Di malam dingin yang berhujan, Jovanka berjalan dengan keadaan sangat berantakan. Kaki kecilnya tak menggunakan alas sebab tak diberi kesempatan bahkan untuk mengenakan sebuah sandal. Dia diusir bagaikan seekor anjing liar yang tak punya keluarga. Hanya tas kecil berisi barang pribadinya yang boleh dia bawa, sebab barang lainnya adalah pemberian dari mereka. Jalan menuju keluar dari pekarangan itu terasa sangat jauh. Dia menatap lurus dengan pandangan mengabur oleh terpaan air hujan. Jovanka tak mampu menunjukkan ekspresi di wajahnya, tapi kesedihan yang mendalam cukup membuat gadis itu hancur di dalam dada. Tanpa tujuan dia terus meninggalkan tempat itu. Di luar gerbang besar, sebuah taksi yang melintas berhenti dan menawarkan tumpangan. Jovanka menaiki taksi dan menyebutkan sebuah nama toko kue. Ketika taksi berhenti, dia turun dan berjalan menuju toko kue milik Nyonya Green. Entah kenapa alamat itu yang terlintas di pikirannya. “Jovanka, apa itu?” Nyonya Green melihat gadis it
Cataline akan mengandung, itu yang diucapkan wanita itu malam tadi. Dengan diusirnya Jovanka beserta bayi di perutnya dari rumah mereka, akhirnya istri Rich itu memutuskan untuk mengandung sendiri anak mereka. Seharusnya hal ini adalah sesuatu yang menggembirakan bagi Rich, sebab dia akan memiliki anak dari rahim istrinya sendiri. Tapi kenyataannya, rasa gembira itu tidak Rich dapatkan di lubuk hatinya. Benar. Dia memang kagum dengan ketulusan Cataline yang berkata menyesal dan memutuskan untuk mengandung, tapi mengingat janin di rahim Jovanka, entah kenapa dia sangat sedih. Bagaimana nasib anaknya dengan gadis itu, jika mereka mengabaikannya? Setega itu kah Rich membiarkan darah dagingnya diasuh Jovanka, yang bahkan untuk membayar kuliah saja tidak lah mampu. “Dia akan merawatnya?” kata Rich ragu. Gadis itu sangat miskin, makan malamnya saja hanya dengan dua keping roti dan air mineral. Rich tidak percaya gadis semiskin itu akan mengurus bayi di usia yang masih sangat muda. Lantas
Laju mobil semakin kencang membelah jalanan. Jovanka terus saja mengoceh meminta Rich menurunkannya di jalan. Telinganya sampai mau pecah mendengar teriak gadis itu di sebelah, dia bahkan meminta tolong seakan Rich melakukan sesuatu."Tolong! Tolong!" Jovanka terus meminta tolong menggedor kaca jendela, tapi Rich mengabaikannya sebab kaca itu gelap dari luar. Tak akan ada orang yang melihatnya dari luar sana. "Tuan Cullen, turunkan aku, Tuan! Kau tidak boleh menculik seorang gadis yang tengah mengandung!" Mobil yang Rich kemudi pun berbelok ke kiri, memasuki kawasan villa pribadi miliknya. Seharusnya villa itu adalah hadiah untuk Cataline, sebagai hadiah setelah Jovanka melahirkan anak mereka. "Turun," kata Rich, membuka pintu di sebelah Jovanka.Gadis itu masih terlihat ketakutan di wajahnya, Rich sampai bingung kenapa Jovanka sangat takut. 'Apakah wajahku seperti orang jahat?'"Hei, turunlah. Jangan bertingkah seakan kau sangat berharga untuk diculik."Nyatanya memang dia menc
Pertanyaan di kepala Jovanka belum terjawab, Rich sudah berjalan ke meja makan. Matanya menatap Jovanka yang diam tanpa melirik padanya."Hei, kau tak mau makan?" Sejujurnya Jovanka bukan tak mau makan. Dia hanya menikmati pemandangan di meja itu yang dipenuhi berbagai menu. Padahal, Jovanka hanya makan sendiri di sini, kenapa pelayan menyiapkan sangat banyak?Keluarganya memang kaya. Tapi seperti yang diketahui, Jovanka tak pernah dianggap bagian dari keluarga itu sehingga tak memiliki hak untuk bergabung di meja makan. Dia hanya akan memakan apa pun yang sudah tersisa, bahkan terkadang tak kebagian makanan. Jovanka ingin lebih lama mengagumi setiap menu yang ada, membayangkan selama ini belum pernah menikmatinya dengan benar."Berbicaralah jika seseorang bertanya. Apakah masih kurang baik sikapku padamu? Aku sudah membantumu dalam kesulitan, kenapa kau sangat susah diajak bekerjasama?" kata Rich.Bosan dia menunggu gadis yang membisu itu, kemudian mengambil piring steak di depan Jo
Saat Jovanka tiba di kampus, dia bertemu dengan Queena. Adiknya itu menyeret Jovanka ke toilet kampus dan mengunci pintu. "Kenapa kau masih berkeliaran di sini?" tanya Queena, matanya menatap penuh kebencian. "Apa kau tidak mengerti? Kampus ini untuk orang-orang mampu, sedangkan kau, uang semester pun tak bisa kau lunasi!" Jovanka sudah diberi peringatan oleh biro administrasi, untuk tidak memberitahukan siapa pun perihal beasiswa yang dia dapatkan. Jika dia melanggar, pihak kampus akan menariknya kembali. "Semua sudah dibayarkan, Queen, dan aku bisa ikut ujianku. Jadi kau tak perlu memikirkan uang semesterku yang kemarin menunggak." Jovanka sengaja mengatakannya untuk membuat adiknya semakin kesal. Lihat saja wajah itu, tampak geram dan seperti ingin membunuh. Queen kemudian tertawa sebelum dia kembali menghina Jovanka. "Sudah lunas, katamu? Bahkan orang bodoh pun tidak akan percaya, kau bisa membayarnya. Gajimu di toko kue tak mungkin sebanyak itu!" "Tapi nyatanya, kau bisa m
Ketika mendapat telepon dari Ferry Hernandez, suara Jovanka sampai bergetar. Dia terharu, berpikir ayahnya mungkin mengkhawatirkan dirinya yang tidak pulang ke rumah sudah sangat lama. Tapi setelah mendengar perkataan ayahnya yang begitu kejam, dia menjadi lemas dan kecewa. Hatinya kembali sakit, terluka oleh sifat sang ayah yang tak pernah peduli padanya.Dia pulang seperti yang diperintahkan sang ayah, dan di sini lah dia sekarang menghadapi semua anggota keluarga."Kalian memberinya uang?" tanya Ferry Hernandez, menatap satu per satu anak dan istrinya.Dua kakak laki-lakinya menggeleng kepala begitu pun dengan Adriana. Wajah wanita itu dibuat panik dan tentu saja Jovanka tahu dia hanya bersandiwara."Kenapa, Sayang? Ada apa sebenarnya? Jovanka memang pernah meminta uang padaku, tapi karena dia tidak menjelaskan itu untuk apa, aku tidak berani memberikannya," kata Adriana.Ferry Hernandez kembali menatap Jovanka dari atas sampai ke bawah. Semua yang menempel di tubuh wanita itu buk
Dikutuk dan dihina oleh Adriana dan Queena masih bisa Jovanka tahankan. Meski hatinya kesal, dia mengabaikan dan menganggap perkataan mereka hanya sebuah angin lalu. Dia tak pernah peduli dengan tatapan kebencian sang ayah dan kedua kakak laki-lakinya, menganggap suatu saat mereka pasti menerimanya.Kehilangan orang tercinta tentu sangat melukai perasaan ayah dan kedua kakaknya, itulah yang selama ini Jovanka tanamkan di dasar hati. Dia paham mereka membencinya dan belum bisa menerima kedatangan Jovanka yang membawa luka dalam. Dia selalu berpikir suatu saat semuanya akan membaik, saat ayah dan kedua kakaknya sadar. Tapi ternyata, harapan hanya tinggal harapan yang tak akan pernah menjadi kenyataan. Baru saja, Ferry Hernandez sudah mengeluarkan racun mengerikan itu dan membuat Jovanka semakin terlempar jauh."Ayah..." panggilnya lemah. Mata yang berkaca-kaca mulai menangis oleh desakan sakit di dalam dada. "Aku putrimu, Ayah. Aku bukan monster, tolong tarik kata-kata ayah.""Diam dan
Rich keluar dengan sehelai handuk yang melingkar di pinggangnya. Dia baru saja selesai berendam, setelah lelah bekerja seharian di kantor. Ketika dia keluar dari kamar mandi, Cataline langsung menyambutnya dengan pelukan hangat. Istrinya itu bersigayut di leher Rich, berlaku sangat manja."Ada apa kali ini? Kau pasti menginginkan sesuatu?" tanya Rich, menduga.Cataline tersenyum memainkan leher suaminya. "Kau sangat tahu apa yang aku inginkan. Kau benar-benar mencintaiku!" serunya bangga.Pernikahan mereka sudah berjalan sekian tahun, Rich selalu berlaku lembut pada istrinya. Meski terkadang jenuh oleh sikap Cataline yang cemburuan dan suka menuduh, Rich selalu mengingat kembali masa-masa awal mereka bertemu.Kala itu, Cataline sangat cantik di matanya. Rich selalu ingat betapa lembutnya Cataline dalam berbicara, juga sambutan hangat dari keluarga gadis itu. Karena hal itu lah, Rich selalu berusaha membuat pernikahan ini agar tidak menjenuhkan."Aku mengenalmu sangat lama, bagaimana b