😨😨😨😨😨 saya ingin membaca pendapat kalian 😹 apa yang kira-kira terjadi pada Miranda?? anyway... terima kasih sudah membaca ya 🙂↕️ follow T**T*K Othor @almiftiafay juga bowwwleeeehh 🤗🤗
Sepasang mata Amaya membola mendengar apa yang baru saja dikatakan oleh kakak lelakinya. Ia berpikir, ‘Pantas saja tadi dokter mau langsung bicara sama orang tuanya, ternyata ....’“Dokter bilang kalau dia lagi hamil,” ulang Gafi. “Sekitar sembilan sampai sepuluh mingguan, dan tentu saja itu keguguran,” terangnya. “Dia mengalami pendarahan di kepalanya, makanya kondisinya sedikit agak buruk.”Amaya seperti membeku mendengar semua keterangan itu.Tak ia sangka pertemuannya dengan Miranda akan berakhir dengan cara seperti ini.“Kakak akan bilang ke ibunya Miranda,” ucap Gafi. “Tapi beliau ‘kan—“ Amaya berhenti bicara, menatap Gafi yang kedua bahunya sekali lagi merosot. “Kita nggak punya pilihan, May,” kata Gafi, tampak berat mengambil keputusan juga. “Kita nggak mungkin menyembunyikan ini juga, ‘kan? Kakak sama Galen—“ Gafi sekilas menoleh pada sekretarisnya yang sedang mengurus keperluan administrasi di seberang sana. “Kakak sama Galen akan bilang soal dia yang jatuh aja, nanti soa
“Apa jangan-jangan sebelumnya Miranda sama Rama?” tanya Amaya, hampir terhenyak bangun dari duduknya. “Jangan bilang hal ini ke siapapun dulu,” jawab Kelvin. “Kita hanya sedang menduga karena biar gimanapun itu suspicious, ‘kan?” Amaya mengangguk lebih dari satu kali, “Iya,” jawabnya setuju. “Tapi saya rasa apa yang Pak Kelvin bilang itu masuk akal kok, beberapa kali emang saya selalu lihat pas nggak sengaja ketemu Miranda tuh dia selalu berantem sama Rama. Terus kalau nggak gitu ... dia lagi nangis. Bukannya bisa jadi dia minta Rama buat tanggung jawab tapi cowok itu nggak mau?” “Dan mungkin juga udah lebih dari satu kali Miranda minta pertanggung jawaban dari mantan pacar kamu itu,” imbuhnya. “Terus karena merasa tertekan, akhirnya Rama kesal dan ngedorong Miranda jatuh dari rooftop,” simpulnya. Amaya merinding dengan hasil dugaannya ini. Ia bukan bermaksud berpikiran buruk atau menuduh Rama, hanya saja ... kebetulan-kebetulannya hampir bisa dikatakan ‘sempurna’ untuk membuat
Pagi hari ini, Amaya sedang berada di dalam mobil yang dikemudikan oleh Kelvin meninggalkan rumah. Mereka tak langsung menuju kampus melainkan terlebih dahulu pergi ke rumah ibunya Miranda.Amaya menoleh sekilas ke belakang, memastikan barang bawaannya aman di kursi penumpang. Ia bawakan makanan dan beberapa bahannya untuk Hesti—ibunya Miranda—agar wanita paruh baya itu setidaknya memiliki persediaan di rumah mengingat kondisinya yang kurang sehat untuk bepergian ke sana ke mari.“Kamu masih kesal sama saya?” tanya Kelvin, membuat Amaya yang tadinya memandang ke luar melalui jendela di sisi kiri segera menoleh kepadanya.“Kesal kenapa?” tanya Amaya balik.“Yang di kamar mandi.”“Nggak tuh,” jawab Amaya. “Pak Kelvin ‘kan udah taruh baju saya di luar, jadi yang semalam Bapak ngejekin saya bisa dimaafkan.”Kelvin tersenyum mendengarnya. Senyum yang sama yang bisa dilihat oleh Amaya saat semalam—setelah ia ‘terjebak’ di dalam kamar mandi tanpa membawa pakaian ganti—sewaktu melihatnya mun
Terlambat bagi Amaya untuk mencegahnya. Sedan milik Kelvin telah melewati pintu gerbang, membuat mahasiswa yang menyadari kedatangannya menepi. Meski Amaya yakin ia tak terlihat dari luar, ia tetap menunduk menyembunyikan wajahnya. Pemandangan yang baru dijumpai oleh Amaya adalah, mereka—para mahasiswa—rupanya cukup antusias dengan kedatangan Kelvin. Mata mengikuti ke mana mobil bergerak, beberapa menunjuk dengan gerak bibir yang ditangkap Amaya tengah mengatakan, ‘Pak Kelvin datang.’ Mobil berhenti di parkiran, pada tempat yang dikhususkan untuk para dosen. Yang untungnya pagi ini tak ada orang lain yang berada di sana. “Sudah sampai,” ucap Kelvin seraya membuka seat belt yang menahan tubuhnya. “Saya nggak mau bareng lagi loh kalau begini,” protes Amaya. “Kok gitu? Kenapa?” “Ini kebetulan tempat parkirnya lagi sepi, gimana kalau ramai coba?” tanya balik Amaya. “Nggak ada masalah antara ramai atau sepi,” jawab Kelvin tanpa beban. “Lagi pula mereka ‘kan sudah nggak aneh dengan k
“Ada gila-gilanya nih cewek!” seru Alin saat mendengar Caecil yang baru saja menyebut Amaya sebagai seorang pembunuh. “Jaga omonganmu, Kak Caecil!” “Emang bener, ‘kan?” Caecil justru mengangkat dagunya saat sekali lagi memandang Amaya. “Kalau bukan gara-gara dia nggak bisa diatur, papanya nggak akan tiba-tiba sakit dan meninggal!” Amaya mengepalkan kedua tangannya. Bibirnya sangat ingin membantah, ingin ia balas ucapan-ucapan Caecil yang menyakitkan itu. Tetapi ia tahu jika hal itu ia lakukan yang terjadi justru ia akan menangis. Ia tak ingin menumpahkan air matanya di sini meski retakan di dalam hatinya tumbuh secara masif. Melihat Amaya yang hanya terdiam dengan rahang kecilnya yang menegang, Alin memilih untuk mengajaknya pergi dari sana. “Ayo pergi dari sini, May!” ajak Alin, meraih tangan Amaya dan menariknya menjauh melewati Caecil. Mahasiswa yang semula berkerumun menyaksikan mereka menyisih saat mereka lewat, memberi jalan membiarkan keduanya pergi dari lorong. Caecil bi
“Pak Kelvin mau ngajakin saya ke mana?” tanya Amaya saat ia berjalan menuruni tangga bersama dengannya. “Nanti kamu juga akan tahu,” jawab Kelvin, sekilas menoleh pada Amaya. Seulas senyum yang membawa serta lesung pipi itu terlihat. “B-baiklah.” Tiba di ujung anak tangga, mereka melihat Bi Mara, wanita paruh baya itu membawa sekeranjang pakaian yang akan ia naikkan ke kamar atas. “Mau kencan, Pak Kelvin, Non Amaya?” sapanya tak bisa menahan senyum. “Iya, Bi Mara,” jawab Kelvin lebih dulu. “Titip rumah sebentar ya?” “Baik.” Mereka meninggalkan rumah setelah itu. Amaya duduk di samping Kelvin yang sibuk dengan kemudi mobil, melaju membelah jalan raya yang rasanya lebih lengang ketimbang hari-hari biasa. “Apa Pak Kelvin tahu apa nama pohon yang bunganya mekar di pinggir jalan itu?” tanya Amaya membuka percakapan. “Tabebuya,” jawabnya. “Cantik banget, apalagi yang warna pink.” “Kamu mau punya juga di rumah kita?” “Memangnya ada yang jual yang ukurannya udah besar begitu?” tan
“Menurut saya—eh—jatuh!” Amaya terkejut karena album yang ada di tangannya tiba-tiba terjatuh.Mungkin karena terlalu lama memandangi Kelvin sehingga ia mengabaikan apa yang sedang ia lakukan sebelumnya. Otot di tangannya melemah dan membuat album tersebut jatuh.Amaya menunduk dengan cepat, nyaris memungut benda berukuran tebal itu sebelum tangan besar Kelvin lebih dulu meraihnya.“Lihatlah besok lagi,” ucap Kelvin. Pria itu turun dari ranjang, memandang Amaya yang mengangguk tak membantahnya, “I-iya,” jawabnya.“Kalau nggak ada hal lain yang mau kamu kerjakan, kamu bisa tidur, Amaya.”“Iya, terima kasih.”Amaya melihat punggungnya menjauh dan menghilang saat Kelvin memasuki ruang ganti. Memindah album itu ke sana agar Amaya melihatnya besok lagi.Ia pun menarik selimut sehingga menutup sebagian tubuhnya. Matanya masih mengarah pada Kelvin, menunggu kehadiran pria itu yang membuat jantungnya semakin berpacu setiap kali Kelvin mematikan lampu dan menggantinya dengan cahaya yang lebih
“J-jadi pacarnya Kak Ziel?” ulang Amaya setelah mendengar syarat yang dikatakan oleh Ziel. Pemuda itu menganggukkan kepalanya, “Iya, Amaya,” jawabnya. “Aku mau bantu kamu dan akan kasih kesaksian biar kamu nggak punya gosip lagi di kampus ini, tapi kamu harus jadi pacarku.” Amaya meremas jari-jarinya, rasanya kebas. Batinnya berucap, ‘Ternyata dia nggak setulus yang aku pikirkan.’ “A-apa nggak ada cara lain?” tanya Amaya setelah beberapa saat keheningan. “Itu udah yang paling mudah loh, lagian aku suka sama kamu kok. Nggak akan ada yang keberatan kalau kita pacaran.” Amaya kembali terdiam. Tapi seperti tahu keresahan yang tengah ia pikirkan, Ziel mengetuk meja yang ada di hadapan mereka sebanyak beberapa kali sehingga Amaya kembali mengangkat wajahnya. “Nggak perlu kamu jawab sekarang,” kata Ziel. “Kamu bisa pikirin dulu kok.” Mereka mendengar suara ketukan di pintu yang membuat keduanya menoleh ke sana. Ada mahasiswa lain yang masuk—teman seangkatan Ziel—yang dari tatapannya te
Amaya mengayunkan kakinya menjauh dari samping brankar Calista pada akhirnya. Tangan kecilnya digandeng dan digenggam oleh Kelvin, mereka dengan gegas keluar melewati pintu ruangan itu agar bisa mengambil napas bebas Berada di dekat Calista memang membuat kepala rasanya ingin meleduk. "Yang barusan itu bagus banget, Sayang," puji Kelvin, sekilas mengayunkan tangan mereka dengan terus berjalan menuju ke parkiran. "Pria yang haram dimiliki, that was amazing. Aku nggak pernah ada kepikiran buat bilang begitu loh." "Tapi 'kan sebenernya aky nyontek kalimat Mas Vin?" balas Amaya. "Nyontek kalimatku?" ulangnya dengan alis berkerut. "Iya." "Aku pernah bilang begitu emangnya?" tanya Kelvin memperjelas. "Bukan soal pria yang haram dimiliki, tapi soal banyak tokoh wanita yang berusaha membuat martabat kaum kita terangkat itu," jawabnya. "Kapan aku bilang begitu?" "Mas Vin nggak ingat? Itu loh pas aku mau masuk kampus lagi, dan aku pakai baju yang kamu bilang warna-warni tapi aku mala
"Nggak, Calista!" jawab Kelvin dengan tegas, tangannya yang direngkuh dan seolah menjadi sandera wanita itu dengan cepat ia tarik. Kelvin tak peduli suaranya yang sedikit meninggi itu dapat didengar oleh orang lain yang ada di sana. Amaya hanya berdiri di dekatnya, menatap Calista dengan mata yang berair berusaha meredam amarah. "Aku udah bilang kalau kamu bisa hubungin keluarga kamu, 'kan?" tanya Kelvin dengan nada suara yang sama. "Lagian nggak ada yang serius sama lukamu ini! Kakimu nggak kenapa-kenapa." "Tapi 'kan tetep cedera?" bantahnya. "Apa salahnya ngantar orang yang udah kamu tabrak sih? Itu nggak akan—" "Bu Calista kenapa ngotot banget kalau suamiku nabrak Anda sih?" sela Amaya. "Kita udah sama-sama lihat loh kalau nggak ada yang serius dari kejadian pagi ini. Maunya Bu Calista tuh apa? Kelvin harus nemenin Anda seharian akibat bikin luka gores yang keponakan saya aja kalau dapet luka begitu masih ngajakin papanya panjat tebing? C'mon ...." Amaya sangat geram denganny
"Ahh—sakit—" rintih Calista seraya mengusap kakinya. "Sakit banget ...." Amaya bergeming di tempatnya saat wanita itu mengaduh kesakitan. Amaya tak ingin memiliki pikiran buruk terhadapnya, tetapi rintihannya barusan seperti dibuat agar semua orang yang mendengarnya. Beberapa orang memang datang, melihat dan memastikan sendiri apa yang terjadi pada Calista. Lebih dari satu orang yang menyebut bahwa tadi Kelvin berhenti tepat sebelum terjadi apapun. "Kayaknya tadi Mbak-nya nggak kena mobilnya deh?" tanya Bapak-bapak pemilik bengkel yang ada di sebelah kiri jalan. "Ya lagian udah tahu ada mobil lewat ngapain main nyebrang aja sih?" tegur yang lainnya. Kelvin si pria dewasa yang tenang dan hati-hati dalam bertindak mencoba menenangkan mereka yang justru lebih memihak pada si pemilik mobil alih-alih pada wanita yang bersimpuh tak berdaya di tengah jalan itu. Beberapa mengenalinya sebagai dosen dari Universitas di dekat situ, karena ada mahasiswa yang juga ada di Tempat Kejadian Perka
Calista mendadak berdiri kaku saat membuka ponselnya pagi ini. Paginya selalu diawali dengan sesuatu yang mengejutkan beberapa waktu terakhir ini. Jika sebelumnya ia melihat foto Kelvin yang menggenggam tangan Amaya dengan menyebut 'I was totally hooked', pagi ini lebih dari sekadar genggaman tangan belaka. Fotonya terlihat sangat cantik, berkonsep wedding outdoor, dan Calista tahu ini adalah foto postwedding mereka. Tapi yang membuatnya shock adalah bukan hanya betapa tampannya Kelvin, melainkan apa yang ia lakukan. Pria itu tengah menunduk di depan seorang perempuan cantik dengan gaun berwarna putih yang ekornya menyapu rerumputan. Sedang duduk di bangku taman dengan keadaan bibirnya yang dicium. Meski Kelvin menutupi wajah gadis itu dengan stiker hati, tapi orang gila mana yang tak tahu bahwa itu adalah Amaya? Seolah sengaja menaburi garam di atas lukanya, pria itu membuat dunia tahu bahwa hatinya telah berhenti pada Amaya. [@kelvinindra__ 'Forever be yours, the one and only
Agar bibirnya yang terus mengerucut itu berhenti, atau agar yayasan yang menaungi berdirinya kampus itu tak benar-benar dibeli oleh kakak iparnya—Gafi—Kelvin berusaha melakukan sesuatu. Berpikir bahwa Calista sengaja berusaha melemahkan mental Amaya yang seperti baja itu dengan menduplikasi dirinya, Kelvin harus menegaskan bahwa pernikahannya dengan Amaya tak bisa diganggu gugat oleh siapapun juga. Pada Sabtu pagi yang cerah ini, Amaya baru saja keluar dari rumah dan berdiri memandangi pohon tabebuya yang bunganya tak selebat sebelumnya. "Mau pergi nggak?" tanya Kelvin tiba-tiba dari belakangnya yang membuat Amaya segera menoleh. "Ke mana?" tanyanya balik. "Bikin foto postwedding," jawabnya. "Aku udah minta temanku yang punya studio buat nyiapin tempat, jadi aku harap kamu mau." "Foto postwedding?" ulang Amaya dengan kedua alis yang terangkat penuh rasa terkejut—karena memang ia benar terkejut. "Iya." "Tiba-tiba aja?" "Hm ... udah dari lama sih ngerencanainnya, cuma kayaknya a
“Kelvin?” panggil sebuah suara manis yang datang dari belakang Kelvin. Ia menoleh ke belakang dan melihat Amaya yang berjalan bersama dengan Alin dan Randy serta disusul oleh Naira di belakangnya. Meminimalisir terjadinya kesalahpahaman yang bisa saja terjadi antara mereka, Kelvin dengan cepat mengayunkan kakinya mendekat pada Amaya. Tapi, Calista tak mengizinkannya begitu saja. “Kelvin!” panggilnya dengan suara mengiba. Lorong sunyi itu membuat suaranya menggema. Tapi, Kelvin tak menjawabnya. Ia bahkan tak menoleh saat meraih pergelangan tangan Amaya dan menariknya untuk pergi dari sana. Memilih untuk mencari jalan lain. Tak ada yang bicara, teman-teman Amaya yang ada di belakangnya pun juga terdiam untuk tak memperkeruh suasana hingga mereka tiba di kantin. Barulah saat itu Kelvin mengakhiri ‘lomba diam-diaman’ itu dengan mengatakan, “Kalian pesanlah, saya yang akan bayar.” “E—“ Randy yang mendengarnya terlebih dulu memberi reaksi. “E—sungkan sih sebenernya, tapi mungkin kare
“Pikirkan dengan matang sebelum kamu bertindak,” lanjut Arsha. “Kecuali kamu mau berakhir sama kayak si Hakim Rasyid itu, aku persilakan kamu melakukan apapun sesuka hatimu. Tapi nanti kalau kamu hancur, hancurlah sendiri.” Arsha menutup kalimatnya dengan rahang yang menggertak. Ia memalingkan wajah dan mengayunkan kakinya pergi meninggalkan meja milik Calista. Punggungnya lambat laun menghilang selagi Calista merapikan rambutnya agar senantiasa cantik. Ia tatap pantulan wajahnya pada cermin kecil yang ada di atas meja, wajah yang terlihat gugup setelah mendengar semua kalimat bernada penjelasan dari Arsha soal apa yang terjadi sebelum ia masuk ke tempat ini. ‘Harusnya aku cari tahu dulu nggak sih apa aja riwayat anak itu?’ gumam Calista dalam hati. ‘Didengar dari penjelasan Arsha ... emang kayaknya dia tengil juga, dan tahan banting. Mentalnya itu kayak bukan mental anak-anak.’ Calista membasahi bibir berlipstick matte miliknya dengan lidah, rasanya mendadak kering saat ia mengi
Rasanya ... justru Arsha yang malu melihat tingkah Calista itu. Wanita itu adalah sepupu istrinya, yang secara tak langsung mereka memiliki hubungan keluarga, bukan? Arsha sudah melihatnya sejak tadi pagi apa saja yang dilakukan olehnya. Ia berganti pakaian yang hampir sama dengan yang kemarin dilihatnya dikenakan oleh Amaya. Sepertinya ia membelinya secara online dengan sistem beli sekarang kirim sekarang juga—pengiriman instan—sehingga ia bisa mendapatkannya dengan cepat. Pagi tadi Arsha masih sempat melihatnya mengenakan pakaian berwarna kuning tetapi pada jam makan siang ini ia telah berganti dress broken white. Arsha tak tahu apa yang tengah dipikirkannya, tapi sepertinya ia harus memberi sepupunya Kaluna itu sebuah teguran. Arsha berjalan memasuki ruang dosen di mana Calista berada dan menghampirinya. Keadaan di dalam sedang tak begitu ramai sehingga ia lebih memilih untuk bicara di sini. “Bisa stop sekarang?” ucap Arsha langsung pada pokok persoalan. Yang merasa diajak
Sepertinya ... bukan hanya postingan di sosial media milik Kelvin yang membuat kampus pagi ini menjadi heboh. Calista yang masih berdiri di sana—dan mengabaikan rasa sakit atau kesemutan pada kakinya sebab ia telah terlalu lama berdiri—mendengar seorang dosen yang ia kenal sebagai Lucy mengatakan pada Andrew, "Gokil banget Kelvin semalam." Mendengar nama 'Kelvin' disebutkan tentu saja membuat kedua telinga Calista berdiri. 'Kelvin?' ulangnya dalam hati. 'Ngapain dia emang semalam?' Ia akan menemukan jawabannya sebentar lagi jika ia terus menguping di sana. Dan itu benar .... "Sumpah iya! Manis banget tuh kulkas berjalan kalau lagi di rumah. Zoom meeting malah istrinya minta pangku." "Clingy wife and Cool Husband banget nggak sih mereka?" sahut dosen lain yang bernama Sonya. "Kalian sebelumnya denger nggak Amaya bilang 'Laptop terus akunya kapan' gitu?" Louise ikut menimpali dari tempat ia duduk. "Denger," jawab yang lainnya hampir bersamaan. "Itu 'kan sebelum dia minta pangku