“Aku berhak ngatur dengan siapa dia dekat atau nggak dekat, termasuk buat ngejauh dari makhluk-makhluk kayak kamu ini!” jawab Amaya sama lantangnya. Jika tak ada otot penahan, mungkin bola matanya telah lepas berhadapan dengan Caecil. Gadis itu mendengus, tawanya lirih saat berdecak, “Kamu bilang biar aku nggak bikin keributan,” katanya. “Tapi kamu sendiri yang teriak, May! Emangnya ini kafe punya bapakmu?” “Abangku lebih tepatnya!” jawab Amaya. Alis Caecil berkerut, ia melirik pada seorang pria yang mengenakan apron di pinggangnya yang berdiri tak jauh dari salah satu meja pengunjung. Wajahnya terlihat sangat mirip dengan Amaya. Di matanya, tak mungkin itu adalah seorang waiter biasa karena dari sini Caecil melihat arloji yang melingkar di pergelangan tangan kirinya berasal dari merek mewah yang berharga lebih dari satu milyar. Ia menelan ludahnya dengan gugup saat Amaya bersedekap dan satu langkah mendekat padanya. “Pergi nggak!” usir Amaya sekali lagi. “Kalau kamu ngga
“B-Bapak ngomong apa sih?” tanya Amaya setelah keheningan terjadi selama beberapa saat. “Kamu mendengarnya, kenapa saya harus mengulanginya lagi?” tanya balik Kelvin. Pria itu menegakkan tubuhnya kemudian menepuk puncak kepala Amaya dan memberinya jalan untuk lewat. “Ganti sana, saya tunggu kamu buat nonton drama.” Rasanya jantungnya hampir lepas! Amaya meremas pakaian tidur yang ia bawa erat-erat saat menuju ke kamar mandi. Angannya tak berhenti mengulang, ‘Apa artinya dia sayang sama aku?’ Jika praduganya ini salah, lalu apa artinya ‘Memang sudah begitu’ dan ‘Kamu mendengarnya’? Tapi jika benar, kenapa Kelvin tak pernah mengatakan perasaannya yang sebenarnya pada Amaya? Saat ia berjalan keluar dari ruang ganti, Kelvin duduk di sofa di dekat ranjang. Senyum dan lesung pipinya terlihat saat ia menyambut Amaya dan menepuk sofa di sebelah kanannya seraya berujar, “Duduk sini.” Amaya melakukannya, ia duduk di samping kanan Kelvin saat pria itu menunjuk pada layar besar te
“Berisik!” sahut Kelvin, mengusap wajah Arsha dengan kesal dan mendorongnya agar ia segera berdiri di depan vending machine untuk mengambil minuman. Mahasiswa yang ada di sana bersorak untuk Kelvin dan Amaya, yang mulai bingung harus mengelak dengan cara apa karena jika hal seperti ini semakin sering terjadi, maka orang-orang tak akan lagi percaya bahwa ia dan Kelvin tak hanya sebatas bertetangga. “Ciye ...” bisik Alin yang ditanggapi oleh Amaya dengan menyenggol lengannya. “Jangan ikutan!” peringatnya yang hanya disambut tawa oleh Alin. Bisikan semakin riuh di sekitar mereka, apalagi saat di depan semua orang Kelvin masih sempat melirik pada Amaya meski gadis itu tak memperhatikannya. Amaya sedang sibuk menata pikiranya yang bergelombang ke sana ke mari. Kacau-balau dengan hanya sentuhan Kelvin di tangannya. Perutnya membeku, dipenuhi kepakan sayap kupu-kupu yang membuat darahnya berdesir lebih cepat. Jika Alin tak memintanya untuk memilih pesanan, Amaya pasti akan masih ter
“G-gugurkan?” ulang Miranda dengan sepasang mata yang berair. Ia menatap Rama, bibirnya gemetar menahan tangis sewaktu pemuda itu meloloskan kalimat dengan begitu mudahnya.“Iya, gugurkan! Kalau kamu nggak mau hamil ya gugurkan aja. Simple, ‘kan?” Rama melepas tangannya dari dagu gadis itu, sentakannya membuat Miranda beberapa langkah mundur ke belakang. Memutuskan menjaga jarak karena takut Rama melakukan sesuatu yang buruk melihat betapa nyalang tatap matanya.“Ram, dia hidup di dalam sini,” kata Miranda, serak dan gemetar. “Dia bukan benda mati, gimana bisa kamu ngomong biar aku gugurin saja begitu sementara kita—”“Bikinnya dengan penuh cinta?” potong Rama yang seolah tahu apa yang akan ia katakan.“I-iya.”Rama justru tertawa mendengar itu. Ia terkekeh dan mendekat pada Miranda yang masih sebisa mungkin menjaga air matanya agar tidak luruh.“Tapi aku nggak pernah cinta sama kamu, Miranda!” katanya. “Kayaknya mimpimu deh yang ketinggian dengan berharap kalau hubungan kita itu a
"Saya? Meninggalkanmu?" ulang Kelvin, menunjuk pada dirinya sendiri. Sedang Amaya mengangguk membenarkannya, "Pak Kelvin 'kan barusan bilang kalau Bapak mau pergi ke luar negeri?" "Saya punya rencana buat ambil PhD, Amaya," jawabnya. "Bukan untuk meninggalkanmu." "PhD? Di ... mana?" "Austria, Singapore, London, ada banyak universitas yang saya pikirkan, tapi belum memutuskan akan pergi ke mananya." Amaya melihat senyum manis Kelvin yang memiliki lesung pipi saat mengatakan hal itu. Ekspresinya hampir sama dengan saat ia menyebut 'Ada perempuan lain yang lebih saya sukai daripada Caecil' tempo hari saat Amaya dirawat di rumah sakit. Matanya yang berbinar dan senyumnya yang cerah bisa kembali dilihat oleh Amaya saat ia mengatakan bahwa ia akan pergi ke luar negeri untuk mengejar gelar PhD. 'Apa Kelvin ingin pergi ke luar negeri karena ada perempuan yang dia sukai itu?' batin Amaya menerka. 'Makanya dia kelihatan senang?' "Terserah Pak Kelvin," jawab Amaya seraya memalingkan waj
Amaya tak bisa menahan senyumnya sewaktu melihat Kelvin pagi ini. Pria itu masih duduk dibalik meja di dalam ruangan tempatnya baru saja selesai memberikan materi.Ia mempersilahkan para mahasiswa untuk lebih dulu keluar dari sana, karena ia masih sibuk dengan sesuatu di laptopnya.Itu hanya modus, Amaya tahu!Kelvin hanya tak ingin cara jalannya yang sedikit aneh itu terlihat oleh para mahasiswa. Meminimalisir banyak pasang mata yang melihatnya secara dekat karena tadi pagi ia masih mengeluh bahwa organ vitalnya masih sedikit nyeri akibat tekanan masif yang kemarin dilakukan oleh Amaya.“Mari, Pak Kelvin,” ucap Alin yang berjalan keluar lebih dulu bersama dengan Randy.“Silakan.”Dua teman Amaya itu sedikit lebih tertinggal di belakang dibandingkan Naira yang sudah kabur lebih dulu karena ingin ke kamar mandi.Amaya pun juga bangun dari duduknya dan berjalan ke depan. Sisa beberapa mahasiswa yang ada di dalam dan memperhatikan keduanya.“Saya duluan, Pak ....” kata Amaya, menundukkan
Amaya berlutut di samping Miranda, orang-orang yang ada di dalam kafe yang mendengar teriakannya berhamburan keluar. Sama terkejutnya melihat Miranda yang tergeletak di sana dengan keadaan bibir yang mengeluarkan darah. “Dia jatuh dari lantai dua,” sebut salah satu pengunjung kafe. “Iya, aku tadi juga lihat dari jendela.” Amaya menengadahkan wajahnya. Di atas itu—di lantai dua kafe—memang ada rooftop-nya. Tempat di mana sebelumnya Miranda ia duga berada di sana sebelum jatuh. Karena sudah ada yang memanggil ambulans, Amaya memilih untuk berfokus pada Miranda. Memastikan ia bertahan sebentar sampai petugas medis datang. “Mir?” panggil Amaya, meraih tangan Miranda saat temannya itu seperti akan kehilangan kesadarannya. “M-May—“ sebutnya lirih, tersengal karena darah mengucur keluar dari bibirnya. yang Amaya takutkan hanya satu, Miranda gagar otak karena jatuh dari jarak yang cukup tinggi. “Iya, aku di sini. Sama aku terus, Mir. Buka matamu! Nggak—jangan ditutup begini!” pinta Am
Sepasang mata Amaya membola mendengar apa yang baru saja dikatakan oleh kakak lelakinya. Ia berpikir, ‘Pantas saja tadi dokter mau langsung bicara sama orang tuanya, ternyata ....’“Dokter bilang kalau dia lagi hamil,” ulang Gafi. “Sekitar sembilan sampai sepuluh mingguan, dan tentu saja itu keguguran,” terangnya. “Dia mengalami pendarahan di kepalanya, makanya kondisinya sedikit agak buruk.”Amaya seperti membeku mendengar semua keterangan itu.Tak ia sangka pertemuannya dengan Miranda akan berakhir dengan cara seperti ini.“Kakak akan bilang ke ibunya Miranda,” ucap Gafi. “Tapi beliau ‘kan—“ Amaya berhenti bicara, menatap Gafi yang kedua bahunya sekali lagi merosot. “Kita nggak punya pilihan, May,” kata Gafi, tampak berat mengambil keputusan juga. “Kita nggak mungkin menyembunyikan ini juga, ‘kan? Kakak sama Galen—“ Gafi sekilas menoleh pada sekretarisnya yang sedang mengurus keperluan administrasi di seberang sana. “Kakak sama Galen akan bilang soal dia yang jatuh aja, nanti soa
Amaya mendorong Kelvin dengan menggunakan kedua tangannya. Sepasang matanya membola menatap prianya itu yang malah tersenyum dengan tanpa dosanya padahal Amaya dilanda kepanikan.Ia menoleh ke kiri dan ke kanan, memastikan tak ada orang yang melihat apa yang mereka lakukan karena memang saat ini mereka ada di tempat umum."Mas Vin apaan sih ah!" tegur Amaya. "Kita di tempat umum loh, jangan main cium-cium begitu dong! Gimana kalau ada yang lihat coba?"Yang mendapat protes justru menoleh ke kiri dan ke kanan, menirukan saat Amaya melakukannya dengan sedikit panik tadi."Oh ya? Siapa?" tanyanya, persis seperti nada bicara Amaya barusan.Amaya yang kesal memukul dadanya, tangan kecilnya itu diraih oleh Kelvin yang menariknya agar mendekat sebelum ia menjawab dengan "Aku nggak menemukan siapapun di sekitar sini yang lihat aku cium kamu, Amaya," katanya. "Penjual lagi sibuk ngejualin orang, pohon sama tanaman sibuk menikmati hidup mereka yang tenang dan dibelai-belai angin, cuma Kelvin aj
'D-dia ngapain sih?' batin Amaya penuh dengan tanya. 'Dia beneran kesel sama aku yang ngomong kalau motornya Ziel keren kemarin? Astaga ... padahal yang aku puji tuh motor barunya, bukan orangnya. Ini model cemburu apa lagi, Kelvin?'Mata Amaya terpejam sesaat. Tak ada kata damai dalam hidupnya jika sikap agresif Kelvin sering kali tak tertebak.Hari ini dengan naik motor, lalu berhenti di hadapannya seolah ia sedang menunjukkan bahwa dirinya adalah suaminya Amaya.'Tadi bukannya dia ngantar kak Gafi ke chiropractor ya?' batinnya lagi. 'Jadi dia pulang dulu buat ngambil motornya terus ke kampus gitu?'Lagi pula kenapa Amaya tak sadar bahwa itu adalah motornya Kelvin?Ia hampir melihatnya setiap hari di garasi.Semua pikiran berkecamuk tanpa henti. Amaya sedikit tersentak saat mendengar Kelvin yang mengatakan, "Ayo."Kepala pria itu sekilas miring ke kiri, meminta Amaya untuk segera naik. Salah satu tangannya mengarah ke depan, menyerahkan helm pada Amaya yang bingung harus bagaimana
“Maaf, Mir,” ucap Rama sekali lagi. “Buat semua kesalahan yang aku lakukan, buat aku yang udah menghancurkan hidupmu dan bahkan berniat membuatmu menghilang.”Miranda tertunduk di tempat ia duduk. Ia meremas jari-jarinya yang ada di atas paha.Hening kembali menghampiri, senja di luar yag menggelap menuntun mereka untuk mengingat, menapaki kembali jalan suram yang pernah mereka ambil.“Waktu itu ...” Miranda akhirnya membuka suaranya. “Waktu kamu dorong aku dari lantai dua Amore, apa itu betulan karena kamu rencanakan?” tanyanya. “Apa ... nggak seberharga itu aku buat kamu sekalipun hubungan yang sebelumnya kita lakukan itu salah?”Rama tampak menggertakkan rahangnya, ia menggeleng sebelum menjawab Miranda. “Nggak,” jawabnya. “Aku nggak pernah rencanain itu, Mir. Nggak pernah ada niat sejak awal buat dorong kamu. Aku cuma ... tertekan waktu itu. Aku takut kalau Papaku bakal buang aku ke tempat yang jauh dari sini. Maaf ....”Miranda tersenyum tipis, ia lalu menggigit bibirnya untuk me
Niat hati ingin mengelabui, ternyata malah tertangkap basah!“Siang bolong begini, Vin?” goda Riana setelah Rajendra lebih dulu berdeham dan meninggalkan mereka berdua.“Apa sih?” tanya Kelvin, ia menyapukan rambut hitamnya ke belakang saat Amaya menyenggol lengannya, isyarat agar Kelvin menjawab ibunya dengan sedikit lebih masuk akal. “Nggak ngapa-ngapain juga. Benerin ikat pinggang emangnya salah? Habis dari kamar mandi tadi.”“Oh—““Lagian kalau ngapa-ngapain tuh juga kenapa, Mam? Sama istri sendiri juga. Kayak nggak pernah muda aja,” imbuhnya. “Mama sama Papa dulu pasti juga sering—aaak!”Kelvin berteriak saat Riana mencubit dadanya, ia tarik dan ia puntir. “Mam—sakit, Mam—““Berani kamu godain Mama hah?”“Godain gimana sih?” tanya Kelvin balik seraya mengusap dadanya. Ia terdorong menyingkir dari hadapan Riana setelah ibunya itu membuatnya hampir terjengkang.“Maaf ya, Sayang ....” kata Riana pada Amaya. Mendekat dan memeluknya. “Maklum di usianya yang udah kepala tiga si Kelvin
Amaya yang mendengar celotehan Arsen yang tengah berjalan di belakang punggungnya tak bisa menahan tawa.Entah kenapa mulut julid Arsen selalu menghibur. Kali ini ... si bapaknya yang tak lolos darinya.Carl Fredricksen ia bilang?Si kakek-kakek tua berambut putih yang ada di film UP.Arsen mengatakan begitu mungkin karena jalan Gafi yang terbungkuk dengan bantuan tongkat.Dan jika Amaya perhatikan lebih jauh, tongkatnya itu sebenarnya adalah gagang sapu yang entah ia dapatkan dari mana.Ditambah dengan dirinya yang bau minyak tawon, maka sempurnalah mulut julid Arsen saat me-roasting bapaknya."Ada apa?" tanya Serena yang berpapasan jalan dengan Amaya.Kakak iparnya itu terlihat baru saja datang karena masih membawa tas di tangannya."Itu, Kak Rena—" Amaya sekilas menoleh ke belakang, pada Gafi yang dibantu berjalan oleh Kelvin sementara di depannya Arsen menjadi pemandu sorak. "AYO, PAPA! MAJU-MAJU!""Arsen bilang kalau Kak Gafi udah kayak kakek tua ubanan di film UP," lanjut Amaya
Amaya yakin kalimat Ziel yang mengatakan ‘tadinya mau nawarin bareng ke Amaya, tapi kayaknya nggak dulu deh’ yang tadi diucapkannya itu selain karena ingin mengatakan bahwa memang Randy yang akan pulang dengannya, pasti karena Ziel melihat Kelvin sudah ada di sana. Sehingga pemuda itu ‘lari tunggang-langgang’. Tapi saat hal itu Ziel lakukan, hal yang seharusnya membuat Amaya aman, dirinya malah melontarkan pujian ‘keren banget’ pada Ziel yang bisa didengar oleh Kelvin. “Suami nggak tuh!” kata Alin seraya berpegangan tangan dengan Naira. Seolah saling menguatkan diri agar tak tiba-tiba berteriak semakin keras atau memeluk tiang listrik. “Kamu mau pulang bareng aku nggak?” tanya Kelvin, masih dengan matannya yang tak berpaling dari Amaya. “Aku-kamu nggak tuh,” imbuh Naira saat mendengar sebutan Kelvin untuk Amaya. “Katanya mau habisin makanan sebelum pergi ke rumahnya Mama? Jadi?” tanya Kelvin sekali lagi. Amaya bergeming. Benar-benar tak bisa menepis apapun sekarang! “J-jadi,”
[Memutuskan—Menetapkan pemberhentian (Drop Out) mahasiswa atas nama Caecilia Harjono sebagaimana tercantum di dalam lampiran sebagai mahasiswa Universitas G....] Caecil membacanya hingga habis setelah ia mengambil ponsel dari dalam tasnya. Tangannya terasa kebas dan gemetar. Jika email ini sudah sampai kepadanya ... artinya surat fisiknya juga bisa saja telah sampai di rumah dan barangkali sudah dibaca oleh Adrian serta Belinda—kedua orang tuanya. “Akh!” Caecil menggeram kesal, matanya berair dan ia mengangkat wajahnya, pergi dari layar ponselnya yang menyala untuk menatap pada Sarah dan Oliv. “Kita harus bales ini ke Amaya!” katanya menggebu-gebu. “Bener apa yang aku bilang kalau Amaya itu kurang ajar, ‘kan? Selain ngadu ke Pak Kelvin, dia juga bikin aku di DO dari kampus.” Celotehannya justru membuat kedua bahu Sarah dan Oliv seketika jatuh. Kedua temannya itu secara kompak merotasikan bola mata mereka dengan enggan. “Kalian nggak setuju?” tanya Caecil saat menjumpai ra
"Udah masuk sendiri dia," celetuk Randy sementara mahasiswa lain yang melihat Caecil terperosok kepalanya di dalam tong sampah malah tertawa tanpa henti. "TOLONG!" seru Caecil sekali lagi. Kedua tangannya mengepak-ngepak seperti burung yang terbang sedang kepalanya bertopikan tong sampah. Amaya hampir mendekat, berniat untuk menolongnya karena tidak tega. Akan jadi buruk jika Caecil kehabisan oksigen dan tak bisa bernapas saat kepalanya terperangkap di dalam sana. Sekalipun yang ia lakukan itu adalah karena ulahnya sendiri—yang berkeinginan menyerang Alin tapi gagal—tapi mendengarnya meminta tolong membuat Amaya tergerak hatinya. Tapi, pada langkah pertamanya, ia terhenti sebab teman Caecil datang. Kedua gadis yang dikenal Amaya bernama Sarah dan Oliv itu lebih dulu menghampiri Caecil. Menariknya dan mengangkat tong sampah yang membuat kepalanya terjebak itu. Sampah-sampah yang kebetulannya adalah sampah basah berhamburan ke lantai saat tong tersebut terangkat sehingga memunculk
Setelah akhir pekan dan ditambah oleh satu hari libur, pada akhirnya kesibukan di kampus telah kembali. Pagi ini, di rumah mereka sendiri, Amaya dengan kesadaran penuh bangun lebih awal, ia membuat sarapan untuknya dan Kelvin—anggap saja ini sebagai balasan karena kemarin penuh dengan ‘princess treatment.’“Jangan pedes-pedes kenapa?” tanya Kelvin saat ia menyuap ayam bumbu yang dibuat oleh Amaya saat akhirnya mereka duduk berseberangan di meja makan.“Nggak masuk seleranya Mas Vin ya?” tanya Amaya balik.“Masuk, Sayang. Tapi ini kepedesan, buat pagi di mana perut kita belum terisi apapun, aku kurang setuju.”“K-kalau gitu simpan di kulkas aja nggak sih?” usul Amaya yang mendapat tanggapan dari Kelvin. “Boleh, yang masih ada di mangkuk masukin kulkas, kita cemilin nanti pulang dari kampus.”Amaya mengangguk, ia mengikuti Kelvin yang meneguk minuman dan memang harus ia akui rasanya memang pedas!“Tapi terima kasih buat effort kamu,” kata Kelvin setelah ia menyuap ayam bumbu terakhir