***Sakti kembali berbisik. "Mau dicium?" "Hah?" Nara tiba-tiba menoleh, dan tanpa sengaja bibir mereka bersentuhan.Sakti yang tidak siap pun mematung. Mata keduanya sama-sama membola. Sedetik, dua detik, tiga detik. Hingga kedua mata itu saling berkedip, barulah mereka tersadar dan memundurkan tubuh. Momen beberapa detik itu berhasil membuat keduanya salah tingkah. Pandangan mereka lurus ke depan. Debaran jantung tak dapat dikendalikan lagi. Tubuh rasanya panas, seperti oksigen di sekitar mereka tak cukup untuk dihirup. Sakti membuka jendela di sebelahnya, Nara melakukan hal yang sama, secara bersamaan. Kemudian mereka saling pandang, karena sadar melakukan hal yang sama. Dan bibir keduanya tersenyum, canggung. "Panas?" tanya Sakti kemudian.Nara juga salah tingkah. "Hehehe, iya panas." "Sebaiknya, kita tunggu sebentar, sampai udaranya sejuk lagi."Padahal AC di dalam kabin mobil itu sudah cukup dingin. Akibat situasi yang yang tiba-tiba tadi, penyejuk udara di sana seakan tida
***Seminggu kemudian.Naima tampak marah sambil mandangi layar ponsel yang tidak menandakan ada pesan masuk. Lalu dia kembali mengetik sebuah pesan lagi. Dia sudah menunggu hingga satu jam. Namun, orang yang ditunggu tak kunjung datang. Apakah orang itu lupa akan jadwal yang Naima berikan padanya? Hari dimana jadwal dia harus check up ke dokter. Padahal Helmi sudah diingatkan sebelumnya. Sedangkan Naima sudah bersemangat sejak pagi. Pasalnya hanya hari ini dia bisa datang ke rumah sakit, sekaligus untuk melihat putranya di sana. Selama masa pemulihan, Naima memang tidak diperbolehkan untuk bergerak terlalu banyak. Sangat berisiko untuk proses penyembuhannya.Naima sudah kelihatan bosan menunggu. Bantal sandaran untuk sofa itu pun telah menjadi sasaran kekesalannya. Hingga Rinjani datang menghampiri, dan duduk di sebelahnya. "Naima.""Hah? Iya, Ma." Naima yang sedang termenung, terkejut dengan kehadiran mamanya. "Mana suami kamu? Sudah lebih satu jam loh, kenapa belum datang?" tany
***Dokter telah selesai melakukan pemeriksaan. Naima kembali merapikan pakaiannya, dan turun dari tempat tidur. Saat dia hendak keluar dari ruang periksa, notifikasi pada ponselnya berbunyi. Naima melihatnya sejenak, ternyata pesan dari sang suami.Setelah membaca pesan tersebut, Naima menyunggingkan senyum pahit. Sebuah kebohongan lagi, setelah banyak kebohongan yang dia dapat. "Terserah kamulah, Bang," guamam Naima dalam hati.Naima pun tidak terlalu mempedulikan. Dia mulai mencoba berdamai dengan keadaan, tapi sikap Helmi semakin hari semakin berubah. Naima juga sudah lelah menangisi suami yang tidak pernah mengerti dengan keadaannya.Setelah semuanya selesai, Naima melangkah keluar dari ruangan periksa. Sudah jelas dia merasa tidak senang, walaupun dokter mengatakan bahwa kondisinya sudah membaik dengan cepat. Naima membuka pintu, dan di depan ruangan ada Sakti yang duduk menunggu. Naima langsung merubah ekspresi wajahnya, dia tersenyum."Sudah selesai?" tanya Sakti berdiri samb
***Ketika di perjalanan pulang ke rumah. Naima terlihat senang melihat foto-foto serta video Arthur dari galeri ponselnya. Tadi dia sempat meminta salah satu suster untuk mengabadikan momennya bersama sang buah hati. Dia tak berhenti tersenyum. Rasa haru dan bahagia bercampur aduk di dirinya. Sesekali dia mengurai air mata yang akan jatuh ke pipi. Selalu saja seperti ini, saat mengingat putranya, Naima pasti akan menangis."Mana sih, Abang juga mau lihat." Sakti yang dari tadi hanya memperhatikan, jadi penasaran dengan foto itu.Kemudian Naima mendekatkan layar ponselnya ke dekat wajah Sakti. Menggeser satu persatu foto itu. Sakti yang sesekali fokus pada jalanan, melihat secara sekilas. "Sudah mulai terlihat besar ya?" tanya Sakti, dan Naima mengangguk."Beratnya sudah bertambah 50 gram, dari berat terakhirnya." Naima menjauhkan ponselnya dari wajah Sakti. "Syukurlah, berarti perkembangannya sudah terlihat sekarang," ucap Sakti lagi."Iya, Bang. Jika perkembangan semakin bagus, le
***"Kiran udah tidur, Sayang?" Helmi yang duduk di sofa sedang memeriksa pekerjaannya, bertanya pada Naima.Ima yang baru masuk setelah menidurkan Kiran, langsung menuju tempat tidur. "Udah, Bang," jawab Naima singkat, lalu dia membaringkan tubuhnya.Helmi pun berdiri dan menghampiri istrinya yang tidur miring membelakanginya. "Kamu sudah mau tidur?" "Eemm …."Dia memandangi tubuh istrinya yang tengah terbaring. Tubuh Naima sudah tampak kembali seperti semula. Saat sebelum perutnya membesar. Hanya saja buah dada istrinya itu membesar dipenuhi oleh ASI. Helmi kemudian duduk di pinggir ranjang, tepat di belakang Naima. "Abang mau bicara sebentar," ucapnya menyentuh lengan istrinya. "Bicara apa? Kalau tidak penting, sebaiknya tidak usah dibicarakan." Naima terlihat sangat cuek."Besok kita pulang ke rumah ya? Rumah sepi gak ada kamu dan Kiran."Pria itu mencoba membujuk istrinya. Tidak melihat wajah Naima dan Kiran beberapa hari ini, membuatnya merasakan ada yang berbeda. "Aku masih
***Jarinya dijentikkan sekali lagi. "Mas, Alfian ...!" Panggil Naima, kali ini seikit lebih keras.Alfian tersentak. "Ahhhh, iya?"Naima mencubit dress tersebut dan membentangkannya, sehingga kain bagian bawahnya mengembang. "Bagaimana dengan yang Ini?"Dengan meletakkan telapak tangannya di dagu, Alfian berpikir. "Emmm, semua terlihat bagus. Sangat pas dan cocok dengan badan kamu. Sepertinya saya akan ambil semuanya." Lalu dia memanggil Tuti dan meminta untuk segera membungkuskan semua pakaian itu. Setelah Naima kembali dari Menganti pakainya semula, dia mendatangi Alfian lagi. Dia mendudukkan diri di sofa berseberangan dengan Alfian, menemaninya menunggu pembayaran. "Mas Alfian. Istrinya pasti akan senang, dibelikan begitu banyak pakaian." Naima memulai obrolan.Pria itu mengerutkan keningnya. "Hahaha, saya hanya akan mengambil tiga saja, dua lagi saya akan berikan untuk kamu." Alfian mengarahkan telunjuknya pada Naima. "Dan saya belum menikah, Ima," tambahnya lagi.Naima terlih
***Saat ini Naima berada di dalam rumah yang telah lama ditinggalkan. Dua asisten rumah tangga pun menyambut kedatangannya. Dengan terburu-buru Naima menaiki tangga, langsung menuju kamarnya. Naima membuka lemari pakaiannya sedikit kasar. Menyibakkan satu persatu baju yang tergantung di sana. Dia terus mencari salah satu dress yang pernah dikenakan saat hamil dulu. Naima terlihat tidak sabar. Setelah menemukannya, Naima mengeluarkan dan membentangkan di atas tempat tidur. Dress berwarna coklat muda polos, tanpa lengan yang Helmi hadiahkan untuknya, saat kehamilan Naima berusia tiga bulan. Waktu itu Helmi pulang dari luar kota dan baju itu adalah oleh-olehnya. Naima sangat menyukai dan dia kerap mengenakan, walau perutnya belum terlalu besar saat itu. Hal yang membuatnya terkejut adalah, dress itu sama persis seperti yang Sherra kenakan tadi sewaktu di mall. Penampilan Sherra sangat persis dengan dirinya. Di mulai dari gayanya berjalan, gerak tubuhnya, senyumnya. Serta wajah wanita
***Suara piring pecah bergema hingga ke ruangan itu. Mendengar keributan di luar, salah seorang asisten rumah tangga mereka sepertinya tanpa sengaja menjatuhkan piring ke lantai. Namun, ketegangan yang terjadi di hadapannya, mampu membuat Naima tetap diam di tempat. Begitupun juga dengan Helmi, juga Sherra yang berlindung di belakangnya, setelah Naima berteriak pada wanita itu."Jelaskan! Kenapa wanita itu bisa berada di sini, Bang?"Teriakan yang sangat keras kembali menggema. Sehingga kedua orang yang berada di dapur melihat ke luar karena penasaran.Helmi sudah terlihat panik. Dia tidak menyangka jika Naima pulang ke rumah hari ini dan akan semarah ini. "Naima? Pelankan suara kamu. Kenapa harus teriak seperti itu?"Naima maju satu langkah. "Karena ini rumahku. Sekarang jelaskan, tidak usah bertele-tele." Dengan nada yang menekan, Naima menatap tajam mata Helmi.Di mana letak harga diri seorang pria. Ditantang seperti ini, tentu saja akan membuat hatinya memanas. Tapi lihat, siapa
*** "Kamu meragukan dirimu sekarang, Fian? Apakah tekadmu hanya akan sampai di sini?" Naima bertanya melengkungkan alisnya. Tatapannya mengharapkan jawaban yang tak ingin ada keraguan. Bukankah hatinya kini bisa terbuka karena kegigihan pria dihadapannya."Tidak, bukan begitu, Ima. Apa aku tidak terlalu jahat jika nantinya memisahkan kebersamaan ayah dan anak? Aku tidak akan mundur, aku sungguh ingin hubungan kita berhasil, dan kamu akan aku jadikan wanita paling bahagia di dunia ini." Alfian tak ingin Naima salah sangka dengan perkataannya.Naima tersenyum simpul menanggapi hal ini. "Dokter Alfian, kamu meragukan keberhasilan hubungan kita karena Helmi?""Aku memikirkan anak-anak, Sayang." Dia mengungkapkan isi hatinya.Naima menghela napasnya sejenak, dia mengerti jalan pikiran kekasihnya saat ini. "Fian, nggak ada yang perlu kamu khawatirkan. Anak-anak tidak akan kekurangan kasih sayang dari ayahnya. Malahan mereka akan sangat beruntung mendapatkan kasih sayang yang melimpah dari s
***Sementara itu di rumah sakit.Bara dan Andita masih berusaha mayakinkan Helmi untuk mendapatkan pengobatan secara intensif. Setelah dokter menyampaikan hasil tes hari ini. Helmi menjadi keras kepala. Dokter mengatakan bahwa Helmi terlalu banyak mengkonsumsi alkohol, ditambah lagi dengan pola makannya yang tidak teratur dan istirahat yang sangat sedikit. Sehingga kini dia mengalamai perlemakan pada hati. Helmi masih harus melakukan beberapa tes lagi setelah ini, untuk mendeteksi apakah ada gejala lain lagi pada hatinya. Perlemakan pada hati akan semakin parah jika tidak mendapatkan penanganan yang benar. Andita juga meminta Helmi untuk tinggal lagi bersamanya. Tinggal sendirian di rumah itu hanya akan memperparah kondisi Helmi. Tidak ada yang memperhatikannya secara intens."Helmi baik-baik saja, Ma. Ayolah ... Helmi hanya mau tinggal sendiri saja." Pria itu memohon lagi. Wanita kesayangannya itu masih memaksanya untuk pindah kembali ke rumah utama."Setelah apa yang terjadi sama
***Kembali dari rumah sakit Naima langsung bersih-bersih dan merebahkan diri di kasur. Efek lelah karena begadang semalaman, Naima ingin istirahat dengan tenang. Setelah kondisi Helmi dia sampaikan kepada keluarganya, mereka pun ikut lega mendengar hal itu . Sepuluh menit setelah berbaring, ponselnya berbunyi. Benda itu lupa dia bawa kemarin. Tentu banyak panggilan yang masuk.Semalam ketika Mamanya memberitahu bahwa Helmi berada di UGD, mereka semua bergegas ke rumah sakit. Hingga Naima lupa memberitahu Alfian tentang hal ini. Dia merasa bersalah kepada kekasihnya itu.Permukaan kasur dirabanya. Benar saja, ponsel Naima berbunyi karena panggilan masuk dari Alfian."Halo." Terdengar helaan napas dari pria itu. "Akhirnya kamu jawab juga, Sayang."Naima paham kenapa Alfian berkata seperti itu, dia pun langsung menjelaskan. "Fian? Maaf semalam aku di rumah sakit, lupa bawa ponsel. Aku juga minta maaf lupa kasih tau mama untuk ngabarin kamu." "Iya, aku udah tau kok. Semalam waktu aku
***Beberapa hari kemudian.Ketika jam makan siang, Rafka--sekretaris Helmi merasa sedikit khawatir, melihat sang bos tampak tidak sehat. Meskipun tau sedang tidak baik-baik saja, Helmi tetap memaksakan dirinya untuk pergi rapat dengan klien. Sore harinya, Andita ditelepon oleh sekretaris Rafka untuk mengabarkan tentang kondisi sang putra. Helmi menolak dibawa ke rumah sakit, sehingga sang sekretaris pun terpaksa mengantar pulang ke rumah. Andita dan Bara pun bergegas ke rumah Helmi untuk memastikan keadaannya.Saat masuk ke dalam rumah, Andita di sambut oleh ART. “Helmi udah pulang kan, Bi?”“Iya, Nyonya, Tuan Helmi udah naik ke kamarnya, baru lima belas menit yang lalu,” jawab sang ART menjelaskan. “Tuan Helmi kelihatannya tidak sehat, Nyonya. Tapi saat saya tanya, katanya nggak apa-apa.”“Iya udah, saya langsung naik aja.”“Baik, Nyonya, Tuan.”Pintu kamar Helmi langsung dibuka. Sang putra terlihat tengah berbaring di tempat tidur. Andita dan Bara langsung menghampiri. Saat mereka
Hari ini hari pertama Naima dan Alfian sebagai sepasang kekasih. Berita bahagia ini tak ingin disimpan lebih lama, Alfian bermaksud untuk mengatakan secara langsung kepada kedua orang tua Naima. Alfian pun mengantar Naima pulang kerja, sekalian bertemu dengan orangtua kekasihnya itu.Sebenarnya Naima masih mau merahasiakan ini dulu. Tetapi Alfian membujuknya untuk segera mempublikasikan kepada orang terdekat. Alfian ingin segera membagi kebahagiaannya dengan semua, yang pada akhirnya Naima pun menyetujui. Ketika Naima memasuki rumah, semua orang sedang berkumpul di ruangan keluarga. Mama, Papa, serta anak-anaknya ada di sana. Sedangkan Sakti dan Nara masih belum pulang dari bulan madu. Naima merasa sedikit gugup saat harus mengatakannya secara langsung. Begitupun Alfian, dia juga merasa sedikit gugup. "Naima, ada Alfian di sini, kenapa nggak kamu suruh duduk? Malah berdiri dua-duanya?" tanya Rinjani."Ini, Ma, Pa … Alfian mau ngomong sesuatu." Mata Naima beralih pada Kiran dan Arthu
"Kalau kamu tidak dengar, ya sudah? Bukan aku yang rugi." Naima memanyunkan bibirnya. Mengalihkan pandangannya ke arah lain. Wajahnya telah memerah, sedikit merasa malu dengan ucapannya sendiri."Aku dengar, aku dengar. Kamu nggak usah ulangi. Akhirnya, kamu menyukaiku? Kamu benar-benar menyukaiku?" tanya Alfian penuh semangat, dan menarik Naima hingga berhadapan dengannya. Mereka pun saling pandang, menatap dalam mata masing-masing. Debaran jantung mereka saling berpacu, terbawa suasana hati yang sangat tak bisa dikendalikan. Terukir senyuman bahagia dari wajah mereka. Entah kenapa Naima tiba-tiba mengatakan hal itu. Dia sudah berpikir lama tentang perasaannya. Awalnya Naima tak mau lagi memikirkan kehidupan percintaan. Gagal satu kali sudah cukup, dia tak akan mengulanginya lagi. Namun, seiring berjalannya waktu. Perhatian yang Alfian tunjukkan semakin membuatnya berpikir, kenapa dia tidak mencobanya saja. Perasaan sukanya pada Alfian adalah nyata. Jika Naima menolak, bukannya aka
***Tiga bulan kemudian ….Keadaan pun semakin membaik. Setelah semua hari yang buruk, saat bahagia pun akan datang. Tak selamanya manusia akan tenggelam dalam keterpurukan. Satu waktu ada saatnya dia untuk bangkit dan menjalani hari yang baru. Kehidupan akan terus berjalan dan berputar. Ada kalanya seseorang berada di atas, dan ada kalanya berada di bawah. Biarbagaimanapun tidak ada yang akan baik-baik saja tentang sebuah perpisahan, itu adalah perasaan sedihnya. Yang terpenting bagaimana kita memulai dari awal dan kemudian mengakhirinya ditempat yang sama.Naima, telah melewati banyak hal dalam beberapa bulan ini. Beruntung dia sangat kuat dan tegar. Beruntung dia mempunyai keluarga yang sangat menyayangi dirinya. Beruntung dia mempunyai dua buah hati yang menjadi sumber kekuatannya. Dan dia juga sangat beruntung memiliki orang yang sangat mencintainya. Saat ini ….Di kediaman Sanjaya. Sedang berlangsung perhelatan besar. Di depan rumah terpasang tenda tinggi dari pagar hingga ke
***Dini hari itu, setelah Sherra ditemukan di pinggiran sungai, kehebohan tiba-tiba terjadi di rumah sakit. Wanita itu dibawa tanpa identitas, pihak rumah sakit tak tau harus menghubungi keluarganya kemana. Warga yang membawa wanita itu pun tak tau apa-apa. Rumah sakit pun memutuskan untuk melaporkan ke kantor polisi. Karena mereka menduga pasien itu merupakan korban sebuah tindakan kejahatan.Pihak kepolisian segera turun tangan dan mengusut kasus ini. Wanita itu terbaring lemah di ranjang dengan selang infus, oksigen serta alat pendeteksi detak jantung yang menempel di tubuhnya. Hingga pagi harinya, Bawahan Bara datang dan mengatakan bahwa dia adalah orang yang mereka cari. Sehingga berita itu langsung mereka sampaikan ke atasan mereka. Banyak sekali bekas luka di pergelangan tangan Sherra, sekujur tubuhnya juga dipenuhi luka. Hal itu pun menjadi perbincangan para perawat. Meraka sangat prihatin melihat kondisi wanita itu. "Maya … kira-kira kenapa tubuh pasien wanita di kamar itu
***Pukul 01.00 dini hari, di area gudang tempat Sherra disekap. Tiba-tiba terdengar suara yang sangat keras, seperti ada benda menabrak sesuatu yang keras. Sherra yang berada di dalam kamar, terbangun karena terkejut. Entah keributan apa yang terjadi di luar sana. Tiba-tiba ada seseorang yang menerobos masuk. Sherra berteriak, seorang pria dengan pakaian serba hitam berdiri di hadapannya.Pria itu berdiri tanpa melakukan apa pun. Dia terus menatap pada Sherra yang telah ketakutan. Mata wanita itu melihat pada pintu yang terbuka lebar. Dia pun mengambil kesempatan untuk kabur. Namun, ketika dia berada tepat di depan pintu, satu orang pria lain, menyergap dirinya. Mulut Sherra dibekap dengan tangan kekar pria itu. "Ermmm … ermmm …." Sherra terbelalak, meronta minta dilepaskan. Sesaat kemudian, tubuhnya tiba-tiba diangkat, dia terus berteriak dan meronta. Sherra dibawa pergi dari pintu belakang. Menuju ke sebuah mobil yang telah menunggu mereka. Kemudian dia dilemparkan masuk kedalam