serta anak-anaknya ada di sana. Sedangkan Sakti dan Nara masih belum pulang dari bulan madu. Naima merasa sedikit gugup saat harus mengatakannya secara langsung. Begitupun Alfian, dia juga merasa sedikit gugup. "Naima, ada Alfian di sini, kenapa nggak kamu suruh duduk? Malah berdiri dua-duanya?" tanya Rinjani."Ini, Ma, Pa … Alfian mau ngomong sesuatu." Mata Naima beralih pada Kiran dan Arthu
"Kalau kamu tidak dengar, ya sudah? Bukan aku yang rugi." Naima memanyunkan bibirnya. Mengalihkan pandangannya ke arah lain. Wajahnya telah memerah, sedikit merasa malu dengan ucapannya sendiri."Aku dengar, aku dengar. Kamu nggak usah ulangi. Akhirnya, kamu menyukaiku? Kamu benar-benar menyukaiku?" tanya Alfian penuh semangat, dan menarik Naima hingga berhadapan dengannya. Mereka pun saling pandang, menatap dalam mata masing-masing. Debaran jantung mereka saling berpacu, terbawa suasana hati yang sangat tak bisa dikendalikan. Terukir senyuman bahagia dari wajah mereka. Entah kenapa Naima tiba-tiba mengatakan hal itu. Dia sudah berpikir lama tentang perasaannya. Awalnya Naima tak mau lagi memikirkan kehidupan percintaan. Gagal satu kali sudah cukup, dia tak akan mengulanginya lagi. Namun, seiring berjalannya waktu. Perhatian yang Alfian tunjukkan semakin membuatnya berpikir, kenapa dia tidak mencobanya saja. Perasaan sukanya pada Alfian adalah nyata. Jika Naima menolak, bukannya aka
***Tiga bulan kemudian ….Keadaan pun semakin membaik. Setelah semua hari yang buruk, saat bahagia pun akan datang. Tak selamanya manusia akan tenggelam dalam keterpurukan. Satu waktu ada saatnya dia untuk bangkit dan menjalani hari yang baru. Kehidupan akan terus berjalan dan berputar. Ada kalanya seseorang berada di atas, dan ada kalanya berada di bawah. Biarbagaimanapun tidak ada yang akan baik-baik saja tentang sebuah perpisahan, itu adalah perasaan sedihnya. Yang terpenting bagaimana kita memulai dari awal dan kemudian mengakhirinya ditempat yang sama.Naima, telah melewati banyak hal dalam beberapa bulan ini. Beruntung dia sangat kuat dan tegar. Beruntung dia mempunyai keluarga yang sangat menyayangi dirinya. Beruntung dia mempunyai dua buah hati yang menjadi sumber kekuatannya. Dan dia juga sangat beruntung memiliki orang yang sangat mencintainya. Saat ini ….Di kediaman Sanjaya. Sedang berlangsung perhelatan besar. Di depan rumah terpasang tenda tinggi dari pagar hingga ke
***Dini hari itu, setelah Sherra ditemukan di pinggiran sungai, kehebohan tiba-tiba terjadi di rumah sakit. Wanita itu dibawa tanpa identitas, pihak rumah sakit tak tau harus menghubungi keluarganya kemana. Warga yang membawa wanita itu pun tak tau apa-apa. Rumah sakit pun memutuskan untuk melaporkan ke kantor polisi. Karena mereka menduga pasien itu merupakan korban sebuah tindakan kejahatan.Pihak kepolisian segera turun tangan dan mengusut kasus ini. Wanita itu terbaring lemah di ranjang dengan selang infus, oksigen serta alat pendeteksi detak jantung yang menempel di tubuhnya. Hingga pagi harinya, Bawahan Bara datang dan mengatakan bahwa dia adalah orang yang mereka cari. Sehingga berita itu langsung mereka sampaikan ke atasan mereka. Banyak sekali bekas luka di pergelangan tangan Sherra, sekujur tubuhnya juga dipenuhi luka. Hal itu pun menjadi perbincangan para perawat. Meraka sangat prihatin melihat kondisi wanita itu. "Maya … kira-kira kenapa tubuh pasien wanita di kamar itu
***Pukul 01.00 dini hari, di area gudang tempat Sherra disekap. Tiba-tiba terdengar suara yang sangat keras, seperti ada benda menabrak sesuatu yang keras. Sherra yang berada di dalam kamar, terbangun karena terkejut. Entah keributan apa yang terjadi di luar sana. Tiba-tiba ada seseorang yang menerobos masuk. Sherra berteriak, seorang pria dengan pakaian serba hitam berdiri di hadapannya.Pria itu berdiri tanpa melakukan apa pun. Dia terus menatap pada Sherra yang telah ketakutan. Mata wanita itu melihat pada pintu yang terbuka lebar. Dia pun mengambil kesempatan untuk kabur. Namun, ketika dia berada tepat di depan pintu, satu orang pria lain, menyergap dirinya. Mulut Sherra dibekap dengan tangan kekar pria itu. "Ermmm … ermmm …." Sherra terbelalak, meronta minta dilepaskan. Sesaat kemudian, tubuhnya tiba-tiba diangkat, dia terus berteriak dan meronta. Sherra dibawa pergi dari pintu belakang. Menuju ke sebuah mobil yang telah menunggu mereka. Kemudian dia dilemparkan masuk kedalam