"Hallo Ma. "
"Apa? Baik Ma aku akan pulang sekarang."
Seraya Shaila mematikan ponselnya dan menatap Ezra.
"Maaf, sepertinya aku harus pulang ke rumah Mama. Papa sedang dalam kondisi kritis."
"Aku akan mengantarmu."
Ezra segera berlari menuju parkiran dan menyalakan mobil, lalu melaju menghampiri Shaila yang sedang berdiri menunggunya di depan kantor. Dengan cepat ia membukakan pintu sebelah kirinya. Shaila pun masuk dan duduk di samping Ezra.
"Bushhh... " Mobil melaju dengan kecepatan tinggi.
"Pelan saja! " Pinta Shaila sambil melihatkan ekspresi wajah yang sedang khawatir. Ezra tak berani mengeluarkan kata-kata karena takut menganggu suasana hati Shaila. Sesekali ia melirik Shaila yang terlihat gelisah. Dering ponsel memeca
"Kau, kenapa kau berani-beraninya menggantikan si brengsek itu?" Nada Raka meninggi"Maksudmu apa kak?" Tanya Ezra penuh tanya."Asal kau tahu... " Raka menarik kerah baju Ezra. Shila yang menyaksikan itu dari balik pintu dapur merasa kaget. Ia langsung berlari menghampiri mereka berdua. Bagaimana bisa Raka bersikap seperti itu kepada Ezra."Ehm... Ehmmm.. Kalian main apa ko serius amat? ""Ahh, Ila... Biasa aja kalo cowok kan harus di tes keseriusannya. Apalagi Kakak dengar Ezra dengan berani menggantikan Fauzan sebagai mempelai Priamu."" Sudah! Sudah Kak! Sekarang bukan waktu yang tepat membahas soal itu. Aku juga sudah berniat mengenalkan Ezra sama Mama sama Papa. Tapi kondisi berkata lain. Aku juga yakin Mama tetap akan merestui kami." Jelas Shaila seraya duduk di samping Ezra.
Kalau saja Shaila tidak mendengarkan percakapan Alyne dan Raka, mungkin selamanya dia akan dikelabaui oleh sandiwara Raka. Tapi, bagaimana bisa Alyne pergi sendiri tanpa Fauzan? Lalu mengapa Alyne berhubungan dengan Raka? Dan...apa benar Raka mencintainya. Pikirannya membuncah. Pusara Sang Ayah saja, masih basah. Kini di timpa oleh teka-teki yang bermunculan menggelisahi hati Shaila. Mengabaikannya pun bukan solusi.Shaila terus memikirkan dari segala sisi. Ia menemukan beberapa hal yang mungkin ia mengerti, tapi ia sama sekali tidak menginginkan perpecahan hubungan antara mereka yang sudah seperti keluarga."Oke, aku harus mulai menyelidiki. Ila yang sekarang harus beda dengan Ila yang dulu, yang selalu mengalah dan polos sehingga akan terus tersakiti. Dunia sudah sangat kejam padamu Ila." Shaila mengepalkan tangannya. Nafasnya terengah-engah. Marah yang berbaur dengan sakit telah melebur dal
Angin sepertiga malam berhembus. Menerka jendela yang sedikit terbuka. Menyapa Kedua insan yang tengah menengadah memohon rida Tuhan. Seraya Ezra berbalik, kedua tangannya menyentuh kepala Shaila yang masih tertutup dengan balutan mukena. Mukena pemberian Ezra yang pertama kali ia kenakan. Matanya menatap penuh kehangatan."Kamu sangat cantik," Bisik Ezra."Kamu harus tahu, aku mencintaimu karena allah. Karena aku yakin jika cintaku karena allah, maka cintaku padamu akan kekal hingga maut merenggut nyawaku."Kata-kata Ezra begitu dalam. Hingga tak terasa embun di sudut mata Shaila mulai menetes. Usai berdo'a bersama. Shaila belajar membaca al-qur'an. Damai mendengar ayat yang dilantunkan Ezra. Hati Shaila mulai berdesir indah bagaikan ombak yang melambai sang fajar, Kala Ezra melantunkan ayat,
"Kalian siap dengan desain produk baru kita? Sepatu dengan motif batik pasti banyak peminat, karena batik merupakan khas kita sebagai orang Indonesia, tentunya kita akan bangga ketika salah satu warisan budaya Indonesia bisa dinikmati oleh seluruh rakyatnya, bahkan hingga ke mancanegara." Tutur Shaila menuangkan seluruh idenya.Shaila merasa tenang. Salah satu rencananya membantu Ezra terwujudkan. Tinggal menunggu hasil. Jam istirahatpun tiba. Shaila berniat mengajak Ezra untuk makan siang bersama di Cafe dekat Kantor. Dia berjalan sambil tersenyum sembari mengeluarkan ponsel dari saku blazer. Tiba-tiba seseorang menarik tangan kanannya dan membawa Shaila masuk ke dalam mobil. Shaila merasa kaget, spontan ia ingin berteriak. Namun keinginan itu terhenti ketika melihat Direktur Han di dalam mobil. Alhasil dia hanya terdiam duduk di sebelah Direktur Han."Saya tahu,
"Ila aku mengenalmu sejak kecil. Tapi kamu, kamu tidak pernah melihatku layaknya seorang laki-laki yang mengagumimu. Laki-laki yang mencintaimu. Asal kamu tahu, betapa akan menyesalnya kamu memilih Ezra. Karena sesungguhnya hanya aku orang yang paling baik untukmu, orang yang paling tepat untukmu," teriak Raka dengan nada suara semakin meninggi, hingga suaranya menggema di dalam ruangan dan terdengar keluar.Senyum penuh ironis kembali muncul dari bibir Raka. Pun, Shaila semakin sulit menebak bagaimana sebenarnya jalan pikiran kakak angkatnya itu."Raka, dimana perasaanmu sebagai seorang Kakak yang mencintai adiknya? Kamu telah menghancurkan pernikahanku dengan memperalat wanita itu, padahal dia mengandung anakmu. Apa itu yang dinamakan cinta?" pertanyaan Shaila tak mampu mengubah niat Raka untuk meyakinkan, kalau dia benar-benar cinta pada sang adik. "Braakkkk..."Tiba-tiba pintu terbuk
Keadaan di kantor mulai memanas, Direktur Han mencoba mengadakan meeting antara pemegang saham tanpa hadirnya Ezra. Sekertaris Gun sibuk dengan ponselnya. Dia terus mencoba menghubungi Ezra, tapi tak ada respon."Apa yang terjadi? kenapa dia tidak mengangkat panggilanku?" Gun mulai resah dan terus menggerutu."Masih tidak ada jawaban?" tanya Direktur Han dengan raut wajah penuh kecewa. Kerutan di wajahnya nampak sudah terlihat kalau dia memang sudah tua."Belum Pak, padahal satu jam yang lalu dia masih berkeliaran di kantor," jawab Gun khawatir."Apa yang terjadi? Apa karena wanita itu? Hemh..." Senyum sinis orang tua paruh baya itu menyeringai."Dia memang tak bisa dipercaya, rasa tanggung jawabnya sudah mulai hilang," lanjutnya masih dalam keadaan marah."Agh, aku bisa gila ini." Gun menggertakkan giginya. Sesekali menyugar rambut yang sudah rapi sekedar
𝘈𝘬𝘶 𝘴𝘢𝘯𝘨𝘢𝘵 𝘮𝘦𝘳𝘪𝘯𝘥𝘶𝘬𝘢𝘯𝘮𝘶. 𝘉𝘢𝘩𝘬𝘢𝘯 𝘴𝘢𝘢𝘵 𝘮𝘢𝘵𝘢𝘬𝘶 𝘵𝘦𝘳𝘱𝘦𝘫𝘢𝘮.{Moh. Ezra Nataprawira}𝘙𝘪𝘯𝘥𝘶𝘬𝘶 𝘮𝘦𝘭𝘦𝘣𝘪𝘩𝘪 𝘳𝘪𝘯𝘥𝘶𝘮𝘶. 𝘉𝘢𝘩𝘬𝘢𝘯 𝘢𝘬𝘶 𝘵𝘢𝘬 𝘮𝘢𝘮𝘱𝘶 𝘮𝘦𝘮𝘦𝘫𝘢𝘮𝘬𝘢𝘯 𝘮𝘢𝘵𝘢 𝘬𝘦𝘳𝘪𝘬𝘢 𝘳𝘪𝘯𝘥𝘶 𝘪𝘵𝘶 𝘮𝘶𝘭𝘢𝘪 𝘮𝘦𝘮𝘣𝘶𝘯𝘤𝘢𝘩 𝘥𝘪𝘥𝘢𝘭𝘢𝘮 𝘥𝘢𝘥𝘢𝘬𝘶. 𝘙𝘪𝘯𝘥𝘶 𝘪𝘵𝘶 𝘵𝘦𝘭𝘢𝘩 𝘮𝘦𝘯𝘺𝘢𝘵𝘶 𝘥𝘦𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘢𝘭𝘪𝘳𝘢𝘯 𝘥𝘢𝘳𝘢𝘩 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘵𝘦𝘳𝘶𝘴 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘢𝘭𝘪𝘳 𝘵𝘢𝘯𝘱𝘢 𝘩𝘦𝘯𝘵𝘪. 𝘚𝘦𝘩𝘪𝘯𝘨𝘨𝘢 𝘮𝘦𝘯𝘪𝘵𝘢𝘩𝘬𝘢𝘯 𝘮𝘢𝘵𝘢𝘬𝘶 𝘵𝘦𝘵𝘢𝘱 𝘵𝘦𝘳𝘫𝘢𝘨𝘢 𝘶𝘯𝘵𝘶𝘬𝘶𝘮𝘶.{Shaila Shena Anjani}<<<<<<___________________________>>>>>Ezra Masih berbaring terkulai tak sadarkan diri. Sedangkan Shaila menggelar sejadahnya memohon kesembuhan untuk Ezra. Berharap semua awan kesedihan yang menimpa dirinya dan Ezra segera berlalu diganti dengan pelangi
Ezra memeluk Shaila dengan erat dari belakang. Sedangkan Shaila masih memikirkan bagaimana caranya dia akan pergi meninggalkan Ezra."Setelah Papa mengusirku dan Mama tidak bisa membelaku, aku pikir tidak ada satu orang pun yang menyayangiku. Kenapa aku harus hidup di jalanan? padahal Papa adalah orang berada. Aku merasa hidup sendiri tak punya orang tua. Tapi kali ini aku tidak akan merasa hidup sendiri lagi, karena aku punya kamu kekasih impianku. Kamu adalah alasanku untuk bangkit dan tetap bertahan." Ezra bercerita. Mulutnya hampir menempel pada kepala Shaila.Kemudian Shaila pun bercerita tentang kisahnya. Lama dan semakin lama Ezra terlelap dalam kisah-kisah yang terjadi dalam mimpi. Pelan, Shaila melepas tangan Ezra yang masih memeluknya dari belakang. Ia ingin beranjak pergi dari rumah sakit pagi-pagi sekali, sebelum Ez
Shaila tidak melanjutkan perkataannya, dia kembali terdiam dan menunduk. Menelan ludah sedalam-dalamnya. Harusnya, dia tidak muncul, dan membiarkan Ezra mematikan api itu.Tak masalah, nanti dia bisa menyalakan lagi saat Ezra pergi. Tapi sayang, dia lepas kendali, karena rasa takut tiba-tiba menerobos dalam dirinya. Hingga dia tak sadar lari melesat keluar dari tempat dia bersembunyi. Dan harus bertatap dengan Ezra.Dia sangat takut, produk sepatu yang dia buat tidak maksimal dan tak sesuai harapan, jika tidak sesuai dalam memberikan cap sepatu karena kurang maksimal saat memanaskan untuk capnya, maka hasilnya pun tidak akan istimewa, sebab orang-orang penting lebih memilih sepatu buatan tangan dengan cap yang benar-benar sempurna. Jika capnya tidak jelas, maka akan terlihat kalau sepatu itu hanyalah produk bodong alias barang kawe, bukan original."Jawab! Sedang apa kamu di sini, Shaila? Dan, dan apa yang sedang kamu lakukan?" tanya Ezra sekali lagi. Rahangnya mengeras, tanda kem
Angin menelusuk masuk ke jendela yang sedikit terbuka.Di dalam ruangan, hanya ad Ezra. Hari hampir sore, dia masih saja membersihkan seluruh peralatan yang terlihat kotor, kemudian menata kembali barang yang masih terpakai. Dia paling tidak suka melihat barang atau ruangan yang kotor walau hanya secuil. Baginya tidak nyaman jika harua berada di ruangan seperti itu. Walau tak terpakai, setidaknya dia bisa merawat ruangan itu. Pria itu mendesah kasar. Tidak gengsi baginya jika harus melakukan pekerjaan ini sendiri, tanpa harus menyuruh orang lain. Ezra melipat sedikit lengan kemejanya.Beberapa kali dia melirik jam di pergelangan tangannya. Hampir dua jam Ezra menunggu. Orang yang sudah berjanji akan membantunya itu tidak datang juga. Gun pun belum muncul ke hadapannya."Ish, kemana anak itu?" Ezra mengumpat, lalu melempar kain lap yang sedang ia pegang.Seja
Shaila memeluk kedua lututnya di pojok kamar. Akhir-akhir ini, dia lebih sering menyendiri. Setelah menandatangani dokumen persetujuan kontrak kerja sama dengan perusahaan Fauzan, pikiran Shaila selalu bercabang dan tidak bisa fokus.Sebenarnya, saat pulang dari kantor, Fauzan mengajak Shaila untuk ikut bersamanya, tapi perempuan itu menolak halus. Dia tidak ingin memberikan harapan lain pada Fauzan, selain urusan pekerjaan. Cukup sudah, Fauzan menjadi masa lalu. Dia tidak akan membiarkan lelaki itu kembali memporak-porandakan isi hatinya seperti dulu yang pernah dilakukannya. Memghancurkan sampai tak ada harapan.Terbuai dalam lamunan, tiba-tiba Shaila memikirkan perusahaan mendiang ayahnya yang sudah tak beroperasi, bahkan tak terawat. Bangunan yang cukup luas, terlihat sedikit angker karena tak berpenghuni. Semua itu, karena ulah kakak angkatnya, Raka.Shiala terkadang berpikir untuk membuka pabrik itu kembali. Meski
Wangi yang tak asing menelusuk, merasuk ke dalam lubang hidung Shaila. Dia terdiam seketika, menikmati harum yang membuatnya kembali bernostalgia, pada masa-masa dia bersama lelaki yang masih memenuhi ruang hatinya. Rindu dalam dadanya membuncah, pada seseorang yang memiliki bau yang sama. Rindu yang baginya serasa seabad.Nyaman, dan tak ingin beranjak, begitu yang dirasakan Shaila saat mencium wangi khas lavender kesukaannya. Bahkan, tak ada orang lain yang rela memakai parfum yang dia suka, selain Ezra. Shaila berharap ini hanyalah mimpi, dia tidak ingin bangun dan beranjak dari mimpinya.Menyadari tubuhnya jatuh pada pelukan seseorang, Shaila segera membuka kedua matanya. Tak disangka, dia dipertemukan dengan pria yang sejak tadi melayang-layang di otaknya. Lelaki yang selalu saja membuatnya rela melakukan apapun demi kebahagiaannya."Ezra." Mulut Shaila ternganga, namun tubuhnya masih
Langkah Shaila terhenti, setelah berada tepat di depan pintu ruangan Ezra. Terdiam dan memikirkan bagaimana resiko yang akan dihadapi, jika dia benar-benar nekad masuk, dan mengatakan seluruh kebenarannya."Tidak, aku tidak boleh melakukannya. ini tidak boleh terjadi. Aku harus punya pendirian. Yaa Allah, tapi, ini kenapa aku ingin sekali melihat dia. Aku ingin mencium aroma bau tubuhnya," keluhnya dalam hati. Sungguh kehamilannya ini membuat emosinya mudah berubah-ubah. Terkadang dia ingin marah dan terkadang rindu tak tertahan.Lantas, Shaila menghentikan tangan yang tadinya akan mengetuk pintu, membiarkannya mengambang di udara. Wanita berjilbab mocca itu mendesah kasar. Mulutnya mengerucut, lalu kembali mengurungkan niatnya untuk bertemu Ezra.Jika dia bertekad mengikuti naluri. Atau entah keinginan jabang bayi, sama saja dia akan kembali terhanyut dalam kerinduan. Sedangkan, pengorbanan yang dia lakukan untu
"Tega sekali kamu Shaila, tapi kenapa harus dengan Fauzan?" tanyanya lagi dalam hati.Ezra mendesah kasar lalu melemparkan seluruh dokumen yang ada di atas meja. Amarah menguasai diri. Mencoba tidak peduli pun percuma. Nyatanya pikirannya selalu dihantui oleh Shaila. Kenangan bersama Shaila.Bersamaan dengan itu, Ezra pun sangat membenci Shaila, wanita yang telah berani-beraninya mengaborsi darah dagingnya.Ezra mengacak-acak rambut frustasi, dan menjatuhkan diri di lantai. Tangan kanananya memegang kening, air mata dan amarah bercampur menjadi satu.Setelah berdiam beberapa jam, dia kembali tersadar dari lamunannya. Menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya kasar. Dia berusaha membuang jauh-jauh bayangan Shaila, dia tidak boleh frustasi hanya karena seorang wanita yang sudah mengkhianatinya. Dia kembali berdiri dan membereskan seluruh
Setelah beberapa jam perjalanan, tibalah Shaila di rumah ibunya. Sebelum masuk, dia berusaha mempersiapkan suasana hati agar tetap tersenyum di depan wanita yang paling dia hormati dan sayangi."Tetap kuat ya sayang, bantu ibumu ini! Sekarang kita ke rumah oma," Shaila mengusap perutnya. Dia selalu mengajak calon bayinya berkomunikasi. Kata dokter itu membantu merangsang pertumbuhan janin.Sekali lagi, Shaila tidak ingin memperlihatkan kesulitan yang dialaminya. Meskipun, sesungguhnya sudah tahu, kalau saat ini dia sedang berada dalam masa sulit, setidaknya hanya satu kesulitan yang ia berikan pada sang ibu. Shaila tidak ingin menambah beban lagi.Suasana rumah sudah berbeda sejak kepergian ayahnya, serta kakak angkatnya yang sudah berada di penjara. Kehamilannya pun masih disembunyikan. Seharusnya kehamilan adalah kebahagiaan bagi semua keluarga, namun baginya, saat ini bukanlah waktu yang tepat untuk mengatakan k
"Sayang bertahanlah!" ucap Shaila dalam hati, dia tahu bayi yang di dalam kandungannya tidak rela jika ibunya membentak ayahnya. Atau dia tidak mau melihat pertengkaran orang tuanya."Kenapa kamu menjauh? Apa kamu takut aku sentuh?" tanya Ezra semakin mendekati Shaila."Hentikan, aku akan keluar!" Shaila kembali menegakkan kakinya untuk berdiri. Dia menarik napas dalam-dalam berusaha menahan rasa mualnya. Jangan sampai Ezra tahu tentang kehamilannya. Usahanya tetap saja sia-sia, wanita hamil tidak bisa menahan rasa pusing dan mual itu. Hingga matanya kunang-kunang, dia masih tetap memaksa untuk berjalan regak ke luar pintu.Ezra segera memgang bahu Shaila ketika dia sudah berada di ambang pintu."Duduklah, aku tahu kamu kelelahan! Akan kuambilkan air putih!" Ezra segera menarik Shaila, dan mendudukkannya di sofa. Shaila tidak bisa menahan kepalanya yang terasa sangat pusing.
Pria itu menatap tajam wanita yang baru saja masuk ruangan. Wajah imut dengan tubuh mungil itu kembali berdiri di hadapannya. Ezra merasa sia-sia membuang semua pikiran tentang wanita itu. Nyatanya Shaila selalu saja datang di hadapannya tanpa di rencana.Bukan itu yang membuatnya sedikit ingin marah. Meski sudah ia talak, tapi bukan berarti bisa dekat dengan laki-laki lain di hadapannya. Bukankah menjaga perasaan orang lain itu lebih penting daripada menjaga hatinya sendiri? Ezra mengepalkan tangannya yang tersembunyi di bawah meja.Shaila mematung di ambang pintu, menyaksikan Ezra yang tengah duduk terpaku di meja utama meeting. Matanya beradu, salung pandang dengan hati nurani masing-masing. Ezra dengan sorot kemarahannya. Sedangkan Shaila dengan penuh rasa sesal, dia langsung mengalihkan pandangan pada lantai. Dia benar-benar tak mampu memandang pria nya lama-lama. Ia pun tak mampu mendekat. Hanya terus terdiam.