Amaya : 😦😮😯😳 || Kelvin : 😊☺️☺️☺️ Pembaca : "KENAPA BERSAMBUNG?!!!!"🤯 Othor : "Sampai jumpa besok lagi." 🏃
“Daebak!” Seketika pecinta drama Korea mengeluarkan kalimat-kalimat mereka.“Apa begitu wujud cowok dingin yang udah jatuh cinta?” celetuk salah seorang mahasiswa yang duduknya jarak beberapa meja di belakang Amaya.“Kalau bener sih kepingin juga dibucinin yang modelnya kayak Pak Kelvin.”Jika tak ada peringatan agar mereka menjaga nada bicara dan mengendalikan kegaduhan, mengingat ini adalah perpustakaan dan barangkali banyak yang terganggu, celotehan masih akan bersahut-sahutan.[Apa yang Bapak lakuin di sini?]Itu tertulis di atas kertas yang ada di tangan Amaya, yang ia sodorkan pada Kelvin, berharap ia mengerti maksudnya dan menyadari keadaan di sekitarnya sedang tidak baik-baik saja sehigga memutuskan untuk pergi dari sana.Amaya melihatnya mengeluarkan pena dan membalas dengan kalimat yang ia tulis di bawah tulisan tangannya.[Kamu nggak suka saya duduk di sini?]“Terlalu mencolok,” kata Amaya, berbisik selirih mungkin tetapi masih dalam jangkauan Kelvin.Kelvin mengedarkan pan
Mata Amaya terpejam tak berdaya membaca pesan dari Kelvin. Dan itu memnag tidak salah, mereka semalam memang tidur di satu ranjang yang sama. Setelah Kelvin mendengarkan cerita Amaya tentang bagaimana ia harus menghadapi Miranda dan memberi keputusan bahwa ia akan lebih dulu bicara dengan temannya itu, Amaya meminta Kelvin agar pindah ke tempat tidur saja. ‘Bapak yang tiap hari kerja, masa harus terus tidur di tempat yang nggak nyaman?’ ungkapnya semalam pada Kelvin yang duduk di sofa. ‘Betulan saya boleh tidur di situ sama kamu?’ Kelvin pun juga memperjelasnya, memastikan Amaya yakin dengan keputusan yang ia berikan. ‘Iya, asalkan ... Bapak jangan khilaf aja sih.’ ‘Saya nggak akan memaksamu untuk melakukan apapun dengan saya,’ tanggap Kelvin. ‘Saya menghargai keputusanmu.’ Mereka berakhir dengan tidur di atas ranjang yang sama, dengan dipisahkan bantal di tengah dan boneka pororo milik Amaya. Meski awalnya sedikit tidak nyaman, dan rasanya sangat canggung dan aneh karena mereka
Amaya sedang sibuk di wastafel yang ada di dapur saat ia mendengar suara langkah kaki familiar Kelvin yang mendekat seraya menyapa, “Selamat sore.”“Sore,” jawab Amaya seraya menoleh pada kedatangannya.Pria itu melepas ransel miliknya ke kursi ruang makan sebelum menghampiri Amaya dan mengintip apa yang ia lakukan.“Ngapain?” tanyanya.“Mau bikin cumi pedes,” jawab Amaya. “Bapak mau nggak?”“Mau, tapi kenapa kamu yang masak? Bi Mara mana?”“Ada, lagi ruang laundry,” jawabnya sekali lagi. “Bapak baru pulang? Kenapa agak lambat?”“Ada urusan sebentar sama Arsha tadi,” katanya kemudian menuju ke lemari pendingin, mengambil air minum dan kembali mendekat pada Amaya.Kelvin tak bisa menahan senyum melihat pipi Amaya yang memiliki noda kehitaman, pasti dari tinta cumi yang sibuk ia bersihkan itu, setidaknya begitu yang ia pikirkan.“Mau saya bantu nggak?” tawar Kelvin saat kembali mendekat pada Amaya.“Nggak usah, nanti aja kalau udah siap saya akan panggil Pak Kelvin.”“Kalau saya maksa?”
“Iya, anak-anak muda mungkin menyebutnya ‘nge-date’?” Amaya meremas jemarinya yang ada di atas meja, mata mereka bersirobok dalam hening yang cukup lama. “K-kenapa tiba-tiba aja ngajak nge-date?” tanya balik Amaya. “B-Bapak cuma bercanda, ‘kan?” “Nggaklah, buat apa saya bercanda?” tanggapnya. “Kak Gafi bilang ke saya kalau di kafenya Kak Serena ada menu baru yang hari Jumat launching, jadi saya mau ngajakin kamu pergi ke sana.” Amaya mengangguk senang, “Boleh,” jawabnya. “Kalau kamu mau pergi ke tempat yang lain setelah dari kafenya Kak Serena, bilang aja ke saya.” “Hm ... mau ke mana emangnya?” sangsinya. “Mungkin nonton bioskop, karena kapan hari ‘kan kamu bilang kalau kurang suka sama film pilihannya Randy, jadi sekarang mungkin kamu bisa milih film yang kamu sukai?” Terdengar sangat menyenangkan, membayangkan ia menghabiskan waktu akhir pekannya dengan Kelvin saja membuat pipinya memanas. Kelvin adalah pria pertama yang membuat jantungnya bertalu sehebat ini. Hal yang t
“Apa maksud kamu bicara seperti itu?” tanya Kelvin, sendok dan garpu yang ada di tangan pria itu jatuh ke atas piring dengan sedikit kasar. Meski wajahnya terlihat tak mengalami banyak perubahan, tetapi Amaya bisa mendengar serak rasa muak yang tersirat dari caranya berucap. “Bukannya saya benar?” tanya Caecil balik, “Selama ini Bapak perhatian ke saya, dan saya dekat sama Pak Kelvin itu biar Bapak nggak dicap sebagai penyuka sesama jenis! Tapi kayaknya usaha saya sia-sia karena setelah rumor itu nggak ada, Bapak malah blokir saya kayak begini!” Karena atmosfer di sekitar mereka berubah menjadi tegang, dan puluhan pasang mata yang datang ke kafe untuk menikmati launching menu baru sepertinya mulai terganggu dengan keributan yang mereka buat, Kelvin menghela dalam napasnya. Matanya terpejam sejenak sebelum suaranya yang tenang mencoba menegur Caecil. “Saya nggak pernah merasa berlebihan memperhatikan kamu,” ucapnya pertama-tama. “Saya berlaku adil pada semua mahasiswa saya, C
“Aku berhak ngatur dengan siapa dia dekat atau nggak dekat, termasuk buat ngejauh dari makhluk-makhluk kayak kamu ini!” jawab Amaya sama lantangnya. Jika tak ada otot penahan, mungkin bola matanya telah lepas berhadapan dengan Caecil. Gadis itu mendengus, tawanya lirih saat berdecak, “Kamu bilang biar aku nggak bikin keributan,” katanya. “Tapi kamu sendiri yang teriak, May! Emangnya ini kafe punya bapakmu?” “Abangku lebih tepatnya!” jawab Amaya. Alis Caecil berkerut, ia melirik pada seorang pria yang mengenakan apron di pinggangnya yang berdiri tak jauh dari salah satu meja pengunjung. Wajahnya terlihat sangat mirip dengan Amaya. Di matanya, tak mungkin itu adalah seorang waiter biasa karena dari sini Caecil melihat arloji yang melingkar di pergelangan tangan kirinya berasal dari merek mewah yang berharga lebih dari satu milyar. Ia menelan ludahnya dengan gugup saat Amaya bersedekap dan satu langkah mendekat padanya. “Pergi nggak!” usir Amaya sekali lagi. “Kalau kamu ngga
“B-Bapak ngomong apa sih?” tanya Amaya setelah keheningan terjadi selama beberapa saat. “Kamu mendengarnya, kenapa saya harus mengulanginya lagi?” tanya balik Kelvin. Pria itu menegakkan tubuhnya kemudian menepuk puncak kepala Amaya dan memberinya jalan untuk lewat. “Ganti sana, saya tunggu kamu buat nonton drama.” Rasanya jantungnya hampir lepas! Amaya meremas pakaian tidur yang ia bawa erat-erat saat menuju ke kamar mandi. Angannya tak berhenti mengulang, ‘Apa artinya dia sayang sama aku?’ Jika praduganya ini salah, lalu apa artinya ‘Memang sudah begitu’ dan ‘Kamu mendengarnya’? Tapi jika benar, kenapa Kelvin tak pernah mengatakan perasaannya yang sebenarnya pada Amaya? Saat ia berjalan keluar dari ruang ganti, Kelvin duduk di sofa di dekat ranjang. Senyum dan lesung pipinya terlihat saat ia menyambut Amaya dan menepuk sofa di sebelah kanannya seraya berujar, “Duduk sini.” Amaya melakukannya, ia duduk di samping kanan Kelvin saat pria itu menunjuk pada layar besar te
“Berisik!” sahut Kelvin, mengusap wajah Arsha dengan kesal dan mendorongnya agar ia segera berdiri di depan vending machine untuk mengambil minuman. Mahasiswa yang ada di sana bersorak untuk Kelvin dan Amaya, yang mulai bingung harus mengelak dengan cara apa karena jika hal seperti ini semakin sering terjadi, maka orang-orang tak akan lagi percaya bahwa ia dan Kelvin tak hanya sebatas bertetangga. “Ciye ...” bisik Alin yang ditanggapi oleh Amaya dengan menyenggol lengannya. “Jangan ikutan!” peringatnya yang hanya disambut tawa oleh Alin. Bisikan semakin riuh di sekitar mereka, apalagi saat di depan semua orang Kelvin masih sempat melirik pada Amaya meski gadis itu tak memperhatikannya. Amaya sedang sibuk menata pikiranya yang bergelombang ke sana ke mari. Kacau-balau dengan hanya sentuhan Kelvin di tangannya. Perutnya membeku, dipenuhi kepakan sayap kupu-kupu yang membuat darahnya berdesir lebih cepat. Jika Alin tak memintanya untuk memilih pesanan, Amaya pasti akan masih ter
Amaya mengayunkan kakinya menjauh dari samping brankar Calista pada akhirnya. Tangan kecilnya digandeng dan digenggam oleh Kelvin, mereka dengan gegas keluar melewati pintu ruangan itu agar bisa mengambil napas bebas Berada di dekat Calista memang membuat kepala rasanya ingin meleduk. "Yang barusan itu bagus banget, Sayang," puji Kelvin, sekilas mengayunkan tangan mereka dengan terus berjalan menuju ke parkiran. "Pria yang haram dimiliki, that was amazing. Aku nggak pernah ada kepikiran buat bilang begitu loh." "Tapi 'kan sebenernya aky nyontek kalimat Mas Vin?" balas Amaya. "Nyontek kalimatku?" ulangnya dengan alis berkerut. "Iya." "Aku pernah bilang begitu emangnya?" tanya Kelvin memperjelas. "Bukan soal pria yang haram dimiliki, tapi soal banyak tokoh wanita yang berusaha membuat martabat kaum kita terangkat itu," jawabnya. "Kapan aku bilang begitu?" "Mas Vin nggak ingat? Itu loh pas aku mau masuk kampus lagi, dan aku pakai baju yang kamu bilang warna-warni tapi aku mala
"Nggak, Calista!" jawab Kelvin dengan tegas, tangannya yang direngkuh dan seolah menjadi sandera wanita itu dengan cepat ia tarik. Kelvin tak peduli suaranya yang sedikit meninggi itu dapat didengar oleh orang lain yang ada di sana. Amaya hanya berdiri di dekatnya, menatap Calista dengan mata yang berair berusaha meredam amarah. "Aku udah bilang kalau kamu bisa hubungin keluarga kamu, 'kan?" tanya Kelvin dengan nada suara yang sama. "Lagian nggak ada yang serius sama lukamu ini! Kakimu nggak kenapa-kenapa." "Tapi 'kan tetep cedera?" bantahnya. "Apa salahnya ngantar orang yang udah kamu tabrak sih? Itu nggak akan—" "Bu Calista kenapa ngotot banget kalau suamiku nabrak Anda sih?" sela Amaya. "Kita udah sama-sama lihat loh kalau nggak ada yang serius dari kejadian pagi ini. Maunya Bu Calista tuh apa? Kelvin harus nemenin Anda seharian akibat bikin luka gores yang keponakan saya aja kalau dapet luka begitu masih ngajakin papanya panjat tebing? C'mon ...." Amaya sangat geram denganny
"Ahh—sakit—" rintih Calista seraya mengusap kakinya. "Sakit banget ...." Amaya bergeming di tempatnya saat wanita itu mengaduh kesakitan. Amaya tak ingin memiliki pikiran buruk terhadapnya, tetapi rintihannya barusan seperti dibuat agar semua orang yang mendengarnya. Beberapa orang memang datang, melihat dan memastikan sendiri apa yang terjadi pada Calista. Lebih dari satu orang yang menyebut bahwa tadi Kelvin berhenti tepat sebelum terjadi apapun. "Kayaknya tadi Mbak-nya nggak kena mobilnya deh?" tanya Bapak-bapak pemilik bengkel yang ada di sebelah kiri jalan. "Ya lagian udah tahu ada mobil lewat ngapain main nyebrang aja sih?" tegur yang lainnya. Kelvin si pria dewasa yang tenang dan hati-hati dalam bertindak mencoba menenangkan mereka yang justru lebih memihak pada si pemilik mobil alih-alih pada wanita yang bersimpuh tak berdaya di tengah jalan itu. Beberapa mengenalinya sebagai dosen dari Universitas di dekat situ, karena ada mahasiswa yang juga ada di Tempat Kejadian Perka
Calista mendadak berdiri kaku saat membuka ponselnya pagi ini. Paginya selalu diawali dengan sesuatu yang mengejutkan beberapa waktu terakhir ini. Jika sebelumnya ia melihat foto Kelvin yang menggenggam tangan Amaya dengan menyebut 'I was totally hooked', pagi ini lebih dari sekadar genggaman tangan belaka. Fotonya terlihat sangat cantik, berkonsep wedding outdoor, dan Calista tahu ini adalah foto postwedding mereka. Tapi yang membuatnya shock adalah bukan hanya betapa tampannya Kelvin, melainkan apa yang ia lakukan. Pria itu tengah menunduk di depan seorang perempuan cantik dengan gaun berwarna putih yang ekornya menyapu rerumputan. Sedang duduk di bangku taman dengan keadaan bibirnya yang dicium. Meski Kelvin menutupi wajah gadis itu dengan stiker hati, tapi orang gila mana yang tak tahu bahwa itu adalah Amaya? Seolah sengaja menaburi garam di atas lukanya, pria itu membuat dunia tahu bahwa hatinya telah berhenti pada Amaya. [@kelvinindra__ 'Forever be yours, the one and only
Agar bibirnya yang terus mengerucut itu berhenti, atau agar yayasan yang menaungi berdirinya kampus itu tak benar-benar dibeli oleh kakak iparnya—Gafi—Kelvin berusaha melakukan sesuatu. Berpikir bahwa Calista sengaja berusaha melemahkan mental Amaya yang seperti baja itu dengan menduplikasi dirinya, Kelvin harus menegaskan bahwa pernikahannya dengan Amaya tak bisa diganggu gugat oleh siapapun juga. Pada Sabtu pagi yang cerah ini, Amaya baru saja keluar dari rumah dan berdiri memandangi pohon tabebuya yang bunganya tak selebat sebelumnya. "Mau pergi nggak?" tanya Kelvin tiba-tiba dari belakangnya yang membuat Amaya segera menoleh. "Ke mana?" tanyanya balik. "Bikin foto postwedding," jawabnya. "Aku udah minta temanku yang punya studio buat nyiapin tempat, jadi aku harap kamu mau." "Foto postwedding?" ulang Amaya dengan kedua alis yang terangkat penuh rasa terkejut—karena memang ia benar terkejut. "Iya." "Tiba-tiba aja?" "Hm ... udah dari lama sih ngerencanainnya, cuma kayaknya a
“Kelvin?” panggil sebuah suara manis yang datang dari belakang Kelvin. Ia menoleh ke belakang dan melihat Amaya yang berjalan bersama dengan Alin dan Randy serta disusul oleh Naira di belakangnya. Meminimalisir terjadinya kesalahpahaman yang bisa saja terjadi antara mereka, Kelvin dengan cepat mengayunkan kakinya mendekat pada Amaya. Tapi, Calista tak mengizinkannya begitu saja. “Kelvin!” panggilnya dengan suara mengiba. Lorong sunyi itu membuat suaranya menggema. Tapi, Kelvin tak menjawabnya. Ia bahkan tak menoleh saat meraih pergelangan tangan Amaya dan menariknya untuk pergi dari sana. Memilih untuk mencari jalan lain. Tak ada yang bicara, teman-teman Amaya yang ada di belakangnya pun juga terdiam untuk tak memperkeruh suasana hingga mereka tiba di kantin. Barulah saat itu Kelvin mengakhiri ‘lomba diam-diaman’ itu dengan mengatakan, “Kalian pesanlah, saya yang akan bayar.” “E—“ Randy yang mendengarnya terlebih dulu memberi reaksi. “E—sungkan sih sebenernya, tapi mungkin kare
“Pikirkan dengan matang sebelum kamu bertindak,” lanjut Arsha. “Kecuali kamu mau berakhir sama kayak si Hakim Rasyid itu, aku persilakan kamu melakukan apapun sesuka hatimu. Tapi nanti kalau kamu hancur, hancurlah sendiri.” Arsha menutup kalimatnya dengan rahang yang menggertak. Ia memalingkan wajah dan mengayunkan kakinya pergi meninggalkan meja milik Calista. Punggungnya lambat laun menghilang selagi Calista merapikan rambutnya agar senantiasa cantik. Ia tatap pantulan wajahnya pada cermin kecil yang ada di atas meja, wajah yang terlihat gugup setelah mendengar semua kalimat bernada penjelasan dari Arsha soal apa yang terjadi sebelum ia masuk ke tempat ini. ‘Harusnya aku cari tahu dulu nggak sih apa aja riwayat anak itu?’ gumam Calista dalam hati. ‘Didengar dari penjelasan Arsha ... emang kayaknya dia tengil juga, dan tahan banting. Mentalnya itu kayak bukan mental anak-anak.’ Calista membasahi bibir berlipstick matte miliknya dengan lidah, rasanya mendadak kering saat ia mengi
Rasanya ... justru Arsha yang malu melihat tingkah Calista itu. Wanita itu adalah sepupu istrinya, yang secara tak langsung mereka memiliki hubungan keluarga, bukan? Arsha sudah melihatnya sejak tadi pagi apa saja yang dilakukan olehnya. Ia berganti pakaian yang hampir sama dengan yang kemarin dilihatnya dikenakan oleh Amaya. Sepertinya ia membelinya secara online dengan sistem beli sekarang kirim sekarang juga—pengiriman instan—sehingga ia bisa mendapatkannya dengan cepat. Pagi tadi Arsha masih sempat melihatnya mengenakan pakaian berwarna kuning tetapi pada jam makan siang ini ia telah berganti dress broken white. Arsha tak tahu apa yang tengah dipikirkannya, tapi sepertinya ia harus memberi sepupunya Kaluna itu sebuah teguran. Arsha berjalan memasuki ruang dosen di mana Calista berada dan menghampirinya. Keadaan di dalam sedang tak begitu ramai sehingga ia lebih memilih untuk bicara di sini. “Bisa stop sekarang?” ucap Arsha langsung pada pokok persoalan. Yang merasa diajak
Sepertinya ... bukan hanya postingan di sosial media milik Kelvin yang membuat kampus pagi ini menjadi heboh. Calista yang masih berdiri di sana—dan mengabaikan rasa sakit atau kesemutan pada kakinya sebab ia telah terlalu lama berdiri—mendengar seorang dosen yang ia kenal sebagai Lucy mengatakan pada Andrew, "Gokil banget Kelvin semalam." Mendengar nama 'Kelvin' disebutkan tentu saja membuat kedua telinga Calista berdiri. 'Kelvin?' ulangnya dalam hati. 'Ngapain dia emang semalam?' Ia akan menemukan jawabannya sebentar lagi jika ia terus menguping di sana. Dan itu benar .... "Sumpah iya! Manis banget tuh kulkas berjalan kalau lagi di rumah. Zoom meeting malah istrinya minta pangku." "Clingy wife and Cool Husband banget nggak sih mereka?" sahut dosen lain yang bernama Sonya. "Kalian sebelumnya denger nggak Amaya bilang 'Laptop terus akunya kapan' gitu?" Louise ikut menimpali dari tempat ia duduk. "Denger," jawab yang lainnya hampir bersamaan. "Itu 'kan sebelum dia minta pangku