“Cataline,” panggil Rich, menyentuh jemari istrinya. Cataline memutar wajahnya memandang Rich dan dia tersenyum samar. “Aku tak mengapa, itu hal biasa. Ibumu memang tak pernah berbicara baik padaku, Rich.” Rich mengalihkan matanya ke jalanan dan bingung untuk memulai pembicaraan. Makan siang dengan keluarga memang tak pernah berjalan mulus karena Ruth selalu bersikap dingin dan berbicara tak bersahabat pada Cataline. Sebab itulah Rich memutuskan pindah dan tinggal terpisah dari keluarga, untuk melindungi istrinya. Terlalu banyak masalah yang datang secara tiba-tiba, sampai Rich bingung akan bagaimana menyikapi semua ini. Selain merasa kasihan pada Cataline yang tersinggung dengan ucapan ibunya, dia juga takut dengan surat yang Jovanka kirimkan. “Mari kita lupakan ibu. Aku tak ingin kau memikirkan ucapannya, karena itu kita tinggal terpisah.” “Lantas, kau ingin mengatakan sesuatu, Rich?” Mata istrinya yang sendu membuat Rich ragu sejenak. Harus kah dia membahasnya? Bagaimana j
Semua orang akan berpikir hal yang sama jika melihat begitu cepat Rich bertindak. Bahkan Jovanka tidak siap dengan tamparan dari Cataline, tapi Rich... dia sangat sigap seakan takut gadis itu terluka. “Kau pengkhianat, kau sudah menyakitiku, Rich.” Rich yang serba salah melepaskan Jovanka dan berpindah ke depan istrinya. Tangan pria itu akan memeluk Cataline, tapi segera ditepisnya. “Jangan sentuh aku. Tanganmu... aku tak tahu apakah aku masih mau disentuh oleh tangan itu.” Matanya menunjukkan kecewa yang sangat dalam. “Kate, ini tidak seperti yang kau pikirkan. Dia hampir terjatuh, aku hanya menjaga janin kita.” “Janin, janin, janin! Apakah hanya itu alasanmu?” Cataline muak dengan sikap Rich yang selalu peduli akan janin di perut Jovanka. “Jika janin itu yang lebih penting dari perasaanku, lantas apa gunanya kita bersama? Pergilah dengan gadis itu dan jaga janinmu!” Cataline berjongkok dengan wajah disembunyikan di atas lututnya. Hanya suaranya yang terdengar pilu membuktikan
Di malam dingin yang berhujan, Jovanka berjalan dengan keadaan sangat berantakan. Kaki kecilnya tak menggunakan alas sebab tak diberi kesempatan bahkan untuk mengenakan sebuah sandal. Dia diusir bagaikan seekor anjing liar yang tak punya keluarga. Hanya tas kecil berisi barang pribadinya yang boleh dia bawa, sebab barang lainnya adalah pemberian dari mereka. Jalan menuju keluar dari pekarangan itu terasa sangat jauh. Dia menatap lurus dengan pandangan mengabur oleh terpaan air hujan. Jovanka tak mampu menunjukkan ekspresi di wajahnya, tapi kesedihan yang mendalam cukup membuat gadis itu hancur di dalam dada. Tanpa tujuan dia terus meninggalkan tempat itu. Di luar gerbang besar, sebuah taksi yang melintas berhenti dan menawarkan tumpangan. Jovanka menaiki taksi dan menyebutkan sebuah nama toko kue. Ketika taksi berhenti, dia turun dan berjalan menuju toko kue milik Nyonya Green. Entah kenapa alamat itu yang terlintas di pikirannya. “Jovanka, apa itu?” Nyonya Green melihat gadis it
Cataline akan mengandung, itu yang diucapkan wanita itu malam tadi. Dengan diusirnya Jovanka beserta bayi di perutnya dari rumah mereka, akhirnya istri Rich itu memutuskan untuk mengandung sendiri anak mereka. Seharusnya hal ini adalah sesuatu yang menggembirakan bagi Rich, sebab dia akan memiliki anak dari rahim istrinya sendiri. Tapi kenyataannya, rasa gembira itu tidak Rich dapatkan di lubuk hatinya. Benar. Dia memang kagum dengan ketulusan Cataline yang berkata menyesal dan memutuskan untuk mengandung, tapi mengingat janin di rahim Jovanka, entah kenapa dia sangat sedih. Bagaimana nasib anaknya dengan gadis itu, jika mereka mengabaikannya? Setega itu kah Rich membiarkan darah dagingnya diasuh Jovanka, yang bahkan untuk membayar kuliah saja tidak lah mampu. “Dia akan merawatnya?” kata Rich ragu. Gadis itu sangat miskin, makan malamnya saja hanya dengan dua keping roti dan air mineral. Rich tidak percaya gadis semiskin itu akan mengurus bayi di usia yang masih sangat muda. Lantas
Laju mobil semakin kencang membelah jalanan. Jovanka terus saja mengoceh meminta Rich menurunkannya di jalan. Telinganya sampai mau pecah mendengar teriak gadis itu di sebelah, dia bahkan meminta tolong seakan Rich melakukan sesuatu."Tolong! Tolong!" Jovanka terus meminta tolong menggedor kaca jendela, tapi Rich mengabaikannya sebab kaca itu gelap dari luar. Tak akan ada orang yang melihatnya dari luar sana. "Tuan Cullen, turunkan aku, Tuan! Kau tidak boleh menculik seorang gadis yang tengah mengandung!" Mobil yang Rich kemudi pun berbelok ke kiri, memasuki kawasan villa pribadi miliknya. Seharusnya villa itu adalah hadiah untuk Cataline, sebagai hadiah setelah Jovanka melahirkan anak mereka. "Turun," kata Rich, membuka pintu di sebelah Jovanka.Gadis itu masih terlihat ketakutan di wajahnya, Rich sampai bingung kenapa Jovanka sangat takut. 'Apakah wajahku seperti orang jahat?'"Hei, turunlah. Jangan bertingkah seakan kau sangat berharga untuk diculik."Nyatanya memang dia menc
Pertanyaan di kepala Jovanka belum terjawab, Rich sudah berjalan ke meja makan. Matanya menatap Jovanka yang diam tanpa melirik padanya."Hei, kau tak mau makan?" Sejujurnya Jovanka bukan tak mau makan. Dia hanya menikmati pemandangan di meja itu yang dipenuhi berbagai menu. Padahal, Jovanka hanya makan sendiri di sini, kenapa pelayan menyiapkan sangat banyak?Keluarganya memang kaya. Tapi seperti yang diketahui, Jovanka tak pernah dianggap bagian dari keluarga itu sehingga tak memiliki hak untuk bergabung di meja makan. Dia hanya akan memakan apa pun yang sudah tersisa, bahkan terkadang tak kebagian makanan. Jovanka ingin lebih lama mengagumi setiap menu yang ada, membayangkan selama ini belum pernah menikmatinya dengan benar."Berbicaralah jika seseorang bertanya. Apakah masih kurang baik sikapku padamu? Aku sudah membantumu dalam kesulitan, kenapa kau sangat susah diajak bekerjasama?" kata Rich.Bosan dia menunggu gadis yang membisu itu, kemudian mengambil piring steak di depan Jo
Saat Jovanka tiba di kampus, dia bertemu dengan Queena. Adiknya itu menyeret Jovanka ke toilet kampus dan mengunci pintu. "Kenapa kau masih berkeliaran di sini?" tanya Queena, matanya menatap penuh kebencian. "Apa kau tidak mengerti? Kampus ini untuk orang-orang mampu, sedangkan kau, uang semester pun tak bisa kau lunasi!" Jovanka sudah diberi peringatan oleh biro administrasi, untuk tidak memberitahukan siapa pun perihal beasiswa yang dia dapatkan. Jika dia melanggar, pihak kampus akan menariknya kembali. "Semua sudah dibayarkan, Queen, dan aku bisa ikut ujianku. Jadi kau tak perlu memikirkan uang semesterku yang kemarin menunggak." Jovanka sengaja mengatakannya untuk membuat adiknya semakin kesal. Lihat saja wajah itu, tampak geram dan seperti ingin membunuh. Queen kemudian tertawa sebelum dia kembali menghina Jovanka. "Sudah lunas, katamu? Bahkan orang bodoh pun tidak akan percaya, kau bisa membayarnya. Gajimu di toko kue tak mungkin sebanyak itu!" "Tapi nyatanya, kau bisa m
Ketika mendapat telepon dari Ferry Hernandez, suara Jovanka sampai bergetar. Dia terharu, berpikir ayahnya mungkin mengkhawatirkan dirinya yang tidak pulang ke rumah sudah sangat lama. Tapi setelah mendengar perkataan ayahnya yang begitu kejam, dia menjadi lemas dan kecewa. Hatinya kembali sakit, terluka oleh sifat sang ayah yang tak pernah peduli padanya.Dia pulang seperti yang diperintahkan sang ayah, dan di sini lah dia sekarang menghadapi semua anggota keluarga."Kalian memberinya uang?" tanya Ferry Hernandez, menatap satu per satu anak dan istrinya.Dua kakak laki-lakinya menggeleng kepala begitu pun dengan Adriana. Wajah wanita itu dibuat panik dan tentu saja Jovanka tahu dia hanya bersandiwara."Kenapa, Sayang? Ada apa sebenarnya? Jovanka memang pernah meminta uang padaku, tapi karena dia tidak menjelaskan itu untuk apa, aku tidak berani memberikannya," kata Adriana.Ferry Hernandez kembali menatap Jovanka dari atas sampai ke bawah. Semua yang menempel di tubuh wanita itu buk