Mata Amaya terpejam tak berdaya membaca pesan dari Kelvin. Dan itu memnag tidak salah, mereka semalam memang tidur di satu ranjang yang sama. Setelah Kelvin mendengarkan cerita Amaya tentang bagaimana ia harus menghadapi Miranda dan memberi keputusan bahwa ia akan lebih dulu bicara dengan temannya itu, Amaya meminta Kelvin agar pindah ke tempat tidur saja. ‘Bapak yang tiap hari kerja, masa harus terus tidur di tempat yang nggak nyaman?’ ungkapnya semalam pada Kelvin yang duduk di sofa. ‘Betulan saya boleh tidur di situ sama kamu?’ Kelvin pun juga memperjelasnya, memastikan Amaya yakin dengan keputusan yang ia berikan. ‘Iya, asalkan ... Bapak jangan khilaf aja sih.’ ‘Saya nggak akan memaksamu untuk melakukan apapun dengan saya,’ tanggap Kelvin. ‘Saya menghargai keputusanmu.’ Mereka berakhir dengan tidur di atas ranjang yang sama, dengan dipisahkan bantal di tengah dan boneka pororo milik Amaya. Meski awalnya sedikit tidak nyaman, dan rasanya sangat canggung dan aneh karena mereka
Amaya sedang sibuk di wastafel yang ada di dapur saat ia mendengar suara langkah kaki familiar Kelvin yang mendekat seraya menyapa, “Selamat sore.”“Sore,” jawab Amaya seraya menoleh pada kedatangannya.Pria itu melepas ransel miliknya ke kursi ruang makan sebelum menghampiri Amaya dan mengintip apa yang ia lakukan.“Ngapain?” tanyanya.“Mau bikin cumi pedes,” jawab Amaya. “Bapak mau nggak?”“Mau, tapi kenapa kamu yang masak? Bi Mara mana?”“Ada, lagi ruang laundry,” jawabnya sekali lagi. “Bapak baru pulang? Kenapa agak lambat?”“Ada urusan sebentar sama Arsha tadi,” katanya kemudian menuju ke lemari pendingin, mengambil air minum dan kembali mendekat pada Amaya.Kelvin tak bisa menahan senyum melihat pipi Amaya yang memiliki noda kehitaman, pasti dari tinta cumi yang sibuk ia bersihkan itu, setidaknya begitu yang ia pikirkan.“Mau saya bantu nggak?” tawar Kelvin saat kembali mendekat pada Amaya.“Nggak usah, nanti aja kalau udah siap saya akan panggil Pak Kelvin.”“Kalau saya maksa?”
“Iya, anak-anak muda mungkin menyebutnya ‘nge-date’?” Amaya meremas jemarinya yang ada di atas meja, mata mereka bersirobok dalam hening yang cukup lama. “K-kenapa tiba-tiba aja ngajak nge-date?” tanya balik Amaya. “B-Bapak cuma bercanda, ‘kan?” “Nggaklah, buat apa saya bercanda?” tanggapnya. “Kak Gafi bilang ke saya kalau di kafenya Kak Serena ada menu baru yang hari Jumat launching, jadi saya mau ngajakin kamu pergi ke sana.” Amaya mengangguk senang, “Boleh,” jawabnya. “Kalau kamu mau pergi ke tempat yang lain setelah dari kafenya Kak Serena, bilang aja ke saya.” “Hm ... mau ke mana emangnya?” sangsinya. “Mungkin nonton bioskop, karena kapan hari ‘kan kamu bilang kalau kurang suka sama film pilihannya Randy, jadi sekarang mungkin kamu bisa milih film yang kamu sukai?” Terdengar sangat menyenangkan, membayangkan ia menghabiskan waktu akhir pekannya dengan Kelvin saja membuat pipinya memanas. Kelvin adalah pria pertama yang membuat jantungnya bertalu sehebat ini. Hal yang t
“Apa maksud kamu bicara seperti itu?” tanya Kelvin, sendok dan garpu yang ada di tangan pria itu jatuh ke atas piring dengan sedikit kasar. Meski wajahnya terlihat tak mengalami banyak perubahan, tetapi Amaya bisa mendengar serak rasa muak yang tersirat dari caranya berucap. “Bukannya saya benar?” tanya Caecil balik, “Selama ini Bapak perhatian ke saya, dan saya dekat sama Pak Kelvin itu biar Bapak nggak dicap sebagai penyuka sesama jenis! Tapi kayaknya usaha saya sia-sia karena setelah rumor itu nggak ada, Bapak malah blokir saya kayak begini!” Karena atmosfer di sekitar mereka berubah menjadi tegang, dan puluhan pasang mata yang datang ke kafe untuk menikmati launching menu baru sepertinya mulai terganggu dengan keributan yang mereka buat, Kelvin menghela dalam napasnya. Matanya terpejam sejenak sebelum suaranya yang tenang mencoba menegur Caecil. “Saya nggak pernah merasa berlebihan memperhatikan kamu,” ucapnya pertama-tama. “Saya berlaku adil pada semua mahasiswa saya, C
“Aku berhak ngatur dengan siapa dia dekat atau nggak dekat, termasuk buat ngejauh dari makhluk-makhluk kayak kamu ini!” jawab Amaya sama lantangnya. Jika tak ada otot penahan, mungkin bola matanya telah lepas berhadapan dengan Caecil. Gadis itu mendengus, tawanya lirih saat berdecak, “Kamu bilang biar aku nggak bikin keributan,” katanya. “Tapi kamu sendiri yang teriak, May! Emangnya ini kafe punya bapakmu?” “Abangku lebih tepatnya!” jawab Amaya. Alis Caecil berkerut, ia melirik pada seorang pria yang mengenakan apron di pinggangnya yang berdiri tak jauh dari salah satu meja pengunjung. Wajahnya terlihat sangat mirip dengan Amaya. Di matanya, tak mungkin itu adalah seorang waiter biasa karena dari sini Caecil melihat arloji yang melingkar di pergelangan tangan kirinya berasal dari merek mewah yang berharga lebih dari satu milyar. Ia menelan ludahnya dengan gugup saat Amaya bersedekap dan satu langkah mendekat padanya. “Pergi nggak!” usir Amaya sekali lagi. “Kalau kamu ngga
“B-Bapak ngomong apa sih?” tanya Amaya setelah keheningan terjadi selama beberapa saat. “Kamu mendengarnya, kenapa saya harus mengulanginya lagi?” tanya balik Kelvin. Pria itu menegakkan tubuhnya kemudian menepuk puncak kepala Amaya dan memberinya jalan untuk lewat. “Ganti sana, saya tunggu kamu buat nonton drama.” Rasanya jantungnya hampir lepas! Amaya meremas pakaian tidur yang ia bawa erat-erat saat menuju ke kamar mandi. Angannya tak berhenti mengulang, ‘Apa artinya dia sayang sama aku?’ Jika praduganya ini salah, lalu apa artinya ‘Memang sudah begitu’ dan ‘Kamu mendengarnya’? Tapi jika benar, kenapa Kelvin tak pernah mengatakan perasaannya yang sebenarnya pada Amaya? Saat ia berjalan keluar dari ruang ganti, Kelvin duduk di sofa di dekat ranjang. Senyum dan lesung pipinya terlihat saat ia menyambut Amaya dan menepuk sofa di sebelah kanannya seraya berujar, “Duduk sini.” Amaya melakukannya, ia duduk di samping kanan Kelvin saat pria itu menunjuk pada layar besar te
“Berisik!” sahut Kelvin, mengusap wajah Arsha dengan kesal dan mendorongnya agar ia segera berdiri di depan vending machine untuk mengambil minuman. Mahasiswa yang ada di sana bersorak untuk Kelvin dan Amaya, yang mulai bingung harus mengelak dengan cara apa karena jika hal seperti ini semakin sering terjadi, maka orang-orang tak akan lagi percaya bahwa ia dan Kelvin tak hanya sebatas bertetangga. “Ciye ...” bisik Alin yang ditanggapi oleh Amaya dengan menyenggol lengannya. “Jangan ikutan!” peringatnya yang hanya disambut tawa oleh Alin. Bisikan semakin riuh di sekitar mereka, apalagi saat di depan semua orang Kelvin masih sempat melirik pada Amaya meski gadis itu tak memperhatikannya. Amaya sedang sibuk menata pikiranya yang bergelombang ke sana ke mari. Kacau-balau dengan hanya sentuhan Kelvin di tangannya. Perutnya membeku, dipenuhi kepakan sayap kupu-kupu yang membuat darahnya berdesir lebih cepat. Jika Alin tak memintanya untuk memilih pesanan, Amaya pasti akan masih ter
“G-gugurkan?” ulang Miranda dengan sepasang mata yang berair. Ia menatap Rama, bibirnya gemetar menahan tangis sewaktu pemuda itu meloloskan kalimat dengan begitu mudahnya.“Iya, gugurkan! Kalau kamu nggak mau hamil ya gugurkan aja. Simple, ‘kan?” Rama melepas tangannya dari dagu gadis itu, sentakannya membuat Miranda beberapa langkah mundur ke belakang. Memutuskan menjaga jarak karena takut Rama melakukan sesuatu yang buruk melihat betapa nyalang tatap matanya.“Ram, dia hidup di dalam sini,” kata Miranda, serak dan gemetar. “Dia bukan benda mati, gimana bisa kamu ngomong biar aku gugurin saja begitu sementara kita—”“Bikinnya dengan penuh cinta?” potong Rama yang seolah tahu apa yang akan ia katakan.“I-iya.”Rama justru tertawa mendengar itu. Ia terkekeh dan mendekat pada Miranda yang masih sebisa mungkin menjaga air matanya agar tidak luruh.“Tapi aku nggak pernah cinta sama kamu, Miranda!” katanya. “Kayaknya mimpimu deh yang ketinggian dengan berharap kalau hubungan kita itu a
Amaya mendorong Kelvin dengan menggunakan kedua tangannya. Sepasang matanya membola menatap prianya itu yang malah tersenyum dengan tanpa dosanya padahal Amaya dilanda kepanikan.Ia menoleh ke kiri dan ke kanan, memastikan tak ada orang yang melihat apa yang mereka lakukan karena memang saat ini mereka ada di tempat umum."Mas Vin apaan sih ah!" tegur Amaya. "Kita di tempat umum loh, jangan main cium-cium begitu dong! Gimana kalau ada yang lihat coba?"Yang mendapat protes justru menoleh ke kiri dan ke kanan, menirukan saat Amaya melakukannya dengan sedikit panik tadi."Oh ya? Siapa?" tanyanya, persis seperti nada bicara Amaya barusan.Amaya yang kesal memukul dadanya, tangan kecilnya itu diraih oleh Kelvin yang menariknya agar mendekat sebelum ia menjawab dengan "Aku nggak menemukan siapapun di sekitar sini yang lihat aku cium kamu, Amaya," katanya. "Penjual lagi sibuk ngejualin orang, pohon sama tanaman sibuk menikmati hidup mereka yang tenang dan dibelai-belai angin, cuma Kelvin aj
'D-dia ngapain sih?' batin Amaya penuh dengan tanya. 'Dia beneran kesel sama aku yang ngomong kalau motornya Ziel keren kemarin? Astaga ... padahal yang aku puji tuh motor barunya, bukan orangnya. Ini model cemburu apa lagi, Kelvin?'Mata Amaya terpejam sesaat. Tak ada kata damai dalam hidupnya jika sikap agresif Kelvin sering kali tak tertebak.Hari ini dengan naik motor, lalu berhenti di hadapannya seolah ia sedang menunjukkan bahwa dirinya adalah suaminya Amaya.'Tadi bukannya dia ngantar kak Gafi ke chiropractor ya?' batinnya lagi. 'Jadi dia pulang dulu buat ngambil motornya terus ke kampus gitu?'Lagi pula kenapa Amaya tak sadar bahwa itu adalah motornya Kelvin?Ia hampir melihatnya setiap hari di garasi.Semua pikiran berkecamuk tanpa henti. Amaya sedikit tersentak saat mendengar Kelvin yang mengatakan, "Ayo."Kepala pria itu sekilas miring ke kiri, meminta Amaya untuk segera naik. Salah satu tangannya mengarah ke depan, menyerahkan helm pada Amaya yang bingung harus bagaimana
“Maaf, Mir,” ucap Rama sekali lagi. “Buat semua kesalahan yang aku lakukan, buat aku yang udah menghancurkan hidupmu dan bahkan berniat membuatmu menghilang.”Miranda tertunduk di tempat ia duduk. Ia meremas jari-jarinya yang ada di atas paha.Hening kembali menghampiri, senja di luar yag menggelap menuntun mereka untuk mengingat, menapaki kembali jalan suram yang pernah mereka ambil.“Waktu itu ...” Miranda akhirnya membuka suaranya. “Waktu kamu dorong aku dari lantai dua Amore, apa itu betulan karena kamu rencanakan?” tanyanya. “Apa ... nggak seberharga itu aku buat kamu sekalipun hubungan yang sebelumnya kita lakukan itu salah?”Rama tampak menggertakkan rahangnya, ia menggeleng sebelum menjawab Miranda. “Nggak,” jawabnya. “Aku nggak pernah rencanain itu, Mir. Nggak pernah ada niat sejak awal buat dorong kamu. Aku cuma ... tertekan waktu itu. Aku takut kalau Papaku bakal buang aku ke tempat yang jauh dari sini. Maaf ....”Miranda tersenyum tipis, ia lalu menggigit bibirnya untuk me
Niat hati ingin mengelabui, ternyata malah tertangkap basah!“Siang bolong begini, Vin?” goda Riana setelah Rajendra lebih dulu berdeham dan meninggalkan mereka berdua.“Apa sih?” tanya Kelvin, ia menyapukan rambut hitamnya ke belakang saat Amaya menyenggol lengannya, isyarat agar Kelvin menjawab ibunya dengan sedikit lebih masuk akal. “Nggak ngapa-ngapain juga. Benerin ikat pinggang emangnya salah? Habis dari kamar mandi tadi.”“Oh—““Lagian kalau ngapa-ngapain tuh juga kenapa, Mam? Sama istri sendiri juga. Kayak nggak pernah muda aja,” imbuhnya. “Mama sama Papa dulu pasti juga sering—aaak!”Kelvin berteriak saat Riana mencubit dadanya, ia tarik dan ia puntir. “Mam—sakit, Mam—““Berani kamu godain Mama hah?”“Godain gimana sih?” tanya Kelvin balik seraya mengusap dadanya. Ia terdorong menyingkir dari hadapan Riana setelah ibunya itu membuatnya hampir terjengkang.“Maaf ya, Sayang ....” kata Riana pada Amaya. Mendekat dan memeluknya. “Maklum di usianya yang udah kepala tiga si Kelvin
Amaya yang mendengar celotehan Arsen yang tengah berjalan di belakang punggungnya tak bisa menahan tawa.Entah kenapa mulut julid Arsen selalu menghibur. Kali ini ... si bapaknya yang tak lolos darinya.Carl Fredricksen ia bilang?Si kakek-kakek tua berambut putih yang ada di film UP.Arsen mengatakan begitu mungkin karena jalan Gafi yang terbungkuk dengan bantuan tongkat.Dan jika Amaya perhatikan lebih jauh, tongkatnya itu sebenarnya adalah gagang sapu yang entah ia dapatkan dari mana.Ditambah dengan dirinya yang bau minyak tawon, maka sempurnalah mulut julid Arsen saat me-roasting bapaknya."Ada apa?" tanya Serena yang berpapasan jalan dengan Amaya.Kakak iparnya itu terlihat baru saja datang karena masih membawa tas di tangannya."Itu, Kak Rena—" Amaya sekilas menoleh ke belakang, pada Gafi yang dibantu berjalan oleh Kelvin sementara di depannya Arsen menjadi pemandu sorak. "AYO, PAPA! MAJU-MAJU!""Arsen bilang kalau Kak Gafi udah kayak kakek tua ubanan di film UP," lanjut Amaya
Amaya yakin kalimat Ziel yang mengatakan ‘tadinya mau nawarin bareng ke Amaya, tapi kayaknya nggak dulu deh’ yang tadi diucapkannya itu selain karena ingin mengatakan bahwa memang Randy yang akan pulang dengannya, pasti karena Ziel melihat Kelvin sudah ada di sana. Sehingga pemuda itu ‘lari tunggang-langgang’. Tapi saat hal itu Ziel lakukan, hal yang seharusnya membuat Amaya aman, dirinya malah melontarkan pujian ‘keren banget’ pada Ziel yang bisa didengar oleh Kelvin. “Suami nggak tuh!” kata Alin seraya berpegangan tangan dengan Naira. Seolah saling menguatkan diri agar tak tiba-tiba berteriak semakin keras atau memeluk tiang listrik. “Kamu mau pulang bareng aku nggak?” tanya Kelvin, masih dengan matannya yang tak berpaling dari Amaya. “Aku-kamu nggak tuh,” imbuh Naira saat mendengar sebutan Kelvin untuk Amaya. “Katanya mau habisin makanan sebelum pergi ke rumahnya Mama? Jadi?” tanya Kelvin sekali lagi. Amaya bergeming. Benar-benar tak bisa menepis apapun sekarang! “J-jadi,”
[Memutuskan—Menetapkan pemberhentian (Drop Out) mahasiswa atas nama Caecilia Harjono sebagaimana tercantum di dalam lampiran sebagai mahasiswa Universitas G....] Caecil membacanya hingga habis setelah ia mengambil ponsel dari dalam tasnya. Tangannya terasa kebas dan gemetar. Jika email ini sudah sampai kepadanya ... artinya surat fisiknya juga bisa saja telah sampai di rumah dan barangkali sudah dibaca oleh Adrian serta Belinda—kedua orang tuanya. “Akh!” Caecil menggeram kesal, matanya berair dan ia mengangkat wajahnya, pergi dari layar ponselnya yang menyala untuk menatap pada Sarah dan Oliv. “Kita harus bales ini ke Amaya!” katanya menggebu-gebu. “Bener apa yang aku bilang kalau Amaya itu kurang ajar, ‘kan? Selain ngadu ke Pak Kelvin, dia juga bikin aku di DO dari kampus.” Celotehannya justru membuat kedua bahu Sarah dan Oliv seketika jatuh. Kedua temannya itu secara kompak merotasikan bola mata mereka dengan enggan. “Kalian nggak setuju?” tanya Caecil saat menjumpai ra
"Udah masuk sendiri dia," celetuk Randy sementara mahasiswa lain yang melihat Caecil terperosok kepalanya di dalam tong sampah malah tertawa tanpa henti. "TOLONG!" seru Caecil sekali lagi. Kedua tangannya mengepak-ngepak seperti burung yang terbang sedang kepalanya bertopikan tong sampah. Amaya hampir mendekat, berniat untuk menolongnya karena tidak tega. Akan jadi buruk jika Caecil kehabisan oksigen dan tak bisa bernapas saat kepalanya terperangkap di dalam sana. Sekalipun yang ia lakukan itu adalah karena ulahnya sendiri—yang berkeinginan menyerang Alin tapi gagal—tapi mendengarnya meminta tolong membuat Amaya tergerak hatinya. Tapi, pada langkah pertamanya, ia terhenti sebab teman Caecil datang. Kedua gadis yang dikenal Amaya bernama Sarah dan Oliv itu lebih dulu menghampiri Caecil. Menariknya dan mengangkat tong sampah yang membuat kepalanya terjebak itu. Sampah-sampah yang kebetulannya adalah sampah basah berhamburan ke lantai saat tong tersebut terangkat sehingga memunculk
Setelah akhir pekan dan ditambah oleh satu hari libur, pada akhirnya kesibukan di kampus telah kembali. Pagi ini, di rumah mereka sendiri, Amaya dengan kesadaran penuh bangun lebih awal, ia membuat sarapan untuknya dan Kelvin—anggap saja ini sebagai balasan karena kemarin penuh dengan ‘princess treatment.’“Jangan pedes-pedes kenapa?” tanya Kelvin saat ia menyuap ayam bumbu yang dibuat oleh Amaya saat akhirnya mereka duduk berseberangan di meja makan.“Nggak masuk seleranya Mas Vin ya?” tanya Amaya balik.“Masuk, Sayang. Tapi ini kepedesan, buat pagi di mana perut kita belum terisi apapun, aku kurang setuju.”“K-kalau gitu simpan di kulkas aja nggak sih?” usul Amaya yang mendapat tanggapan dari Kelvin. “Boleh, yang masih ada di mangkuk masukin kulkas, kita cemilin nanti pulang dari kampus.”Amaya mengangguk, ia mengikuti Kelvin yang meneguk minuman dan memang harus ia akui rasanya memang pedas!“Tapi terima kasih buat effort kamu,” kata Kelvin setelah ia menyuap ayam bumbu terakhir