Share

Pupus

Penulis: Ayaya Malila
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Pria itu sama sekali tak peduli tatkala Jingga merintih kesakitan. Ganendra terus bergerak memuaskan hasratnya sampai tuntas.

Dia sama sekali tak memedulikan air mata Jingga yang meleleh. Ganendra bahkan melanjutkan aksinya di atas ranjang.

Entah berapa detik dan menit berlalu, Jingga tak lagi menghitung. Dia terlalu lelah dan lemah. Bahkan untuk mengangkat tangan saja dirinya tak sanggup. Gadis malang itu terkulai di atas ranjang setelah Ganendra 'memakannya' dengan beringas.

Jingga tertidur pulas seperti orang pingsan. Dia baru terbangun saat mendengar dering ponsel yang berbunyi nyaring di sekitar kepalanya.

Jingga mengangkat kepala dan mendapati sebuah telepon genggam mahal tengah menyala. Nama Hilda tertera di layarnya.

Ragu-ragu dia hendak membangunkan Ganendra yang tidur dalam posisi tertelungkup. Hati-hati dia menyentuh permukaan punggung yang dihiasi bulu-bulu halus.

"Pak, ada telepon," ucap Jingga pelan.

Sentuhan lembut ternyata tak membangunkan pria itu, sehingga Jingga harus menepuknya lebih keras. Namun, Ganendra malah mendengkur halus.

"Pak ...." Jingga menggoyang-goyangkan lengan pria tampan itu. Setengah terkejut, Ganendra terbangun. Refleks dia meraih tangan Jingga dan mencekalnya kuat-kuat.

Jingga sama terkejutnya. Tubuhnya membeku selama beberapa saat. Iris mata hitamnya beradu dengan iris mata coklat terang milik Ganendra.

"Ada apa?" desis Ganendra.

"Telepon anda berbunyi tadi. Se-sekarang sudah mati." Jingga tergagap.

Ekor mata Ganendra bergerak ke arah ponselnya yang tergeletak di atas bantal. Dia lalu meraih ponsel itu dan memeriksa catatan panggilan.

Ganendra mengempaskan napas pelan saat membaca nama kontak yang masuk. Dia pun memutuskan untuk menelepon balik.

"Kenapa meneleponku pagi-pagi begini, Hil?" ujar Ganendra saat seseorang di seberang sana menerima panggilannya.

"Lagi di mana, Ga? Bukannya kamu sudah berjanji mengantarkanku belanja?" balas suara wanita yang samar-samar tertangkap oleh telinga Jingga.

"Kapan aku berjanji? Berapa kali harus kukatakan jika minggu pertama awal bulan, aku tidak mau diganggu siapapun! Kalau mau belanja, belanja saja. Jatah bulananmu sudah kutransfer kemarin, kan?" timpal Ganendra.

"Ck! Kamu nggak peka!" sentak wanita di seberang sana, sebelum mengakhiri telepon secara sepihak. Namun, Ganendra tak ambil pusing. Dia melemparkan ponsel itu, lalu kembali tidur.

Jingga yang sudah kehilangan rasa kantuknya, hanya bisa duduk terpaku di samping Ganendra. Dia terus memperhatikan punggung lebar itu sambil meremas selimut putih yang menyelimuti tubuhnya hingga ke dada.

Tak disangka, Ganendra tiba-tiba berbalik menghadap Jingga. Lagi-lagi pandangan mereka menyatu. "Jangan pernah bertanya macam-macam! Aku tidak suka perempuan cerewet!" ujar Ganendra mengingatkan.

"Kamu cukup melakukan tugasmu dengan baik selama seminggu ini, yaitu melayaniku." Ganendra menyeringai sembari menarik tubuh Jingga agar mendekat kepadanya.

Dia tiba-tiba menghentikan geraknya saat menyadari bahwa Jingga tengah menangis. "Kenapa?" tanya Ganendra tak suka.

Jingga menggeleng lemah. "Aku sudah membuat keputusan bodoh," isaknya lirih.

Ganendra sempat terheran-heran. Baru kali ini dia menyewa seorang gadis, dan menjanjikannya uang yang banyak. Bukannya bahagia, gadis itu malah bersedih.

Namun, pada akhirnya Ganendra tak peduli. Seperti yang telah dia katakan, selama seminggu penuh Jingga dikurung bak narapidana. Selama itu pula, Jingga menjadi budak Ganendra. Pria rupawan itu benar-benar tak membiarkan Jingga diam sedikitpun.

Ganendra memakai Jingga kapan saja dia mau. Dia juga tak keluar sama sekali dari apartemen mewahnya barang sedetikpun. Untuk urusan perut, Ganendra memiliki pegawai khusus yang bertugas mengantarkan makanan sebanyak tiga kali dalam sehari. Hal itu terus terjadi sampai di hari ketujuh, hari terakhir Jingga tinggal bersama Ganendra.

"Apa barangmu hanya ini?" Ganendra mengangkat tas selempang kecil milik Jingga.

Gadis itu mengangguk lemah. "Lalu, bagaimana dengan baju yang saya pakai ini, Pak? Kapan saya harus mengembalikannya?" Jingga balik bertanya.

"Pakai saja. Lagipula, baju itu tak terpakai. Masih banyak di lemari," jawab Ganendra enteng.

Rasa hati ingin menanyakan, pakaian-pakaian itu milik siapa. Akan tetapi, Jingga sadar diri dengan posisinya yang hanyalah seorang wanita bayaran.

Tak dapat dipungkiri, seminggu terkurung bersama Ganendra, telah menumbuhkan perasaan aneh sekaligus istimewa dalam hati Jingga. Namun, dia memilih untuk memendam dan menghapusnya.

"Periksa rekeningmu. Aku sudah menransfernya barusan," ujar Ganendra, membuyarkan angan Jingga. "Oh, ya. Kamu tidak perlu memberi tips pada Anton. Aku sendiri yang akan memberikannya nanti," imbuhnya.

"Iya, Pak. Terima kasih." Jingga memaksakan senyum. Ada banyak hal yang ingin dia ungkapkan pada pria itu. Sayang, semua harus tertahan di dada.

"Anton sudah datang. Dia menunggu di bawah," ucap Ganendra memecah keheningan yang hadir sejenak.

"Selamat tinggal, Pak." Pertama kali dalam seumur hidup, Jingga melakukan sesuatu yang menurutnya teramat berani. Jingga tiba-tiba menyentuh pipi Ganendra, lalu berjinjit mengecup bibir tipis pria itu.

Perasaannya campur aduk, tapi Jingga tak berani menatap Ganendra. Dia langsung berbalik meninggalkan apartemen tanpa menoleh lagi.

Entah apa yang Jingga tangisi. Yang jelas kini dia sibuk menghapus air mata sebelum pintu lift terbuka.

Sesampainya di lobi, Jingga memasang wajah ceria. Dia tersenyum ramah saat Anton menghampirinya.

"Terima kasih, ya!" ucap Anton tiba-tiba.

"Untuk apa?" Jingga menautkan alis tak mengerti.

"Saking puas dan senangnya dengan pelayananmu, Pak Ganendra memberikan tips yang cukup besar buatku," jelas Anton antusias. "Kamu berhasil menaklukkan dia. Padahal selama ini, dia terkenal sangat rewel," lanjutnya.

"Oh, ya?" Pipi mulus Jingga bersemu merah. Setitik harapan muncul di dalam hati. "Apa saya bisa bertemu dengan dia lagi?" tanyanya ragu.

"Kalau itu sepertinya tidak mungkin. Pak Ganendra hanya mencari yang benar-benar perawan. Dia tidak pernah memakai wanita yang sama lebih dari sekali," beber Anton, menghancurkan harapan Jingga seketika.

"Oh." Hanya itu yang bisa Jingga ucapkan. Gadis itu terdiam sejak keluar dari kompleks apartemen mewah sampai tiba di depan rumah peninggalan orang tuanya.

Rumah itu tampak sederhana, tapi bersih. Lengkap dengan pekarangan yang mungil dan asri. Sambil memasang raut lesu, Jingga membuka pagar kayu setinggi pinggang, kemudian menoleh ke belakang. Tampak Anton sudah bersiap melajukan mobilnya.

"Masuk dulu, Pak Anton," tawar Jingga.

"Kapan-kapan saja. Bos sudah menunggu," jawab Anton ramah dari balik kemudi. Pria itu melambaikan tangan sebelum berlalu.

Jingga tersenyum getir saat sedan hitam milik Anton sudah tak tampak dari pandangan. Dia kembali melanjutkan langkah menuju teras.

Sekilas Jingga melirik sebuah motor yang terparkir di halaman sambil menghela napas panjang. Motor tersebut adalah milik sang paman. Artinya, pria itu sedang ada di rumah. "Kebetulan," gumam Jingga.

"Om?" panggil Jingga saat tak menemukan keberadaan pamannya di ruang tamu. "Om, aku punya dua ratus juta! Apa om bisa mengubah jangka waktu pelunasan dengan pihak bank?" serunya.

Beberapa saat kemudian, seorang laki-laki paruh baya tergopoh-gopoh keluar dari bagian dalam rumah. "Jingga?" desis pria yang tak lain adalah pamannya. "Dapat darimana uang sebanyak itu?"

"Tidak penting aku dapat darimana, asalkan rumah peninggalan ayah tidak disita," sahut Jingga kesal. "Apa om bisa menghubungi pihak bank untuk menjadwalkan ulang pembayaran utang?"

"Jingga ...." Pria itu tampak gugup dan salah tingkah. "Maaf, tapi ...."

"Apa?" Jingga mulai tak sabar melihat sikap sang paman.

"Maaf, kalau Om tidak jujur. Sebenarnya, rumah ini bukan hendak disita oleh pihak bank, tapi oleh seseorang yang pernah meminjamkan uang dalam jumlah besar pada Om," jawabnya.

Bab terkait

  • Pernikahan Sebatas Status   Kedua Kali

    "Apa maksudnya, Om?" Jingga menggeleng tak mengerti. "Surat pemberitahuan penyitaan oleh bank itu palsu, Ngga. Maafkan om." Pria paruh baya itu tiba-tiba bersimpuh di hadapan Jingga. Dia memeluk kaki keponakannya itu sambil tergugu. "Jingga nggak ngerti, Om," desis gadis itu lirih. Setelah semua pengorbanan yang dia lakukan, tiba-tiba saja pamannya berkata demikian. "Om hanya ingin memperbaiki hidup kita. Ayahmu dulu sudah menyerahkan tanggung jawab untuk merawatmu pada Om, Nak. Om malu kalau selamanya kita harus hidup susah," paparnya. "Om Lukman, tolong jangan bertele-tele." Jingga berusaha melepaskan diri dan menjauh dari pamannya. Masih dalam posisi bersimpuh, pria bernama Lukman itu mendongak dengan air mata bercucuran. "Lima tahun lalu, Om meminjam uang lima ratus juta pada seorang teman lama. Uang itu Om pergunakan untuk membuka bisnis kecil-kecilan. Awalnya, bisnis berjalan lancar. Om bisa membelikan segala macam kebutuhan kita, sekaligus membayar cicilan utang dan bagi

  • Pernikahan Sebatas Status   Dua Wanita

    "Kamu kenal dia, Ngga?" bisik Lukman.Jingga tak menjawab. Dia hanya bisa terpaku dengan tatapan yang terkunci pada Ganendra.Sementara Ganendra yang juga sempat terkejut, segera mengendalikan diri. Dia berdehem pelan, lalu mengalihkan pandangan pada Sandra yang berdiri tepat di sebelahnya."Mana catatan dari Papa?" tanya Ganendra seraya mengambil tempat duduk di hadapan Lukman dan Jingga."Ini, Pak." Sandra menyerahkan map berisi beberapa lembar kertas.Ganendra membaca dengan saksama, kata demi kata yang tertulis di sana. Sesekali matanya melirik ke arah Jingga yang terus memandangnya dengan sorot tertegun."Jadi ... anda yang bernama pak Lukman?" tanya Ganendra membuka pembicaraan."Betul, Pak. Saya sudah mengenal ayah anda sejak lama," jawab Lukman. Ganendra mengangguk, lalu beralih pada Jingga. "Kamu?" tanyanya lagi."Dia keponakan saya, Pak. Dia saya ajak kemari karena saya memakai rekening dia untuk membayar utang," sahut Lukman sebelum Jingga sempat menjawab."Begitu rupanya,

  • Pernikahan Sebatas Status   Perjanjian

    "Instingku tajam, Sayang. Aku bisa mencium niatmu. Anak manja yang berprofesi sebagai seorang artis, tentu saja harus mencari suami kaya raya untuk menyokong biaya hidupnya yang mewah dan fantastis," cibir Ganendra."Lalu, kamu akan memaksaku untuk mengesahkan pernikahan kita. Itu artinya, kamu bisa menuntut segala hal, termasuk harta. Apalagi kalau kau berhasil memiliki anak. Mungkin kamu akan memerasku sampai habis." Ganendra terkekeh pelan."Kamu gila," desis Hilda."Oh, tidak. Aku tidak gila. Aku hanya memaksimalkan ini." Ganendra mengetuk-ngetuk pelipisnya menggunakan telunjuk, lalu melepaskan genggamannya dari tangan Hilda. Dia mendorong wanita cantik itu pelan."Kalau kamu pikir aku menyerah hanya karena gertakanmu, kamu salah, Ga! Aku tidak akan mundur! Aku akan tetap berjuang menjadi satu-satunya untukmu!" seru Hilda penuh percaya diri."Terserah kamu saja! Aku tidak peduli!" timpal Ganendra dingin. Dia membalikkan badan dan meninggalkan Hilda begitu saja di dalam kamar. Gan

  • Pernikahan Sebatas Status   Ancaman Ganendra

    Jingga tertawa sinis. "Permainan apalagi yang anda rencanakan, Pak?" tanyanya curiga. "Yang jelas, rencanaku sangat menguntungkan bagi dirimu," jawab Ganendra percaya diri. "Oh, ya?" Jingga mengangkat wajah, seakan menantang Ganendra. "Kubebaskan semua utang-utang pamanmu. Rumah ini tidak akan kusita. Surat perjanjiannya menyusul nanti, setelah kamu menyetujui semua," jelas Ganendra dengan raut datar sambil terus menatap mata bulat Jingga. Wajah gadis itu tampak polos. Tak ada lipstik, bedak ataupun maskara yang biasa dia lihat di wajah Sandra dan Hilda. Namun demikian, kecantikan Jingga tetap terpancar. Ganendra susah payah untuk tidak tergoda. Sayang, bayangan adegan panasnya bersama Jingga tiba-tiba berputar jelas di dalam kepala. Tanpa sadar, ujung ibu jari Ganendra menyentuh bibir Jingga yang ranum dan kemerahan. Dia mengusap bibir itu lembut dan penuh perasaan, sambil memorinya memutar kebersamaan dengan Jingga selama tujuh hari ke belakang."Bagaimana, Jingga? Aku menunggu

  • Pernikahan Sebatas Status   Sah vs Siri

    Ancaman Ganendra, membuat Jingga lebih banyak diam. Sesekali dia melirik Ganendra yang serius mengemudi, hingga kendaraan yang mereka tumpangi tiba di sebuah klinik ibu dan anak."Untuk apa kita ke sini?" Jingga terpaksa membuka suara, karena instingnya merasakan sesuatu yang berbahaya."Konsultasi ke dokter kandungan," jawab Ganendra datar."Konsultasi tentang apa?" cecar Jingga.Ganendra tampak risi dengan pertanyaan Jingga yang bertubi-tubi. Dia mengempaskan napas panjang, lalu menatap tajam ke arah gadis cantik itu."Sesuai dengan perjanjian, kamu dilarang hamil selamanya," ujar Ganendra."Lantas?" Jantung Jingga berdebar. Dia meremas ujung dressnya kuat-kuat."Aku ingin berdiskusi pada dokter kandungan untuk program sterilisasi rahim," jawab Ganendra enteng."Apa?" Jingga melotot tak percaya. "Keterlaluan kamu, Pak!" serunya hilang kendali. "Aku tidak mau!""Kalau kamu tidak mau, maka bersiaplah untuk ....""Terserah mau anda apakan rumah itu! Ambil saja semuanya! Jika bisa, ambi

  • Pernikahan Sebatas Status   Tawaran Hilda

    "Kok kamu ada di sini? Bukannya sekarang jadwal kamu tinggal di apartemenmu sendiri?" tanya Ganendra tak suka."Aku bisa berada di manapun yang aku mau!" sentak Hilda. "Siapa perempuan ini, Ga!" serunya sambil mengarahkan telunjuk pada Jingga."Oh, ya. Aku belum sempat mengenalkannya padamu." Ganendra kembali merengkuh tubuh ramping Jingga sambil merapikan baju gadis itu yang sedikit berantakan.Hilda memperhatikan itu semua dengan sorot penuh amarah. "Jangan katakan kalau dia simpananmu yang baru?" desis Hilda."Kamu salah, Hil. Dia bukan simpanan. Jingga adalah istriku yang sah. Kami menikah secara resmi di KUA tadi pagi," timpal Ganendra."Apa?" Hilda melotot tajam. "Lelucon macam apa ini?""Sayangnya, ini bukan lelucon," balas Ganendra. Dia kemudian beralih pada Jingga yang ketakutan. "Coba ambil buku nikah kita," suruh Ganendra seraya menunjuk ke tas selempang milik Jingga yang tergeletak di ranjang.Ragu-ragu Jingga mengikuti perintah Ganendra. Dia membuka tas dan mengeluarkan d

  • Pernikahan Sebatas Status   Negatif

    "Sa-saya ...." Jingga menelan ludah berkali-kali. Dia tak menyangka bahwa Hilda akan memberikan penawaran semenarik itu. Jika Jingga memiliki uang sebanyak yang Hilda sebutkan, tentu dia tak akan bersedia dinikahi oleh Ganendra. "Bagaimana cara saya meninggalkan Pak Ganendra?" tanyanya polos. "Gampang, kamu tinggal pergi dari sini," jawab Hilda enteng. "Lalu? Status pernikahan saya?" Jingga mulai goyah. "Tinggal ajukan cerai saja. Gampang, kan?" Hilda menjentikkan jari. "Andai semudah itu." Jingga mengempaskan napas pelan. "Apanya yang sulit? Ganendra bukan tipe pria yang berlutut memohon pada wanitanya agar tidak pergi. Dia cenderung cuek dan tidak peduli. Bagi Ganendra, wanita hanyalah mainan pelengkap dalam hidupnya," ungkap Hilda. "Masalahnya ...." Jingga menggigit bibir. Dia bimbang hendak mengatakan pada Hilda jika pernikahannya dengan Ganendra, hanyalah sandiwara semata. Entah apa yang akan Ganendra lakukan padanya j

  • Pernikahan Sebatas Status   Uang Pengganti

    Jingga terbangun saat ponselnya berdering nyaring. Gadis itu tak segera mengangkat telepon. Dia diam sejenak sambil mengumpulkan kesadaran.Jingga mengucek mata sebelum mengeja nama yang tertera di layar ponsel. "Om Lukman?" gumamnya heran.Buru- buru dia menerima panggilan itu. "Halo, ada apa, Om?" sapa Jingga."Tidak apa-apa, Nak. Om hanya ingin tahu kabarmu? Apa ... Pak Ganendra memperlakukanmu dengan baik?" tanya Lukman ragu-ragu.Perhatian yang cukup terlambat bagi Jingga. Namun demikian, dia tetap membalas hal itu dengan sikap yang cukup baik. "Seperti yang om katakan kemarin. Pak Ganendra pasti akan membahagiakan aku," jawab Jingga."Syukurlah. Om tak bisa membayangkan kalau dia menyakitimu. Om pasti akan merasa sangat bersalah," sesal Lukman."Jangan khawatir, aku ...." Jingga terpaksa menjeda kalimatnya saat menyadari bahwa Hilda sudah tidak ada di kamar Ganendra. "Nanti kutelepon lagi, Om." Jingga mengakhiri panggilan secara sepihak. Dia beringsut turun dari ranjang dan bern

Bab terbaru

  • Pernikahan Sebatas Status   Awal Kisah Indah

    "Sejak aku pindah kemari, aku berangan-angan untuk melangsungkan pernikahan di resort yang kubangun dengan tangan sendiri. Sepertinya, cita-cita itu akan segera terwujud. Aku sudah mendapatkan pasangan sehidup sematiku." Ganendra mengecup punggung tangan Jingga yang sedari tadi dia genggam. "Jadi, apakah aku sudah boleh mengabari Bu Gita dan Pak Haidar?" tanya Jingga ragu. "Aku yakin Armas sudah menghubungi orang tuanya lebih dulu," cetus Ganendra. "Orang tuanya juga merupakan orang tua anda, Pak. Kalian bersaudara kandung," tutur Jingga. "Aku belum mengenalnya sama sekali. Mungkin besok aku akan mengajaknya ngobrol dari hati ke hati," ucap Ganendra. "Sekaligus mengatur pernikahan kita?" pinta Jingga penuh harap. "Itu pasti. Aku akan mengatur semuanya. Tak akan kubiarkan kamu menghilang lagi," tegas Ganendra. "Anda yang menghilang," balas Jingga."Gara-gara kamu!" Ganendra tak mau kalah. "Siapa yang tidak patah hati mendengar kabar kalau kamu menikah dengan Dewandaru?""Harusny

  • Pernikahan Sebatas Status   Cincin Kawin

    "Aku pertama kali merasakan jatuh cinta hanya denganmu. Kamu begitu berbeda dibandingkan wanita-wanita yang pernah dekat denganku. Perpisahan kita meninggalkan ruang kosong di sini." Ganendra menyentuh dadanya dengan ujung telunjuk. "Tak ada satupun yang bisa menggantikan posisimu, sampai detik ini," ungkap Ganendra tanpa malu. Dia mengesampingkan ego dan gengsinya demi membuat Jingga mengerti apa yang dia rasakan selama dua tahun terakhir. "Aku masih menyimpan cincin kawin kita," imbuh Ganendra. "Berlian merah," sahut Jingga sembari tersenyum. "Aku juga masih menyimpannya dan kubawa ke mana-mana." "Oh, ya?" "Iya!" Jingga mengangguk yakin. Dia lalu berdiri meraih tas selempang yang teronggok di sudut kamar dan mengeluarkan sebuah kotak beludru kecil. Jingga membuka kotak cincin itu kemudian menunjukkan isinya pada Ganendra. "Kenapa tidak kamu pakai?" tanya Ganendra dengan nada protes. Jingga menggeleng lemah. "Setiap kali aku memakainya, aku selalu teringat pada anda," jawabnya l

  • Pernikahan Sebatas Status   Penantian Akhir

    Ganendra melajukan SUV-nya dalam kecepatan sedang. Dia berkali-kali melirik ke arah Sophia yang nyaman tertidur dalam pangkuan Jingga di kursi tengah. Ganendra menyesal karena tak memiliki kursi khusus bayi dan balita. Sebenarnya, dia juga tak mengira akan bertemu dengan Jingga pada saat seperti ini. "Turunkan aku di South Street saja, supaya tidak perlu berbelok terlalu jauh," ujar Maude. "Tidak apa-apa. Ini sudah larut malam. Tidak baik wanita berjalan sendirian," sahut Ganendra. Jingga buru-buru memejamkan mata agar tak perlu mendengarkan percakapan itu. Namun, sepertinya semua sia-sia. Dia tidak bisa tidur sama sekali. Dadanya terasa sesak dan panas. Jika tidak memiliki rasa malu, mungkin Jingga akan menangis meraung-raung saat itu. Sekitar sepuluh menit kemudian, Ganendra menghentikan kendaraannya di depan sebuah rumah dua lantai. "Jangan lupa, besok jam sepuluh pagi," ucap Ganendra sambil membantu Maude turun dari kendaraan. "Iya, Tuan Pemaksa. Aku belum pikun," gurau Maude

  • Pernikahan Sebatas Status   Damai

    Beberapa saat kemudian, seorang wanita paruh baya menghampiri Jingga. Wanita itu berwajah Asia dan menanyakan sesuatu dalam bahasa yang tidak Jingga mengerti. "Maaf, saya tidak paham bahasa Mandarin," tolak Jingga sopan. Namun, wanita itu bersikukuh. Dia malah mengeluarkan peta dan menunjukkannya pada Jingga. Wanita tersebut menunjukkan beberapa titik pada peta. Jingga terpaksa memperhatikan, sehingga tak menyadari Sophia yang beringsut turun dari sofa. Balita cantik itu tertarik pada bola warna-warni yang menggelinding dari salah satu barang bawaan pengunjung bandara. Kaki Sophia yang mungil berlari pelan mengikuti arah gerak bola sampai berhenti di depan pintu kaca yang terus bergerak, bergeser membuka dan menutup. Sophia ragu hendak melewati pintu itu, sampai sepasang tangan mencegahnya. "Sophia! Hampir saja mama kehilanganmu," tegur Jingga. Dia membungkuk, hendak menggendong Sophia ketika tatapannya terpaku pada sepasang kaki berbalut celana bahan yang berdiri di depannya dan t

  • Pernikahan Sebatas Status   Oranje Licht

    "Anda tidak sedang bercanda, kan?" Suara Jingga bergetar menahan emosi yang meletup-letup di dalam dada. Perutnya terasa mulas sekaligus geli. "Selama ini, akulah yang menghalangi pencarian Bu Gita. Padahal sudah beberapa bulan terakhir ini aku menemukan keberadaan Ganendra, tapi aku menyembunyikannya dengan segala cara dari kalian," ungkap Dewandaru. "Di mana dia?" Air mata haru mengalir deras di pipi Jingga. "Di Belanda. Ganendra membangun resort di pesisir Utara. Kamu bisa mencarinya di mesin pencarian internet. Akan tetapi, nama yang tercantum sebagai pemilik resort itu adalah Markus Meinn. Sepertinya Ganendra memang berniat menyembunyikan identitas diri. Entah untuk apa," jelas Dewandaru."Kamu tahu, Ngga? Dia menamai resortnya 'Oranje Licht'. Bahasa Belanda yang bermakna Cahaya Jingga," sambung pria tampan itu."Tidak." Jingga menggeleng lemah. Dia menutupi wajahnya dengan kedua tangan. "Ganendra juga sempat kemari, dua tahun yang lalu," timpal Lukman tiba-tiba. "Dia menanya

  • Pernikahan Sebatas Status   Penyesalan

    "Hei, ada tamu rupanya," sapa Armas yang tiba-tiba sudah berdiri di belakang Jingga. Armas yang awalnya berada di dalam kamar sambil menjaga dua bocah yang tengah tertidur, bergegas mengikuti Jingga ke ruang tamu.Dewandaru tak dapat menyembunyikan rasa terkejutnya saat melihat sosok adik kandung Ganendra itu. Wajahnya begitu mirip dengan sosok pria yang dia benci. "Siapa dia, Ngga?" desis Dewandaru."Armas," sahut pria bertubuh tegap tersebut seraya maju menghampiri Dewandaru. Dia mengulurkan tangan sambil menyunggingkan senyuman hangat.Dewandaru tak segera menyambut uluran tangan itu. Dia masih sibuk memindai paras tampan yang terus menatapnya penasaran. "Armas?" ulang Dewandaru beberapa saat kemudian."Gita Wulandari dan Haedar Dhanurendra adalah nama orang tuaku." Senyuman Armas semakin lebar tatkala memperhatikan raut bingung Dewandaru. "Apa mereka tidak pernah bercerita tentangku?"Dewandaru menggeleng. "Mereka selalu tertutup selain untuk urusan pekerjaan," jawabnya pelan."Ah

  • Pernikahan Sebatas Status   Gagal Move on

    Semalam sudah Jingga menginap di rumah sendiri. Kini, dia dapat bernapas lega karena tak perlu sekamar lagi dengan Armas. Pria tampan itu menempati kamar tamu bersama Elio.Keesokan harinya, Jingga mengajak Armas bertemu dengan Echa dan Marini di rumah mereka. Tak terkira betapa senangnya Marini melihat kedatangan Jingga."Ya, ampun. Kamu makin cantik saja, Ngga!" sanjung Echa takjub."Ini Sophia, ya? Akhirnya kita bisa bertemu secara langsung. Biasanya cuma lewat panggilan video!" ujar Marini antusias seraya menggendong balita cantik itu."Dan ini Elio. Anak tampan yang selalu mengganggu panggilan video kalian." Jingga mendorong lembut tubuh Elio agar semakin mendekat pada Echa."Akhirnya, aku bisa mencubit pipimu, ya!" seru Echa sembari mengusap gemas pipi Elio, lalu mencubitnya pelan."Ini Papa. Dia juga sering lewat di sebelah Tante Jingga setiap kali Tante sedang menelepon. Papa suka penasaran dan sering cemburu," celoteh Elio yang begitu lancar berbicara bahasa Indonesia. Dia ta

  • Pernikahan Sebatas Status   Masih Mencari

    Armas termangu menatap paras cantik yang kini sudah terlelap itu. Meninggalkan dirinya terjaga sendirian dalam kegalauan. Diperhatikannya wajah Jingga yang tampak begitu damai. Matanya terpejam rapat, sedangkan bibirnya yang penuh dan ranum itu sedikit terbuka, membuat naluri kelelakian Armas bangkit sempurna.Beruntung, suara rengekan Sophia menyadarkannya. "Mama, cucu," pinta Sophia sambil menangis.Lagi-lagi Armas harus bersyukur. Sophia kini sudah disapih. Dia tidak lagi minum ASI sang ibu. Sophia kini beralih pada susu botol. Bisa gawat seandainya balita lucu itu masih harus menyusu pada Jingga. Bisa-bisa Armas akan terkena serangan jantung mendadak, karena melihat apa yang seharusnya tak dia lihat."Kamu haus, Sayang? Biar aku yang membuatkan susu untukmu, karena sepertinya ibumu sedang pingsan." Armas tertawa geli melihat Jingga yang tak jua bangun. Pria rupawan itu bangkit perlahan. Disingkirkannya tangan mungil Elio yang melingkar di lengan Armas.Dia lalu turun dari ranjang

  • Pernikahan Sebatas Status   Menyerah

    Hari itu menjadi hari yang paling menyenangkan sekaligus menegangkan bagi Jingga. Untuk pertama kalinya, dia melakukan perjalanan jauh bersama balita kecil yang tak jua berhenti merengek di pangkuannya."Cici pusing," keluh Sophia. Dia selalu menyebut namanya dengan sebutan 'Cici'. "Tidak apa-apa, Cici. Nanti kalau pesawat ini sudah berada di atas awan, kamu tidak akan pusing lagi!" seru Elio yang duduk bersama sang ayah, agak jauh dari Jingga.Beruntung mereka memesan penerbangan kelas satu dengan kursi tambahan sehingga anak-anak dapat bergerak dengan nyaman."Cici takut." Kini balita cantik yang genap berusia dua tahun itu merengek."Jangan takut. Ada mama, Sayang," hibur Jingga seraya memeluk putrinya erat-erat. "Kita terbang untuk bertemu dengan Papa Cici. Dia ada di Indonesia," bujuknya sedikit berbohong."Papa?" Mata bulat itu terbelalak dan tampak menggemaskan. Setelah mendengar kata 'Papa', barulah Sophia merasa tenang. Perjalanan yang ditempuh selama kurang lebih 22 jam, b

DMCA.com Protection Status