Di dalam ruangan, hanya ad Ezra. Hari hampir sore, dia masih saja membersihkan seluruh peralatan yang terlihat kotor, kemudian menata kembali barang yang masih terpakai. Dia paling tidak suka melihat barang atau ruangan yang kotor walau hanya secuil. Baginya tidak nyaman jika harua berada di ruangan seperti itu. Walau tak terpakai, setidaknya dia bisa merawat ruangan itu. Pria itu mendesah kasar. Tidak gengsi baginya jika harus melakukan pekerjaan ini sendiri, tanpa harus menyuruh orang lain. Ezra melipat sedikit lengan kemejanya.
Beberapa kali dia melirik jam di pergelangan tangannya. Hampir dua jam Ezra menunggu. Orang yang sudah berjanji akan membantunya itu tidak datang juga. Gun pun belum muncul ke hadapannya.
"Ish, kemana anak itu?" Ezra mengumpat, lalu melempar kain lap yang sedang ia pegang.
Seja
Shaila tidak melanjutkan perkataannya, dia kembali terdiam dan menunduk. Menelan ludah sedalam-dalamnya. Harusnya, dia tidak muncul, dan membiarkan Ezra mematikan api itu.Tak masalah, nanti dia bisa menyalakan lagi saat Ezra pergi. Tapi sayang, dia lepas kendali, karena rasa takut tiba-tiba menerobos dalam dirinya. Hingga dia tak sadar lari melesat keluar dari tempat dia bersembunyi. Dan harus bertatap dengan Ezra.Dia sangat takut, produk sepatu yang dia buat tidak maksimal dan tak sesuai harapan, jika tidak sesuai dalam memberikan cap sepatu karena kurang maksimal saat memanaskan untuk capnya, maka hasilnya pun tidak akan istimewa, sebab orang-orang penting lebih memilih sepatu buatan tangan dengan cap yang benar-benar sempurna. Jika capnya tidak jelas, maka akan terlihat kalau sepatu itu hanyalah produk bodong alias barang kawe, bukan original."Jawab! Sedang apa kamu di sini, Shaila? Dan, dan apa yang sedang kamu lakukan?" tanya Ezra sekali lagi. Rahangnya mengeras, tanda kem
"Kamu bodoh! Mengapa kamu melakukan ini?" Fauzan membentak Alyne. Setelah memergoki Alyne mengirim foto mesra mereka pada Shaila."You're Crazy! Kamu pikir aku akan membiarkanmu menikah dengan wanita itu, setelah kamu menghamiliku? Ingat anak di dalam perut ini adalah darah dagingmu. Janji setiamu saat melakukan nya denganku mana?" Alyne menangis keras.Ezra tak sengaja melewati kamar Fauzan saat hendak menemui Ibu dan Ayahnya. Dia mendengar percakapan Fauzan dengan Alyne, wanita yang dinikahinya diam-diam setelah pulang dari Australia.Setelah tak terdengar percakapan, Ezra berlari menaiki anak tangga menuju kamar Ibunda tercintanya."Mama!" Ezra memeluk sang bunda yang ia tinggalkan 4 tahun lalu.
Suasana hening. Mulut Shaila kaku meski pertanyaan sudah beruntun di dalam pikirannya. Ezra fokus dengan benda kotak pipih yang ia pegang."Zan, ada beberapa hal yang ingin aku tanyakan." Shaila menoleh ke arah Ezra yang sedari tadi duduk di sampingnya."Aku juga." Ezra sedikit melirik Shaila."Wanita itu?" Belum selesai Shaila berbicara."Wanita?" Sontak Ezra menengok ke arah Shaila sambil mengerutkan alisnya. Lalu Ia segera menyimpan ponselnya diatas tempat tidur.Ia mendesah kasar."Oke, mungkin sekarang saatnya aku harus menjelaskan situasi ini. Tapi, kamu harus janji, tidak akan berkomentar apapun!" Seraya ia bangkit dan berdiri, lalu memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana.Sementara Shaila masih tetap dalam posisi duduk di te
Ketika Shaila hendak menyusul Ezra, dia masih berdiri di tangga paling atas seolah menunggunya.Mereka benar-benar menyaksikan apa yang terjadi di ruang tamu. Semua beradu mulut dengan hebatnya.Shaila membeku. Ayahnya mengusir Ezra? Lalu kenapa dia datang kembali dan menyelamatkan keluarga Nataprawira?Dia berpikir dan menatap Ezra, semakin banyak teka-teki di rumah yang ia tempati saat ini. Popularitas, kenyamanan, kemewahan, kesempurnaan yang selama ini ia ketahui, semua itu hanyalah rekayasa belaka demi menutupi kekacauan yang sebenarnya terjadi pada keluarga Fauzan.Ekspresi Ezra terlihat sangat tenang, seolah dia tak mendengar apapun yang dikatakan Fauzan saudara kembarnya."Kamu sudah mendengar semuanya. Jadi sekarang kamu masih punya kesempatan meminta dia kembali." Nadanya dingin.
"Dan...satu hal lagi, jika kamu ingin mengakhiri semua ini, kapanpun kamu mau. Aku tidak keberatan. Tapi aku minta padamu jangan membuat malu!"Lagi, Shaila menunduk. Pernikahan ini hanyalah status, seandainya dia tidak memulai dengan pura-pura dekat saat didepan Indira, mungkin tidak akan sampai ke titik ini. Ia merasa hatinya sudah hancur berkeping."Oke, aku setuju. Begitu juga denganmu. Kalau kamu menemukan wanita yang ingin kamu nikahi, beritahu aku kapan saja. Aku berharap sebelum bercerai, kita bisa saling menjaga."Shaila tersenyum menahan seluruh kepahitan yang sudah menggunung.Tanpa berpamitan Shaila berbalik meninggalkan Ezra. Dia tak mau menunjukkan kesedihan di depan Ezra.Dia pikir, Ezra adalah laki-laki yang baik dan berhati mulia, tapi pikirannya itu salah besar.
Dua hari kemudian"Ila, nanti malam aku ada pertemuan. Kamu boleh ikut denganku."Shaila melihat ke arah Ezra yang sedang fokus dengan layar laptopnya.Sebelum mereka berangkat ke Sukabumi, Ezra mengatakan bahwa ia akan mengajak Shaila sesuai rencana bulan madu yang diinginkan Mama Indira sekaligus akan mengurus proyek dengan Keluarga Han yang sangat berjasa pada perusahaannya. Keluarga Han adalah investor pertama dalam pembangunan Pabrik Sepatu milik Ezra di Bandung. Dia akan membangun Pabrik baru di Sukabumi. Jadi dia datang bukan untuk berbulan madu, Melainkan untuk kepentingan proyeknya membangun pabrik baru.Shaila terkejut mendengar tutur Ezra. Ia tak pernah menyangka Ezra akan mengajaknya ke pertemuan itu. Dia mengira akan berlama-lama sendirian tinggal di Villa yang membosankan itu.Lebih terkejut, ketika Ezra membuka
"Pertemuan untuk kepentingan proyek? Apa tidak salah? ku kira hanya pertemuan makan malam biasa. Ternyata ini acara pesta. Hmmh..." Gumam Shaila dalam hati saat ia hendak keluar dari kamar mandi. Ia merasa tak nyaman memakai gaun tertutup yang diberikan Ezra. Membuat dirinya tak percaya diri. Apalagi tamu yang hadir dalam pesta itu lumayan banyak."Ah, bodohnyaa... kenapa aku harus menuruti kemauan dia memakai baju seperti ini, ribet banget."Dia mengangkat ujung pakaiannya yang menyapu jalanan.Ekspresi Shaila berubah seketika menyaksikan pemandangan yang membuat ia melongo. Ia melihat Ezra berbincang dengan seorang wanita. Jaraknya sangat dekat. Tangan wanita itu hampir menyentuh bahu Ezra. Bahkan tatapan Ezra kepada wanita itu sangat lembut dibandingkan ketika sedang menatapnya."Oh ...Jadi itu wanita idaman Ezra? Dia menyuruhku memak
"Kita akhiri hubungan ini. Kamu bisa tanda tangan surat cerainya! Dan, mulai detik ini, kamu boleh pergi dari kehidupanku." Ezra menyerahkan surat perceraian. Tatapannya dingin hingga menusuk hati seorang wanita yang berada di depannya.Shaila meraih surat itu dengan tangan gemetar. Dadanya bergemuruh hebat. Mulut yanh berwarna merah merona itu kelu, seakan dunia hancur seketika.Sifat lelaki yang begitu dingin, tidak ada sedikit pun rasa iba padanya.Laki-laki berpostur tubuh tinggi, dengan sweater putih yang ia kenakan, melangkah berlalu meninggalkan Shaila, tanpa menoleh lagi, ia terus berlalu, semakin menjauh hingga hanya bayangan dan menghilang."Tuhan, kenapa ini harus terjadi? Lebih baik aku memilih mati sebelum pernikahan itu. Seharusnya aku memilih mundur, meski bertemankan sepi, jika tahu akhirnya akan terjerumus dalam pernikahan sep
Shaila tidak melanjutkan perkataannya, dia kembali terdiam dan menunduk. Menelan ludah sedalam-dalamnya. Harusnya, dia tidak muncul, dan membiarkan Ezra mematikan api itu.Tak masalah, nanti dia bisa menyalakan lagi saat Ezra pergi. Tapi sayang, dia lepas kendali, karena rasa takut tiba-tiba menerobos dalam dirinya. Hingga dia tak sadar lari melesat keluar dari tempat dia bersembunyi. Dan harus bertatap dengan Ezra.Dia sangat takut, produk sepatu yang dia buat tidak maksimal dan tak sesuai harapan, jika tidak sesuai dalam memberikan cap sepatu karena kurang maksimal saat memanaskan untuk capnya, maka hasilnya pun tidak akan istimewa, sebab orang-orang penting lebih memilih sepatu buatan tangan dengan cap yang benar-benar sempurna. Jika capnya tidak jelas, maka akan terlihat kalau sepatu itu hanyalah produk bodong alias barang kawe, bukan original."Jawab! Sedang apa kamu di sini, Shaila? Dan, dan apa yang sedang kamu lakukan?" tanya Ezra sekali lagi. Rahangnya mengeras, tanda kem
Angin menelusuk masuk ke jendela yang sedikit terbuka.Di dalam ruangan, hanya ad Ezra. Hari hampir sore, dia masih saja membersihkan seluruh peralatan yang terlihat kotor, kemudian menata kembali barang yang masih terpakai. Dia paling tidak suka melihat barang atau ruangan yang kotor walau hanya secuil. Baginya tidak nyaman jika harua berada di ruangan seperti itu. Walau tak terpakai, setidaknya dia bisa merawat ruangan itu. Pria itu mendesah kasar. Tidak gengsi baginya jika harus melakukan pekerjaan ini sendiri, tanpa harus menyuruh orang lain. Ezra melipat sedikit lengan kemejanya.Beberapa kali dia melirik jam di pergelangan tangannya. Hampir dua jam Ezra menunggu. Orang yang sudah berjanji akan membantunya itu tidak datang juga. Gun pun belum muncul ke hadapannya."Ish, kemana anak itu?" Ezra mengumpat, lalu melempar kain lap yang sedang ia pegang.Seja
Shaila memeluk kedua lututnya di pojok kamar. Akhir-akhir ini, dia lebih sering menyendiri. Setelah menandatangani dokumen persetujuan kontrak kerja sama dengan perusahaan Fauzan, pikiran Shaila selalu bercabang dan tidak bisa fokus.Sebenarnya, saat pulang dari kantor, Fauzan mengajak Shaila untuk ikut bersamanya, tapi perempuan itu menolak halus. Dia tidak ingin memberikan harapan lain pada Fauzan, selain urusan pekerjaan. Cukup sudah, Fauzan menjadi masa lalu. Dia tidak akan membiarkan lelaki itu kembali memporak-porandakan isi hatinya seperti dulu yang pernah dilakukannya. Memghancurkan sampai tak ada harapan.Terbuai dalam lamunan, tiba-tiba Shaila memikirkan perusahaan mendiang ayahnya yang sudah tak beroperasi, bahkan tak terawat. Bangunan yang cukup luas, terlihat sedikit angker karena tak berpenghuni. Semua itu, karena ulah kakak angkatnya, Raka.Shiala terkadang berpikir untuk membuka pabrik itu kembali. Meski
Wangi yang tak asing menelusuk, merasuk ke dalam lubang hidung Shaila. Dia terdiam seketika, menikmati harum yang membuatnya kembali bernostalgia, pada masa-masa dia bersama lelaki yang masih memenuhi ruang hatinya. Rindu dalam dadanya membuncah, pada seseorang yang memiliki bau yang sama. Rindu yang baginya serasa seabad.Nyaman, dan tak ingin beranjak, begitu yang dirasakan Shaila saat mencium wangi khas lavender kesukaannya. Bahkan, tak ada orang lain yang rela memakai parfum yang dia suka, selain Ezra. Shaila berharap ini hanyalah mimpi, dia tidak ingin bangun dan beranjak dari mimpinya.Menyadari tubuhnya jatuh pada pelukan seseorang, Shaila segera membuka kedua matanya. Tak disangka, dia dipertemukan dengan pria yang sejak tadi melayang-layang di otaknya. Lelaki yang selalu saja membuatnya rela melakukan apapun demi kebahagiaannya."Ezra." Mulut Shaila ternganga, namun tubuhnya masih
Langkah Shaila terhenti, setelah berada tepat di depan pintu ruangan Ezra. Terdiam dan memikirkan bagaimana resiko yang akan dihadapi, jika dia benar-benar nekad masuk, dan mengatakan seluruh kebenarannya."Tidak, aku tidak boleh melakukannya. ini tidak boleh terjadi. Aku harus punya pendirian. Yaa Allah, tapi, ini kenapa aku ingin sekali melihat dia. Aku ingin mencium aroma bau tubuhnya," keluhnya dalam hati. Sungguh kehamilannya ini membuat emosinya mudah berubah-ubah. Terkadang dia ingin marah dan terkadang rindu tak tertahan.Lantas, Shaila menghentikan tangan yang tadinya akan mengetuk pintu, membiarkannya mengambang di udara. Wanita berjilbab mocca itu mendesah kasar. Mulutnya mengerucut, lalu kembali mengurungkan niatnya untuk bertemu Ezra.Jika dia bertekad mengikuti naluri. Atau entah keinginan jabang bayi, sama saja dia akan kembali terhanyut dalam kerinduan. Sedangkan, pengorbanan yang dia lakukan untu
"Tega sekali kamu Shaila, tapi kenapa harus dengan Fauzan?" tanyanya lagi dalam hati.Ezra mendesah kasar lalu melemparkan seluruh dokumen yang ada di atas meja. Amarah menguasai diri. Mencoba tidak peduli pun percuma. Nyatanya pikirannya selalu dihantui oleh Shaila. Kenangan bersama Shaila.Bersamaan dengan itu, Ezra pun sangat membenci Shaila, wanita yang telah berani-beraninya mengaborsi darah dagingnya.Ezra mengacak-acak rambut frustasi, dan menjatuhkan diri di lantai. Tangan kanananya memegang kening, air mata dan amarah bercampur menjadi satu.Setelah berdiam beberapa jam, dia kembali tersadar dari lamunannya. Menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya kasar. Dia berusaha membuang jauh-jauh bayangan Shaila, dia tidak boleh frustasi hanya karena seorang wanita yang sudah mengkhianatinya. Dia kembali berdiri dan membereskan seluruh
Setelah beberapa jam perjalanan, tibalah Shaila di rumah ibunya. Sebelum masuk, dia berusaha mempersiapkan suasana hati agar tetap tersenyum di depan wanita yang paling dia hormati dan sayangi."Tetap kuat ya sayang, bantu ibumu ini! Sekarang kita ke rumah oma," Shaila mengusap perutnya. Dia selalu mengajak calon bayinya berkomunikasi. Kata dokter itu membantu merangsang pertumbuhan janin.Sekali lagi, Shaila tidak ingin memperlihatkan kesulitan yang dialaminya. Meskipun, sesungguhnya sudah tahu, kalau saat ini dia sedang berada dalam masa sulit, setidaknya hanya satu kesulitan yang ia berikan pada sang ibu. Shaila tidak ingin menambah beban lagi.Suasana rumah sudah berbeda sejak kepergian ayahnya, serta kakak angkatnya yang sudah berada di penjara. Kehamilannya pun masih disembunyikan. Seharusnya kehamilan adalah kebahagiaan bagi semua keluarga, namun baginya, saat ini bukanlah waktu yang tepat untuk mengatakan k
"Sayang bertahanlah!" ucap Shaila dalam hati, dia tahu bayi yang di dalam kandungannya tidak rela jika ibunya membentak ayahnya. Atau dia tidak mau melihat pertengkaran orang tuanya."Kenapa kamu menjauh? Apa kamu takut aku sentuh?" tanya Ezra semakin mendekati Shaila."Hentikan, aku akan keluar!" Shaila kembali menegakkan kakinya untuk berdiri. Dia menarik napas dalam-dalam berusaha menahan rasa mualnya. Jangan sampai Ezra tahu tentang kehamilannya. Usahanya tetap saja sia-sia, wanita hamil tidak bisa menahan rasa pusing dan mual itu. Hingga matanya kunang-kunang, dia masih tetap memaksa untuk berjalan regak ke luar pintu.Ezra segera memgang bahu Shaila ketika dia sudah berada di ambang pintu."Duduklah, aku tahu kamu kelelahan! Akan kuambilkan air putih!" Ezra segera menarik Shaila, dan mendudukkannya di sofa. Shaila tidak bisa menahan kepalanya yang terasa sangat pusing.
Pria itu menatap tajam wanita yang baru saja masuk ruangan. Wajah imut dengan tubuh mungil itu kembali berdiri di hadapannya. Ezra merasa sia-sia membuang semua pikiran tentang wanita itu. Nyatanya Shaila selalu saja datang di hadapannya tanpa di rencana.Bukan itu yang membuatnya sedikit ingin marah. Meski sudah ia talak, tapi bukan berarti bisa dekat dengan laki-laki lain di hadapannya. Bukankah menjaga perasaan orang lain itu lebih penting daripada menjaga hatinya sendiri? Ezra mengepalkan tangannya yang tersembunyi di bawah meja.Shaila mematung di ambang pintu, menyaksikan Ezra yang tengah duduk terpaku di meja utama meeting. Matanya beradu, salung pandang dengan hati nurani masing-masing. Ezra dengan sorot kemarahannya. Sedangkan Shaila dengan penuh rasa sesal, dia langsung mengalihkan pandangan pada lantai. Dia benar-benar tak mampu memandang pria nya lama-lama. Ia pun tak mampu mendekat. Hanya terus terdiam.