“Mam, aku dan Zen akan kembali ke Indonesia,” ucap wanita berhijab yang wajahnya kini terlihat sangat dewasa.
Kedua orang tuanya terlihat terkejut dengan keputusan yang diambil.
“Untuk apalagi? Kehidupan kita di sini sudah lebih baik. Tak perlu kamu kembali ke sana jika hanya untuk kembali menyakiti diri.” Sang ayah menolak dengan tegas, wajahnya menunjukkan penolakan yang begitu kentara.
“Aku hanya ingin hidup mandiri bersama dengan Zen. Aku akan tinggal di Bali.”
“Sudahlah, Ayesha. Apa kurangnya kamu tinggal di sini? Kamu sudah memulai segalanya di tempat ini, kenapa harus terbayang-bayang masa lalu.”
Meninggalkan semua yang dimiliki di Indonesia, nyatanya tak membuat keluarga Latief jatuh bangkrut.
“Papi, aku sudah melupakan masa lalu!”
Ayesha Permata Shandy, ya itulah i
Indonesia.Sebuah rumah mewah yang ada di daerah Seminyak—Bali, menjadi pilihan. Rumah dua lantai ini dibeli beberapa waktu yang lalu sebelum mereka terbang ke sini.Akad jual beli semuanya dilakukan oleh pengacara bersama notaris dan sudah resmi atas nama Arzen.Rumah ini sudah dilengkapi isinya. Memiliki tiga kamar tidur yang luas, ruang tamu, ruang keluarga, dapur, bar, dan kolam renang. Semua perabotan dan dekor sudah sangat sesuai dengan permintaan Ayesha, perpaduan warna gold dan putih.Di beberapa bagian diletakkan tanaman-tanaman hijau yang menyegarkan. Rumah ini terlihat mewah, nyaman dan yang pasti terletak di tempat yang strategis.Menurut Ayesha konsep rumah ini lebih seperti sebuah villa.“Gimana rumah baru kita? Zen pasti suka tinggal di sini, dekat pantai dan beberapa tempat wisata.” Ayesha menatap putranya setelah mereka berk
Sudah seminggu mereka tinggal di sini. Ayesha sedang mempersiapkan segala kebutuhan sang anak untuk mendaftar di junior high school.Beberapa waktu yang lalu dia juga sudah mengirimkan lamaran pekerjaan di beberapa perusahaan. Tinggal menunggu hasil akhir, mana yang lebih dulu memiliki peluang.Pagi itu Ayesha sudah rapi dan cantik. Pakaian dan hijab dengan warna dusty pink membuatnya terlihat manis. Wajahnya tak berubah walau sudah termakan usia.Ngomong-ngomong, usianya sekarang sudah 38 tahun. Namun wajahnya masih tetap terlihat muda dan tak ada kerutan yang terlihat.Ibu tunggal dengan anak bujang berusia 12 tahun itu jika berjalan lebih mirip kakak adik. Bahkan beberapa kali ada yang mengira bahwa Ayesha adalah wanita lajang.“Zen, temani mom pergi yuk.” Ayesha menghampiri sang anak yang masih ada di kolam renang.“Mau ke mana lagi, Mom
Sore harinya Nena mengetuk pintu kamar majikannya dengan keras. Bukan Ayesha yang muncul justru Arzen dari kamar sebelah yang keluar.“Ada apa Nena?” tanya Arzen, mengabaikan peringatan sang ibu yang memintanya memanggil dengan sebutan ‘Mbak’.“Ada mobil datang.”“Mommy mana?”“Ketiduran mungkin. Sudah diketuk beberapa kali tapi tak ada sahutan.”Arzen memanggil sang ibu, karena tak ada sahutan dia langsung membuka pintu kamar dengan pelan.Pemandangan pertama yang dilihat adalah seseorang yang masih salat. Arzen menunduk dan menutup kamar lagi dengan pelan.“Mommy masih salat. Bilang aja suruh nunggu sebentar,” ucap Arzen segera masuk kamar.Lima belas menit kemudian Ayesha keluar dari kamar dan memasang hijab asal di kepalanya.&nbs
Jantung kedua orang yang ada di ruangan tersebut berdetak dengan keras seolah tengah berlomba. Hamid sudah keluar beberapa menit yang lalu, meninggalkan dua orang yang kini sama-sama terkejut. “Bulan,” lirih lelaki itu dengan bibir bergetar. Ayesha merasakan tubuhnya hampir saja limbung andai tak menyadari posisinya saat ini. Sekuat tenaga ia mendongak untuk menatap lelaki yang kini tengah menyorot dengan tatapan yang sulit diartikan. “Maaf, Tuan. Nama saya Ayesha.” Meyakinkan dengan wajah yang dibuat bingung. “Bulan,” panggil lelaki itu seperti tak mendengar ucapan Ayesha. “Tuan.” “Tuan!” Akhirnya Ayesha memanggil lelaki itu dengan sedikit keras, membuatnya sadar dan mengerjapkan mata beberapa kali. “Maaf, wajahmu mirip seseorang.” Ayesha tersenyum tipis.
Waktu sudah menunjukan pukul empat sore saat Ayesha baru sampai di rumah setelah mampir ke sebuah toko kue yang ada di dekat kantor. Makanan manis adalah kesukaan putranya, ia tak mungkin melupakan itu. Keningnya heran ketika mendapati ada mobil yang terparkir di depan rumahnya. ‘Tamu? Siapa?’ Ayesha bergegas masuk dan seketika matanya membulat saat mendapati kondisi putranya yang mengalami luka-luka di beberapa bagian. “Kamu kenapa bisa begini, Zen. Bilang sama mommy, siapa yang melakukan ini!” seru Ayesha, memindai seluruh tubuh sang anak dari atas sampai bawah hingga tak menyadari bahwa ada sesosok lelaki yang menatapnya. “Jatuh, Mom. Motorku menabrak mobil om Hanan yang kebetulan sedang parkir,” jawab Arzen terlihat menunduk. “Om Hanan siapa?” “Itu orangnya ada di belakang mommy,” sahut Arzen pelan.
Hari pertama bekerja, Ayesha sudah dibuat kesal oleh perintah-perintah yang dilakukan Vanya—sekretaris satu yang ternyata adalah adik ipar dari pimpinan perusahaan. Namun karena Ayesha baru pertama ia hanya bisa sabar dan menghela napas berkali-kali untuk meredakan segala kekesalan yang dirasa. “Jangan bengong aja, kerjakan yang benar. Sebagai sekretaris dua kamu harus bantu pekerjaanku dengan baik.” “Baik, Nona.” Hanya itu yang keluar dari bibirnya sepanjang ia mendapatkan banyak omelan dari wanita yang bersikap bossy tersebut. Bahkan saat ia sibuk mengerjakan tugas yang diberikan, justru wanita itu dengan bermain ponsel bahkan terkekeh dengan suara yang cukup terdengar mengganggu. “Ini sudah selesai, Nona Vanya. Apa perlu aku juga yang mengantarkannya ke ruangan Tuan Marvin?” tanya Ayesha dengan penuh penekanan. Vanya memelototi sebelum bangkit
“Untuk apa kamu di sini malam-malam, Tuan Hanan?” Ayesha menyilangkan kedua tangan dengan tatapan penuh selidik.“Maaf, Nona Ayesha. Kamu adalah tetangga baru, sebagai warga yang baik, aku ingin mengirimkan bingkisan sebagai tanda perkenalan.”Ayesha tampak terkejut. Dia di sini sudah berminggu-minggu dan sudah beberapa tetangga dekat dikunjungi, tetapi tak tahu bahwa lelaki ini adalah tetangganya juga.‘Rumahnya di mana?’ batinnya bertanya-tanya heran.“Rumahku tepat di sebelah kanan,” ucapnya memberitahu.“Terima kasih,” ucap Ayesha, menerima bingkisan kue kering yang dibawa lelaki itu.“Bagaimana kabar Arzen?”“Dia lagi demam. Sekarang sudah tidur.”“Mungkin dia terkejut sekaligus syok. Sudah di bawa ke rumah sakit?”
Sudah satu bulan Ayesha bekerja di perusahaan milik Marvin dan mulai terbiasa dengan segala cercaan dan omelan dari Vanya. Seperti biasanya ia lebih memilih diam daripada ribut atau sekadar menanggapi.Tak akan ada habisnya, ia yang masih waras lebih baik mengalah. Karena ia lebih suka kedamaian dan ketenangan.“Ayesha.”Mobil sport hitam berhenti tepat di depannya yang masih menunggu taksi. Kebetulan pagi tadi ia memang tidak membawa mobil karena sedikit ngantuk dan takut terjadi sesuatu di jalan.Marvin membuka kaca mobil dan berniat memberinya tumpangan.“Tidak perlu, Tuan. Terima kasih, saya nunggu taksi saja.” Kebetulan ia sedikit harus pulang telat karena ada pekerjaan yang belum selesai karena Vanya tidak masuk beberapa hari.“Masuklah. Ini sudah larut, tidak baik jam segini kamu masih di jalan. Aku akan mengantarmu.&rdquo
“Ternyata suamiku ini memiliki banyak pengagum. Bahkan ada yang melamar meski sudah tahu jika sudah memilki istri. Apakah aku harus bersyukur atau justru takut, ya. Bagaimana menurutmu, Mas?” sindir Ayesha.“Aku benar-benar tidak mengenal mereka. Tiba-tiba datang dan melamar begitu saja.” Meski sama-sama bergelut dalam dunia bisnis, sepertinya Alfan tak begitu mengenal pasangan suami istri tersebut. Mungkin karena ia baru melebarkan sayapnya di kota ini atau bagaimana, yang pasti wajah mereka tak terlalu populer hingga Alfan dengan mudah mengenalinya.“Mereka bahkan menawarimu sebuah perusahaan dan akan memastikan seluruh bisnismu akan maju. Tawaran yang menggiurkan. Apa wanita itu cantik?” kata Ayesha. Ia mendengus jengkel meski kedua orang tamu tidak tahu diri itu sudah meninggalkan ruangan.“Putri mereka yang mana saja aku pun juga tidak tahu. Benar-benar aneh,” bantah Alfan.“Jika putrinya menyukaimu sejak pandangan pertama artinya pernah ada interaksi di antara kalian, Mas. Kamu
Setelah beberapa minggu berlalu, akhirnya berita tentangnya dan sang suami mereda dan tergantikan oleh berita panas lainnya.Butiknya telah kembali buka. Bahkan kini lebih banyak pengunjung yang datang dari kalangan pejabat dan beberapa istri-istri pengusaha.Tentu saja mereka bukan hanya datang karena sekadar tertarik dengan rancangan pakaiannya. Namun, beberapa dari mereka ada yang mencoba menjalin pertemanan.Entah itu benar-benar tulus atau menginginkan hal lain.Beberapa kali juga ia mendapatkan undangan untuk masuk ke dalam group sosialita.Ayesha hanya menanggapinya dengan senyum tipis seperti biasa.Setelah ujian selalu ada kebahagiaan. Tidak akan ada kehidupan yang akan berjalan lurus dan mulus. Selalu ada rintangan dan halangan.Begitulah kehidupan.Ayesha yang baru saja mengambil air dari dapur, tidak sengaja mendengar suara Dewi yang sedang berbicara dengan seseorang melalui ponsel. Ia menajamkan pendengaran untuk mengetahui isi obrolan tersebut. Namun, saat berjalan mende
Keesokan paginya berita tentang kejadian semalam membuat namanya dan nama butiknya terseret dalam berita surat kabar.Saat membacanya Ayesha masih bisa bernapas lega karena apa yang terjadi padanya tidak sampai terekspos keluar. Bukan karena tidak ingin nama baiknya hancur, kini ia kembali menyandang nama Herlambang yang membuatnya harus menjaga nama baik suaminya juga.Alfan mengusap bahunya lembut dan mengatakan kalimat yang menenangkan, bahwa semuanya akan baik-baik saja.“Mom, kudengar semalam mommy keluar. Ke mana?” tanya Arzen duduk di meja makan.Remaja itu sama sekali tidak tahu bahwa ada polisi yang menghampiri ke rumah mereka. Karena kebiasaan Arzen memang setelah masuk kamar, ia jarang keluar jika tidak perlu sesuatu.“Ya, mommy ada urusan.”“Are you okay, Mom?”“Sure, Son.” Melemparkan senyum tipis yang tulus.“Kamu tidak perlu cemas. Berita itu tidak akan keluar,” bisik Alfan pelan.“Aku ha
Hi, boleh absen dong yang masih setia baca cerita ini? Komen di setiap bab agar aku tahu bahwa kalian masih ada di sini. Makasih.♡♡♡“Maaf, Nyonya. Di bawah ada polisi yang ingin bertemu Anda.”Polisi, batinnya bertanya-tanya.“Ya, bilang saja suruh tunggu sebentar. Aku ganti baju dulu,” kata Ayesha segera masuk kamar dan mengganti pakaian.Saat ia turun ke ruang tamu, benar ada dua polisi yang sudah menunggunya.“Selamat malam, Nyonya. Maaf jika kedatangan kami mengganggu Anda. Kami dari Polresta Denpasar mendapat surat perintah penggeledahan butik Anda untuk melengkapi bukti bahwa saudari Clara Adelin terlibat dalam kasus peredaran dan penjualan narkoba jenis sabu.”Deg!Jantung Ayesha berdebar dengan sangat keras. Ia terkejut sekaligus syok dengan apa yang baru saja didengar.“Maaf, Pak polisi. Izinkan saya bertanya lebih dulu.”Ia menarik napas panjang dan mengembuskannya pe
Sebelum berangkat ia telah menghubungi suaminya dan meminta alamat kantor yang sampai saat ini belum diketahui.Mobil melaju dengan kecepatan sedang, diiringi suara musik dari penyanyi favoritnya.Tidak sampai tiga puluh menit mobil yang dikendarai tiba di sebuah gedung tinggi bertuliskan HM Group. Ayesha segera memarkirkan mobilnya di basement dan menuju resepsionis.“Ruangan Tuan Alfan Fatih Herlambang di mana, ya?” tanya Ayesha sopan.“Maaf, apa Anda sudah membuat janji?” tanya wanita itu dengan ramah.“Apa seorang istri perlu membuat janji untuk bertemu suaminya?” Ayesha tersenyum, tetapi kata-katanya menegaskan bahwa ia adalah istrinya.“Ah, maaf. Anda Nyonya Ayesha.” Wanita itu menunduk dan meminta maaf berkali-kali.“Mari saya antar ke ruangan beliau,” ucapnya kemudian mengarahkannya menuju lift khusus.Suara denting lift menandakan mereka telah sampai di lantai yang dituju. Lantai sepuluh, gedung teratas
Langit gelap telah berganti terang. Matahari mulai tampak malu-malu menunjukkan sinarnya.Cuaca yang masih terasa dingin membuat dua sosok lelaki di ruangan yang berbeda kembali menggulung dirinya di dalam selimut tebal yang menghangatkan.Setelah urusan dapur usai, Ayesha bergegas naik ke lantai dua dan membangunkan sang anak. Beberapa kali remaja itu menggeliat dan bergumam, tetapi tak juga membuka mata.Ayesha yang kesal langsung menarik selimutnya dengan kasar dan membuka tirai. Membiarkan cahaya pagi menembus jendela dan mengusik si pemilik kamar.“Zen! Bangun! Mommy akan menyirammu dengan air jika kamu tidak segera bangun,” ancam Ayesha dengan suara rendah.“Oh, Mommy!” keluhnya dengan suara serak. Manik cokelat itu akhirnya mengerjap, menyesuaikan diri dengan cahaya sebelum akhirnya terbuka.“Sudah. Aku bangun,” lanjutnya, ia masih duduk di tepi ranjang. Menyahut segelas air di atas nakas dan meneguknya hingga tandas. Matanya menoleh ke arah jam dinding dan terkejut saat menyad
Empat hari kemudian, mereka resmi pindah ke rumah Alfan. Lelaki itu hanya meminta anak dan istrinya membawa pakaian dan surat-surat penting lainnya.Nena juga ikut serta bersama mereka. Sebab, Ayesha sudah menganggap wanita itu seperti saudarinya.Setelah hampir dua jam merapikan kamar, Ayesha memilih merebahkan tubuhnya di ranjang. Pindahan memang membutuhkan tenaga ekstra.Alfan yang baru masuk kamar bertanya, “Sudah selesai?”“Belum. Ruang ganti masih berantakan, aku lelah sekali.”Ayesha memang tidak mau dibantu asisten untuk merapikan kamar dan ruang ganti. Ia ingin merapikannya sendiri agar tahu di mana letak ia menyimpan barang-barangnya.Alfan berjalan ke ruang ganti dan melihatnya. Memang masih sangat berantakan, beberapa koper masih teronggok dengan isi yang sudah carut marut.“Istirahat saja. Masih ada waktu besok lagi, jangan memaksakan diri.”Ayesha mengangguk. “Aku tahu. Kamar Arzen sudah selesai?”“Sudah. Nena sedang merapikannya.”Beberapa hari yang lalu Alfan sudah ke
Seminggu telah berlalu dengan cepat. Hari ini menjadi perpisahan antara Ayesha dan kedua orang tuanya.Mereka mengantar keduanya sampai di bandara. Bahkan Arzen turut libur sekolah karena ingin mengantarkan oma dan grandpa kesayangannya.Isak tangis Ayesha sudah terdengar sejak mereka dalam perjalanan. Kini, semakin keras suara tangis itu saat kedua orang tuanya semakin tak terlihat lagi dalam pandangan.Alfan merengkuh tubuh sang istri dan mencoba menenangkannya. Setelah keadaannya berangsur tenang mereka meninggalkan bandara.“Mau mampir ke suatu tempat dulu?” tanya Alfan.“Langsung pulang saja,” balas Ayesha pelan, tak bersemangat.“Zen?” Menatap sang putra melalui kaca mobil. Remaja itu juga tampak tak bersemangat.“Ya, Dad.” Tatapannya kembali mengarah ke luar.Setelah sampai di rumah. Ibu dan anak itu mengurung diri di kamar sampai melewatkan makan malam.Alfan yang ada di meja makan sendirian menjadi tidak tenang. Ia meminta Nena menyiapkan makanan untuk dibawa ke kamar anak da
Masuk ke kamar sepasang suami istri itu kembali melanjutkan kegiatan yang tertunda. Kembali menyelami nikmatnya surga dunia. Mencapai nirwana tertinggi di iringi deru napas yang memburu.Dingin di luar sana sama sekali tak mendinginkan keduanya. Justru semakin memanas, bagaikan kobaran api yang baru saja disiram bensin.Membara.Peluh menetes, menjadi saksi betapa bersemangatnya mereka. Kerinduan, kasih sayang, gairah, semuanya melebur menjadi satu.Entah sudah berapa lama mereka melakukannya, Ayesha bahkan sampai tak bisa bernapas dengan lega karena terus-menerus dihabisi oleh sang suami.“Sudah, Mas. Aku lelah,” ucap Ayesha dengan suara lemah.Umur yang hampir menyentuh kepala empat sama sekali tak membuat Alfan melunak sedikit pun.Ingatan tentang saat pertama kali lelaki itu menjamah dirinya terlintas. Betapa buas dan sama sekali tak menahan diri.“Tahan sebentar lagi, Sayang,” bisik Alfan, mengecup lembut pelipis sang istri.Suara erangan panjang menjadi penutup kegiatan malam it