Sudah satu bulan Ayesha bekerja di perusahaan milik Marvin dan mulai terbiasa dengan segala cercaan dan omelan dari Vanya. Seperti biasanya ia lebih memilih diam daripada ribut atau sekadar menanggapi.
Tak akan ada habisnya, ia yang masih waras lebih baik mengalah. Karena ia lebih suka kedamaian dan ketenangan.
“Ayesha.”
Mobil sport hitam berhenti tepat di depannya yang masih menunggu taksi. Kebetulan pagi tadi ia memang tidak membawa mobil karena sedikit ngantuk dan takut terjadi sesuatu di jalan.
Marvin membuka kaca mobil dan berniat memberinya tumpangan.
“Tidak perlu, Tuan. Terima kasih, saya nunggu taksi saja.” Kebetulan ia sedikit harus pulang telat karena ada pekerjaan yang belum selesai karena Vanya tidak masuk beberapa hari.
“Masuklah. Ini sudah larut, tidak baik jam segini kamu masih di jalan. Aku akan mengantarmu.&rdquo
Langit biru nampak begitu cerah. Matahari sudah mulai meninggi saat Ayesha dan Arzen dalam perjalanan menuju salah satu pusat perbelanjaan.Sesampainya di sana mereka berkeliling, memasuki satu toko ke toko yang lain dan memilih beberapa barang, baik pakaian, tas dan juga sepatu. Ayesha tak melarang, ia hanya mengingatkan untuk mengambil seperlunya saja.Berkeliling hampir satu jam, akhirnya mereka singgah di toko buku. Arzen meminta untuk membeli beberapa buku bacaan tentang sejarah dan fisika, sementara Ayesha langsung menuju deretan novel.“Ayesha,” panggil seseorang membuatnya menoleh.“Hai, Marvin,” sapa Ayesha menutupi keterkejutan di wajah dengan senyum tipis.“Sedang apa?”“Ngantar anakku beli buku. Kamu sendiri sama siapa di sini?” tanya Ayesha basa-basi.“Sama, ngantar anak b
Cukup lama keduanya hanya diam. Ayesha juga tak tahu harus memulai dari mana. Sebenarnya ada yang ingin ditanyakan, bagaimana lelaki itu tahu bahwa ia ada di rooftop. Suara berdeham lelaki itu berhasil membuatnya menoleh. “Ada yang ingin kutanyakan.” “Tanyakan saja, Marvin.” Mendengar jawabannya lelaki itu justru mendengkus pelan. “Kenapa kamu selalu menghindar? Apa kehadiranku membuatmu tidak nyaman?” Marvin menoleh dan sepenuhnya bisa menatap wajah cantik wanita berhijab yang menundukkan kepala. “Kedekatan kita, bisa menimbulkan salah paham.” Alis Marvin menukik tajam. “Shalimar, putriku satu-satunya. Bulan depan usianya tujuh tahun. Mamanya sudah meninggal saat melahirkan dan meninggalkan aku dengan status duda.” Marvin tampak berkaca-kaca saat mengatakannya. Ada seulas senyum pedih yang tergambar dari sorot matanya.
Hanan kembali ke rumah, disambut tatapan penuh selidik sang ibu yang berdiri di depan pintu. “Dengan siapa kamu bicara?” “Tetangga baru, Ma.” “Cantik,” ucap Helen—ibunya. “Memang cantik, Ma.” Hanan menjawab dengan senyum lebar justru membuat Helen curiga. “Tapi cantik saja tidak akan cukup untuk menjadi calon istri kamu, Han. Wanita yang masuk ke keluarga kita harusnya sederajat, cerdas dan bisa mendampingi kamu.” Helen kembali mengingatkan kriteria calon istri yang bagi Hanan sebenarnya tidak terlalu penting. “Aku sudah dewasa, Ma. Biarkan aku memilih calon istri sendiri sesuai yang kumau.” “Jangan membantah, Han.” “Aku menyukainya, Ma.” “Dari keluarga mana? Apa pekerjaan, pendidikan dan statusnya?” tanya Helen beruntun. “Dia dari New York. Kerja di salah
Helen dilarikan ke rumah sakit karena pendarahan di kepala lumayan banyak hingga tak sadarkan diri.Ayesha berjalan mondar-mandir di ruang tamu dengan perasaan cemas, takut terjadi sesuatu hal buruk pada kondisi wanita paruh baya tersebut. Sementara Arzen masih belum bisa mengendalikan emosinya dengan baik karena sampai saat ini ia tak menunjukkan raut apa pun.“Sudahlah, Mom. Tidak perlu cemas pada orang tua itu, aku tak melakukan kesalahan. Ini adalah pembelaan.” Arzen melirik ibunya sedikit.“Tapi bukan dengan cara kekerasan, Zen. Kamu bisa membuat nyawanya dalam bahaya.”“Bahkan aku rela membunuh seseorang yang berani menghinamu, Mom.” Sontak ucapan Arzen membuat Ayesha terkejut, tubuhnya menegang beberapa detik.“Bicara apa kamu. Jangan bicara sembarangan. Mommy tak pernah mengajarimu seperti ini, Zen.”&ld
“Ayesha, aku tidak tahu—”Wanita berhijab merah maroon itu langsung memukuli Hanan yang baru saja mendekat. Tanpa mau mendengar penjelasan apa pun walau hanya sepatah kata.“Ini semua gara-gara kamu, andai kamu tak mendekati kami dan mendengarkan ucapanku, ini semua tak akan terjadi,” teriak Ayesha keras.“Aku minta maaf,” ujar Hanan lirih.“Menjauh dari hidupku jika kamu benar-benar ingin membuat kami terbebas dari masalah.”“Aku mencintaimu, Ayesha.”“Tapi perasaanmu membuatku dalam masalah!”Marvin segera mendekat dan melerai keduanya. Saat ini bukan waktu yang tepat untuk berdebat.Tangis Ayesha seketika pecah, sudah hampir satu jam menunggu tetapi Arzen belum keluar juga. Sang anak didampingi pengacara yang didatangkan oleh Marvin. Awal
Keesokan paginya sesuai janji, Marvin sudah menunggu di depan rumah untuk menjemput Ayesha. Sebelum berangkat ke kantor, mereka mengantarkan Arzen ke sekolah lebih dulu.“Maafkan sikap Arzen yang dingin,” ucap Ayesha setelah sang putra turun dari mobil.“Aku paham.” Marvin tersenyum hingga wajahnya terlihat begitu teduh.Ayesha memilih memalingkan wajah, tiba-tiba dadanya terasa sesak karena terus berdebar dengan keras. Tanpa sadar tangannya mengusap dada pelan, membuat Marvin yang ada di sebelah mengernyit heran.“Kamu kenapa?”“Nothing.”Ayesha meminta diturunkan seratus meter sebelum sampai di kantor, ia tak mau ada gosip lagi yang membuat namanya buruk.“Tidak akan ada yang akan membicarakanmu, Ayesha.”“Tepatnya belum, karena kompor meleduk tidak a
Setelah sedikit perdebatan antara dua wanita itu, Marvin meminta Vanya untuk masuk ke dalam ruangan. Sepertinya kali ini ia harus benar-benar tegas bersikap pada wanita itu. “Aku hanya tak ingin nama perusahaan ini jelek karena skandalnya, Marvin.” “Skandal apa? Jangan bicara sembarangan tanpa bukti, Vanya. Aku sudah terlalu lama paham siapa dirimu, tapi sekarang tidak lagi. Segera kemas barangmu dan keluar dari sini, kamu bukan lagi sekretarisku,” kata Marvin, datar dan dingin. “Kamu memecatku hanya karena wanita pelacur itu?” Vanya menatap tak habis pikir. “Vanya Geraldi!” sentak Marvin, bahkan sampai berdiri dari duduknya karena marah. “Kamu selalu membuat masalah di sini,” sambungnya. “Aku hanya menyelamatkan kamu dan perusahaan dari suatu yang tidak baik.” “Apa kamu pikir dirimu sudah baik?” “Seti
“Berhenti menatapku seperti itu,” ucap Ayesha yang tengah menyiapkan makanan, yang dipesan beberapa waktu yang lalu. Ia memang tidak melihat langsung lelaki itu menatapnya, tetapi sadar dengan situasi.Mereka terpaksa harus makan malam di kantor sebab pekerjaan belum selesai.“Sudah bicara dengan Arzen kalau kamu lembur?”“Sudah.”“Apa tanggapannya?”“Tidak ada, memangnya apa yang harus dikomentari. Lembur ‘kan bagian dari pekerjaan.”“Aku mau tanya,” ucap Marvin dengan pandangan yang lurus ke depan. “Apa yang bisa membuat Arzen luluh? Maksudku—dia yang tak menyukaiku terlihat jelas dari tatapan mata dan wajahnya. Hal apa yang bisa membuatnya berdamai denganku?”Ayesha mengangkat bahu acuh tak acuh. “I don't know,” sahutnya. Karena