“Kuharap ibu tidak benar-benar marah,” ujar Herdian, “Aku pun menepati janjiku untuk membeli makanan sesuai pesanan ibu.” Herdian Menyajikan makanan di atas meja makan yang sudah ia bersihkan sebelumnya. “Ini baru yang namanya makan,” gumam Yana, ia mulai mencicipi makanannya. Wanita itu menyantap makanan yang ia inginkan. Kali ini ia menikmati makan siang keduanya dengan lahap. Melihat Yana yang sedang makan dengan wajah bahagia, Herdian tersenyum. Ia merasa lega karena dapat menuruti permintaan ibunya meskipun bukan ia yang membelinya. Semua makanan itu dibeli oleh Mirna. Beberapa barang seperti pakaian juga ia terima dari gadis kaya pilihan ibunya. Herdian mulai tergiur dengan kemewahan yang ditawarkan Mirna. Gadis itu pun berjanji untuk mengusulkan pada ibunya agar Herdian dapat bekerja di perusahaan keluarganya. Tentu semua itu berkat kisah mengharukan yang diceritakan oleh Yana pada Mirna tentang kehidupan Herdian. Yana sengaja mengarang cerita yang dapat menyentuh hati M
Sementara Kemala sibuk merawat ayahnya, Herdian memanfaatkan kesempatan tersebut untuk lebih gencar mendekati Mirna. Bahkan ia berhasil meyakinkan Mayang untuk memberi lampu hijau pada hubungan mereka. Ternyata rencana berjalan dengan mulus, ia tidak hanya mendapat restu untuk menjalin hubungan dengan Mirna. Namun ia juga diminta bergabung dengan perusahaan serta mendapatkan fasilitas berupa tempat tinggal dan kendaraan. “Apakah sebaiknya aku jujur pada Kemala tentang pekerjaan dan fasilitas yang kudapatkan, Bu?” Herdian mulai gamang, ia merasa ragu apakah langkah ini tepat untuk hidupnya. “Herdi, kamu sudah terlanjur masuk dalam rencana ini. Jangan merusak semuanya hanya karena Kemala. Toh, nanti dia juga yang enak kalau kamu sukses.” Yana menyerang sisi lemah Herdian. Wanita itu tahu betul cara meneguhkan kembali tekad putranya. Kemala bukan hanya istri tetapi juga kekuatan sekaligus kelemahan Herdian. Oleh sebab itu, dia pun menggunakan Kemala agar Herdian meneguhkan kembali n
Beberapa kali Vita memanggil nama Kemala dari luar ruang produksi. Namun Kemala tidak menyahut, padahal suaranya cukup keras. Sementara pelanggannya menunggu kue pesanan yang seharusnya telah siap diambil. Vita mencoba mengulur waktu dengan menyambutnya dengan baik. Ia tidak ingin membuat pelanggan tersebut kecewa.“Bu, mungkin pesanan ibu sedang dikemas. Untuk mengisi waktu sembari menunggu, silahkan nikmati espresso latte dan soufle kacang yang kami buat khusus untuk hari ini!” Vita sengaja tersenyum lebar.“Terima kasih, saya harap pesanan segera siap. Saya tidak punya banyak waktu lagi, acara akan segera dimulai.” Air muka wanita tua itu agak kesal.Vita masih berusaha tersenyum. Dalam hatinya ia berharap Kemala segera membawa keluar pesanan wanita tua itu. Gadis itu belum pernah melihat Kemala seperti ini sebelumnya. Biasanya wanita itu selalu menyelesaikannya tepat waktu.Langkah kaki mungilnya t
“Beruntung pria itu tidak bertemu denganku,” gumam Mayang, “Aku sungguh ingin menghajar pria yang menghancurkan hidup putriku.” Wanita paruh baya itu pun tampak Geram. Vita dan Kemala saling memandang satu sama lain. Entah apa yang dipikirkan keduanya, sepertinya ada kalimat Mayang yang membuat mereka agak bingung. Mungkin lebih tepatnya terkejut, terutama Kemala. Sekarang Vita mengernyitkan dahinya. Dalam benaknya, ia mulai berpikir tentang pria yang disebut sebagai ayah Dylan dan masih berstatus sebagai suami Kemala. Ia yakin jika telinganya tidak salah mendengar. Mayang menyebut kalau putrinya hancur karena pria yang tadi juga membuat Kemala sedih. “Maaksud Bu Mayang, Bu Mirna juga–“ Vita terpaksa menghentikan kalimat yang akan ia katakan karena Kemala mencolek pinggangnya agak keras. “Bagaimana? Sepertinya tadi kamu mengatakan sesuatu, Vita.” Mayang menoleh pada Vita yang mendadak bungkam dengan wajahnya yang merah padam. “Tiiidak! Emm–maksud saya, Vita tadi berniat menan
Seketika Kemala terhenyak, ia terbangun dari mimpi buruk yang memaksa jiwanya tinggal. Padahal ia baru saja menatap lukisan itu, entah kapan ia memejamkan kedua matanya. Kalimat yang dikatakan seseorang di dekat ruang dengarnya begitu jelas. Sosok itu samar, seorang pria dengan masker hitam, menutup sebagian wajahnya. Namun tatapan tajam sepasang mata elangnya seolah masih mengikuti Kemala. “Yah, sepasang mata itu–aku tidak asing dengan tatapannya,” gumam Kemala, kedua tangannya menepuk-nepuk pipinya sendiri. “Ada apa, Kak?” Vita yang baru saja memasuki ruang produksi heran dengan sikap Kemala. “Tidak apa,” jawabnya singkat, “Vita, apakah ada pesanan baru hari ini?” Kemala berpura-pura sibuk merapikan peralatan untuk mengecoh perhatian Vita. “Belum ada, Kak. Tapi, akan ada seseorang yang datang malam nanti. Sepertinya pelanggan terakhir kita hari ini.” Vita tersenyum lalu kembali ke tempatnya. Tidak ingin repot-repot berpikir, Kemala kembali membersihkan meja kerjanya. Sejak
Kemala bergegas turun ke lantai satu untuk menanyakan sesuatu hal pada Vita. Ia yakin Vita mengetahui sesuatu. Entah mimpi atau apalah itu, Kemala sudah tidak dapat lagi membedakannya. Semua bercampur, mungkin karena selama ini ia berusaha menekan dirinya agar tetap kuat walaupun sebenarnya rapuh. “Vita ... Vita ... Vita–tolong jawab pertanyaanku dengan jujur.” Kemala masih sibuk mengatur napasnya yang terengah-engah. Sementara gadis di hadapannya menatap bingung. Ia tetap tak bergeming, keningnya mengernyit. Terpaku menunggu kalimat selanjutnya yang mungkin akan keluar dari mulut Kemala. Dan–benar saja, Kemala bertanya, “Apakah kamu tahu sesuatu tentang kalimat yang tadi kukatakan?” Hampir 10 detik berlalu, gadis di hadapan Kemala hanya bungkam. Ia pun tak kalah bingungnya dengan sikap Kemala. Sekali lagi Kemala mendesak gadis itu agar memberikan sebuah informasi padanya terkait kalimat yang terukir jelas di dalam benaknya. “Vita–dengar, hal ini penting untukku. Tapi, baikla
“Ini tidak mungkin, bukan?” Kemala memastikan nama pengirim pada kertas tanda terima barang. “Pasti ada yang salah.” Kemala menyodorkan kertas itu pada Vita. Gadis yang ada di hadapannya menyambar secarik kertas itu dari tangan Kemala. Kemudian ia mengernyitkan dahinya tanda tidak mengerti maksud kalimat yang dilontarkan Kemala. Sebelum ia mengatakan sesuatu, Kemala kembali merampasnya dari tangn Vita. Tentu saja sikap Kemala semakin membuatnya bingung. Akan tetapi, gadis itu tersadar, nama yang tertera sebagai pengirim memang asing. Bahkan ia baru mendengarnya sekarang. Lantas ia berpikir, apakah si Kurir salah mengirimkan lukisan tersebut? Kalau memang salah, seharusnya alamatnya bukan echo bakery. “Kak–Kakak benar tidak mengenal si Pengirim lukisan?” Vita angkat bicara sambil menatap Kemala. “Nah, itu yang membuatku heran. Anehnya si Pengirim lukisan itu adalah ....” Kemala tidak melanjutkan kalimatnya. “Siapa, Kak?” Vita semakin penasaran. “Bhre Atman.” Kemala menunjuk
Momen kebersamaan Kemala, Dylan dan Bram menjadi pemandangan indah bagi Mayang sore itu. Layaknya seorang ibu yang bahagia atas senyum putrinya, Mayang tidak ingin mengganggu mereka bertiga yang sedang asyik bercengkerama. Diam-diam Mayang menjauh dari mereka. Wanita itu menghampiri Vita yang baru saja melayani pelanggannya. Sementara Vita hanya tersenyum melihat majikannya yang tampak lepas menikmati waktu yang sedang bergulir. “Saya selalu berharap, Kemala akan segera membuka hatinya untuk pria itu.” Mayang sedikit berbisik pada Vita sambil melihat ke arah Kemala. “Mereka terlihat seperti keluarga,” gumam Vita, ia pun melihat ke arah yang sama. “Nanti, tolong sampaikan pada Kemala bahwa saya harus pulang karena ada urusan.” Wanita paruh baya itu segera keluar dari Echo Bakery setelah berpamitan pada Vita. Ternyata kepergian Mayang disadari oleh Kemala. Ia pun segera menyusul Mayang. Wanita paruh baya yang telah dianggapnya ibu itu juga menghentikan langkahnya sebelum masuk