"Apa dia nggak bisa lakuin itu sendiri?" tanya seorang perempuan yang berjalan melewati sebuah rumah yang gerbangnya cukup tinggi. ‘Kenapa dia nyuruh-nyuruh aku terus?’ batinnya. Miranda, gadis yang menggumam sendirian itu adalah Miranda. Malam ini ia datang ke rumah Rama setelah mereka membuat janji sebelumnya. Tapi sepertinya ia tak bisa menghabiskan waktunya bersama Rama dengan tenang karena Caecil baru saja menghubunginya. Gadis itu mengatakan agar Miranda mempermalukan Amaya, rencana yang ia pilih adalah agar Amaya terlihat menyakiti Miranda, sehingga mahasiswa lain akan menyebutnya sebagai perempuan kurang ajar. Jika yang menjadi korban adalah Miranda, semua orang akan lebih percaya karena mereka berseteru. "Apa aku ini babunya?" gumam Miranda sekali lagi. Kesal pada Caecil. Niat hati mendekat pada gengnya agar mendapat keuntungan, yang terjadi justru sebaliknya. Caecil lebih sering memanfaatkanya. Bahkan bukan hanya Caecil. Tapi anggota gengnya yang lain pun sama. Mir
Di atas matras biru, Kelvin dan Ziel bertarung. Mahasiswa yang ikut UKM taekwondo berada di sekitar mereka, menjadi penonton dari pertarungan yang sedang dilakukan oleh pembina dan anggota yang memiliki sabuk hitam tingkat satunya—Ziel.Baik itu Kelvin atau Ziel sama-sama memukau. Penyerangan mereka berteknik dan membuat siapapun yang melihatnya menahan napas.Saat Ziel bernafsu menyerangnya, Kelvin yang seakan sudah bisa membaca pergerakannya menanggapinya dengan lebih tenang. Napas mereka memburu, mata tajam memperkirakan ke arah mana lawan menyerang.Tangan terkepal di depan badan. Dalam jarak beberapa meter yang memisahkan sebelum mereka berlari mendekat.Beberapa mahasiswi yang melihat itu menjerit saat Kelvin lebih cakap merenggut kerah Ziel, dengan satu langkahnya yang tak terprediksi ia membuat Ziel terangkat di udara sebelum menjatuhkannya di atas matras.“Aishh!” Ziel mendesis kesal, ia berusaha bangun tetapi usahanya sia-sia saat Kelvin menguncinya hingga tak bisa bergerak
Mata Amaya berpindah dari mata Kelvin ke lehernya. Menyusuri perutnya dan berhenti di— "Sudah selesai menelanjangi saya begitu, Amaya?" Tanya dari Kelvin membuat Amaya dengan gegas mengangkat wajahnya kembali. "A-apa maksud Bapak?" tanya Amaya balik. "Saya nggak gitu ya! Pegang Pak Kelvin saja loh enggak!" Kelvin bersedekap mendengarnya yang sedang berusaha mengelak padahal ia jelas baru saja menjatuhkan pandangan pada— "Benar, di sana yang tersiksa!" jawab Kelvin. "Kalau dia kalah, saya bisa membuatmu tidak tidur." Kelvin berjalan melewati Amaya yang dengan cepat memejamkan matanya. Kesal pada dirinya sendiri yang seolah sengaja memancing pria itu menjadi lebih sensitif. "Nyebelin banget," gerutunya. "Pakai baju di kamar pun nggak bisa bebas dan harus pakai aturan." Ia mendengus saat mengikuti langkah Kelvin memasuki ruang ganti. Pria itu menoleh padanya seraya bertanya, "Ngapain ngikutin saya?" "PD banget! Saya tuh mau ganti baju." "Ngapain ganti baju?" tanya Kelvin, kehe
'Apa maksudnya dengan dia jatuh cinta duluan sama aku?' batin Amaya, mengulangi kalimat Kelvin yang dalam sekejap mengubah jantungnya menjadi berdenyut cepat."Aku baru dengar itu," sahut Gafi yang duduk di sebelah kanan Kelvin. Kakak lelaki Amaya itu terangkat kedua alisnya, tampak tidak percaya. "Kamu? Jatuh cinta duluan sama adikku?"Kelvin mengangguk, "Kayaknya begitu sih, Kak Gaf.""Tapi bukannya kamu sebelumnya nolak waktu Papanya Amaya minta kalian buat nikah, Vin?" Kali ini Riana yang bertanya, terlihat yang paling antusias, karena beliau bersama dengan Rajendra adalah saksi betapa dua anak-anak mereka itu saling menolak saat diminta menikah."Ada alasannya, Mam," jawab Kelvin. "Aku sadar kalau usiaku jauh di atas Amaya, masih banyak hal yang pasti ingin dia lakukan daripada terikat dalam sebuah pernikahan, 'kan?""Wait—" sela Gafi. "Maksudnya kamu jatuh cinta sama adikku sebelum diminta almarhum Papa buat nikah?"Kelvin sekali lagi mengangguk."Jangan bilang alasan kamu selam
Amaya menoleh pada Kelvin yang tampak menelan ludahnya dengan gugup. Amaya bisa melihat dari pupil matanya yang bergerak tidak stabil, ia mencoba menyembunyikannya lewat tawa datar yang membuat Arsen sekali lagi bertanya, "Mau nggak tidur sama Arsen?" "Tanya Aunty May," jawab Kelvin. Ia berjalan melewati Amaya dan menyibukkan diri dengan mengambil pakaian dari dalam lemari. "Aunty May nggak mau ya tidur sama Arsen?" tanya keponakannya itu. Sebelum ada insiden menangis jilid dua, Amaya memilih dengan cepat untuk mengiyakannya. "Mau kok," jawabnya. "Biar Aunty gosok gigi sama ganti baju juga ya, nanti habis itu kita tidur." "Mau minum susu dulu boleh?" pintanya. Amaya menggaruk kepalanya yang tidak gatal, alisnya berkerut saat ia memikirkan apakah sekiranya ada susu yang bisa diminum oleh Arsen. Lagi pula banyak sekali permintaan keponakannya ini! Apa begini gambaran jika nanti ia memiliki anak? "Aunty May nggak yakin," jawab Amaya akhirnya. "Tapi coba kita lihat dulu di bawah ada
Sesuai dengan yang mereka katakan semalam, pagi hari ini Kelvin menepati janjinya untuk mengajak keponakannya pergi ke taman bermain, Fantasy Land. Berangkat lebih pagi, Kelvin melihat wajah kesal Amaya saat ia duduk di samping kemudi dengan tangan yang bersedekap. "Kamu masih kesal sama saya?" tanya Kelvin yang seketika membuat Amaya mendengus. "Menurut Bapak?" tanyanya balik. Kelvin hampir menjawab sebelum Arsen yang duduk di kursi penumpang belakang menyahut, "Pak, Pak, Pak, apa Uncle Vin ini Bapaknya Aunty May?" tanyanya. Kelvin tak bisa menahan senyumnya sementara Amaya menoleh ke belakang, memutar separuh tubuhnya untuk melihat keponakannya yang cerdas itu. "Papa bilang ke Arsen kalau Aunty May dan Uncle Vin itu sama kayak Mama dan Papa, udah nikah," jelasnya dengan bibirnya yang lancar. "Tapi kenapa Aunty May panggil Uncle Vin 'Bapak'? Padahal Mama kalau panggil Papa itu 'Honey'," celotehnya. "Atau kalau nggak, 'Darling, Babe' dan—" Alis kecilnya berkerut, "Seingat Arsen
"Pak Kelvin?!"Amaya mendorongnya agar menjauh. Ia harusnya kesal, tapi sekali lagi dadanya malah berdebar. Bayangan seandainya ia dan Kelvin berada di atas ranjang dan—"Apa kamu udah ngebayangin?" tanya Kelvin yang seketika membuat Amaya melebar kedua bola matanya. "Kira-kira gimana rasanya? Kamu pikir itu enak atau enggak, May?""Pak Kelvin bisa diem nggak?!""Kalau saya jawab 'nggak' lalu kamu mau melakukan apa?"Amaya mundur sekali lagi. Melebarkan jarak sepertinya adalah hal yang harus ia lakukan sekarang ini.Ini tidak baik, lebih tepatnya detak jantungnya yang berantakan ini yang tak baik!'Dia kenapa tiba-tiba jadi begitu sih?' tanya Amaya dalam hati. Ia berpikir, apa kata-kata 'bapak-bapak' itu menyinggungnya sehingga Kelvin membalas Amaya dengan menggodanya seperti ini?'Goda saja, Amaya.' Kalimat Kelvin hari itu kembali terngiang. 'Goda sampai pertahanan saya runtuh, saya ingin tahu bagaimana caramu mengendalikan saya!'Maya menelan ludah dengan sedikit pelan, jika ini a
‘Apa dia lihat baju yang aku ambil sebelum aku mandi tadi?’ batin Amaya tak habis pikir. Sehari saja ... apa Kelvin itu tak bisa diam dan tak mengatakan sesuatu yang memalukan padanya? Padahal dia baru minta maaf soal mengatainya kuda lumping, tapi hari ini sudah menemukan bahan lain untuk mengejek Amaya. Ia menyaksikan ke mana pria itu menjauh, seringai di salah satu sudut bibirnya terlihat penuh dengan kepuasan saat ia menyusul Arsen yang sudah meluncur lebih dulu di atas arena ice skating, meninggalkan Amaya yang mau tak mau harus menjadi sebatas penonton. “Nyebelin banget,” gumamnya kesal. “Kalau tahu begini aku nggak mau ikut tadi.” Mungkin sekitar setengah jam kemudian paman dan keponakan itu menepi. Amaya membiarkan mereka melepas atribut keselamatan sekaligus sepatunya sekalian dan mengembalikannya pada petugas. “Sendirian?” tanya sebuah suara yang membuat Amaya tersentak. Ia menoleh ke sisi kanannya. Seorang lelaki tak dikenalnya mendekat dan mengajaknya bicara. “K-ka
“Mas Vin bercanda, ‘kan?” tanya Amaya dengan sepasang matanya yang membola.“Bercanda gimana, Sayang?” tanya Kelvin balik, ia bangun dari berbaringnya, diikuti oleh Amaya yang melakukan hal yang sama.“C-cincinnya aku taruh di meja makan?”Kelvin mengangguk dengan yakin, “Iya. Ini buktinya. Aku tadi ke ruang makan buat beresin sayur yang lupa aku balikin ke kulkas. Dan nemu cincin kamu di sana.”Bibir Amaya terbuka, bergerak tanpa suara, bingung harus mengatakan apa karena merasa dirinya sangat ... pelupa—atau mungkin lebih tepatnya pikun.‘Sebentar ....’ batinnya. Ia mengedipkan matanya lebih dari satu kali dan mencoba mengingatnya.Ia tadi mengenakan sarung tangannya di ruang makan karena sempat menghabiskan susu hangat yang dibuatkan Kelvin untuknya.Jadi ... ia meletakkan cincinnya di meja makan dan bukan di dalam padding?Amaya menutup mulutnya dengan sebelah tangan, menyadari ingatannya telah kembali ia temukan.Sejak sebelum berangkat ia tak mengenakan cincin itu!Ah ... astaga
Amaya tak bisa menahan air mata saat Kelvin merengkuh dan menarik dirinya ke dalam pelukannya sekali lagi. Ia berusaha menerima dan menurut apa kata Kelvin yang mengatakan bahwa mereka bisa membeli cicin pernikahan yang baru. Tetapi hatinya tidak iklas, ia tak menerima seandainya benar cincin itu menghilang dan mereka tak bisa kembali bersua. “Ayo kita pulang,” bisik Kelvin saat ia melepaskan Amaya dan menarik tangannya untuk pergi dari sana. PIpi Amaya rasanya membeku. Bekas air mata yang tersisa di pipinya seakan berubah menjadi kristal es yang membuat tubuhnya bergeligi. Setiap langkah yang ia ambil terasa sangat berat. Salju tebal yang menutupi daratan saat hari beranjak petang membuat dadanya berdebar setiap kali membayangkan bahwa cincin itu masih di sana, tertumpuk oleh salju dan tak akan pernah ditemukan. Tak ada yang bicara selain dirinya yang berulang kali terus menahan air mata, hingga mereka tiba di parkiran dan Kelvin membukakan pintu untuknya. “Kita pulang dulu,” uc
Saat Kelvin kembali dari kamar mandi dan hendak masuk ke dalam mobil tempat di mana Amaya menunggunya di sana, ia dibuat terkejut karena istri kecilnya itu tidak berada di sana. "Di mana dia?" tanyanya bingung. Pandangannya mengedar, sepasang matanya tertuju ke dalam kafe. Berpikir barangkali Amaya tengah berada di sana, kembali untuk membeli cokelat hangat agar bisa dibawa pulang. Kelvin mengayunkan kakinya untuk kembali ke kafe itu, tapi sejauh matanya memandang, Amaya tidak ia temukan. Merasa ada sesuatu yang tidak beres, ia kembali ke dalam mobil. Niat hati ingin menghubungi Amaya, tapi rasanya itu akan sia-sia karena ia malah menjumpai dua ponsel milik mereka ada di dalam sana. Kelvin merasa ini seperti deja vu, perasaannya tak tenang seperti saat ia kehilangan kontak dengan Amaya sebelum ia menemukannya tak sadarkan diri di dalam kamar mandi kampus tempo hari. Kecemasan itu membuatnya berpikir bahwa kali ini situasinya sama. Ia tak menemukan Amaya sebab ia pingsan di sua
Amaya merapatkan padding yang ia kenakan sekeluarnya ia dari ruang ganti Ski Mont Blanc Quebec, tempat di mana ia menghabiskan hari pertama bulan madunya bersama dengan Kelvin selama di Kanada. Jarak tempuh dari rumah Liana dan Danuarta yang mereka tempati menuju ke tempat ini hanya sekitar dua puluh menit dengan menggunakan mobil. Mereka tiba setelah lewat pukul satu siang dan menghabiskan waktu hingga hampir gelap. Amaya tadinya ragu jika Kelvin bisa tahu jalan untuk tiba di tempat ini. Tetapi ... bukankah tak perlu ada yang ia khawatirkan jika itu bersama dengan Kelvin? Prianya itu mengatakan sudah pernah ke tempat ini sebelumnya bersama dengan sepupunya—Devin anak dari Om dan tantenya itu—sehingga perjalanan terkendali tanpa hambatan. Amaya tak pandai berolahraga, ia hanya mengikuti instruksi Kelvin bagaimana caranya berdiri di atas dua papan ski yang diikat di kakinya. Awalnya memang sulit, tapi setelah beberapa kali percobaan—lengkap dengan kesabaran suaminya yang sebesar
Calista sedang berada di rumah Kaluna saat gadis itu diminta oleh ibunya membawakan kue ke sana.Kebetulannya, Arsha sedang ada di sana juga. Mereka yang duduk berdampingan itu menyambut kedatangannya dengan melambaikan tangan, mempersilahkan Calista masuk dan duduk di ruang tamu.“Kalian nggak pergi liburan?” tanya Calista setelah kue yang ia bawa diterima oleh seorang pembantu rumah tangga.“Besok sih rencananya,” jawab Kaluna terlebih dahulu. “Mau ikut kamu?”“Hm ....” Gadis itu memiringkan kepalanya sekilas ke kiri penuh dengan keraguan. “Kalau aku ikut bakalan jadi obat nyamuk kalian dong.”“Kita nggak cuma pergi berdua kok,” jawab Arsha lebih dulu. “Sama keluarga juga. Masih belum nikah mana boleh berdua-duaan begitu?”Calista mengangguk, mengerti akan maksudnya.“Kamu nggak ngajak temenmu itu, Kak Sha?”“Temen?” ulang Arsha yang disambut anggukan oleh Calista. “Temen yang mana—aah ... Kelvin maksudnya?”Calista mengangguk membenarkannya, “Iya, Kelvin.”“Dia ada kegiatan sendiri
Sebelum kepergian mereka ke Kanada, Gafi mengatakan bahwa ia akan menyusulnya nanti. Mungkin berselang tiga atau lima hari setelahnya karena Serena harus lebih dulu menyelesaikan jadwal yang sudah terlanjur ia sepakati. Tenang ... soal pinggangnya yang sakit tempo hari sekarang sudah baikan. Ia tak lagi berjalan terbungkuk-bungkuk seperti nenek moyang penyu saat Amaya dan Kelvin berpamitan padanya sebelum berangkat kala itu. Gafi sebenarnya juga mengajak Riana dan Rajendra, tapi ayahnya Kelvin itu menolak. Dengan jujur dan gamblang menyebut bahwa ia kurang suka dengan cuaca di Kanada sekarang. Musim dingin, ia mengatakan pasti akan membutuhkan berdus-dus kotak Tōlak Angin jika ia ikut anak-anak muda itu pergi ke sana nanti. Maka, hanya Gafi, Serena dan bocah kecil bernama Arsen yang berisik itu yang ikut. Tentu .. itu dengan peringatan dari Amaya agar Gafi tak perlu membawa kolor Patrick-nya yang sudah berlubang selebar piring makan itu. Amaya baru saja membuka matanya, merapat
Kanada, Kelvin mengatakan bahwa negara ini adalah tujuan nanti ia akan mengejar gelar PhD jika Amaya sudah selesai kuliah. Dan sebagai sebuah 'percobaan', pria itu mengajak Amaya ke sini dalam jangka waktu yang terbilang panjang selama libur akhir semester. Amaya pikir ... prianya itu pasti sudah menyiapkan ini dari lama. Sebagaimana yang Amaya tahu, Kelvin selalu bertindak hati-hati, dan terarah. Mengingat bagaimana ia selalu melakukan sesuatu dengan diam-diam tanpa sepengetahuan Amaya, bukankah mungkin saja kepergian mereka ini sudah jauh hari direncanakannya? Mereka tiba setelah penerbangan dari Jakarta di sebuah rumah yang disebutkan oleh Kelvin adalah milik pamannya, adik lelaki dari Rajendra yang memang tinggal di Kanada. "Akhirnya Kelvin ke sini," sambut wanita berambut sebahu saat Kelvin dan Amaya keluar dari taksi yang mengantar mereka mereka dari bandara. "Akhirnya Tante bisa lihat istrinya Kelvin juga," lanjutnya seraya merentangkan tangannya untuk memeluk Amaya. "Asta
"Kalau Pak Kelvin mau, saya tunggu nanti hari Sabtu," kata Ziel sekali lagi. "Nggak baik loh Pak kalau nolak ajakan orang lain tuh, apalagi itu bukan ajakan yang buruk, olahraga loh itu." Kelvin menghela dalam napasnya, ia selangkah maju dengan seulas tawa lirihnya. Salah satu tangannya terarah ke depan saat ia menyentuh kerah jas almamater yang dikenakan oleh Ziel seraya menjawab, "Terima kasih sudah diajak, saya menghargai kamu. Tapi ... saya tuh udah tuntas main begituannya, Jaziel Armando," katanya. "Hal-hal menyenangkan yang kamu lakuin sekarang, saya udah tuntas dulu waktu saya masih muda. Motocross, hiking sampai hampir hilang di gunung, jadi presiden mahasiswa, mimpin demo, semuanya udah saya lakuin. Sekarang udah waktunya hidup tenang, misalnya ... menghabiskan waktu liburan dengan istri." Ziel seketika mendengus mendengar itu. Tatapan mereka bersirobok cukup lama sebelum Kelvin sedikit menunduk dan berujar, "Apa niatmu mengajak saya balapan?" tanyanya. "Biar saya ngajak Am
Di meja kantin kampus, para mahasiswa semakin banyak yang berjalan meninggalkan tempat itu. Tapi tidak dengan Amaya dan teman-temannya yang masih ada di sana, menikmati waktu-waktu kebersamaan mereka sebelum libur panjang akhir semester dimulai. Amaya baru saja menceritakan tentang apa yang terjadi selepas ia pergi dari rumah Alin semalam. Tentang preman suruhan ayahnya Rama yang disingkirkan oleh Kelvin seorang diri. Menuai decak kagum, dan Randy mulai mengidekan bahwa ia akan masuk ke UKM taekwondo setelah ini. "Tapi nanti kamu mau ke mana pas liburan, May?" tanya Alin yang duduk di sebelahnya. "Pergi sama Pak Kelvin ke luar kota nggak?" Sekarang ... rasanya mereka sudah tak perlu sungkan menyebut tentang Amaya yang menjalin hubungan dengan Kelvin. Bukankah Amaya sudah pernah mengatakan sebelumnya bahwa itu telah menjadi rahasia umum? "B-belum ada rencana sih," jawab Amaya yang tentu saja berbohong karena ia tahu Kelvin telah mengagendakan untuk kepergian mereka dalam rangka 'bu