Selamat membaca!Di dalam kamar, Viola hanya menghabiskan waktu dengan menonton drama Korea favoritnya. Film yang sempat ia tinggalkan sejak kematian sang ayah."Wah, bersambung lagi. Mesti nunggu Minggu depan nih." Tiba-tiba ketukan pintu kamarnya terdengar. Viola pun berpikir jika itu adalah Retno yang datang, entah ingin menawarkan makan atau camilan untuknya."Iya, Bi, sebentar." Viola bangkit dari posisinya duduk. Melangkah menuju pintu kamar.Saat pintu kamarnya ia buka, kedua mata Viola membulat sempurna saat melihat sosok Devan berdiri di sana. Bukan kedatangannya yang membuat Viola terkejut, tetapi apa yang dikenakan Devan sungguh membuat pria itu terlihat sangat tampan hingga Viola sempat tak berkedip menatapnya."Pak Devan ....""Ada yang ingin saya sampaikan sama kamu, ambil kotak ini dan segera ganti pakaianmu. Saya tunggu kamu di belakang rumah, ya!" Devan menyodorkan sebuah kotak yang sejak tadi dibawanya. Kotak berwarna merah yang langsung Viola ambil, walau gadis itu
Selamat membaca!Kembali kedua Minggu lalu di mana Bimo baru saja selesai dimakamkan. Siang itu, Viola dengan wajah murungnya baru saja masuk ke rumah Devan. Sebenarnya Viola ingin menemani sang ibu di rumah, tetapi Dina menolak. Sikap wanita paruh baya itu terkesan dingin padanya. Ada kebencian terlihat jelas saat menatap Viola. Membuat rasa bersalah akan kematian Bimo terus mengusiknya."Maafin Viola, Yah ... andai Viola nggak nikah sama Pak Devan semua ini nggak akan ...." Viola langsung melempar tubuhnya di atas ranjang. Mendekap erat sebuah bantal, lalu menangis terisak. Hatinya begitu terasa hancur. Membuat gadis itu sangat menyesal karena telah mengambil keputusan yang kini ia anggap sebagai hal terbodoh dalam hidupnya.Tiba-tiba suara ketukan pintu terdengar, pintu yang tidak terkunci itu pun terbuka. Devan melangkah masuk. Dengan perlahan pria itu duduk di tepi ranjang. Namun, Viola sama sekali tak melihatnya. Ia memilih untuk tetap membenamkan wajahnya pada bantal yang sejak
Selamat membaca!Viola masih mematung diam. Entah kenapa ada rasa sakit yang ia rasakan di hati. Namun, seketika gadis itu mampu menepikannya. Viola menganggap kedatangan Renata bisa ia jadikan kesempatan untuk pergi agar Devan tak bisa mengejarnya."Viola, tunggu!" teriak Devan yang ingin mengejar. Namun, tiba-tiba langkahnya tertahan. Devan pun menoleh, menatap Renata yang saat ini menggenggam erat lengannya."Devan, aku ingin bicara sama kamu."Melihat keduanya semakin dekat, Viola pun mempercepat langkah kakinya. Menahan luka yang perih sambil menggenggam buku harian di tangannya. Buku harian yang kondisinya kini sudah sangat basah, meski ia coba melindungi buku tersebut dengan pakaiannya."Mungkin ini memang sudah takdir kita Pak Devan. Ternyata benar, ya, kata Tari, tidak semua hal bisa dipaksakan sesuai keinginan kita, termasuk cinta dan takdir." Viola pun kini sudah berbelok. Tak lagi terlihat oleh Devan yang masih sulit melepaskan diri dari genggaman tangan Renata yang menah
Selamat membaca!"Semoga aja Viola pergi ke rumah Tari." Setelah menghubungi salah satu mahasiswi di kampusnya itu, pandangan Devan kembali tertuju pada sosok wanita yang dulu sempat menjadi pemilik hatinya. Namun, wanita itu jugalah yang menorehkan luka, membuatnya sampai mengalami trauma mendalam hingga menderita impotensi."Apa sudah selesai neleponnya?" Renata masih belum duduk di sofa, meski sebelum menghubungi Tari, Devan sudah sempat mempersilakan. Wanita cantik dengan rambut hitam panjang itu masih memperhatikan sekeliling. Mencari petunjuk apa gadis muda yang dikejar Devan tadi adalah istrinya."Biasanya kalau orang udah nikah, setidaknya ada foto pernikahan yang dipajang di ruang tamu, tapi sepertinya, mereka memang belum menikah," batin Renata yang sejak tadi merasa tidak tenang memikirkan hal itu."Jadi, untuk apa kamu kembali ke Indonesia dan menemuiku malam-malam begini?" tanya Devan sambil melangkah menuju sofa yang ada di ruang tamu.Pertanyaan itu seketika menyadarkan
Selamat membaca!Devan masih tak percaya dengan apa yang ia lihat. Meski sempat mengusap kedua mata berkali-kali, tak bisa dipungkiri jika anak perempuan itu memang sekilas ada kemiripan dengannya. Namun, kenapa Renata menghadirkan anak itu di saat ia sudah benar-benar lupa pernah mencintai wanita itu? Cinta yang dulunya begitu besar, dengan harapan akan bersatu di pelaminan."Apa kamu punya bukti tentang semua ini?" Suara Devan terdengar keras. Anak perempuan itu pun langsung bersembunyi di balik kaki Renata.Melihat anak perempuan itu seperti ketakutan, Devan jadi merasa bersalah. Diredamnya amarah itu. Amarah yang tiba-tiba menguasai. Tentu saja ia sempat berpikir jika saat ini Renata sedang berbohong guna mendekatinya. Menjadikan anak tak berdosa itu sebagai alat mendapatkan kesempatan darinya. Namun, sekeras apa pun ia coba menekan hati untuk tak percaya. Pada kenyataannya, anak perempuan itu benar-benar mengingatkan Devan akan masa kecilnya."Kamu nggak usah takut, Audrey. Ayah
Selamat membaca!Pagi itu terdengar gaduh saat Tari bangun kesiangan dari yang ia rencanakan. Alarm yang terpasang pada ponselnya pun seakan tak mampu membuat gadis itu terjaga. Berbeda dengan Tari, Viola terlihat masih nyaman bersembunyi di balik selimut seolah tak peduli keterlambatan sahabatnya karena hari ini ia memang tidak ikut pergi ke kampus."Takut banget sih telat, emang materi kelas pertama siapa?""Suami lo, Mbak, masa lo lupa." Tari yang baru saja keluar dari kamar mandi tampak mengeringkan rambut dengan handuk yang tersampir di pundak."Vi, lo bener kagak ke kampus hari ini? Kalau mau ke kampus kan lo bisa pake baju gue.""Baju doang?""Iya, pake baju gue aja, ya kali beli dulu.""Terus dalemannya gimana? Daleman gue kan semuanya basah, Tar. Sekarang aja gue nggak pake apa-apa nih karena lagi gue jemur dan nggak mungkin juga kan gue pake punya lo." Raut wajah Viola seketika menampilkan raut jijik. Jijik bukan karena teringat akan bau kentut Tari semalam, tetapi lebih kep
Selamat membaca!Keluar dari kamar mandi, Viola tak menemukan keberadaan Tari di sana. Gadis itu pun melihat tas miliknya ada di atas ranjang."Jadi, Pak Devan bawain ini buat gue." Viola mulai membuka tas yang isinya tampak penuh karena terlihat menyembul meski belum ia buka. Tas ransel yang biasa digunakan Viola ke kampus memang berukuran kecil–hanya cukup untuk memuat beberapa buku saja."Bukan cuma bawain buku-buku gue, ternyata Pak Devan juga bawain baju buat gue pake hari ini," ucap Viola setelah membuka isinya dan terdapat satu stel pakaian yang biasa ia gunakan untuk pergi ke kampus. Namun, seketika kedua matanya terbuka lebar."What? BH, CD gue ... berarti Pak Devan ... ya Tuhan ...." Seketika Viola histeris melihat itu. Kebetulan Tari yang memang akan memanggil Viola ke kamar mendengarnya hingga dengan cepat masuk."Kenapa sih, Vi?" tanya Tari begitu masuk kamar. Dilihatnya, Viola masih mengenakan handuk yang melilit tubuhnya."Ini, Tar, Pak Devan ...." Viola mengeluarkan seb
Selamat membaca!Viola masih menatap Silvi serba salah. Canggung berhadapan dengan wanita yang ia tahu itu adalah mantan pacar suaminya."Ada apa, Bu? Apa saya melakukan kesalahan?""Kamu nggak salah apa-apa. Memangnya kamu merasa buat salah sama saya?"Viola tersenyum canggung. Menggaruk kepala yang sebenarnya tidak terasa gatal. Berharap bisa bersikap biasa tanpa menunjukkan rasa grogi. Dalam pikirannya, bisa saja Silvi marah karena telah merebut Devan darinya."Selamat ya atas pernikahan kamu, Viola."Mendengar ucapan itu, tentu saja Viola terkejut. Bukankah hubungannya dengan Devan hanya sebuah pernikahan rahasia yang tidak sepatutnya diketahui orang lain, terutama orang yang ada di kampus. Setidaknya itu perkataan yang pernah Devan sampaikan saat mereka baru saja resmi menjadi suami-istri. Lantas, kenapa Silvi bisa tahu semua itu?Beragam pertanyaan bermunculan dalam pikiran Viola. Tak dapat dipungkiri, raut keterkejutan itu mudah sekali terbaca oleh Silvi yang kini langsung ters