Sahut-sahutan suara burung hantu terdengar seperti pertunjukan orkestra. Bhre masih berada di dalam ruang kerjanya. Sejak bertemu dengan Yos, ada yang mengganjal di dalam isi hatinya. Sesuatu yang selama ini berhasil ia kubur dalam. Berkali-kali pula ia menepis semuanya. Ia tidak ingin hanya karena sesuatu dari masa lalunya menjadi menghambat bagi masa depannya. Fokusnya kembali pada gerakan ujung kuasnya. Ia tidak ingin sedetik pun ingatan itu kembali merenggut dunianya. Kantuk mulai menguasainya, Bhre meletakkan kuasnya. Kedua matanya seakan sudah tidak dapat terbuka lebar. Terasa berat dan agak perih. Pria itu pergi menuju ke kamar tidurnya. Kemudian merebahkan tubuh lelahnya di atas ranjang. Angannya menerawang jauh. “Ilingo, Ngger–yen urip iku urup.” Tangan berjari lentik itu mengusap kepalanya lembut, terasa teduh dan menenangkan. Nasihat kuno itu selalu terngiang di ruang dengarnya. Bahwa hidup itu harus memberi manfaat kepada orang-orang di sekitar kita. Dan–itu salah sat
“Mengapa kau tampak lemas?” Seorang tua renta menghadangnya saat baru sampai. “Hanya lelah saja.” Ia langsung menuju dapur untuk mencuci peralatan makannya. Kemudian ia menyeka sisa keringat yang masih basah di keningnya. Tubuh lemahnya dibiarkan menyandar ke dinding bambu yang terasa kasar dan bergelombang. Kepalanya sengaja jatuh sedikit agak menengadah. Benaknya mulai memikirkan sesuatu yang menjadi kenangan indah dalam perjalanan hidupnya. “Bagaimana kabar Bu Mayang sekarang?” Kemala teringat tentang wanita baik yang sudah seperti ibunya sendiri. “Kamu masih memikirkannya?” Wanita tua itu tengah duduk di dekatnya. Hanya anggukan kepala yang mampu ia tunjukkan. Sebab angannya masih menelisik ke kehidupannya sebelum ini. Tiba-tiba saja ia merasa rindu saat tadi melayani banyak orang yang membeli kue buatannya. Tersungging seulas senyum samar di sudut bibirnya. Lantas kedua matanya terpejam dengan kepala yang masih mendongak lemas. Betapa indahnya waktu itu. Namun ia sadar, mu
Hatinya teriris, lukanya semakin dalam dan perih menyayat mungkin akan sulit sembuh karena terlalu dalam. Melihat putrinya menolak kehadiran pun perlindungan darinya, Mayang terpaksa pergi. Wajah Yana yang mengejek karena merasa puas dengan pertunjukan drama yang dilakonkan ibu dan anak, masih membekas jelas di benaknya. Kaki yang sebelumnya kuat, kini terasa tak mampu menopang massa tubuhnya. Hanya paksaan yang dapat menyeret langkahnya agar segera pergi. Meskipun ia ingin tinggal karena khawatir buah hatinya sedang dalam tekanan. “Bu Mayang!” Sopir segera membukakan pintu, pria itu sangat terkejut melihat majikannya yang tampak lemas. Tanpa bertanya lagi, ia segera melajukan mobilnya meninggalkan lokasi. Sesekali ia melirik ke kaca spion depan untuk meliha kondisi majikannya. Begit sampai di rumah kediaman Mayang, ia meminta ART untuk membuat secangkir teh chamomile untuk Mayang. “Bi, tolong jaga beliau baik-baik, sepertinya beliau sangat terguncang.” Pria tersebut melangkah ke
Udara dingin mendekap Mirna semakin erat, ia pun tak mau kalah. Tubuhnya agak gemetar hingga ia menarik kedua sisi sweaternya. Namun dingin tak kunjung enyah, ia segera masuk ke dalam rumah. “Apa yang kamu lakukan di luar?” Herdian mengagetkannya dari balik pintu. Mirna tampak terkejut. Ia tidak segera menjawab pertanyaan suaminya. Isi kepalanya berpikir keras, ia harus menjawab pertanyaan Herdian tanpa ketahuan apa sebenarnya yang sudah dilakukannya. “Aku hanya menenangkan diri, Mas. Langit tampak indah malam ini.” Mirna meneruskan langkah melewati Herdian yang masih menatapnya. Meskipun sedikit agak khawatir, Mirna berusaha bersikap biasa agar Herdian tidak curiga padanya. Kemudian ia pun merebahkan dirinya di atas tikar. Tubuhnya meringkuk karena masih terasa dingin walaupun telah menggunakan selimut. ‘Sedikit lagi! Akan segera kukembalikan semua pada tempatnya’. Dengan mata terpejam, ia menegaskan kembali tujuannya yang telah berubah. Walaupun terpaksa meminta seorang konek
“Menurut Bibi–apakah aku terlalu kejam pada putriku?” Mayang menyeruput secangkir teh chamomile yang masih hangat. “Mirna menolakku.” Ia meletakkan kembali cangkirnya di atas meja dengan air muka murung. “Entahlah, Bu. Terkadang anak sering salah mengartikan kasih sayang seorang Ibu. Alih-alih menganggapnya sebagai peringatan, mereka menganggap itu hukuman bahkan kebencian.” Bibi segera undur diri dari hadapan Mayang, ia tidak ingin berkata lebih banyak karena khawatir salah bicara. Butiran beningnya kembali jatuh. Hatinya pun mungkin sedang terkoyak. Atau menyembunyikan luka yang sangat dalam atas sikap buah hatinya. Ia mencemaskan keadaan Mirna tetapi secara terang-terangan, wanita muda itu menepisnya. Melihat majikannya tampak terguncang, wanita itu hanya bisa melihatnya dari balik dinding dapur. Meskipun ingin menghiburnya, tetapi hatinya ragu. Bagaimana pun ia hanya seorang ART yang tidak pantas menasihati majikannya. Sebab ia dibayar bukan untuk itu. Terkadang nasihat baik t
Udara pagi yang sejuk menyusup masuk hingga ke setiap sel pada isi kepalanya. Alirannya mampu menyegarkan kembali pikiran yang tadinya terasa sangat pengap. Mayang menikmati langkah demi langkahnya menyusuri jalan desa. Di kanan kirinya masih sangat asri. “Gak banyak berubah ya, Mbok?” Air muka Mayang tampak senang, ada binar bahagia terpancar dari sepasang matanya. “Beginilah, suasananya masih cenderung sama.” Mbok Juminah tampak tersenyum. “Tapi waktu itu belum ada pasar, bukankah Mbok harus ke kota kecamatan dulu kalau mau belanja?” Mayang kembali mengenang masa lalunya. “Iya–Apa Ndoro masih ingat waktu dulu sering ikut Mbok Nah ke tempat adiknya Mbok?” Wanita tua itu tersenyum memicingkan matanya hingga kulit di sekitarnya semakin mengerut. “Ohh–yang sering main engklek bareng saya ya, Mbok?” Mayang pun tersenyum mengenang masa kecilnya. “Iya. Juminem namanya, tinggal tidak jauh dari sini.” Mbok Juminah menunjuk ke arah kampung terdekat dari tempat mereka berjalan. Mayang
“Lalu–bagaimana dengan Mirna?” Kemala menatap Mayang, ia ikut merasakan kesedihan yang dirasakan Mayang. “Mungkin dia lebih memilih hidup di sisi Herdian meskipun ia tahu dirinya dimanfaatkan.” Mayang menahan air matanya yng hampir jatuh. “Apakah dia tahu? Saya-lah wanita lain yang dimiliki Herdian meski sekarang tidak lagi.” Kemala beranjak dari tempat duduknya, ia mengambil Dylan yang sedang bermain di lantai. “Tidak. Sampai saat ini saya belum memberitahunya. Saya hanya bilang bahwa dia–wanita kedua dalam hidup Herdian,” sangkal Mayang, ia tersenyum ke arah Dylan. “Apakah dia percaya?” Kemala memapah Dylan yang mulai belajar berjalan. “Dia tidak akan pergi jika dia mempercayai saya. Padahal saya ibunya.” Mayang meletakkan cangkir kosongnya di atas nampan. Mayang merasa cukup dalam percakapan tersebut. Walaupun masih ingin kembali seperti sebelumnya. Ia tidak akan meminta Kemala untuk kembali. Hari itu, ia memutuskan meninggalkan kampung halamannya setelah tinggal selama 3 ha
Malam itu, Mirna sudah menyiapkan makanan untuk menyambut Herdian. Seperti permintaan ibu mertuanya, ia memasak makanan yang berbeda dari biasanya. Upah mencuci yang ia terima tadi sore, ia habiskan untuk berbelanja lauk dan sayur. Namun tanpa cake karena memang tidak ada uang lagi untuk membelinya.Yana terlihat masih kesal, ia masih bersikeras ingin memberikan cake untuk Herdian. Padahal tak ada uang untuk itu. Jika sebelumnya, Mirna merasa bingung setiap kali mendapat perlakuan tidak ramah dari Yana, sekarang tidak lagi. Ia tidak peduli apakah Yana bersikap acuh padanya atau tidak. Mirna tidak akan lagi berdiam diri saat dirinya merasa diinjak-injak. Ia tidak lagi punya alasan untuk menyenangkan hati suami dan ibu mertuanya.“Herdian ....” Yana menghampiri putra tunggalnya yang baru saja masuk ke dalam rumah.“Apakah ibu bahagia?” tanya Herdian, senyum di wajahnya seolah ingin menceritakan bahwa ia sedang gembir