“Ada apa, Kak Gaf?” tanya Amaya yang sudah berdiri sedikit menjauh dari ruang tengah. Kakak lelakinya itu berhenti melangkah. Ia memutar tubuhnya pada Amaya sehingga kini mereka berdiri berhadapan. Gafi tak serta-merta menjawab, melainkan lebih dulu mengeluarkan ponsel dan menyerahkannya pada Amaya. “Itu informasi yang didapat sama orangnya Kakak,” ucap Gafi pertama-tama. “Mereka udah bisa nemuin siapa yang mengunggah video syur kapan hari di forum mahasiswa dan nyebut kalau itu kamu.” Bibir Amaya terbuka tetapi tak bisa mengeluarkan sepatah kata. Di layar ponsel Gafi menunjukan bahwa pemilik akun anonim tersebut adalah orang yang ia kenal. Bukan hanya sebatas kenal, melainkan ia kenal dengan baik karena mereka pernah sangat dekat seumpama diri dengan nadi. Miranda. “Itu punya Miranda, May,” kata Gafi. Ia memandang perubahan wajah Amaya yang tampak sangat marah tetapi ia tidak tahu harus mengekspresikannya bagaimana. Amaya mengembalikan ponsel tersebut pada si pemiliknya diir
“Eh—nggak! Bukan gitu maksud saya,” jawab Amaya dengan cepat. “Maksudnya tuh ... biar saja aja yang tidur di sofa, Bapak yang tidur di sini,” tunjuk Amaya pada ranjang yang tak jauh dari tempatnya berdiri. “Nggak apa-apa, pakai aja!” tanggapnya tak keberatan. “Tapi nanti kalau pagi Pak Kelvin ngeluh lagi?” “Emang saya pernah ngeluh apa?” tanya Kelvin balik. Salah satu alisnya terangkat, tampak antusias mendengar Amaya yang mau mengajaknya bicara. Padahal jika sudah masuk ke dalam kamar, biasanya di antara mereka yang terjadi adalah kecanggungan sehingga ia lebih banyak diamnya. “Pak Kelvin ‘kan sering bilang pas bangun tidur kalau kaki Bapak terasa kaku kayak kakinya belalang sembah,” jawab Amaya polos. Yang tentu saja membuat Kelvin tertawa. “Itu hanya perumpamaan kok, tidurlah di sana ... saya baik-baik aja.” Amaya tak ingin mendebatnya lagi, melihat Kelvin yang meraih bukunya membuat Amaya memilih untuk menyudahi percakapan itu. Pria itu memang lain, setidaknya beg
“Aku udah mau bilang ini dari kemarin-kemarin, Ram,” ucap Miranda. “Tapi aku masih belum yakin jadi aku mau pastiin dulu. Tadi aku pakai test pack, dan hasilnya garis dua.” Tangan Rama yang semula merangkul Miranda perlahan terlepas. Tatapan penuh kehangatan yang tadi menghujaninya sirna secara cepat. Pemuda itu satu langkah mundur dan menjaga jarak dengan Miranda. Melihat perubahan ekspresinya membuat Miranda sesak. “Ram—“ panggil Miranda yang seketika dihentikan oleh pemuda itu. Seakan ia tak ingin mendengar Miranda lagi. “Kamu ... hamil?” ulangnya. Miranda menganggukkan kepalanya, “Iya, aku hamil.” “Terus? Kenapa kamu ngomong ke aku?” tanya Rama yang membuat sepasang bola mata Miranda melebar. Bibirnya terbuka, tanpa ada sepatah kata yang keluar dari sana. Sesak memenuhi sanubari saat ia lambat-laun menyadari bahwa lelaki yang puluhan kali bertukar keringat dengannya ini jelas tak akan mengulurkan tangannya untuk bertanggung jawab. “Kamu mau bilang kalau aku ayah dari an
“Daebak!” Seketika pecinta drama Korea mengeluarkan kalimat-kalimat mereka.“Apa begitu wujud cowok dingin yang udah jatuh cinta?” celetuk salah seorang mahasiswa yang duduknya jarak beberapa meja di belakang Amaya.“Kalau bener sih kepingin juga dibucinin yang modelnya kayak Pak Kelvin.”Jika tak ada peringatan agar mereka menjaga nada bicara dan mengendalikan kegaduhan, mengingat ini adalah perpustakaan dan barangkali banyak yang terganggu, celotehan masih akan bersahut-sahutan.[Apa yang Bapak lakuin di sini?]Itu tertulis di atas kertas yang ada di tangan Amaya, yang ia sodorkan pada Kelvin, berharap ia mengerti maksudnya dan menyadari keadaan di sekitarnya sedang tidak baik-baik saja sehigga memutuskan untuk pergi dari sana.Amaya melihatnya mengeluarkan pena dan membalas dengan kalimat yang ia tulis di bawah tulisan tangannya.[Kamu nggak suka saya duduk di sini?]“Terlalu mencolok,” kata Amaya, berbisik selirih mungkin tetapi masih dalam jangkauan Kelvin.Kelvin mengedarkan pan
Mata Amaya terpejam tak berdaya membaca pesan dari Kelvin. Dan itu memnag tidak salah, mereka semalam memang tidur di satu ranjang yang sama. Setelah Kelvin mendengarkan cerita Amaya tentang bagaimana ia harus menghadapi Miranda dan memberi keputusan bahwa ia akan lebih dulu bicara dengan temannya itu, Amaya meminta Kelvin agar pindah ke tempat tidur saja. ‘Bapak yang tiap hari kerja, masa harus terus tidur di tempat yang nggak nyaman?’ ungkapnya semalam pada Kelvin yang duduk di sofa. ‘Betulan saya boleh tidur di situ sama kamu?’ Kelvin pun juga memperjelasnya, memastikan Amaya yakin dengan keputusan yang ia berikan. ‘Iya, asalkan ... Bapak jangan khilaf aja sih.’ ‘Saya nggak akan memaksamu untuk melakukan apapun dengan saya,’ tanggap Kelvin. ‘Saya menghargai keputusanmu.’ Mereka berakhir dengan tidur di atas ranjang yang sama, dengan dipisahkan bantal di tengah dan boneka pororo milik Amaya. Meski awalnya sedikit tidak nyaman, dan rasanya sangat canggung dan aneh karena mereka
Amaya sedang sibuk di wastafel yang ada di dapur saat ia mendengar suara langkah kaki familiar Kelvin yang mendekat seraya menyapa, “Selamat sore.”“Sore,” jawab Amaya seraya menoleh pada kedatangannya.Pria itu melepas ransel miliknya ke kursi ruang makan sebelum menghampiri Amaya dan mengintip apa yang ia lakukan.“Ngapain?” tanyanya.“Mau bikin cumi pedes,” jawab Amaya. “Bapak mau nggak?”“Mau, tapi kenapa kamu yang masak? Bi Mara mana?”“Ada, lagi ruang laundry,” jawabnya sekali lagi. “Bapak baru pulang? Kenapa agak lambat?”“Ada urusan sebentar sama Arsha tadi,” katanya kemudian menuju ke lemari pendingin, mengambil air minum dan kembali mendekat pada Amaya.Kelvin tak bisa menahan senyum melihat pipi Amaya yang memiliki noda kehitaman, pasti dari tinta cumi yang sibuk ia bersihkan itu, setidaknya begitu yang ia pikirkan.“Mau saya bantu nggak?” tawar Kelvin saat kembali mendekat pada Amaya.“Nggak usah, nanti aja kalau udah siap saya akan panggil Pak Kelvin.”“Kalau saya maksa?”
“Iya, anak-anak muda mungkin menyebutnya ‘nge-date’?” Amaya meremas jemarinya yang ada di atas meja, mata mereka bersirobok dalam hening yang cukup lama. “K-kenapa tiba-tiba aja ngajak nge-date?” tanya balik Amaya. “B-Bapak cuma bercanda, ‘kan?” “Nggaklah, buat apa saya bercanda?” tanggapnya. “Kak Gafi bilang ke saya kalau di kafenya Kak Serena ada menu baru yang hari Jumat launching, jadi saya mau ngajakin kamu pergi ke sana.” Amaya mengangguk senang, “Boleh,” jawabnya. “Kalau kamu mau pergi ke tempat yang lain setelah dari kafenya Kak Serena, bilang aja ke saya.” “Hm ... mau ke mana emangnya?” sangsinya. “Mungkin nonton bioskop, karena kapan hari ‘kan kamu bilang kalau kurang suka sama film pilihannya Randy, jadi sekarang mungkin kamu bisa milih film yang kamu sukai?” Terdengar sangat menyenangkan, membayangkan ia menghabiskan waktu akhir pekannya dengan Kelvin saja membuat pipinya memanas. Kelvin adalah pria pertama yang membuat jantungnya bertalu sehebat ini. Hal yang t
“Apa maksud kamu bicara seperti itu?” tanya Kelvin, sendok dan garpu yang ada di tangan pria itu jatuh ke atas piring dengan sedikit kasar. Meski wajahnya terlihat tak mengalami banyak perubahan, tetapi Amaya bisa mendengar serak rasa muak yang tersirat dari caranya berucap. “Bukannya saya benar?” tanya Caecil balik, “Selama ini Bapak perhatian ke saya, dan saya dekat sama Pak Kelvin itu biar Bapak nggak dicap sebagai penyuka sesama jenis! Tapi kayaknya usaha saya sia-sia karena setelah rumor itu nggak ada, Bapak malah blokir saya kayak begini!” Karena atmosfer di sekitar mereka berubah menjadi tegang, dan puluhan pasang mata yang datang ke kafe untuk menikmati launching menu baru sepertinya mulai terganggu dengan keributan yang mereka buat, Kelvin menghela dalam napasnya. Matanya terpejam sejenak sebelum suaranya yang tenang mencoba menegur Caecil. “Saya nggak pernah merasa berlebihan memperhatikan kamu,” ucapnya pertama-tama. “Saya berlaku adil pada semua mahasiswa saya, C
'D-dia ngapain sih?' batin Amaya penuh dengan tanya. 'Dia beneran kesel sama aku yang ngomong kalau motornya Ziel keren kemarin? Astaga ... padahal yang aku puji tuh motor barunya, bukan orangnya. Ini model cemburu apa lagi, Kelvin?'Mata Amaya terpejam sesaat. Tak ada kata damai dalam hidupnya jika sikap agresif Kelvin sering kali tak tertebak.Hari ini dengan naik motor, lalu berhenti di hadapannya seolah ia sedang menunjukkan bahwa dirinya adalah suaminya Amaya.'Tadi bukannya dia ngantar kak Gafi ke chiropractor ya?' batinnya lagi. 'Jadi dia pulang dulu buat ngambil motornya terus ke kampus gitu?'Lagi pula kenapa Amaya tak sadar bahwa itu adalah motornya Kelvin?Ia hampir melihatnya setiap hari di garasi.Semua pikiran berkecamuk tanpa henti. Amaya sedikit tersentak saat mendengar Kelvin yang mengatakan, "Ayo."Kepala pria itu sekilas miring ke kiri, meminta Amaya untuk segera naik. Salah satu tangannya mengarah ke depan, menyerahkan helm pada Amaya yang bingung harus bagaimana
“Maaf, Mir,” ucap Rama sekali lagi. “Buat semua kesalahan yang aku lakukan, buat aku yang udah menghancurkan hidupmu dan bahkan berniat membuatmu menghilang.”Miranda tertunduk di tempat ia duduk. Ia meremas jari-jarinya yang ada di atas paha.Hening kembali menghampiri, senja di luar yag menggelap menuntun mereka untuk mengingat, menapaki kembali jalan suram yang pernah mereka ambil.“Waktu itu ...” Miranda akhirnya membuka suaranya. “Waktu kamu dorong aku dari lantai dua Amore, apa itu betulan karena kamu rencanakan?” tanyanya. “Apa ... nggak seberharga itu aku buat kamu sekalipun hubungan yang sebelumnya kita lakukan itu salah?”Rama tampak menggertakkan rahangnya, ia menggeleng sebelum menjawab Miranda. “Nggak,” jawabnya. “Aku nggak pernah rencanain itu, Mir. Nggak pernah ada niat sejak awal buat dorong kamu. Aku cuma ... tertekan waktu itu. Aku takut kalau Papaku bakal buang aku ke tempat yang jauh dari sini. Maaf ....”Miranda tersenyum tipis, ia lalu menggigit bibirnya untuk me
Niat hati ingin mengelabui, ternyata malah tertangkap basah!“Siang bolong begini, Vin?” goda Riana setelah Rajendra lebih dulu berdeham dan meninggalkan mereka berdua.“Apa sih?” tanya Kelvin, ia menyapukan rambut hitamnya ke belakang saat Amaya menyenggol lengannya, isyarat agar Kelvin menjawab ibunya dengan sedikit lebih masuk akal. “Nggak ngapa-ngapain juga. Benerin ikat pinggang emangnya salah? Habis dari kamar mandi tadi.”“Oh—““Lagian kalau ngapa-ngapain tuh juga kenapa, Mam? Sama istri sendiri juga. Kayak nggak pernah muda aja,” imbuhnya. “Mama sama Papa dulu pasti juga sering—aaak!”Kelvin berteriak saat Riana mencubit dadanya, ia tarik dan ia puntir. “Mam—sakit, Mam—““Berani kamu godain Mama hah?”“Godain gimana sih?” tanya Kelvin balik seraya mengusap dadanya. Ia terdorong menyingkir dari hadapan Riana setelah ibunya itu membuatnya hampir terjengkang.“Maaf ya, Sayang ....” kata Riana pada Amaya. Mendekat dan memeluknya. “Maklum di usianya yang udah kepala tiga si Kelvin
Amaya yang mendengar celotehan Arsen yang tengah berjalan di belakang punggungnya tak bisa menahan tawa.Entah kenapa mulut julid Arsen selalu menghibur. Kali ini ... si bapaknya yang tak lolos darinya.Carl Fredricksen ia bilang?Si kakek-kakek tua berambut putih yang ada di film UP.Arsen mengatakan begitu mungkin karena jalan Gafi yang terbungkuk dengan bantuan tongkat.Dan jika Amaya perhatikan lebih jauh, tongkatnya itu sebenarnya adalah gagang sapu yang entah ia dapatkan dari mana.Ditambah dengan dirinya yang bau minyak tawon, maka sempurnalah mulut julid Arsen saat me-roasting bapaknya."Ada apa?" tanya Serena yang berpapasan jalan dengan Amaya.Kakak iparnya itu terlihat baru saja datang karena masih membawa tas di tangannya."Itu, Kak Rena—" Amaya sekilas menoleh ke belakang, pada Gafi yang dibantu berjalan oleh Kelvin sementara di depannya Arsen menjadi pemandu sorak. "AYO, PAPA! MAJU-MAJU!""Arsen bilang kalau Kak Gafi udah kayak kakek tua ubanan di film UP," lanjut Amaya
Amaya yakin kalimat Ziel yang mengatakan ‘tadinya mau nawarin bareng ke Amaya, tapi kayaknya nggak dulu deh’ yang tadi diucapkannya itu selain karena ingin mengatakan bahwa memang Randy yang akan pulang dengannya, pasti karena Ziel melihat Kelvin sudah ada di sana. Sehingga pemuda itu ‘lari tunggang-langgang’. Tapi saat hal itu Ziel lakukan, hal yang seharusnya membuat Amaya aman, dirinya malah melontarkan pujian ‘keren banget’ pada Ziel yang bisa didengar oleh Kelvin. “Suami nggak tuh!” kata Alin seraya berpegangan tangan dengan Naira. Seolah saling menguatkan diri agar tak tiba-tiba berteriak semakin keras atau memeluk tiang listrik. “Kamu mau pulang bareng aku nggak?” tanya Kelvin, masih dengan matannya yang tak berpaling dari Amaya. “Aku-kamu nggak tuh,” imbuh Naira saat mendengar sebutan Kelvin untuk Amaya. “Katanya mau habisin makanan sebelum pergi ke rumahnya Mama? Jadi?” tanya Kelvin sekali lagi. Amaya bergeming. Benar-benar tak bisa menepis apapun sekarang! “J-jadi,”
[Memutuskan—Menetapkan pemberhentian (Drop Out) mahasiswa atas nama Caecilia Harjono sebagaimana tercantum di dalam lampiran sebagai mahasiswa Universitas G....] Caecil membacanya hingga habis setelah ia mengambil ponsel dari dalam tasnya. Tangannya terasa kebas dan gemetar. Jika email ini sudah sampai kepadanya ... artinya surat fisiknya juga bisa saja telah sampai di rumah dan barangkali sudah dibaca oleh Adrian serta Belinda—kedua orang tuanya. “Akh!” Caecil menggeram kesal, matanya berair dan ia mengangkat wajahnya, pergi dari layar ponselnya yang menyala untuk menatap pada Sarah dan Oliv. “Kita harus bales ini ke Amaya!” katanya menggebu-gebu. “Bener apa yang aku bilang kalau Amaya itu kurang ajar, ‘kan? Selain ngadu ke Pak Kelvin, dia juga bikin aku di DO dari kampus.” Celotehannya justru membuat kedua bahu Sarah dan Oliv seketika jatuh. Kedua temannya itu secara kompak merotasikan bola mata mereka dengan enggan. “Kalian nggak setuju?” tanya Caecil saat menjumpai ra
"Udah masuk sendiri dia," celetuk Randy sementara mahasiswa lain yang melihat Caecil terperosok kepalanya di dalam tong sampah malah tertawa tanpa henti. "TOLONG!" seru Caecil sekali lagi. Kedua tangannya mengepak-ngepak seperti burung yang terbang sedang kepalanya bertopikan tong sampah. Amaya hampir mendekat, berniat untuk menolongnya karena tidak tega. Akan jadi buruk jika Caecil kehabisan oksigen dan tak bisa bernapas saat kepalanya terperangkap di dalam sana. Sekalipun yang ia lakukan itu adalah karena ulahnya sendiri—yang berkeinginan menyerang Alin tapi gagal—tapi mendengarnya meminta tolong membuat Amaya tergerak hatinya. Tapi, pada langkah pertamanya, ia terhenti sebab teman Caecil datang. Kedua gadis yang dikenal Amaya bernama Sarah dan Oliv itu lebih dulu menghampiri Caecil. Menariknya dan mengangkat tong sampah yang membuat kepalanya terjebak itu. Sampah-sampah yang kebetulannya adalah sampah basah berhamburan ke lantai saat tong tersebut terangkat sehingga memunculk
Setelah akhir pekan dan ditambah oleh satu hari libur, pada akhirnya kesibukan di kampus telah kembali. Pagi ini, di rumah mereka sendiri, Amaya dengan kesadaran penuh bangun lebih awal, ia membuat sarapan untuknya dan Kelvin—anggap saja ini sebagai balasan karena kemarin penuh dengan ‘princess treatment.’“Jangan pedes-pedes kenapa?” tanya Kelvin saat ia menyuap ayam bumbu yang dibuat oleh Amaya saat akhirnya mereka duduk berseberangan di meja makan.“Nggak masuk seleranya Mas Vin ya?” tanya Amaya balik.“Masuk, Sayang. Tapi ini kepedesan, buat pagi di mana perut kita belum terisi apapun, aku kurang setuju.”“K-kalau gitu simpan di kulkas aja nggak sih?” usul Amaya yang mendapat tanggapan dari Kelvin. “Boleh, yang masih ada di mangkuk masukin kulkas, kita cemilin nanti pulang dari kampus.”Amaya mengangguk, ia mengikuti Kelvin yang meneguk minuman dan memang harus ia akui rasanya memang pedas!“Tapi terima kasih buat effort kamu,” kata Kelvin setelah ia menyuap ayam bumbu terakhir
“Ahh—“ Suara itu lolos dari bibir Amaya setelah serangkaian pemanasan yang panjang. Saat dirinya dan Kelvin menjadi satu di bawah lampu kamar yang berpendar hangat. Kelvin yang mengganti lampunya tadi sebelum ia juga menanggalkan semua pakaiannya. Sangat mendebarkan saat Amaya mengambil oksigen dari ciuman mereka yang seolah tak akan berhenti di bibirnya. Ia membiarkan lidah mereka untuk bertemu hingga api yang sejak tadi hanya sebesar lilin itu membakar segalanya. “Ahh—“ Amaya kembali terjaga dari lamunan sesaatnya kala bibir Kelvin menyinggahi bahunya yang terbuka. Prianya ini tak pernah gagal membuatnya mabuk dengan sentuhan-sentuhan yang ia berikan. “Kamu suka?” tanya Kelvin dengan terus bergerak di atas Amaya, ia terlihat sangat tampan sekalipun sebagian rambutnya telah basah oleh keringat. “K-kenapa tanyanya begitu sih?” tanya Amaya balik. Batinnya bergumam, ‘Apa dia nggak bisa lihat akan seberapa berantakan aku kalau dia berhenti sekarang?’ “Cuma ingin mastiin kalau