Malam itu, Mirna sudah menyiapkan makanan untuk menyambut Herdian. Seperti permintaan ibu mertuanya, ia memasak makanan yang berbeda dari biasanya. Upah mencuci yang ia terima tadi sore, ia habiskan untuk berbelanja lauk dan sayur. Namun tanpa cake karena memang tidak ada uang lagi untuk membelinya.Yana terlihat masih kesal, ia masih bersikeras ingin memberikan cake untuk Herdian. Padahal tak ada uang untuk itu. Jika sebelumnya, Mirna merasa bingung setiap kali mendapat perlakuan tidak ramah dari Yana, sekarang tidak lagi. Ia tidak peduli apakah Yana bersikap acuh padanya atau tidak. Mirna tidak akan lagi berdiam diri saat dirinya merasa diinjak-injak. Ia tidak lagi punya alasan untuk menyenangkan hati suami dan ibu mertuanya.“Herdian ....” Yana menghampiri putra tunggalnya yang baru saja masuk ke dalam rumah.“Apakah ibu bahagia?” tanya Herdian, senyum di wajahnya seolah ingin menceritakan bahwa ia sedang gembir
Sebenarnya, rasa takut mulai menyelimuti pria itu sejak dirinya menerima perintah untuk menjemput Mirna. Sebab ia tahu, saat itu sesuatu pasti terjadi padanya. Mirna selalu berkata bahwa waktunya sudah tidak lama lagi. Selain itu, ia pun bertekad untuk segera menyelesaikan suatu hal sebelum waktu menagih janjinya. “Suster, tolong selamatkan majikan saya!” Ia mendorong brankar bersama dua orang perawat menuju ke IGD rumah sakit. “Bapak, tidak diijinkan masuk. Kami akan melakukan yang terbaik.” Salah satu suster menahannya. Pria itu bingung harus melakukan apa, bagaimana mungkin ia merahasiakan keadaan Mirna dari Mayang. Jika terjadi sesuatu pada putri majikannya, tentu ia akan berada di posisi sulit. Menunggu para petugas medis melakukan tindakan awal terhadap Mirna, ia hanya bisa berjalan mondar mandir karena khawatir. Setelah berpikir keras, ia pun mengambil keputusan untuk memberitahu Mayang. Ia tidak mau kehilangan pekerjaan kalau terjadi sesuatu pada Mirna. Sedangkan istrin
Sedikit pun Mayang tidak bisa tenang sejak mendengar perkataan Mirna. Ia menunggu saat putri semata wayangnya membuka matanya kembali. Kadang kala ia terbuai pikiran konyolnya. Menukar tubuh Kemala dengan Mirna. Andai saja bisa, ia menunggu kesempatan saat dirinya mampu menggenggam pisau tajam yang mungkin akan menikam tubuh Kemala. “Maafkan aku–hanya dengan cara ini aku bisa menyelamatkan nyawa putriku.” Kalimat itu bahkan sempat terlintas di dalam benaknya yang sedang tidak waras. Mayang tidak hanya kehiloangan semangat ketika melihat tubuh putrinya terkulai lemah. Ia juga menjadi hilang kesadaran meskipun belum sepenuhnya. Mungkin begini rasanya seorang ibu yang putus asa atas keselamatan jiwa putrinya. Sementara Mayang sedang diliputi perasaan sedihnya. Kemala justru sedang mengalami hal sebaliknya. Beberapa hari setelah kembalinya Mayang ke kota, ia bertemu dengan pria yang pernah mengisi harinya. Pagi itu, cuaca sedang mendung. Kabut tebakl turun menghalangi pandangan. Kema
Nenek Tua itu menunggu sang cucu terprovokasi dengan kalimatnya. Tidak sabar melihat wanita muda tersebut segera membuang topengnya selama ini. Yah, Kemala memang kerap menutup wajahnya dengan topeng wanita tangguh. Dan–Ponirah tahu kalau sebenarnya hati cucunya begitu rapuh. “Semoga mereka berjodoh.” Ponirah bergumam dalam hatinya. Di kamarnya, Kemala sedang bersiap untuk menyambut kedatangan Bramantyo. Ia juga menjadikan Dylan, anak laki-laki yang mungkin akan menerima banyak pujian dari Bram. Meskipun merasa agak aneh, Kemala tetap ingin melakukannya. Merias dirinya untuk Bram, ini kali pertamanya. Wanita tua bernama Ponirah keluar dari kamarnya saat mendengar seseorang mengucapkan salam. Pria jangkung dengan rambut ikal yang diikat ke belakang itu tersenyum padanya. Sikap sopan dengan gaya bahasa yang santun membuat kesan pertama yang cukup baik. “Silahkan duduk dulu, Nak!” Ponirah meninggalkannya, lalu menuju ke kamar Kemala. “Nduk, ada tamu.” Ia mengintip di balik tirai.
Pipinya basah, biji matanya memerah. Ada sebilah pisau yang berada dalam genggaman tangan dinginnya. Meski gemetar, ia tetap mencengkeram kuat benda tajam itu.“Nduk ... apakah ubinya sudah siap?” Ponirah menoleh ke arah Kemala yang masih melamun. “Airnya sudah mendidih!” serunya.Wanita tua yang sejak tadi duduk di depan tungku segera beranjak, menghampiri cucunya, lalu mengambil paksa wadah berisi ubi yang baru sebagian dikupas. Tanpa banyak bicara, sebilah pisau dalam genggaman Kemala direbut dengan hati-hati.“Emm ... Mala belum selesai mengupasnya, Mbah.” Ia baru tersadar dari lamunannya.“Sudah ... sudah ... kamu kerjakan yang lain saja.” Ponirah mulai mengupas ubi yang masih tersisa. “Oh ya, sepertinya susu Dylan habis. Kasihan, nanti dia tidak bisa tidur.”Kemala meninggalkan dapur menuju ke kamar tidurnya. Mengambil botol susu kosong milik Dylan
"Rupanya buah memang jatuh tak jauh dari pohonnya." Sekar berdiri menatap Bramantyo sambil mengangkat wajah. Ia memicingkan mata sambil menarik ujung bibirnya, mencibir lalu membuang muka penuh kesal. Dadanya masih naik turun menahan amarah yang susah payah ia sembunyikan. Sehingga wajah cantiknya tampak pudar oleh keangkuhan. Bramantyo menoleh ke asal suara. Pun Kemala yang turut menatap heran atas kedatangan wanita paruh baya itu. Mereka masih tertegun, menoleh satu sama lain. "Marco! Tolong jelaskan, apa semua ini!" Bramantyo beralih menatap Marco yang berdiri mematung di samping Sekar. Tanpa mengatakan apapun, Marco memilih tetap berada di sisi Sekar. Seolah hatinya telah membunuh persahabatan mereka, ia lebih takut kehilangan semua yang telah diberikan Sekar daripada menunjukkan kesetiakawanan-nya pada Bram. Tentu hal itu membuat Bramantyo geram, rahangnya mengeras, kedua tangannya pun mengepal. "Tidak perlu heran, Marco memang orangku, aku sengaja menyuruhnya berada di dek
Marco terdiam, bibirnya terasa beku hingga tidak dapat mengatakan apapun untuk menjawab pertanyaan pamannya. Terlebih lagi ia tidak ingin dianggap kembali mengkhianati Bramantyo. Pada akhirnya, Marco memutuskan untuk menyimpan sendiri apa yang sempat ia dengar dari pembicaraan singkatnya dengan si Penelpon, dia tak lain adalah Sekar Yulinda. “Apa ada masalah?” Yos bertanya lagi, “Mukamu kelihatan bingung.” Ia memperhatikan jalanan di depannya. “Tidak–tadi ada kabar dari kurator agar disampaikan pada Bram,” sangkal Marco, ia sambil membetulkan kacamatanya. Selama di perjalanan, Marco tidak banyak bicara. Begitu dirinya sampai di rumah, ia kembali merogoh ponselnya di dalam saku celana. Kemudian menghubungi Sekar lagi, sebelumnya ia memastikan bahwa Yos benar-benar telah pergi. Mimik wajah Marco terlihat serius. Sesekali ia mengangguk, terkadang juga hanya menjawab ‘iya’ atau ‘baik’, tidak banyak kata yang diucapkannya. Kali ini, durasi permbicaraan mereka terbilang agak lama dari
Butiran bening membanjiri kedua pipi Sekar, batinnya berkata bahwa dirinya bahkan tidak pantas meminta agar Bram menganggapnya sebagai seorang ibu. Sebab luka yang ia torehkan sangat dalam, mungkin juga belum sembuh hingga saat ini. Wajar kalau Bram sangat membencinya. “Jika memang anda menyayangi Bram, mengapa anda berkata ketus padanya di kali terakhir bertemu?” Marco perlu meyakinkan hatinya agar percaya pada pengakuan Sekar. “Aku terlalu malu untuk mengakui bahwa aku adalah ibu yang juga menunggu kabarnya.” Sekar mengusap pipinya. “Mungkin sulit, anda tahu–ia sangat ingin melupakan masa lalunya.” Marco berdiri, ia hendak pergi. “Tolong, ini terakhir kali aku meminta bantuanmu. Aku akan berikan imbalan setimpal agar kau bisa menyelamatkan hidup adikmu.” Sekar tiba-tiba memohon sambil menyatukan kedua tangannya di hadapan Marco. Pria itu tidak mengatakan apapun, ia segera pergi dari kediaman Sekar. Isi kepala Marco berpikir sangat keras, ia harus mengambil langkah bijak. Mi
Mayang terdiam, ia hanya membatin, ‘Siapa laki-laki ini, berani sekali bertanya tentang pembatalan pernikahan’. Ia mengernyitkan dahi, ingin memaki tapi masih memikirkan Kemala. Ia tentu akan malu sekaligus kecewa jika Mayang membuat keributan di acara pernikahannya. Dua bulan kemudian Mayang tampak sangat sibuk, beberapa hari belakangan, ia harus datang ke kantor polisi memenuhi panggilan sebagai saksi. Awalnya ia tidak mengerti mengapa dirinya harus berurusan dengan petugas penegak hukum. Setelah panggilan pertamanya, ia baru menyadari bahwa selama ini putrinya diam-diam menyiapkan sendiri drama penangkapan Herdian dengan berbagai bukti yang ia kumpulkan. “Jadi, selama ini dia menugaskan kamu untuk melakukan skenario yang telah ia susun sendiri?” tanya Mayang. Mereka keluar dari kantor polisi menuju ke tempat parkir. Sopirnya masih bermuka datar, tanpa mengatakan apapun, hanya mengangguk pelan. Mayang tak perlu penjelasan lagi, meski penasaran bagaimana Mirna dapat melakukan
“Tidak bisa begini!” Herdian berteriak, “KEMALA! Jawab AKU!” Kedua matanya memerah. Kemala masih memilih bungkam, ia sama sekali tidak terpengaruh dengan gertakan Herdian. Sementara sibuk mengatur emosi putranya, Yana membuang muka dari Kemala. Kemala melangkah ke luar, ia membisikkan sesuatu pada Yana. Namun seseorang menarik lengannya dengan sangat kasar sebelum ia mencapai pintu. Tangan yang sejak tadi terasa gatal mendarat keras di pipi mulus Kemala. Air mata Kemala seketika meluap tanpa ia sadari. “Saya bisa melaporkanmu atas tindak kekerasan dan penganiayaan terhadap putri saya.” Mayang memasang badan di depan Kemala. “Penjelasan apa lagi yang kamu butuhkan, Mas?” Kemala memegang pipinya yang terasa perih. “Perceraian itu tidak sah tanpa persetujuan suamimu!” serang Yana. “Saya pikir, anda tidak berhak ikut campur tentang urusan kami. Lagi pula–anda yang paling menginginkan perceraian kami sejak dulu. Lalu, mengapa sekarang justru tidak senang saat keinginan anda terwujud
Seluruh ruangan kehilangan suasana hening, tangisan mereka pecah memenuhi bangsal nomor 237. Petugas medis pun telah melepas alat bantu kesehatan yang sebelumnya melekat di tubuh Mirna. Kemala menenangkan hati Mayang yang sedang hancur. Raga yang telah ditinggalkan ruh milik Mirna pun di bawa ke ruang jenazah. Selanjutnya, mereka membawa tubuh tak bernyawa itu ke rumah kediaman Mayang dengan iring-iringan beberapa mobil pelayat yang ingin mengantarkan Mirna ke peristirahatan terakhirnya. Kemala sudah tak dapat mengeluarkan kristal beningnya lagi, mata sembabnya menjadi saksi kesedihan yang juga ia rasakan. Di tempat lain, Bramantyo dan Ponirah sangat gelisah. Sebab Kemala belum kembali padahal mereka akan menggelar pernikahan 14 jam dari sekarang. Terakhir kali ia mengabarkan kalau Mayang akan mengutus sopirnya untuk mengantar pulang pagi tadi. Namun, ia belum juga dapat dihubungi hingga saat ini. “Coba telepon lagi, Nak!” suruh Ponirah, ia tampak cemas. Bram menuruti perintah Po
“Kamu hanya harus sembuh!” seru Kemala, “Maka, aku tidak perlu menjadi Kakak yang buruk.” Kemala mengusap kepala Mirna.Rasa bersalah yang memenuhi hati Mirna semakin sesak, ia tidak dapat mengerti apa yang ada dalam isi kepala Kemala. Mengapa wanita itu masih bersikap baik padanya? Kira-kira terbuat dari apa hatinya, mati rasa ataukah sudah kebal?Butiran bening mengalir tanpa dapat dihentikan dari kedua netranya, Mirna tidak sanggup membayangkan betapa sulitnya menjadi Kemala. Dia menjalankan perannya tanpa amarah meski sebuah belati berkali-kali menusuknya dalam keadaan sadar. Ia harus menahan perasaan yang sangat luar biasa setiap melihat kebahagiaan Mirna dan Herdian. Tanpa berpikir untuk membalas dendam, ia justru bersikap baik alih-alih memusuhi Mirna.Pagi itu, Kemala telah membersihkan diri sebelum ia pamit untuk menghirup udara segar di sekitar Rumah Sakit, tidak untuk memanjakan pandangannya, ia hanya bu
Keheningan mulai menyusup di antara waktu yang sedang bergulir menuju pergantian hari. Suara derap langkah kaki-kaki yang berat menyisakan kekhawatiran di benak Kemala. Semakin dirinya mendekat ke arah ruang perawatan Mirna, semakin ia merasakan degup kencang yang menghujam dadanya.Sesekali ia mengedarkan pandangan ketika terdengar suara brankar yang berpacu dengan bunyi alas kaki beberapa orang. Jantungnya seakan-akan ingin meloncat, mendengar sayup-sayup suara tangisan dari arah yang lain. Terkadang ia mengintip wajah Mayang yang menyembunyikan kecemasan di balik senyuman.“Mirna pasti sembuh, saya yakin dia kuat.” Kemala meraih tangan Mayang yaang berayun seirama dengan langkah kakinya.Ia tersenyum kecut, lalu berkata, “Kuharap ia melewati masa kritisnya setelah bertemu denganmu.”Pintu kamar bernomor 237 terbuka, Mayang mendorongnya perlahan. Mereka masuk ke dalam ruangan sambil berjinjit agar Mi
“Terima kasih,” ucap Bramantyo. “Aku tidak tahu, apa jadinya tanpa kamu di sisiku.” Bram menatap sendu ke arah wanita di hadapannya. “Tidak perlu berterima kasih, semua yang terjadi dalam hidupmu hampir pasti mengambil bagian di dalam hidupku.” Senyumnya kembali mengembang, semakin meyakinkan Bram tentang ketulusan yang dimiliki Kemala. Mereka kembali memeriksa beberapa hal mengenai persiapan pernikahan yang akan digelar 2 hari mendatang. Bram merasa hidupnya lebih ringan, jalannya semakin mulus tanpa ada yang mengganjal lagi. Kemala memang benar, dendam dan luka saling berhubungan. Luka tidak akan pernah bisa sembuh ketika kita masih memelihara dendam, membiarkannya bertindak sesuka hati, mengambil alih sebagian besar ruangan di dalam hati kita. Setiap kali mendengarkan kalimat bijak yang keluar dari mulut Kemala, keserakahannya atas rasa marah seketika menciut, lalu kehilangan keberanian yang sebelumnya merebut kendali atas pemikirannya. Mereka memang dua manusia berbeda latar b
“Meskipun beliau bukan ibu kandungmu, kurasa ia memang tulus. Aku melihat dari sorot matanya yang penuh penyesalan.” Kemala tersenyum. Pria itu mendengarkan setiap kata yang diucapkan Kemala. Setiap kali berbicara dengan tunangannya, Bramantyo merasa tenang. Wanita yang akan ia nikahi memang selalu bersikap bijak menghadapi persoalan yang terjadi. Sebab itulah, ia yakin Kemala adalah orang yang tepat menjadi pendamping hidupnya. “Kapan kamu akan pergi?” tanya Bramantyo, ia menggandeng tangan Kemala. “Mungkin, besok pagi. Kebetulan besok aku berencana tutup toko.” Kemala melepas genggaman tangan Bram. “Baiklah, kuharap tidak ada lagi hambatan yang memberatkan persiapan pernikahan kita.” Bram melangkah pergi, ia meninggalkan Kemala yang tengah berdiri di depan rumahnya._____________ Seperti yang Kemala janjikan, ia mengunjungi rumah kediaman Sekar. Ia membawa rantang berisi beberapa kue dan masakan kesukaan Sekar. Setelah Bram meninggalkan rumahnya tadi malam, Kemala mencari tahu
Bramantyo hanya bisa menatap Kemala lekat tanpa dapat mengeluarkan suara, di dalam pikirannya berkecamuk berbagai hal, menghimpit isi kepalanya yang tak mampu menemukan jalan keluar. Di hadapannya, Kemala memilih untuk tidak memaksakan diri agar Bram menuruti apa yang ia katakan tentang melepas segala beban. Justru Kemala lebih memahami keinginannya, wanita itu membiarkan Bram berpikir sejenak tentang sesuatu yang merenggut setengah ruangan di dalam benaknya. “Kurasa wafle madu dengan secangkir coklat panas, cukup menyenangkan.” Kemala tersenyum tulus. Yah, dia selalu tahu apa yang dibutuhkan Bram saat ini. Sudah lama Bram tidak menikmati makanan buatan Kemala itu, ia selalu menyempatkan diri menyantapnya di echo bakery, paduan rasanya cukup mampu meringkus kejenuhan yang kerap ia rasakan. “Tapi–apakah masih tersedia untukku?” Bram membalas senyum calon istrinya. “Tentu. Tidak akan lama, kamu dapat menunggu sembari bermain bersama Dylan.” Kemala menarik tangannya, mereka pergi
Setelah Marco mengantarkan Sekar sampai ke luar rumah, ia kembali menemui Bramantyo. Kali ini Marco tidak ingin bungkam, jika sebelumnya ia memilih tidak bersuara karena dirinya berada di posisi salah, sekarang tidak begitu. Marco merasa terusik untuk menjelaskan tentang bagaimana seorang Sekar sesungguhnya. “Apa lagi yang kamu mau?” Bram bertanya sinis saat melihat Marco datang. “Tidak ada. Aku hanya ingin kamu lebih membuka hati. Oke, kalau di masa lalu Bu Sekar memang pribadi yang buruk. Namun, cobalah sedikit berempati sebab aku tahu beliau bertahun-tahun melakukan banyak hal demi bisa menebus dosa-dosanya padamu.” Marco menatap Bram sangat tajam. “Siapapun bisa dengan mudah mengatakan hal semacam itu, termasuk kamu. Tapi, aku tidak yakin kau akan tetap berpikir begitu jika kau berada di posisiku.” Bram tidak kalah kesal dari Marco. Perdebatan di antara mereka berujung saling diam, hingga saat Kemala datang. Mereka masih dalam situasi canggung, tidak ada seorang pun diantar