Hanan kembali ke rumah, disambut tatapan penuh selidik sang ibu yang berdiri di depan pintu.
“Dengan siapa kamu bicara?”
“Tetangga baru, Ma.”
“Cantik,” ucap Helen—ibunya.
“Memang cantik, Ma.” Hanan menjawab dengan senyum lebar justru membuat Helen curiga.
“Tapi cantik saja tidak akan cukup untuk menjadi calon istri kamu, Han. Wanita yang masuk ke keluarga kita harusnya sederajat, cerdas dan bisa mendampingi kamu.” Helen kembali mengingatkan kriteria calon istri yang bagi Hanan sebenarnya tidak terlalu penting.
“Aku sudah dewasa, Ma. Biarkan aku memilih calon istri sendiri sesuai yang kumau.”
“Jangan membantah, Han.”
“Aku menyukainya, Ma.”
“Dari keluarga mana? Apa pekerjaan, pendidikan dan statusnya?” tanya Helen beruntun.
“Dia dari New York. Kerja di salah
Yuk, komen sebanyak-banyaknya biar aku semangat update ❤️🤗
Helen dilarikan ke rumah sakit karena pendarahan di kepala lumayan banyak hingga tak sadarkan diri.Ayesha berjalan mondar-mandir di ruang tamu dengan perasaan cemas, takut terjadi sesuatu hal buruk pada kondisi wanita paruh baya tersebut. Sementara Arzen masih belum bisa mengendalikan emosinya dengan baik karena sampai saat ini ia tak menunjukkan raut apa pun.“Sudahlah, Mom. Tidak perlu cemas pada orang tua itu, aku tak melakukan kesalahan. Ini adalah pembelaan.” Arzen melirik ibunya sedikit.“Tapi bukan dengan cara kekerasan, Zen. Kamu bisa membuat nyawanya dalam bahaya.”“Bahkan aku rela membunuh seseorang yang berani menghinamu, Mom.” Sontak ucapan Arzen membuat Ayesha terkejut, tubuhnya menegang beberapa detik.“Bicara apa kamu. Jangan bicara sembarangan. Mommy tak pernah mengajarimu seperti ini, Zen.”&ld
“Ayesha, aku tidak tahu—”Wanita berhijab merah maroon itu langsung memukuli Hanan yang baru saja mendekat. Tanpa mau mendengar penjelasan apa pun walau hanya sepatah kata.“Ini semua gara-gara kamu, andai kamu tak mendekati kami dan mendengarkan ucapanku, ini semua tak akan terjadi,” teriak Ayesha keras.“Aku minta maaf,” ujar Hanan lirih.“Menjauh dari hidupku jika kamu benar-benar ingin membuat kami terbebas dari masalah.”“Aku mencintaimu, Ayesha.”“Tapi perasaanmu membuatku dalam masalah!”Marvin segera mendekat dan melerai keduanya. Saat ini bukan waktu yang tepat untuk berdebat.Tangis Ayesha seketika pecah, sudah hampir satu jam menunggu tetapi Arzen belum keluar juga. Sang anak didampingi pengacara yang didatangkan oleh Marvin. Awal
Keesokan paginya sesuai janji, Marvin sudah menunggu di depan rumah untuk menjemput Ayesha. Sebelum berangkat ke kantor, mereka mengantarkan Arzen ke sekolah lebih dulu.“Maafkan sikap Arzen yang dingin,” ucap Ayesha setelah sang putra turun dari mobil.“Aku paham.” Marvin tersenyum hingga wajahnya terlihat begitu teduh.Ayesha memilih memalingkan wajah, tiba-tiba dadanya terasa sesak karena terus berdebar dengan keras. Tanpa sadar tangannya mengusap dada pelan, membuat Marvin yang ada di sebelah mengernyit heran.“Kamu kenapa?”“Nothing.”Ayesha meminta diturunkan seratus meter sebelum sampai di kantor, ia tak mau ada gosip lagi yang membuat namanya buruk.“Tidak akan ada yang akan membicarakanmu, Ayesha.”“Tepatnya belum, karena kompor meleduk tidak a
Setelah sedikit perdebatan antara dua wanita itu, Marvin meminta Vanya untuk masuk ke dalam ruangan. Sepertinya kali ini ia harus benar-benar tegas bersikap pada wanita itu. “Aku hanya tak ingin nama perusahaan ini jelek karena skandalnya, Marvin.” “Skandal apa? Jangan bicara sembarangan tanpa bukti, Vanya. Aku sudah terlalu lama paham siapa dirimu, tapi sekarang tidak lagi. Segera kemas barangmu dan keluar dari sini, kamu bukan lagi sekretarisku,” kata Marvin, datar dan dingin. “Kamu memecatku hanya karena wanita pelacur itu?” Vanya menatap tak habis pikir. “Vanya Geraldi!” sentak Marvin, bahkan sampai berdiri dari duduknya karena marah. “Kamu selalu membuat masalah di sini,” sambungnya. “Aku hanya menyelamatkan kamu dan perusahaan dari suatu yang tidak baik.” “Apa kamu pikir dirimu sudah baik?” “Seti
“Berhenti menatapku seperti itu,” ucap Ayesha yang tengah menyiapkan makanan, yang dipesan beberapa waktu yang lalu. Ia memang tidak melihat langsung lelaki itu menatapnya, tetapi sadar dengan situasi.Mereka terpaksa harus makan malam di kantor sebab pekerjaan belum selesai.“Sudah bicara dengan Arzen kalau kamu lembur?”“Sudah.”“Apa tanggapannya?”“Tidak ada, memangnya apa yang harus dikomentari. Lembur ‘kan bagian dari pekerjaan.”“Aku mau tanya,” ucap Marvin dengan pandangan yang lurus ke depan. “Apa yang bisa membuat Arzen luluh? Maksudku—dia yang tak menyukaiku terlihat jelas dari tatapan mata dan wajahnya. Hal apa yang bisa membuatnya berdamai denganku?”Ayesha mengangkat bahu acuh tak acuh. “I don't know,” sahutnya. Karena
Marvin kembali ke Jakarta karena desakan orang tuanya, akibat Vanya yang mengadu sesuatu yang tidak benar.“Ma, dia memang janda. Tapi, dia janda terhormat. Bukan seperti apa yang dikatakan Vanya,” bela Marvin.“Tapi Vanya juga tidak mungkin berbohong,” ucap Claudia—sang ibu.“Lalu apa mama pikir aku akan berbohong?”“Siapa dia?”“Bulan,” ucap Marvin tiba-tiba.“Gila kamu ya! Bulan sudah tiada, Vin. Kenapa kamu tak bisa melupakannya?”Kabar meninggalkannya Bulan bertahun-tahun yang lalu, bukan hanya meninggalkan duka bagi keluarga, tetapi juga bagi Marvin yang kala itu masih menaruh harap penuh bahwa wanita itu akan bahagia.Namun kenyataan menyakitkan justru diterima, bahwa wanita itu tak pernah benar-benar bahagia.&nb
Ayesha menjalani hari seperti biasa, tetapi tak ada Marvin membuatnya merasakan sesuatu perasaan kosong. Sesuatu yang hilang, ada sepercik rindu yang menyelimuti.Namun, ia sudah berjanji pada sang anak bahwa tak akan ada lelaki lain dalam kehidupan mereka kecuali sang ayah. Maka ia hanya bisa menahan segala rasa yang membuat dada terasa sesak.Sudah hampir sebulan ia benar-benar tak melihat lelaki itu. Lelaki itu menepati janji untuk tak muncul di depannya, untuk memberinya ruang dan waktu.Marvin, mengingat sosok itu membuat tiba-tiba matanya memanas. Dulu, dia tak berjodoh dengan lelaki itu karena hubungan mereka dari masa lalu telah usai. Kini, saat masa depan itu sudah berubah, ternyata Tuhan masih tak mengizinkannya bahagia.“Sayang kita tidak berjodoh.”“Kalau begitu, tak tunggu jandamu saja.”“Kurang ajar! Beraninya kamu doain aku jelek, ya.”Kilasan masa lalu itu muncul, membuat seulas senyum pedih di bibirnya t
Ini pertemuan pertama mereka setelah sebulan penuh tidak bertemu. Ayesha tampak gugup ketika lelaki itu berjalan semakin mendekat. Ia segera bangun dan menyapa dengan seulas senyum sopan.“Selamat pagi, Tuan Marvin,” sapanya sopan, kepalanya sedikit menunduk.Lelaki itu masih berdiam tepat di depannya. Pandangan mata yang begitu tajam membuat Ayesha kesulitan mengendalikan diri. Perasaan gugup menyerbu dada, menekan dan membuat degup jantungnya tak beraturan.“Apa yang Anda butuhkan, Tuan?”“Kamu!” jawab lelaki itu tegas.Ayesha mendongak, seketika tatapan keduanya bertemu. Namun segera ia berpaling dan menghela napas pelan.“Bagaimana rasanya setelah satu bulan tak bertemu?”“Biasa saja, Tuan.”“Aku tanya tentang hatimu, Ayesha.”“Tidak ada perasaan apa pun yang saya rasakan, jika itu yang ingin Anda tahu.”“Kamu pembohong,” gumam lelaki itu, segera melangkah masuk ke ruangan tanpa menoleh lag