Penyatuan kasih dalam balutan kehalalan telah terwujud. Kini mereka menjadi pasangan normal layaknya suami istri. Perjanjian hanyalah perjanjian, Ezra melanggarnya tanpa diminta oleh Shaila. Laki-laki berwajah teduh, namun bersifat dingin itu masih tertidur pulas, mengingat dia kelelahan setelah itu. Tapi tidak dengan Shaila, dia masih tetap terjaga hingga matahari mulai mengintip. Tidak ada rasa kantuk sedikit pun menggelitik di matanya. Ia hanya tak ingin menyia-nyiakan momen-momen kedekatan antara mereka yang telah menjadi sejarah bagi Shaila. Baru beberapa hari kebersamaannya dengan Ezra, namun Shaila sudah bisa membaca watak Ezra yang terkadang gampang berubah. Ia menatap laki-laki yang tidur di sebelahnya. Matanya terlihat seperti jarang tidur. Terdapat kantung mata sedikit hitam. Dan, seperti ada segurat rasa cemas dalam wajahnya. Terkadan
"Dasar egois, memangnya cuma dirinya yang paling pintar? ""Hmm...liat saja nanti laki laki bunglon. Akan ku pastikan namaku tertulis tebal di balik kesuksesan perusahanmu itu. Aku akan membuatmu mengakui kepintaranku. Aku akan membuatmu bertekuk lutut meminta maaf di hadapanku karena ucapan-ucapanmu itu ."shaila berjalan menelusuri trotoar sepanjang jalan H. Alpi sambil menggerutu kemudian ia mengikat rambut lurusnya tak teratur. Hingga tak sadar ia sudah berjalan jauh dari Kantor Ezra. Lantas, tangannya melambai ketika melihat taksi AA berwana kuning melewatinya."Mau kemana Neng?" Tanya Sopir sambil melirik kaca spion depan."Jalan aja dulu Pak!"Pun, Sopir itu tersenyum melihat tingkah Shaila. Bagaimana tidak, mulutnya terus berkomat-kamit seperti baca mantra.
Selama di ruangan rapat. Ezra tidak bisa fokus. Pikirannya masih terngiang dengan Shaila yang sama sekali tidak memberinya kabar.Dia mulai gusar pada dirinya sendiri. Mengingat semua perlakuannya kepada Shaila sejak pertama kali bertemu. Ia menyesal, padahal dia tahu bagaimana hukum menyakiti hati seorang istri. Meski sejujurnya dia belum bisa memberikan rasa cinta itu untuk Shaila, tapi setidaknya dia tidak harus melakukan hal yang di larang agama. Yakni menyakiti hati seorang istri.Melihat keadaan bosnya seperti itu, Sekertaris Gun mewakili Ezra menutup rapat sementara.Setelah semua peserta rapat keluar dari ruangan, Gun menghampiri Ezra yang masih terlena dengan lamunannya."Bos, kamu kenapa? Mukamu terlihat sangat pucat.""Ah, apa karena gadis itu??" Lanjutnya sambil memperhatikan bosnya ya
Dibawah pohon yang rindang, angin malam menusuk hingga sendi-sendi. Ezra mendekap Shaila penuh kasih dan harapan ia akan bersama dengan gadis mungil yang telah menjadi takdirnya untuk selamanya.Ketika Shaila sedang berada dalam pelukan Ezra, ia tersadar kembali, terngiang perkataan Ezra yang membuat hatinya sakit. Perjanjian itu, keegoisan itu. Lantas, Shaila melepas pelukannya dan mundur dua langkah."Aku, aku menyukaimu Shaila, apa kau tahu perasaanku saat ini seperti hampir meledak? Aku sangat mencintaimu,""Lalu?... Kalau kamu menyukaiku dan perasaanmu akan meledak. Kau pikir perasaanku juga akan meledak sama sepertimu?"Sekuat hati Shaila menahan air matanya, ia tak mau terbuai lagi dengan perkataan Ezra. Kali ini dia memilih untuk menyembunyikan perasaannya. Mungkin lebih baik menghindar dari perasaan yang ia takuti, takut akan rasa sak
"Siapa?" Shaila mengalihkan pandangan yang tengah sibuk dengan layar laptopnya untuk melihat ke arah Ezra yang berdiri di ambang pintu."Direktur Han datang." Jawab Ezra dengan santai sambil kembali menghampiri Shaila."Apakah orang yang waktu itu hadir di pertemuan?" Tanya Shaila dengan memicingkan matanya."Betul, dia memang investor terbesar disini. Mungkin dia akan menagih kerugian yang kita alami akibat plagiat produk yang gagal launching.""Apa yang harus aku lakukan? Apa aku harus bersembunyi? ""Buat apa bersembunyi kamu kan sudah menjadi istriku.""Tapi Zra, apa kamu lupa, tidak ada yang tahu tentang pernikahanmu denganku. ""Tidak, aku tidak lupa, justru aku akan mengenalkanmu pada mereka yang belum tahu.""Tidak Ezra, mereka
Akhirnya Shaila di terima di perusahaan Ezra. Sesuai rencana, Ia memilih menyembunyikan identitasnya. Keputusan yang ia buat sudah bulat, tidak bisa di ganggu gugat. Hanya ini yang bisa ia lakukan demi melindungi Ezra dari hal yang tidak di harapkan. Ia akan mengerahkan semua kemampuannya untuk melalui krisis yang terjadi di dalam perusahaan Ezra. Hanya itu niat yang saat ini tetulis jelas di benak Shaila.Ia tak ingin menjadi belenggu dalam kehidupan Ezra. Pun, ia harus mengalah dan enyah dari skenario kehidupan Ezra. Ia berpikir jika desain dan pengerjaan produk sepatu telah selesai sesuai idenya, saat itu pula waktu yang tepat untuk Ia pergi dan menghilang dari kehidupan Ezra.Ezra berjalan lunglai memasuki rumah. Tangan kanannya menenteng Jas, sedang kemeja biru yang melekat pada tubuh atletnya begitu berantakan. Bagian tangannya melilit hingga sikut. Pikirannya begitu kalut. Sampai-sampai ia melupakan janji
#Cinta_merubah_segalanya{Sarapan ada di meja. Aku ke kantor duluan. Dan Tenang saja aku akan menjaga sikap agar status kita tak ketahuan. Jangan lupa sarapannya di habisin!Semangat!!! }Ezra membaca kertas memo kecil yang menempel di pintu lemari es. Ia tersenyum dan berulang-ulang membaca tulisan itu. Entah, seperti ada semangat baru yang ia temukan setelah tahu perasaan Shaila yang sesungguhnya. Bahkan dia berencana mengagalkan Shaila yang akan pergi meninggalkannya setelah perusahaannya pulih. Justru ia akan membawa Shaila tetap hidup bersamanya selamanya. Ia mesem-mesem sendiri."Good morning Bos Ezra." Tiba tiba suara seseorang muncul dari arah pintu masuk."Hayia...ada yang lagi bucin ni, pake senyum-senyum sendiri lagi, baca apa sih? Surat cintrong?" Sekertar
"Hallo Ma. ""Apa? Baik Ma aku akan pulang sekarang."Seraya Shaila mematikan ponselnya dan menatap Ezra."Maaf, sepertinya aku harus pulang ke rumah Mama. Papa sedang dalam kondisi kritis.""Aku akan mengantarmu."Ezra segera berlari menuju parkiran dan menyalakan mobil, lalu melaju menghampiri Shaila yang sedang berdiri menunggunya di depan kantor. Dengan cepat ia membukakan pintu sebelah kirinya. Shaila pun masuk dan duduk di samping Ezra."Bushhh... " Mobil melaju dengan kecepatan tinggi."Pelan saja! " Pinta Shaila sambil melihatkan ekspresi wajah yang sedang khawatir. Ezra tak berani mengeluarkan kata-kata karena takut menganggu suasana hati Shaila. Sesekali ia melirik Shaila yang terlihat gelisah. Dering ponsel memeca
Shaila tidak melanjutkan perkataannya, dia kembali terdiam dan menunduk. Menelan ludah sedalam-dalamnya. Harusnya, dia tidak muncul, dan membiarkan Ezra mematikan api itu.Tak masalah, nanti dia bisa menyalakan lagi saat Ezra pergi. Tapi sayang, dia lepas kendali, karena rasa takut tiba-tiba menerobos dalam dirinya. Hingga dia tak sadar lari melesat keluar dari tempat dia bersembunyi. Dan harus bertatap dengan Ezra.Dia sangat takut, produk sepatu yang dia buat tidak maksimal dan tak sesuai harapan, jika tidak sesuai dalam memberikan cap sepatu karena kurang maksimal saat memanaskan untuk capnya, maka hasilnya pun tidak akan istimewa, sebab orang-orang penting lebih memilih sepatu buatan tangan dengan cap yang benar-benar sempurna. Jika capnya tidak jelas, maka akan terlihat kalau sepatu itu hanyalah produk bodong alias barang kawe, bukan original."Jawab! Sedang apa kamu di sini, Shaila? Dan, dan apa yang sedang kamu lakukan?" tanya Ezra sekali lagi. Rahangnya mengeras, tanda kem
Angin menelusuk masuk ke jendela yang sedikit terbuka.Di dalam ruangan, hanya ad Ezra. Hari hampir sore, dia masih saja membersihkan seluruh peralatan yang terlihat kotor, kemudian menata kembali barang yang masih terpakai. Dia paling tidak suka melihat barang atau ruangan yang kotor walau hanya secuil. Baginya tidak nyaman jika harua berada di ruangan seperti itu. Walau tak terpakai, setidaknya dia bisa merawat ruangan itu. Pria itu mendesah kasar. Tidak gengsi baginya jika harus melakukan pekerjaan ini sendiri, tanpa harus menyuruh orang lain. Ezra melipat sedikit lengan kemejanya.Beberapa kali dia melirik jam di pergelangan tangannya. Hampir dua jam Ezra menunggu. Orang yang sudah berjanji akan membantunya itu tidak datang juga. Gun pun belum muncul ke hadapannya."Ish, kemana anak itu?" Ezra mengumpat, lalu melempar kain lap yang sedang ia pegang.Seja
Shaila memeluk kedua lututnya di pojok kamar. Akhir-akhir ini, dia lebih sering menyendiri. Setelah menandatangani dokumen persetujuan kontrak kerja sama dengan perusahaan Fauzan, pikiran Shaila selalu bercabang dan tidak bisa fokus.Sebenarnya, saat pulang dari kantor, Fauzan mengajak Shaila untuk ikut bersamanya, tapi perempuan itu menolak halus. Dia tidak ingin memberikan harapan lain pada Fauzan, selain urusan pekerjaan. Cukup sudah, Fauzan menjadi masa lalu. Dia tidak akan membiarkan lelaki itu kembali memporak-porandakan isi hatinya seperti dulu yang pernah dilakukannya. Memghancurkan sampai tak ada harapan.Terbuai dalam lamunan, tiba-tiba Shaila memikirkan perusahaan mendiang ayahnya yang sudah tak beroperasi, bahkan tak terawat. Bangunan yang cukup luas, terlihat sedikit angker karena tak berpenghuni. Semua itu, karena ulah kakak angkatnya, Raka.Shiala terkadang berpikir untuk membuka pabrik itu kembali. Meski
Wangi yang tak asing menelusuk, merasuk ke dalam lubang hidung Shaila. Dia terdiam seketika, menikmati harum yang membuatnya kembali bernostalgia, pada masa-masa dia bersama lelaki yang masih memenuhi ruang hatinya. Rindu dalam dadanya membuncah, pada seseorang yang memiliki bau yang sama. Rindu yang baginya serasa seabad.Nyaman, dan tak ingin beranjak, begitu yang dirasakan Shaila saat mencium wangi khas lavender kesukaannya. Bahkan, tak ada orang lain yang rela memakai parfum yang dia suka, selain Ezra. Shaila berharap ini hanyalah mimpi, dia tidak ingin bangun dan beranjak dari mimpinya.Menyadari tubuhnya jatuh pada pelukan seseorang, Shaila segera membuka kedua matanya. Tak disangka, dia dipertemukan dengan pria yang sejak tadi melayang-layang di otaknya. Lelaki yang selalu saja membuatnya rela melakukan apapun demi kebahagiaannya."Ezra." Mulut Shaila ternganga, namun tubuhnya masih
Langkah Shaila terhenti, setelah berada tepat di depan pintu ruangan Ezra. Terdiam dan memikirkan bagaimana resiko yang akan dihadapi, jika dia benar-benar nekad masuk, dan mengatakan seluruh kebenarannya."Tidak, aku tidak boleh melakukannya. ini tidak boleh terjadi. Aku harus punya pendirian. Yaa Allah, tapi, ini kenapa aku ingin sekali melihat dia. Aku ingin mencium aroma bau tubuhnya," keluhnya dalam hati. Sungguh kehamilannya ini membuat emosinya mudah berubah-ubah. Terkadang dia ingin marah dan terkadang rindu tak tertahan.Lantas, Shaila menghentikan tangan yang tadinya akan mengetuk pintu, membiarkannya mengambang di udara. Wanita berjilbab mocca itu mendesah kasar. Mulutnya mengerucut, lalu kembali mengurungkan niatnya untuk bertemu Ezra.Jika dia bertekad mengikuti naluri. Atau entah keinginan jabang bayi, sama saja dia akan kembali terhanyut dalam kerinduan. Sedangkan, pengorbanan yang dia lakukan untu
"Tega sekali kamu Shaila, tapi kenapa harus dengan Fauzan?" tanyanya lagi dalam hati.Ezra mendesah kasar lalu melemparkan seluruh dokumen yang ada di atas meja. Amarah menguasai diri. Mencoba tidak peduli pun percuma. Nyatanya pikirannya selalu dihantui oleh Shaila. Kenangan bersama Shaila.Bersamaan dengan itu, Ezra pun sangat membenci Shaila, wanita yang telah berani-beraninya mengaborsi darah dagingnya.Ezra mengacak-acak rambut frustasi, dan menjatuhkan diri di lantai. Tangan kanananya memegang kening, air mata dan amarah bercampur menjadi satu.Setelah berdiam beberapa jam, dia kembali tersadar dari lamunannya. Menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya kasar. Dia berusaha membuang jauh-jauh bayangan Shaila, dia tidak boleh frustasi hanya karena seorang wanita yang sudah mengkhianatinya. Dia kembali berdiri dan membereskan seluruh
Setelah beberapa jam perjalanan, tibalah Shaila di rumah ibunya. Sebelum masuk, dia berusaha mempersiapkan suasana hati agar tetap tersenyum di depan wanita yang paling dia hormati dan sayangi."Tetap kuat ya sayang, bantu ibumu ini! Sekarang kita ke rumah oma," Shaila mengusap perutnya. Dia selalu mengajak calon bayinya berkomunikasi. Kata dokter itu membantu merangsang pertumbuhan janin.Sekali lagi, Shaila tidak ingin memperlihatkan kesulitan yang dialaminya. Meskipun, sesungguhnya sudah tahu, kalau saat ini dia sedang berada dalam masa sulit, setidaknya hanya satu kesulitan yang ia berikan pada sang ibu. Shaila tidak ingin menambah beban lagi.Suasana rumah sudah berbeda sejak kepergian ayahnya, serta kakak angkatnya yang sudah berada di penjara. Kehamilannya pun masih disembunyikan. Seharusnya kehamilan adalah kebahagiaan bagi semua keluarga, namun baginya, saat ini bukanlah waktu yang tepat untuk mengatakan k
"Sayang bertahanlah!" ucap Shaila dalam hati, dia tahu bayi yang di dalam kandungannya tidak rela jika ibunya membentak ayahnya. Atau dia tidak mau melihat pertengkaran orang tuanya."Kenapa kamu menjauh? Apa kamu takut aku sentuh?" tanya Ezra semakin mendekati Shaila."Hentikan, aku akan keluar!" Shaila kembali menegakkan kakinya untuk berdiri. Dia menarik napas dalam-dalam berusaha menahan rasa mualnya. Jangan sampai Ezra tahu tentang kehamilannya. Usahanya tetap saja sia-sia, wanita hamil tidak bisa menahan rasa pusing dan mual itu. Hingga matanya kunang-kunang, dia masih tetap memaksa untuk berjalan regak ke luar pintu.Ezra segera memgang bahu Shaila ketika dia sudah berada di ambang pintu."Duduklah, aku tahu kamu kelelahan! Akan kuambilkan air putih!" Ezra segera menarik Shaila, dan mendudukkannya di sofa. Shaila tidak bisa menahan kepalanya yang terasa sangat pusing.
Pria itu menatap tajam wanita yang baru saja masuk ruangan. Wajah imut dengan tubuh mungil itu kembali berdiri di hadapannya. Ezra merasa sia-sia membuang semua pikiran tentang wanita itu. Nyatanya Shaila selalu saja datang di hadapannya tanpa di rencana.Bukan itu yang membuatnya sedikit ingin marah. Meski sudah ia talak, tapi bukan berarti bisa dekat dengan laki-laki lain di hadapannya. Bukankah menjaga perasaan orang lain itu lebih penting daripada menjaga hatinya sendiri? Ezra mengepalkan tangannya yang tersembunyi di bawah meja.Shaila mematung di ambang pintu, menyaksikan Ezra yang tengah duduk terpaku di meja utama meeting. Matanya beradu, salung pandang dengan hati nurani masing-masing. Ezra dengan sorot kemarahannya. Sedangkan Shaila dengan penuh rasa sesal, dia langsung mengalihkan pandangan pada lantai. Dia benar-benar tak mampu memandang pria nya lama-lama. Ia pun tak mampu mendekat. Hanya terus terdiam.