“Untuk apa kamu di sini malam-malam, Tuan Hanan?” Ayesha menyilangkan kedua tangan dengan tatapan penuh selidik.
“Maaf, Nona Ayesha. Kamu adalah tetangga baru, sebagai warga yang baik, aku ingin mengirimkan bingkisan sebagai tanda perkenalan.”
Ayesha tampak terkejut. Dia di sini sudah berminggu-minggu dan sudah beberapa tetangga dekat dikunjungi, tetapi tak tahu bahwa lelaki ini adalah tetangganya juga.
‘Rumahnya di mana?’ batinnya bertanya-tanya heran.
“Rumahku tepat di sebelah kanan,” ucapnya memberitahu.
“Terima kasih,” ucap Ayesha, menerima bingkisan kue kering yang dibawa lelaki itu.
“Bagaimana kabar Arzen?”
“Dia lagi demam. Sekarang sudah tidur.”
“Mungkin dia terkejut sekaligus syok. Sudah di bawa ke rumah sakit?”
Sudah satu bulan Ayesha bekerja di perusahaan milik Marvin dan mulai terbiasa dengan segala cercaan dan omelan dari Vanya. Seperti biasanya ia lebih memilih diam daripada ribut atau sekadar menanggapi.Tak akan ada habisnya, ia yang masih waras lebih baik mengalah. Karena ia lebih suka kedamaian dan ketenangan.“Ayesha.”Mobil sport hitam berhenti tepat di depannya yang masih menunggu taksi. Kebetulan pagi tadi ia memang tidak membawa mobil karena sedikit ngantuk dan takut terjadi sesuatu di jalan.Marvin membuka kaca mobil dan berniat memberinya tumpangan.“Tidak perlu, Tuan. Terima kasih, saya nunggu taksi saja.” Kebetulan ia sedikit harus pulang telat karena ada pekerjaan yang belum selesai karena Vanya tidak masuk beberapa hari.“Masuklah. Ini sudah larut, tidak baik jam segini kamu masih di jalan. Aku akan mengantarmu.&rdquo
Langit biru nampak begitu cerah. Matahari sudah mulai meninggi saat Ayesha dan Arzen dalam perjalanan menuju salah satu pusat perbelanjaan.Sesampainya di sana mereka berkeliling, memasuki satu toko ke toko yang lain dan memilih beberapa barang, baik pakaian, tas dan juga sepatu. Ayesha tak melarang, ia hanya mengingatkan untuk mengambil seperlunya saja.Berkeliling hampir satu jam, akhirnya mereka singgah di toko buku. Arzen meminta untuk membeli beberapa buku bacaan tentang sejarah dan fisika, sementara Ayesha langsung menuju deretan novel.“Ayesha,” panggil seseorang membuatnya menoleh.“Hai, Marvin,” sapa Ayesha menutupi keterkejutan di wajah dengan senyum tipis.“Sedang apa?”“Ngantar anakku beli buku. Kamu sendiri sama siapa di sini?” tanya Ayesha basa-basi.“Sama, ngantar anak b
Cukup lama keduanya hanya diam. Ayesha juga tak tahu harus memulai dari mana. Sebenarnya ada yang ingin ditanyakan, bagaimana lelaki itu tahu bahwa ia ada di rooftop. Suara berdeham lelaki itu berhasil membuatnya menoleh. “Ada yang ingin kutanyakan.” “Tanyakan saja, Marvin.” Mendengar jawabannya lelaki itu justru mendengkus pelan. “Kenapa kamu selalu menghindar? Apa kehadiranku membuatmu tidak nyaman?” Marvin menoleh dan sepenuhnya bisa menatap wajah cantik wanita berhijab yang menundukkan kepala. “Kedekatan kita, bisa menimbulkan salah paham.” Alis Marvin menukik tajam. “Shalimar, putriku satu-satunya. Bulan depan usianya tujuh tahun. Mamanya sudah meninggal saat melahirkan dan meninggalkan aku dengan status duda.” Marvin tampak berkaca-kaca saat mengatakannya. Ada seulas senyum pedih yang tergambar dari sorot matanya.
Hanan kembali ke rumah, disambut tatapan penuh selidik sang ibu yang berdiri di depan pintu. “Dengan siapa kamu bicara?” “Tetangga baru, Ma.” “Cantik,” ucap Helen—ibunya. “Memang cantik, Ma.” Hanan menjawab dengan senyum lebar justru membuat Helen curiga. “Tapi cantik saja tidak akan cukup untuk menjadi calon istri kamu, Han. Wanita yang masuk ke keluarga kita harusnya sederajat, cerdas dan bisa mendampingi kamu.” Helen kembali mengingatkan kriteria calon istri yang bagi Hanan sebenarnya tidak terlalu penting. “Aku sudah dewasa, Ma. Biarkan aku memilih calon istri sendiri sesuai yang kumau.” “Jangan membantah, Han.” “Aku menyukainya, Ma.” “Dari keluarga mana? Apa pekerjaan, pendidikan dan statusnya?” tanya Helen beruntun. “Dia dari New York. Kerja di salah
Helen dilarikan ke rumah sakit karena pendarahan di kepala lumayan banyak hingga tak sadarkan diri.Ayesha berjalan mondar-mandir di ruang tamu dengan perasaan cemas, takut terjadi sesuatu hal buruk pada kondisi wanita paruh baya tersebut. Sementara Arzen masih belum bisa mengendalikan emosinya dengan baik karena sampai saat ini ia tak menunjukkan raut apa pun.“Sudahlah, Mom. Tidak perlu cemas pada orang tua itu, aku tak melakukan kesalahan. Ini adalah pembelaan.” Arzen melirik ibunya sedikit.“Tapi bukan dengan cara kekerasan, Zen. Kamu bisa membuat nyawanya dalam bahaya.”“Bahkan aku rela membunuh seseorang yang berani menghinamu, Mom.” Sontak ucapan Arzen membuat Ayesha terkejut, tubuhnya menegang beberapa detik.“Bicara apa kamu. Jangan bicara sembarangan. Mommy tak pernah mengajarimu seperti ini, Zen.”&ld
“Ayesha, aku tidak tahu—”Wanita berhijab merah maroon itu langsung memukuli Hanan yang baru saja mendekat. Tanpa mau mendengar penjelasan apa pun walau hanya sepatah kata.“Ini semua gara-gara kamu, andai kamu tak mendekati kami dan mendengarkan ucapanku, ini semua tak akan terjadi,” teriak Ayesha keras.“Aku minta maaf,” ujar Hanan lirih.“Menjauh dari hidupku jika kamu benar-benar ingin membuat kami terbebas dari masalah.”“Aku mencintaimu, Ayesha.”“Tapi perasaanmu membuatku dalam masalah!”Marvin segera mendekat dan melerai keduanya. Saat ini bukan waktu yang tepat untuk berdebat.Tangis Ayesha seketika pecah, sudah hampir satu jam menunggu tetapi Arzen belum keluar juga. Sang anak didampingi pengacara yang didatangkan oleh Marvin. Awal
Keesokan paginya sesuai janji, Marvin sudah menunggu di depan rumah untuk menjemput Ayesha. Sebelum berangkat ke kantor, mereka mengantarkan Arzen ke sekolah lebih dulu.“Maafkan sikap Arzen yang dingin,” ucap Ayesha setelah sang putra turun dari mobil.“Aku paham.” Marvin tersenyum hingga wajahnya terlihat begitu teduh.Ayesha memilih memalingkan wajah, tiba-tiba dadanya terasa sesak karena terus berdebar dengan keras. Tanpa sadar tangannya mengusap dada pelan, membuat Marvin yang ada di sebelah mengernyit heran.“Kamu kenapa?”“Nothing.”Ayesha meminta diturunkan seratus meter sebelum sampai di kantor, ia tak mau ada gosip lagi yang membuat namanya buruk.“Tidak akan ada yang akan membicarakanmu, Ayesha.”“Tepatnya belum, karena kompor meleduk tidak a
Setelah sedikit perdebatan antara dua wanita itu, Marvin meminta Vanya untuk masuk ke dalam ruangan. Sepertinya kali ini ia harus benar-benar tegas bersikap pada wanita itu. “Aku hanya tak ingin nama perusahaan ini jelek karena skandalnya, Marvin.” “Skandal apa? Jangan bicara sembarangan tanpa bukti, Vanya. Aku sudah terlalu lama paham siapa dirimu, tapi sekarang tidak lagi. Segera kemas barangmu dan keluar dari sini, kamu bukan lagi sekretarisku,” kata Marvin, datar dan dingin. “Kamu memecatku hanya karena wanita pelacur itu?” Vanya menatap tak habis pikir. “Vanya Geraldi!” sentak Marvin, bahkan sampai berdiri dari duduknya karena marah. “Kamu selalu membuat masalah di sini,” sambungnya. “Aku hanya menyelamatkan kamu dan perusahaan dari suatu yang tidak baik.” “Apa kamu pikir dirimu sudah baik?” “Seti
“Ternyata suamiku ini memiliki banyak pengagum. Bahkan ada yang melamar meski sudah tahu jika sudah memilki istri. Apakah aku harus bersyukur atau justru takut, ya. Bagaimana menurutmu, Mas?” sindir Ayesha.“Aku benar-benar tidak mengenal mereka. Tiba-tiba datang dan melamar begitu saja.” Meski sama-sama bergelut dalam dunia bisnis, sepertinya Alfan tak begitu mengenal pasangan suami istri tersebut. Mungkin karena ia baru melebarkan sayapnya di kota ini atau bagaimana, yang pasti wajah mereka tak terlalu populer hingga Alfan dengan mudah mengenalinya.“Mereka bahkan menawarimu sebuah perusahaan dan akan memastikan seluruh bisnismu akan maju. Tawaran yang menggiurkan. Apa wanita itu cantik?” kata Ayesha. Ia mendengus jengkel meski kedua orang tamu tidak tahu diri itu sudah meninggalkan ruangan.“Putri mereka yang mana saja aku pun juga tidak tahu. Benar-benar aneh,” bantah Alfan.“Jika putrinya menyukaimu sejak pandangan pertama artinya pernah ada interaksi di antara kalian, Mas. Kamu
Setelah beberapa minggu berlalu, akhirnya berita tentangnya dan sang suami mereda dan tergantikan oleh berita panas lainnya.Butiknya telah kembali buka. Bahkan kini lebih banyak pengunjung yang datang dari kalangan pejabat dan beberapa istri-istri pengusaha.Tentu saja mereka bukan hanya datang karena sekadar tertarik dengan rancangan pakaiannya. Namun, beberapa dari mereka ada yang mencoba menjalin pertemanan.Entah itu benar-benar tulus atau menginginkan hal lain.Beberapa kali juga ia mendapatkan undangan untuk masuk ke dalam group sosialita.Ayesha hanya menanggapinya dengan senyum tipis seperti biasa.Setelah ujian selalu ada kebahagiaan. Tidak akan ada kehidupan yang akan berjalan lurus dan mulus. Selalu ada rintangan dan halangan.Begitulah kehidupan.Ayesha yang baru saja mengambil air dari dapur, tidak sengaja mendengar suara Dewi yang sedang berbicara dengan seseorang melalui ponsel. Ia menajamkan pendengaran untuk mengetahui isi obrolan tersebut. Namun, saat berjalan mende
Keesokan paginya berita tentang kejadian semalam membuat namanya dan nama butiknya terseret dalam berita surat kabar.Saat membacanya Ayesha masih bisa bernapas lega karena apa yang terjadi padanya tidak sampai terekspos keluar. Bukan karena tidak ingin nama baiknya hancur, kini ia kembali menyandang nama Herlambang yang membuatnya harus menjaga nama baik suaminya juga.Alfan mengusap bahunya lembut dan mengatakan kalimat yang menenangkan, bahwa semuanya akan baik-baik saja.“Mom, kudengar semalam mommy keluar. Ke mana?” tanya Arzen duduk di meja makan.Remaja itu sama sekali tidak tahu bahwa ada polisi yang menghampiri ke rumah mereka. Karena kebiasaan Arzen memang setelah masuk kamar, ia jarang keluar jika tidak perlu sesuatu.“Ya, mommy ada urusan.”“Are you okay, Mom?”“Sure, Son.” Melemparkan senyum tipis yang tulus.“Kamu tidak perlu cemas. Berita itu tidak akan keluar,” bisik Alfan pelan.“Aku ha
Hi, boleh absen dong yang masih setia baca cerita ini? Komen di setiap bab agar aku tahu bahwa kalian masih ada di sini. Makasih.♡♡♡“Maaf, Nyonya. Di bawah ada polisi yang ingin bertemu Anda.”Polisi, batinnya bertanya-tanya.“Ya, bilang saja suruh tunggu sebentar. Aku ganti baju dulu,” kata Ayesha segera masuk kamar dan mengganti pakaian.Saat ia turun ke ruang tamu, benar ada dua polisi yang sudah menunggunya.“Selamat malam, Nyonya. Maaf jika kedatangan kami mengganggu Anda. Kami dari Polresta Denpasar mendapat surat perintah penggeledahan butik Anda untuk melengkapi bukti bahwa saudari Clara Adelin terlibat dalam kasus peredaran dan penjualan narkoba jenis sabu.”Deg!Jantung Ayesha berdebar dengan sangat keras. Ia terkejut sekaligus syok dengan apa yang baru saja didengar.“Maaf, Pak polisi. Izinkan saya bertanya lebih dulu.”Ia menarik napas panjang dan mengembuskannya pe
Sebelum berangkat ia telah menghubungi suaminya dan meminta alamat kantor yang sampai saat ini belum diketahui.Mobil melaju dengan kecepatan sedang, diiringi suara musik dari penyanyi favoritnya.Tidak sampai tiga puluh menit mobil yang dikendarai tiba di sebuah gedung tinggi bertuliskan HM Group. Ayesha segera memarkirkan mobilnya di basement dan menuju resepsionis.“Ruangan Tuan Alfan Fatih Herlambang di mana, ya?” tanya Ayesha sopan.“Maaf, apa Anda sudah membuat janji?” tanya wanita itu dengan ramah.“Apa seorang istri perlu membuat janji untuk bertemu suaminya?” Ayesha tersenyum, tetapi kata-katanya menegaskan bahwa ia adalah istrinya.“Ah, maaf. Anda Nyonya Ayesha.” Wanita itu menunduk dan meminta maaf berkali-kali.“Mari saya antar ke ruangan beliau,” ucapnya kemudian mengarahkannya menuju lift khusus.Suara denting lift menandakan mereka telah sampai di lantai yang dituju. Lantai sepuluh, gedung teratas
Langit gelap telah berganti terang. Matahari mulai tampak malu-malu menunjukkan sinarnya.Cuaca yang masih terasa dingin membuat dua sosok lelaki di ruangan yang berbeda kembali menggulung dirinya di dalam selimut tebal yang menghangatkan.Setelah urusan dapur usai, Ayesha bergegas naik ke lantai dua dan membangunkan sang anak. Beberapa kali remaja itu menggeliat dan bergumam, tetapi tak juga membuka mata.Ayesha yang kesal langsung menarik selimutnya dengan kasar dan membuka tirai. Membiarkan cahaya pagi menembus jendela dan mengusik si pemilik kamar.“Zen! Bangun! Mommy akan menyirammu dengan air jika kamu tidak segera bangun,” ancam Ayesha dengan suara rendah.“Oh, Mommy!” keluhnya dengan suara serak. Manik cokelat itu akhirnya mengerjap, menyesuaikan diri dengan cahaya sebelum akhirnya terbuka.“Sudah. Aku bangun,” lanjutnya, ia masih duduk di tepi ranjang. Menyahut segelas air di atas nakas dan meneguknya hingga tandas. Matanya menoleh ke arah jam dinding dan terkejut saat menyad
Empat hari kemudian, mereka resmi pindah ke rumah Alfan. Lelaki itu hanya meminta anak dan istrinya membawa pakaian dan surat-surat penting lainnya.Nena juga ikut serta bersama mereka. Sebab, Ayesha sudah menganggap wanita itu seperti saudarinya.Setelah hampir dua jam merapikan kamar, Ayesha memilih merebahkan tubuhnya di ranjang. Pindahan memang membutuhkan tenaga ekstra.Alfan yang baru masuk kamar bertanya, “Sudah selesai?”“Belum. Ruang ganti masih berantakan, aku lelah sekali.”Ayesha memang tidak mau dibantu asisten untuk merapikan kamar dan ruang ganti. Ia ingin merapikannya sendiri agar tahu di mana letak ia menyimpan barang-barangnya.Alfan berjalan ke ruang ganti dan melihatnya. Memang masih sangat berantakan, beberapa koper masih teronggok dengan isi yang sudah carut marut.“Istirahat saja. Masih ada waktu besok lagi, jangan memaksakan diri.”Ayesha mengangguk. “Aku tahu. Kamar Arzen sudah selesai?”“Sudah. Nena sedang merapikannya.”Beberapa hari yang lalu Alfan sudah ke
Seminggu telah berlalu dengan cepat. Hari ini menjadi perpisahan antara Ayesha dan kedua orang tuanya.Mereka mengantar keduanya sampai di bandara. Bahkan Arzen turut libur sekolah karena ingin mengantarkan oma dan grandpa kesayangannya.Isak tangis Ayesha sudah terdengar sejak mereka dalam perjalanan. Kini, semakin keras suara tangis itu saat kedua orang tuanya semakin tak terlihat lagi dalam pandangan.Alfan merengkuh tubuh sang istri dan mencoba menenangkannya. Setelah keadaannya berangsur tenang mereka meninggalkan bandara.“Mau mampir ke suatu tempat dulu?” tanya Alfan.“Langsung pulang saja,” balas Ayesha pelan, tak bersemangat.“Zen?” Menatap sang putra melalui kaca mobil. Remaja itu juga tampak tak bersemangat.“Ya, Dad.” Tatapannya kembali mengarah ke luar.Setelah sampai di rumah. Ibu dan anak itu mengurung diri di kamar sampai melewatkan makan malam.Alfan yang ada di meja makan sendirian menjadi tidak tenang. Ia meminta Nena menyiapkan makanan untuk dibawa ke kamar anak da
Masuk ke kamar sepasang suami istri itu kembali melanjutkan kegiatan yang tertunda. Kembali menyelami nikmatnya surga dunia. Mencapai nirwana tertinggi di iringi deru napas yang memburu.Dingin di luar sana sama sekali tak mendinginkan keduanya. Justru semakin memanas, bagaikan kobaran api yang baru saja disiram bensin.Membara.Peluh menetes, menjadi saksi betapa bersemangatnya mereka. Kerinduan, kasih sayang, gairah, semuanya melebur menjadi satu.Entah sudah berapa lama mereka melakukannya, Ayesha bahkan sampai tak bisa bernapas dengan lega karena terus-menerus dihabisi oleh sang suami.“Sudah, Mas. Aku lelah,” ucap Ayesha dengan suara lemah.Umur yang hampir menyentuh kepala empat sama sekali tak membuat Alfan melunak sedikit pun.Ingatan tentang saat pertama kali lelaki itu menjamah dirinya terlintas. Betapa buas dan sama sekali tak menahan diri.“Tahan sebentar lagi, Sayang,” bisik Alfan, mengecup lembut pelipis sang istri.Suara erangan panjang menjadi penutup kegiatan malam it